Bagian Limapuluh


Selain menemani Emil mancing di comberan, hobi Ardan bertambah: menimbun gas di dapur lantai dua, lalu menyelundupkan galon ke kamar Agni.

Waktunya juga random. Sesuai mood-nya Ardan saja. Kalau pengin lihat Agni ya antar saja salah satu. Seperti malam ini. Setelah menutup pintu toko, dia melesat ke kos sambil memeluk galon tanpa kepayahan yang berarti.

Anak kos lain, terutama Geng Rusuh, merasa bapak kos mereka sedang modus untuk sekadar bertemu Agni.

Namun bagi Agni sendiri, lama-lama apa yang dilakukan Ardan ini sinting.

"Galonku masih, Bang. Tapi kalau diantar lebih awal aku terima dengan restu Ayah Bunda dan tetangga." Ajeng cekikikan beranjak dari sofa, siap mengantar Ardan ke kamarnya.

Tak mau kalah, Dea berdiri. Menyikut perut Ajeng hingga kembali terduduk. "Kebetulan banget. Air galonku habis, Bang. Yuk masuk kamarku! Aku habis ganti gorden!"

Sasa merentangkan satu lengan, menghalangi jalan Dea. Matanya tegas menatap Ardan, tapi suara imutnya menghilangkan ketegasan itu. Mau sok galak seperti apa, Sasa tetap terdengar lucu. Percuma. "Abang mending jujur aja mau nganter buat siapa."

"Nganter buat Agni." Menatap dengan rasa bersalah pada Ajeng dan Dea yang sekarang sudah saling jambak. "Sori ya."

Nahkan! Sudah tercium gelagatnya. Dikira bodoh apa mereka. Tapi ketimbang sedih tidak jelas, mereka lebih memilih memandangi wajah gantengnya meski hanya hitungan detik. Kapan sih Ardan mau lama-lama ngobrol dengan mereka? Cium bau parfum mereka saja, Ardan buru-buru balik kanan.

Demi kolor Dea yang warna-warni, mereka tidak pernah rela membiarkan Ardan lewat begitu saja. Mungkin nanti baliknya, mereka bisa cegat lagi. Palak seblak kek, ajak main bekel kek, atau modus lainnya yang bisa terpikirkan.

"Nggak ada cara lain apa?" Agni menghitung galon di kamarnya. Ada tiga galon baru. Mau buat apa? Mandi?

"Cara lain? Aku gelantungan di kabel listrik dari atap rumahku ke lantai atas?" Menunjuk langit-langit. "Atau aku ngerayap di dinding? Aku bukan Spiderman, Agni. Lihat laba-laba aja aku geli."

"Besok-besok nggak usah ke sini, aku aja yang nyamperin ke toko." Mengedikkan bahu "Tapi kalau ke sini, lumayan sih kamu jadi dapet vitamin mata di ruang TV."

"Beneran main ke toko? Ntar cuma beli doang terus ngacir pulang kayak biasanya." Ardan kemudian merasa harus membela diri. "Sumpah, aku nggak jelalatan. Aku merem, nunduk, atau lihat ke atas. Nah, baru pas ngomong lihat mata mereka."

Lelaki ini terlalu jujur. Agni cuma apa sih, iseng doang tapi ditanggapi serius. "Iya, percaya."

"Baliknya mesti ketemu mereka lagi," rajuk Ardan.

"Mau aku lempar dari lantai tiga?"

Menggeleng. "Temenin turun yuk?"

"Setrikaanku banyak." Mengarahkan dagu ke atas kasur yang dipenuhi tumpukan baju kering.

"Oh iya."

Ardan urung berbalik.

"Besok anterin interview?" Buru-buru dilanjutkan. "Kalau kamu nggak sibuk."

Menjawab terlalu cepat. "Nggaklah! Jam berapa?"

"Sepuluh."

"Perlu aku cuci mobil paginya?" Ardan cuma cek ombak. Sekalian biar bisa lebih lama di kamar itu. Ingat ya, jarak mereka aman. Ardan mana berani macam-macam. Pintu juga terbuka separuh kok. Kalau sampai ada apa-apa, Mbak Ayuk bisa jadi saksi mata.

Agni merendahkan suara tapi tetap terdengar galak. "Ngapain? Pamer aurat ke Geng Rusuh?"

"Subuh deh. Mereka juga belum bang—"

"Nggak."

"Biar bersih—"

"Nggak!"

"Ya udah, iya, nggak."

"Iya apa nggak?!"

"Nggak, Sayang. Enggak."

***

Setelah celingukan dan memastikan sekitar, menghitung di dalam hati, lalu Agni lari dari gerbang kos menuju mobil Ardan yang masih terparkir di depan rumah. Begitu sampai di depan pintu, mengendap dengan waspada dan buru-buru masuk. Nyaris saja dia membanting pintu saking leganya.

"Kalau ketahuan juga tinggal ngaku aja." Ardan melirik geli. Siap melajukan mobilnya.

"Mau ngaku HTS-an? Yakin nggak diketawain?"

"Bener juga. Biarin aja ya gosip yang beredar yang ngira kita pacaran. Masih mending ketimbang ketahuan HTS." Ardan manggut-manggut, baru terpikirkan.

"Mau kita pacaran atau HTS, di mata Geng Rusuh nggak ada bedanya, kamu tetep crush-nya mereka."

"Salahin mamaku yang lahirin anak seganteng aku."

"Ardan."

Menoleh. "Apa?"

"Najis."

Bukannya tersinggung, Ardan malah tertawa. Dia juga najis sumpah mendengar dirinya sendiri bicara begitu.

Agni menenggelamkan tawa Ardan dengan lagu yang dia putar di audio mobil. Salah satu lagu Kunto Aji menemani perjalanan mereka. Lagu ini ada di playlist Ardan yang sepertinya sering diputar.

Terdiam sebentar mendengar intro lagu Pilu Membiru. "Kamu anak senja ya?"

"Kenapa penikmat musik jadi dikotak-kotakin? Aku suka semua lagu kok."

"Aku relate sama lagu ini." Agni menyesuaikan volume lagu menjadi sedang. Satu bait sudah berlalu.

"Bagian mananya?"

"Semua liriknya."

"Ada tiga makna menurutku."

"Apa aja?"

"Kasih nggak sampai. Friendzone. Ditinggal orang yang dicintai."

Agni menurunkan sedikit kaca di sebelahnya. Ardan diam, memberi waktu bagi Agni untuk menikmati lagu tanpa interupsi apa-apa. Tidak ada sepatah kata yang yang Agni katakan, tanda jika sekarang bukan saatnya untuk bercerita

Begitu lagu kedua terputar, Agni tersadar dari lamun. "Kunto Aji. Nadin Amizah. Habis ini Sal Priadi jangan-jangan? Atau Ardhito Pramono?"

"Tahu aja." Tersenyum. "Ini playlistnya udah random sama punya Jingga. Kalau habis ini bukan Sal Priadi paling ya BTS atau IU."

Setelah lagu duet Nadin Amizah dengan Kunto Aji, lagu ketiga adalah milik BTS. Ardan berusaha tidak menggantinya. Dia mulai terbiasa dengan dialek Korea gara-gara Jingga kalau minta antar sekolah pasti lagu ini yang diputar kencang-kencang. Jingga mana peduli dengan telinga abang dan adiknya yang berdenging.

"Nah, udah sampai." Mobilnya berhenti di depan lobi sebuah hotel ternama. "Kamu ngelamar sebagai apa kalau boleh tahu?"

"Resepsionis."

"Duh, sering dandan dong kamu nanti."

Melepas sabuk pengaman, Agni merapikan penampilan. Menoleh ke Ardan. "Udah rapi, 'kan?"

Ardan mengambil satu anak rambut yang salah arah. Mengangguk. "Aku parkir di basemen tapi kayaknya bakal cari kopi di warung sebelah hotel. Kabarin kalau udah selesai."

"Pegang tanganku bentar."

Ardan menurut, langsung menggengam tangan Agni yang ternyata agak dingin. "Apa nih? Grogi? Udah sarapan tadi?"

"Udah." Menggigit bibir.

"Mau ditemenin sampai dalam?"

"Nggak usah." Setelah menghela napas panjang dua kali, dia melepas tangannya sendiri dan keluar dari mobil.

Alih-alih nongkrong di kafe di lantai ground, Ardan lebih memilih melompati pagar dan masuk ke warung kopi dengan tenda biru itu. Terlalu jauh jika dia harus memutar lewat gerbang utama.

Ardan memesan segelas kopi hitam dan menyomot singkong goreng. Dia lebih banyak menyimak obrolan dua bapak-bapak soal politik yang kadang diselingi dengan harga sembako yang naik, otomatis membuat uang belanja istri mereka juga ikut bengkak.

"Nunggu istrinya pulang shift, Mas?" Si Bapak penjual kopi bertanya sambil mengulurkan segelas kopi yang diterima Ardan dengan sopan. Mungkin karena melihat Ardan tadi melompat pagar.

"Nunggu temen yang interview kerja, Pak."

"Temennya cewek?"

"Iya."

Si Bapak menyimpulkan sendiri. "Walah, pacarnya toh." Terkekeh. "Bilang dari tadi, Mas."

Ardan mengangguk malu-malu. Tanpa diminta, sambil mengipasi diri dengan potongan kardus, si Bapak bercerita. "Kalau hotel ini bagus, Mas. Apa-apanya lah bagus. Jarang ada masalah. Atasannya baik-baik, sangat memanusiakan pegawainya. Semoga keterima ya, Mas, pacarnya."

Menyesap sedikit kopinya, lalu buru-buru diturunkan ke meja. "Iya, Pak, makasih."

Si Bapak lalu bercerita awal mula dia berjualan kopi tenda di sana. Merembet ke mana-mana. Cerita soal anak-anaknya pula. Ardan masih setia menjadi pendengar. Di telinga kanannya, penuh dengan percakapan dua bapak-bapak yang kini adu nasib perihal istri siapa yang paling galak. Dan telinga kiri, penuh dengan kekehan karena cerita sudah sampai di kenakalan anak si Bapak yang duduk di bangku SMK.

"Bapak kok bisa seringan ini cerita soal anak Bapak yang nakal? Bapak bahkan sambil ketawa cerita gimana dia ikut tawuran."

"Sekolah sudah kasih hukuman, nyaris juga ditahan polisi. Tapi kalau di rumah, dia tetap anaknya Bapak. Mana mungkin Bapak tega gebukin? Dia anak yang susah payah Bapak dan istri besarkan. Istri sayang sekali dengan dia. Anaknya sudah nangis-nangis di kaki ibunya. Janji nggak akan nakal lagi."

"Bapak punya anak perempuan?"

"Punya. Cuma semenjak menikah dan pindah rumah, jauh sekali rasanya. Padahal rumah kami masih satu kelurahan. Sibuk ngurus anak. Ya kadang Bapak sama istri yang ngalah, nengokin mereka."

"Pertama kali melepas anak perempuan buat menikah, berat nggak, Pak?"

"Walah. Berat, Mas. Saya nangis tiap malam mendekati hari H. Nangis lagi pas acara resepsi. Bukan menyesal atau apa, tapi rumah bakalan jadi sepi nggak ada yang nyap-nyapan. Nggak ada yang ngomelin lagi kalau asam urat Bapak kambuh." Tersenyum penuh makna. "Sudah mau ngelamar pacarnya, Mas?"

Ardan menepuk pahanya, tertawa pendek. "Masih jauh, Pak. Kami baru dekat satu-dua bulan."

"Niat baik pasti ada jalannya. Nggak baik pacaran lama-lama. Kalau sudah saling cocok, lekas temui keluarganya, Mas."

Maunya Ardan juga begitu. Tapi dia juga memahami posisi Agni yang tidak mau diburu-buru. Menikah masih belum menjadi prioritas dalam hidup perempuan itu.

Kemudian satu panggilan masuk. Ardan mengangkatnya cepat. Kebetulan ada pembeli, si Bapak berdiri untuk melayani.

"Kamu udah selesai?"

"Iya."

"Oke. Aku ke situ."

"Nggak. Aku aja yang ke situ. Kamu di sebelah mana?"

"Tenda biru sebelah kanan hotel."

"Aku jalan ke situ."

Ardan terhenyak berdiri. Baru ingat kalau dia tadi harus melompat pagar untuk sampai ke sini. Begitu dia berdiri di dekat tenda dan menyaksikan Agni yang memanjat pagar tanpa sungkan, takjub sendiri dia. Agni pakai celana panjang kok jadi aman.

"Mau dipesenin apa?"

"Es teh."

Tapi baru saja Ardan memesankan es teh ke Bapak Penjual, Agni sudah lebih dulu menyesap kopi milik Ardan.

"Gimana tadi?"

"Lancar."

"Hasilnya gimana?"

"Kalau bisa lanjut ke interview kedua, dikabarin lewat email."

Si Bapak mengantarkan segelas es teh sambil mesem-mesem. Ketika Agni bilang terima kasih, si Bapak malah semakin lebar senyumnya. Agni jadi bingung.

"Aku ngobrol sama si Bapak tadi. Lumayan banyak."

"Oh." Lalu Agni memberi senyum ke si Bapak yang tampak ramah.

"Aduh, si Eneng, beruntung punya pacar kayak si Mas ini."

"Nggak lagi, Pak. Dia nih yang beruntung punya saya." Agni berusaha terdengar congkak demi menyembunyikan rona merah di pipinya yang tiba-tiba terasa hangat.

"Oh ya?"

"Bapak mau dengar cerita gimana dia jatuh bangun ngejar saya?"

Ardan mendesis ke Agni. "Plis ya, jangan ngarang kamu. Nggak lucu. Bapak ini baik dan polos. Bisa-bisa beliau beneran percaya karangan bebas kamu."

Tapi Agni mencibir lewat gestur bibir yang ditekuk. "Ngarang bebas gimana?" Beralih ke si Bapak yang menunggu. "Nih, Pak, laki-laki ini ngejar saya selama setahun. Tergila-gila kayaknya sama saya. Tapi waktu itu saya males nanggepin. Muka-muka ganteng kayak dia pasti buaya. Ceweknya di mana-mana."

Percuma Ardan protes. Mimik wajahnya sudah begini; ya udah terserah kamu bicara apa, suka-suka kamu deh.

Si Bapak tampak tertarik dan karangan bebas lainnya meluncur dari bibir Agni dengan mudah. Tentu saja Agni cerita semua momen-momen laknat mereka selama setahun belakangan yang merupakan fakta.

Tapi bagi orang lain yang tidak melihat langsung, dengan mudah percaya kalau Ardan memang sengaja cari ribut dengan Agni agar bisa mencuri perhatian perempuan itu. Ayolah, nggak sepenuhnya begitu. Mau membela diri tapi percuma. Ini cuma soal sudut pandang saja.

Di sela obrolan yang semakin asyik dan es teh yang belum tersentuh, Ardan menangkap satu hal. Mungkin saja, jika dirinya tidak salah membaca situasi, Agni sedang merasakan bertemu dengan sosok Ayah yang lama hilang dari hidupnya.

Melihat gelak tawa yang sesekali terselip di antara cerita menggebu atau kerlingan mata yang sulit berbohong jika Agni saat ini merasa senyaman itu bicara dengan orang asing, membuat Ardan tidak berani menyela percakapan.

Dia pamit untuk mengambil mobil. Agni masih di sana, giliran si Bapak yang cerita soal anak-anaknya—sama seperti yang Ardan dengar tadi.

"Kamu kalau kerja di sana, pasti deh nongkrongnya di warung tadi."

"Iya deh. Bener. Bapaknya asyik banget. Ini aja kayak nggak rela pulang. Masih mau cerita."

"Kamu ini jutek, tapi ke Bapak tadi kok nggak? Padahal baru pertama ketemu langsung kayak jalan tol ceritanya. Bebas hambatan."

"Kan kelihatan dari mukanya, Dan. Mana yang ramah beneran mana yang diramah-ramahin."

"Hmm, ya ya aku masuk yang kedua. Makanya aku setahunan dijutekin dijudesin digalakin."

Agni mau menyangkal tapi itu memang kenyataan.

"Kamu baik kok, Dan."

"Udah gini baru bilang baik."

"Kamu ramah."

"Udah dari dulu."

"Kamu ganteng."

"Udah dibilang, dari lahir."

"Kamu apa ya?" Sampai bingung sendiri. "Aku sayang pokoknya."

Mendecih. "Masih lebih besar sayangku ke kamu tuh."

Tapi tak pelak, senyum terbit di sudut bibir Ardan.

"Sebagai rasa terima kasih karena udah nganterin, mau aku traktir apa?"

"Dibayar pake senyum kamu aja."

"Dih, murah banget." Agni toh menanggapi. "Sekarang?"

"Jangan sekarang dong. Aku lagi fokus nyetir."

"Oke."

"Sama cium di pipi juga boleh."

"Mulai ngelunjak."

"Di bibir?"

"Mau? Tapi emang kamu berani?"

"Nggak. Makasih." Meringis hingga hidungnya berkerut gemas. "Di pipi aja dulu."

***

Tyda menyangka cerita ini bisa nyentuh chapter 50🤣 isinya padahal bagong bagongan doang tp sayang kalo dibikin ending cepet2. Jadi ya maklumin kalau misal ceritanya muter2 doang😂

Terima kasih buat kalian yg gak bosen2nya ngasih dukungan ya🤗

Btw, buat yg mau mampir ke Karyakarsa, chapter 49 ada extended version yaa~ (yg udah baca, blm ada extended terbaru huhu)

Atau kamu yg mau baca flashback Ardan-Agni setahun belakangan, bisa baca di Karyakarsa juga. Ada 10 chapter 🙌

See u tahun depan ya. Selamat berkumpul dgn keluarga tercinta ❤

Kamis/30.12.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top