Bagian Enambelas

Warning: bab ini dan bab berikutnya minim hal2 yg membagongkan, tapi tetep baca dgn hati yg ringan ya 🤣 🙌

————————

Acara dimulai. Delia dan suami melewati pintu utama bersama dengan iring-iringan pengantin. Ardan masih menempel ke Mama. Didit yang tidak suka keramaian berisi orang tidak dikenal, memilih menempel di kaki abangnya.

Rombongan anak kos? Mereka berdiri di belakang Ardan. Sibuk cekikikan sambil mondar-mandir menyicipi cemilan.

Segala prosesi selesai dan pengantin sudah naik ke pelaminan. Menunggu tamu untuk naik, menyalami dan memberi selamat. Ardan sebenarnya sudah punya firasat buruk ketika Geng Rusuh semangat menyenggol tamu lain agar bisa berdiri di depan Ardan.

Emil dengan baik menyuarakan pikiran Ardan. "Dan, tuh, siap-siap. Tangkep kalau mereka kejengkang."

Ardan mendekat ke bahu Emil. Merapatkan gigi saat berkata, "Gue udah buang jauh-jauh pikiran itu dan lo malah ngingetin. Makasih."

"Gue nggak bisa gantiin soalnya. Pawang gue siaga di sebelah. Kalau mau pulang kuping tetap lengkap, nggak boleh meleng ini." Emil balas berbisik.

Ardan pasrah dengan apa yang akan terjadi. Syukur-syukur apa yang dia pikirkan tidak jadi kenyataan. Dia bernapas lega saat Geng Rusuh sudah naik dengan selamat ke panggung tanpa drama apa pun. Di belakang mereka mengikuti Emil dan Rena.

Tiba giliran Ardan. Tapi baru melangkahkan satu kaki di anak tangga, seseorang menyerobot, membuat Ardan sedikit oleng karena anak tangga yang tidak terlalu lebar itu. Sungguh memalukan kalau sampai Ardan nyungsep.

Berterima kasih pada Agni menangkap lengan Ardan tepat waktu. Ardan hendak akan mengucap terima kasih saat wajah Agni menyeringai. "Impas, 'kan?"

Ardan mengdengkus kesal, hendak mengomel. Tapi dengan cepat sadar tempat. Impas katanya? Hei, perempuan ini sengaja menyenggol lengannya demi bisa mengatakan impas? Sinting.

"Biasa aja matanya. Ngatain gue ya?" Agni terlihat menahan senyum kemenangan. "Duluan deh, duluan."

Menepuk lengan jas—yang tadi dipegang Agni—Ardan melangkah lebih dulu.

"Selamat, Delia." Ardan hanya akan menyalami sewajarnya meski sempat terpana dengan kecantikan Delia. Niatnya sudah baik dan lurus, tapi Delia justru memeluknya.

Eh, tunggu. Kenapa Ardan terima saja dipeluk begini?

"Makasih banget, Dan. Lo orang yang berjasa saat itu, tempat curhat paling baik dan aman."

"I-iya, tahu. Tapi gue takut dibacok laki lo nih."

"Bentar. Masih kangen gila lo."

"Kangen sih kangen. Sayang nih nyawa gue."

Delia belum juga melepas.

"Del, ntar orang ngira gue mantan lo."

Akhirnya Delia melepas pelukan. Bukan karena kalimat Ardan barusan, tapi Agni yang menepuk lengan Delia. "Lo nggak kangen sama gue?"

"AGNI!!!"

Pelukan segera berpindah dan Ardan rasanya lega sekali. Dia hampir sesak napas karena terus-terusan menghidu bunga kantil, ditambah dengan sensasi dipeluk istri orang di hadapan banyak mata dan suami sah. Nyari mati namanya.

Selepas acara menyalami, mereka foto bersama. Beberapa gaya. Dan tentu, Ardan langsung ngacir ke sebelah Mama sebelum Geng Rusuh berebut berdiri di sebelahnya.

Turun dari panggung, rombongan anak kos menuju stand makanan. Tadi mereka masih nyemil ringan, demi mempertahankan lipstik agar ketika foto masih cetar. Begitu selesai, langsung kalap.

Ardan menyusul Emil ke stand sop buah. Stand makanan berat sedang penuh. Ardan malas antre.

"Anjir lo ya. Segala peluk Delia di depan suami sama banyak orang. Nyokap lo mana motoin pula."

"Delia yang meluk, bukan gue."

Emil menaikkan sebelah alis. "Enak ya meluk istri orang?"

"Enak." Ardan menjawab sekenanya, malas diledek.

"Sekali buaya tetep buaya." Terdengar komentar sinis dari belakang mereka. Agni berdiri di sana bersama Ayuk. Ikut mengantre.

Ardan menoleh. "Lo ada masalah apa sih sama gue?"

"Oh iya, gue mesti hati-hati ngomongnya. Tenang aja, gue masih inget nebeng di mobil siapa."

Ayuk geleng-geleng saja. "Kalian ini, di mana-mana nggak pernah akur. Awas aja sampai nikah ya."

"Gue yakin mereka bakal nikah nih, Yuk." Emil mendukung kalimat Ayuk. "Nanti ketawain aja kalau beneran kejadian."

Baik Ardan atau Agni mendadak senewen sendiri. Ardan maju setelah tamu di depannya sudah selesai mengambil sop buah. Sementara Agni mengedarkan pandangan ke sekitar.

Ayuk menyenggol lengannya. "Mendadak bete? Takut banget ya nikah beneran sama—eh, buat aku, Dan?" Kalimatnya teralih ketika Ardan tahu-tahu menyodorkan semangkuk kecil sop buah ke Ayuk.

"Iya, buat Mbak dulu aja."

"Wah, makasih."

Agni melirik dengan ekor matanya. Dia bukannya berharap akan disodori mangkuk sop buah juga. Tapi harusnya iya, 'kan? Selama ini Ardan tidak pernah pilih-pilih mau baik ke siapa. Oke, barusan benak Agni memang memuji lelaki itu. Tidak apa selama tidak disuarakan. Bisa besar kepala buaya satu ini.

Beberapa saat, Ardan tidak lagi berbalik. Dia meneruskan langkah, diikuti oleh Emil, menjauh dari stand sop buah.

Ayuk yang menyadari perubahan ekspresi Agni, berpura-pura menyeka bibir, padahal dia sedang terkikik. "Yaah, jangan kecewa gitu dong, Ni. Nih, punyaku, mau? Baru berkurang sesendok. Yang penting kan yang ambilin Ar—"

"Siapa juga yang kece—" Agni mengembuskan napas, melangkah maju. "Aku bisa ambil sendiri."

Acara tiba di sesi lempar bunga. Para perempuan merapat ke depan pelaminan. Antusias sekali. Sementara sang MC sengaja mengulur, membuat suasana makin riuh.

"Dan, ikutan gih. Siapa tahu dapet."

Ardan menatap Mama sebentar lalu kembali ke kerumunan yang isinya perempuan semua. Bergidik. "Nggak ah. Aku takut salah senggol, Ma."

Mana menepuk lengan Ardan. "Tuh, anak-anak kos aja pada merapat semua. Kamu sana ikutan, sekalian jagain kalau mereka bikin ulah."

Ardan menurut, mendekat dalam jarak aman. Dia semakin jeri jika membayangkan akan ikut berebut lemparan bunga itu.

"Sono ikutan." Emil muncul di sebelahnya sambil menggendong Bulan. "Musuh lo aja ikut."

Mata Ardan segera mencari dan dengan cepat menemukan Agni di antara kerumunan. Bibirnya membentuk seringai. "Gue kira dia beda. Ikutan juga ternyata."

"Nggak ada salahnya juga."

Akhirnya bunga dilempar setelah mendapat komando dari sang MC. Bunga melambung ke udara sebelum jatuh di satu titik dan langsung tertangkap oleh satu tangan.

Dea.

"Wah, seru nih." Emil berkata girang.

Kebahagiaan Dea segera lenyap saat tangannya yang teracung tinggi disambar oleh tangan-tangan lainnya. Bunga cantik itu terancam rusak. Dea berusaha bertahan tapi sia-sia. Ajeng, Puput, Jessy dan Eriska tidak semudah itu menyerah. Kalau Sasa sudah menyingkir, tidak mau mempermalukan diri sendiri.

Sang MC semakin mengompori. "Waduh, Girls, jiwa kompetisi menikah kalian besar juga ya. Baik, kita lihat siapa pemenang terakhirnya ya."

Ardan bersedekap, matanya mengawasi. Tidak ada yang berniat melerai, karena kerusuhan ini menghibur. Tamu-tamu justru semakin mendekat, bertepuk tangan, bersorak memberi semangat.

Bunga sudah berpindah ke tangan Jessy, hanya sebentar, sebelum terampas oleh Ajeng. Sedetik kemudian berhasil berpindah ke tangan Eriska. Dea menekuk wajah nelangsa. Tersingkirkan.

Ketika gema tawa semakin mengganggu, Ardan akhirnya mengurai dekapan tangan. Menghampiri mereka. Satu tangannya terangkat tinggi, dengan mudah mengambil buket bunga yang nyaris rusak akibat kena tarik.

Jessy, Eriska, Ajeng dan Puput seketika membeku saat Ardan tiba-tiba di sana dan mengambil bunga dari mereka.

"Malu-maluin," kata Ardan pelan, menatap mereka satu per satu. Tidak tajam, pun tanpa raut marah. Tapi cukup untuk membuat keempatnya tertohok. "Kalian suka jadi bahan tertawaan banyak orang? Dea yang dapet. Udah. Kalian kayak anak kecil."

Mereka cepat-cepat membela diri.

"Nggak gitu, Bang."

"Tapi, Bang—"

"Dea belum siap nikah, Bang, aku yang udah."

"Bang, aku wanita dewasa, bukan anak kecil."

Ardan tidak mendengarkan. Menyerahkan buket bunga itu ke Dea. Selesai. Ardan juga langsung pergi dari sana.

***


Karena satu bab kepanjangan, aku potong jadi duaaaaa~

Minggu/14.03.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top