Bagian Limapuluh Dua


Merangkap sebagai pacarnya Agni, Bang.

Biar Agni ulangi sekali lagi dengan segenap rasa kesal.

Merangkap sebagai pacarnya Agni, Bang.

Kalau saja abangnya mau menunggu di halte dan bukannya nekat menjemput di depan kos, kejadiannya mungkin tidak akan sejauh ini. Dia kemarin menolak Ardan yang ingin kenal dengan abangnya, tapi ternyata Tuhan lebih mengabulkan harapan Ardan.

Tidak hanya abangnya yang salah, Ardan juga.

Tangan Agni meremas gumpalan tisu di atas meja yang sudah tidak berbentuk lagi. Tunggu sampai dia bertemu lelaki itu nanti siang. Akan dia buat perhitungan karena berani mengaku—

"Kalian pacaran sejak kapan?" Rizal memotong pikiran Agni, menyugar rambut barunya sambil menunggu lontong sayur diantar ke meja mereka.

Rizal tahu kalau adiknya sedang keki. Tapi dia juga gabut kalau disuruh menunggu di halte dan memilih langsung ke kos. Eh, di depan kos, bertemulah laki-laki yang mengenalkan diri sebagai Bapak Kos merangkap pacarnya Agni. Kebetulan yang mengejutkan dan sedikit menyenangkan. Dia sempat berpikir kalau tidak ada lelaki yang berani mendekati adiknya.

Tuh, lihat, dari keki sekarang muka adiknya berubah bete. Kenapa sih para perempuan suka ngumpetin cowoknya dari keluarga? Biar apa? Biar kalau putus tidak sibuk ditanya-tanya? Biar kalau nangis bisa alasan gara-gara drama Korea?

"Sebulan yang lalu."

"Tumben?"

"Tumben kenapa?"

"Kok ada laki-laki yang mau sama cewek segalak kamu."

Di mana-mana, abang itu cuma ada dua macam. Yang mendewakan adiknya atau sebaliknya. Agni kebagian agak ampas karena yang menjadi abangnya bukanlah orang seperti Ardan—yang akan menyanjung-nyanjung kelebihan adiknya. Bukan salah siapa-siapa, Agni saja kenapa harus membandingkan.

Abangnya ini sebelas duabelas dengan Agni. Sementara Ardan itu kebalikan dari mereka berdua.

"Yang nembak duluan kamu?"

"Dia. Enak aja. Dia yang duluan suka sama aku."

"Terus pacaran?"

"HTS."

Rizal menepuk meja. "Udah aku duga. Kamu nih nggak berubah."

"Apa sih salahnya HTS?"

"HTS kalau mesra kayak pacaran juga ya sama aja. Munafik itu."

"Mesr—" Agni berdecak. "Emang Abang tahu? Pernah lihat kami pacaran?"

Telunjuk Rizal menekan di meja. "Sekarang siapa bisa jamin ada pacaran yang nggak mesra kecuali LDR? Temen doang aja bisa bobo bareng."

Agni tahu dia kalah. Jadi memilih diam. Dua piring lontong sayur datang, Agni sibuk makan. Sementara abangnya memperhatikan gestur adiknya.

"Terus kalian mau ngapain habis HTS?"

"Baru sebulan, Bang. Kayak udah setahun aja ditanya begitu."

"Kalau merasa dia orang yang tepat, nikah aja."

"Abang tuh yang nikah. Duluan sana."

"Aku nggak keberatan kalau dilangkahin."

"Aku belum mikir nikah."

"Ardan udah tapi?"

Udah. Tapi Agni males jawab.

"Ajak gih ketemu Papa."

"Ntar deh."

"Ntar deh, ntar deh, keburu lepas itu laki. Ganteng gitu, saingan lo apa nggak banyak. Ke dukun deh. Nyari jampi-jampi," kelakarnya.

Tidak usah ditanya lagi. "Sainganku satu kos. Belum yang ada di luar yang aku nggak tahu."

Rizal tertawa ringan. "Hebat juga ya kamu. Bisa nyingkirin satu kos. Ralat, Ardan yang hebat."

"Kok belain dia?"

"Dia milih jatuh cinta sama cewek galak, judes, jutek, dan segala sifatmu yang nyebelin."

"Aku nggak minta dia buat jatuh cinta. Hubungan kami aja dulu buruk." Melanjutkan sebelum kena potong. "Abang mau bilang benci dan cinta beda tipis? Basi, Bang."

"Orang jatuh cinta kan nggak semua lewat cara-cara yang lazim dan manis. Nggak lewat cara sayang-sayangan, tapi anjing-anjingan."

Agni tidak mananggapi. Kalimat abangnya ada benarnya.

Dengan sedikit nada sesal. "Dia memperlakukan kamu dengan baik, 'kan?"

Agni menaruh sendoknya. "Sebaik-baiknya lelaki yang pernah aku kenal."

"Lebih baik dari Abang-abang kamu ya?"

"Ya."

Memaksakan seulas senyum. "Duh, jadi iri."

"Dia juga punya adik perempuan."

"Mirip kamu?"

"Samalah dikit."

"Pantes dia suka kamu. Kayaknya bisa handle macem-macem perempuan. Mantan buaya?"

"Nggak."

"Masa?"

Agni menipiskan bibir, menyipitkan mata.

"Masih buaya?"

"Bang! Dia nggak kayak gitu!"

Berdeham. "Dibelain nih."

***


CHIKO JERIKHO KW SUPER

Eriska: *send a picture*
Eriska: yang oleng yang oleeeeng
Eriska: 🤪🤪🤪🤪

Dea: *mimisan*

Ajeng: *pengsann*

Puput: mau satuuu😍

Jessi: bgst giliran udah cakep rapi aja pada kegatelan🤬😡😠

Dea: kalo kayak gini ga keliatan preman, gantengggg😭 pas malem itu kayak preman pulang mangkal

Sasa: aku tetep bang ardan, jgn paksa aku berpaling😭🖐

Puput: gw yg mana aja hayukla
Puput: yg penting punya ayang😭🖐

Dea: sana lu sama popo aja @Puput

Puput: kira2 dong kebayang jepit rambutnya anjirrrr😭😭

Jessi: yg di foto siapanya agni?

Eriska: abangnya

Dea: tau dari mana lo?!

Eriska: gw tanya ke bang ardan

Dea: ngahahahahhaah jess matik lo jess baek baekin dah tuh agni🤪

Jessi: knp gw mesti..
Jessi: 😖😖😖😖

Dea: jilat ludah sampe lo cegukan
Dea: kalo perlu lo cuci kakinya agni, lo minum  aernya 🤣🤣🗣️🗣️🗣️🗣️

Eriska: @dea lo ya, bikin gw ikutan gumoh

Ajeng: jd takut naksir abangnya agni😔

Puput: gw tim bang ardan aja deh, ogah minum aer bekas cucian kaki🤣

Dea: tapi ini chiko jerikho🙁
Dea: duh tapi bang ardan gimanaa 😭
Dea: jackson wang lho dia makkk

Eriska: sama aja keknya

Dea: sama gimanaaa

Eriska: sulit digapai semua🙃

Dea: sad but true. ga ada gitu cogan yg murahan😭😭

Ajeng: jadi crazy rich makanya

Dea: biar apa

Jessi: buat beli cogan

Dea: cogan jalur gigolo dong anj 😭👋

Eriska: lo pelihara aja spirit doll sampe dia dewasa

Sasa: heh mana bisa gede😭

Dea: @Eriska iye, biar dia isep ubun2 lo ye😑

***

Saat terdengar langkah dan tercium harum parfum yang sudah bercampur keringat tapi masih wangi, Ardan menekan pause di Youtube. Mendongak, memberi senyum terbaiknya. "Gimana interview-nya?"

"Kepala kamu sini."

"Kepala?" Ardan agak loading. "Mau diapain?!"

"Aku mau geplak."

Menolak lupa Agni bisa taekwondo, Ardan buru-buru melindungi kepalanya dengan menyambar satu piring keramik yang biasa jadi bonus sabun cuci. Ini pasti soal mulut lancangnya tadi pagi. Ardan refleks mengaku sebagai pacarnya Agni karena tatapan abangnya Agni pun menuduh demikian. Jadi ya ngaku sekalian saja. Tapi dia tidak menyesal karena respons abangnya Agni tidak buruk-buruk amat. Welcome malah.

Maksudnya, selain diremas tangannya saat berkenalan, Ardan tidak ditonjok atau dibanting setelah mengaku sebagai pacar adiknya. Tidak pula ditanya ini-itu. Tapi tatapannya cukup mengintimadasi sih, dan itu wajar.

Agni menghela napas. "Aku diterima kerja."

Menurunkan piring dari kepala, Ardan memberi selamat dengan tepukan di lengan dan senyum lebar yang tulus. Seakan tahu kalau Agni tidak butuh kalimat panjang-panjang dan apa yang dilakukan Ardan sudah cukup. Maka luntur sudah marah yang dia tahan sejak pagi.

Ardan sadar tidak sih kalau, perlahan tapi pasti dia berhasil mencairkan gunung es di hati Agni? Apa karena sudah terbiasa dan bisa menerima sifat Agni yang ini, Ardan jadi tidak sadar? Sementara bagi orang lain, Agni sekarang mudah tersenyum. Tidak sejutek biasanya. Terlihat lebih manusiawi karena bukan lagi patung berjalan.

"Sore jalan yuk."

"Ke mana?"

"Nggak jauh kok."

"Iya. Ke mana?"

Ardan meraih tangan kanan Agni. "Lihat masa depan."

"Dih. Aneh. Kenapa nggak sekarang aja?"

Meringis gemas dengan wajah berkerut. "Masih panas."

"Emang masa depannya di mana? Planet Bekasi?"

"Di depanku nih sekarang."

"Aku tabok beneran ya." Melihat lelaki di hadapannya yang cengar-cengir membuat Agni jadi teringat kalimat abangnya tadi pagi. Ini orang, normal, 'kan? Apa karena mantan sebelumnya cantik sekali, jadi dia bosan dan mencari perempuan yang standar cenderung menyebalkan seperti dirinya?

"Nggak jadi nabok?"

Agni memilih pulang sambil menebak apa yang dimaksud Ardan. Rumah ya jangan-jangan? Lelaki itu diam-diam sudah membangun rumah? Kalau bukan, mungkin sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seperti cincin nikah? Tadi Ardan mengabsen jari-jarinya kan. Mau ngelamar?

***

Tanpa drama kucing-kucingan, dari depan kos dia sudah membonceng Ardan. Tidak peduli kalau Mpok Jaenab mengintip dari sela etalase lauk dengan cengiran lebar. Agni malah iseng melambaikan tangan.

Tadi tidak ada sodoran helm karena kata Ardan sambil merem juga sudah sampai. Mereka hanya menyeberang jalan raya, melewati dua gang dan masuk ke salah satu gerbang kompleks.

Tebakan Agni yang pertama tidak meleset.

Ini lelaki memang sedang membangun rumah. Pantas kalau pembangunan kos cowok tertunda. Ternyata fokusnya ke sini dulu. Hih.

"Ini kos cowok ngaret gara-gara kamu bangun ini?"

Reaksi Agni jauh dari yang Ardan bayangkan. Tidak ada tatapan haru apalagi terkejut melihat Ardan menunjukkan rumah barunya yang sebenarnya belum siap huni karena masih 70%. Beberapa pintu juga belum terpasang.

"Kok bahas kos cowok?"

"Ya itu kan udah kami tunggu lama. Eh, cuma desas-desus doang. Nggak dibangun kayaknya malah."

Ardan berkacak pinggang. "Jadi kamu juga nungguin kos cowok dibangun?" Menaikkan dagunya. "Buat apa aku tanya? Kamu mau ikut kayak Geng Rusuh, tebar pesona ke anak cowok yang ngekos? Emang kamu kira, cowok-cowok itu bakal suka sama cewek sejutek kamu kalau ada Sasa yang imut gemesin begitu?"

Lagi-lagi kalimat abangnya terngiang lagi. Mendesah pasrah. "Iya, cuma kamu yang bisa terima aku."

Senyum terbit di bibir Ardan. "Bagus. Ayo, lihat ke dalam."

Ardan memperhatikan langkah Agni. "Hati-hati."

Lalu Ardan sendiri menabrak kaleng cat. Untung masih tertutup rapat jadi tidak tumpah ke mana-mana. Dia mengangkat satu kakinya, mengaduh.

"Kamu tuh yang lihat jalan."

Agni lalu mengamati sejauh matanya bisa memandang. Masih tahap pengecatan. Belum kelihatan gimana-gimana karena masih seperti bangunan baru pada umumnya. Tapi diam-diam dia bangga karena Ardan memikirkan bangun rumah.

"Papa yang kasih tanahnya. Aku cuma bangun aja." Mereka masuk lebih dalam. Ada tiga tukang di teras belakang sedang memasang konblok. Ardan hanya datang seminggu dua kali untuk mengecek karena dia sudah mempercayakan pada jasa developer.

"Duitku ikut nyumbang di sini dong."

"Nggak dong." Terkekeh. "Hasil tabunganku ini. Uang kos uangnya Mama."

"Iya, yang nabung, iya. Kamu kan dulu kerja keras bagai unicorn." Agni tersenyum geli, melongok ke ruangan bakal kamar utama karena lebih luas dari kamar lainnya. "Jadi, dana buat bangun kos cowok aman kan ya?"

"Mulai deh. Males ah."

Agni beralih ke ruang tengah. Tipikal rumah kompleks pada umumnya tapi Ardan sepertinya membeli tanah tambahan karena kalau dilihat masih ada sisa tanah di belakang yang cukup luas.

"Kamu nyisain tanah luas di belakang, buat kolam renang?"

"Bisa jadi gitu. Atau biar jadi lapangan ala-ala aja. Buat aku main sama anak-anakku nanti."

"Udah bawa anak-anak."

"Loh, aku bangun rumah kan buat persiapan nikah. Mau secocok apa pun istriku nanti sama Mama dan adik-adik, aku tahu dia tetap nyaman kalau kami tinggal sendiri."

"Emangnya kamu bisa ninggalin rumah lagi?"

"Kan deket ini dari rumah Mama. Kepleset juga nyampe, Ni."

"Kalau keplesetnya dramatis kayak di sinetron sih, aku yakin sampe." Agni masih penasaran dengan maksud Ardan. "Kenapa kamu mikir kalau istri kamu bakal nyaman nggak tinggal sama mertua?"

"Kalau dia mau ngambek-ngambek, lebih gampang. Kalau sama mertua, sungkan pasti." Ardan berhenti di ambang pintu belakang yang belum dipasang daun pintunya. "Kaum kalian kan suka banget ngambek."

"Gitu doang alasannya?"

Pertanyaan Agni tidak terdengar. Ardan lebih dulu menyapa ramah para tukang. Tidak berharap akan dijawab kok, jadi dia tidak mengulangi.

Ardan menepuk-nepuk kusen di sebelahnya, lalu berbalik. "Tanya aja ke diri sendiri. Kamu lebih tahu alasannya."

"Emang aku—" Agni gagal melanjutkan kalimatnya saat sadar apa yang Ardan katakan.

"Aku mulai bangun rumah ini tahun lalu. Kita masih jadi kucing sama anjing. Mana kepikiran kalau kita bakal begini. Belum ada nama kamu di rencana masa depanku." Ardan mengulum bibir. Tidak ada nada bercanda. Dia bertanya sungguh-sungguh. "Gimana? Kamu suka rumahnya?"

"Kenapa tanya aku?" Agni tahu dirinya naif. "Emang aku ada di masa depan kamu?"

"Kamu nanti yang bakal tinggal di sini. Sama aku. Cukup menjawab belum?"

Demi menutupi salah tingkahnya, Agni melempar tatapan ke sana-sini. Tapi pipinya pasti merona karena selain kupu-kupu di perut, ada panas merambat di pipi. Sialan. "Bagus rumahnya."

"Rating?"

"Bintang satu deh."

"Kenapa?"

"Yang punya terlalu ganteng. Udah ditandain sama ibu-ibu kompleks mau dijadiin mantu mereka."

"Kapan?"

"Sok lupa. Siapa yang tadi nyapa ibu-ibu rumpi di deket pos satpam?"

"Namanya lewat kan harus punten, nyapa gitu."

"Tapi senyumnya nggak usah ramah-ramah."

"Terus kudu senyum yang gimana?"

"Senyum chucky."

"Gila kamu."

***


Yg mau baca pas Ardan kenalan sama Rizal, cus ke Karyakarsa yak ada di urutan paling depan di profilku @Respati Kasih

Note:

- rambut barunya Rizal mirip Ai (om-nya Gala)
- yg belum tau, Popo itu tiktokers

Kamis/03.02.2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top