Bagian Enam
"Mbak Agni, ayok bareng kita!"
Tentu saja itu mulut Jingga. Ardan baru mengecek ponsel sebentar ketika Jingga membuka jendela dan berteriak.
Ardan hanya melirik. Merasa diabaikan, Jingga memilih turun demi membujuk Agni agar mau berangkat dengan mereka. Hanya hitungan detik, Jingga berhasil menyeret Agni mendekat ke mobil. Ardan baru menoleh saat merasa ditatap. Lalu dia hanya memberi anggukan. Tatapan itu Ardan artikan sebagai bentuk pertanyaan: emang gue boleh bareng?
"Tunggu, bentar." Jingga menyergah Agni yang hendak membuka pintu belakang. "Di belakang ada prakarya aku, Mbak mending duduk di depan."
"Aku bisa pangku prakarya kamu."
"Nggak."
"Aku janji bakal hati-hati."
"Pokoknya nggak! Bang Ardan pegang aja aku marahin. Udah, pokoknya Mbak di depan." Lalu mendorong Agni hingga terduduk di kursi depan.
"Udahlah, Ni, nurut aja. Gue pusing denger suara cempreng dia. Lebih cepat dia diam, lebih baik." Ardan tidak sengaja menatap di sudut bibir Agni. Dia ingin bertanya soal salep tapi urung.
Ketika mobil melaju. "Gue turun di halte depan aja."
"Lo kerja di mana pagi ini?"
Agni menyebut salah satu hotel ternama.
"Itu mah deket dari sekolahku, Mbak." Jingga menyahut. "Udah deh, bareng aja. Duduk beberapa menit di mobil yang sama bareng Bang Ardan, nggak bakal bisulan."
Bukan bisulan masalahnya. Agni mengembuskan napas pelan.
Didit yang pertama turun sesuai urutan dekatnya sekolah. Lalu disusul Jingga yang melambai heboh pada Agni. Ardan jadi curiga setelah melihat bagaimana Jingga begitu antusias dengan Agni, apalagi dengan panggilan 'calon kakak ipar' yang membuat Ardan geli mendengarnya.
Maksudnya, Jingga ini tergolong menyebalkan untuk semua orang, sulit juga untuk benar-benar respek ke orang lain. Tapi lihat, kepada Agni, Jingga seperti termehek-mehek.
"Jingga suka tuh sama lo." Ardan menyuarakan isi pikiran.
Dibalas sangat santai. "Mungkin dia pengin punya kakak perempuan."
Malas melanjutkan, Ardan memilih diam. Tapi tetap merasa aneh kenapa Jingga bisa sesuka itu dengan Agni. Padahal orangnya jutek sekali.
***
Selepas isya. Keributan jilid dua.
Kali ini bukan tikus, melainkan kucing tetangga yang mampir ke kos. Kalau sendirian tidak apa, ini membawa anakan ular kobra!
Jeritan lebih heboh dari kemarin. Penghuni lantai dua yang tidak lihat ularnya, ikutan menjerit.
Ardan masih mengenakan sarung, langsung lari dan sigap mengambil sapu di pojokan teras. Ana yang sejak tadi asyik mendongak melihat cicak di langit-langit teras, refleks mengikuti sang babu.
Emil yang baru pulang dari pabrik, urung berbelok ke rumah dan terbirit menghampiri Ardan yang berlari ke arah kos. Dia suka keributan, apalagi jika berasal dari kos milik Ardan. Jackpot tidak boleh dilewatkan!
Namun, selangkah sebelum gerbang, Emil spontan menjerit dan lompat-lompat. Dua kucing beda kasta, si Burik dan Anaconda—bukan itu masalahnya bukaaan! Tapi dua kucing itu sedang menyepak-nyepak anakan ular bak bola di lapangan. Emil tidak perlu berjongkok untuk bisa mengenali jenis ular apa itu. Tidak tahu mau lari ke mana, akhirnya dia nemplok di gerbang sambil gemetaran.
"D-daaaan, lo pelihara kobra sejak kapan?!"
Ardan menghela napas. Anak ular itu sempat menyelinap di saluran air depan kamar. Nyaris masuk ke salah satu kamar di lantai satu. Kebetulan banyak penghuni sudah pulang. Jadilah keributan lebih besar ketimbang perkara tikus kemarin. Ardan juga gentar meski ular itu masih kecil. Dia terus mengamati Burik dan Ana yang mengejar si ular. Berlari menjauh.
"Itu kalau balik lagi gimana?"
"Mbak, aku tidur di atas ya!"
"Burik tak tahu diri. Ke mana dia pas kemarin ada tikus di sini?!"
"Bang Ardan, tidur di kos dong!"
"Iya, Bang. Tidur di sofa depan TV. Empuk kok sofanya. Nyaman buat tidur."
Kembali sadar apa yang ada di belakangnya, Ardan menepuk lengan Emil agar menyingkir dari gerbang dan mengabaikan kalimat rajukan yang lebih mirip godaan. Pusing juga kalau ditanggapi, jadi pilih diabaikan.
Begitu Emil menyingkir, Ardan segera menarik gerbang hingga menutup. Dia juga tidak menoleh sedikit pun.
Emil melihat Ardan yang mengembalikan sapu, lalu menggeser pintu besi toko, mengambil sebungkus garam dan kembali ke gerbang di mana Emil masih membisu.
"Udah gitu doang?"
"Lo sendiri aja mau ngompol, sempet-sempetnya mau cuci mata." Sambil tangannya menabur garam di sekitaran gerbang.
Meredakan jantungnya yang menggila, Emil melihat rumah Ardan yang tampak sepi. "Juragan sama anak-anaknya, ke mana?"
"Main ke pasar malam di komplek samping."
Ardan tersenyum ketika Ana sudah kembali dan mengeong lirih. Hidungnya mengendus ke garam yang baru ditabur Ardan.
"Nongkrong nggak?" Emil bersiap pulang. Gerah. Ingin mandi.
Begitu membuang bungkus garam ke tong sampah, Ardan mencuci tangan di keran, mengelap tangan di kaus hitamnya, kemudian merunduk untuk mengambil Ana. Menimang-nimang. "Gas."
Emil ngacir pulang. Ardan langsung duduk di bangku bawah pohon. Masih mengenakan sarung. Ana tampak terkantuk-kantuk di pangkuannya, apalagi sang babu menggaruk kepalanya sejak tadi, membuatnya merem melek nyaman.
Dari belokan gang, Mama beserta rombongan sudah terlihat. Didit berlarian lebih dulu sambil mengayun plastik putih. Jingga berjalan paling belakang, nyengir lebar menatap ponsel. Mama berjalan santai, merapatkan jaket, di sebelahnya Mbak Cici membawa dua plastik putih.
Didit menghampiri, duduk di sebelah Ardan dan meletakkan plastik berisi jagung bakar. Lumayan banyak isinya. Sekitar enam.
Ardan melongokkan kepala. "Wih, buat Abang nih?"
Didit mengangguk.
"Makasih, Didit." Ardan tersenyum. Sengaja, mumpung Didit masih kecil, dia ingin mengajari hal-hal sepele. Sebelum telanjur menjadi Jingga yang lumayan rebel.
"Sama-sama, Abang."
"Mama beli sate, Dan. Yuk makan dulu."
"Masih kenyang nih, Ma." Nyengir. "Aku sisain aja."
Mama mengangguk, mengulurkan tangan ke Didit yang langsung disambut. Sementara Jingga benar-benar tertinggal di belakang. Ardan menunggu sampai adiknya itu sampai di depannya.
"Jingga."
Berhenti tapi tidak menoleh. "Hm?"
"Kartu atm Abang mana?"
Kali ini mendongak dan menoleh. "Hah?"
Ardan tidak akan mengungkit tentang sms-banking yang masuk ke ponselnya secara beruntun tadi siang. Dia akan tunggu adiknya yang menjelaskan sendiri.
"Oh, kartu atm." Jingga membuka casing ponsel, mengambil kartu itu dari sana. Dia mendekat lalu mengulurkannya ke Ardan.
Jingga sadar dengan arti tatapan kakaknya meski hanya sekilas. Bukan marah. Tapi justru lebih lembut dari biasanya. Membuat Jingga mau tak mau tersentil di sudut hati. Tanpa bicara apa-apa, dia memilih pergi dari sana.
Saiful bergabung lebih dulu. Membawa kartu remi.
"Jagung bakar, Pul. Mumpung masih anget," tawarnya.
"Tahu aja gue laper, Bang."
"Emak nggak masak?"
"Masak tapi lauknya lagi nggak cocok."
Ardan hanya tersenyum. Saiful menyomot satu jagung bakar, duduk melipat satu kaki. Edo datang tak lama setelahnya. Terakhir, Emil yang mendekat sambil menggendong Bulan di bagian depan.
"Ck." Ardan sontak mendecak. "Anak lo ngapain diajak sih? Banyak nyamuk, Mil."
Emil mencebik. "Mana nyamuk?"
Edo baru saja menepuk lengannya sendiri. Menjawab pertanyaan congkak Emil. Tidak perlu menunggu, Emil langsung balik badan dan muncul kembali tanpa Bulan.
"Apa nih? Bagi." Emil duduk di dekat Ardan, mendorong Edo. Yang didorong balas menabok bokong Emil.
"Lo denger gosip di warung Mpok Jaenab belum?" Kentara jika mengajukan pertanyaan itu ke Ardan.
Saiful menimpali. "Bapak-bapak punya jokes baru?"
"Gosip." Emil menoleh, menggertakkan gigi. "Gosip, bukan jokes."
"Apa?"
"Lo kemarin malem basah-basahan sama Agni?"
Saiful dan Edo tersedak jagung. Ardan melebarkan mata sebelum terbatuk.
Ardan sampai kehabisan kata-kata. Kenapa susunan kalimatnya begitu kurangajar. Ya memang betul sih mereka kehujanan. Tapi basah-basahan?
"Gue gampar ya, Mil."
"Eh, sumpah ya. Bini gue yang bilang barusan. Kalimatnya persis kayak gitu. Nggak mungkinlah bini gue mlesetin. Secara dia sama lo, begini." Emil mengaitkan dua telunjuknya, yang berarti klop.
"Klarifikasi, Bang, klarifikasi." Edo penasaran.
Ardan menghela napas. Bagian mana yang dijelaskan? "Gue cuma jemput dia kok. Kayak—"
Emil mengangkat tangan kirinya yang tidak memegang jagung. Menginterupsi. "Ini sejarah baru. Agni sudi dijemput sama lo."
"Tapi dia telepon nyokap gue kok. Minta jemput. Ya intinya begitu."
"Minta dijemput gara-gara hujan?" Emil menyipit ragu. "Soalnya kan dia mau pulang larut kayak apa, nggak pernah tuh minta lo jemput. Ini cuma hujan, Bray. Ya kali dia takut hujan."
Ardan mulai kesal. "Mana gue tahu, siapa tahu dia emang takut hujan. Bukan urusan gue juga dia mau takut sama apa, terserah."
Emil makin menyebalkan. "Terus kenapa kalian nggak pakai mantol dan basah-basahan?"
"Eh, hai, Mbak Agni." Saiful menyapa seseorang yang hendak lewat. Membuat dua orang yang berdebat itu menoleh dan terperanjat.
"Eh, Agni. Panjang umur lo, Ni. Baru juga Ardan gosipin lo." Emil cengengesan.
Edo menggoyangkan tangan, membela Ardan. "Jangan percaya, Mbak. Bang Emil yang mulai duluan. Kepo nih dia. Mending tanya langsung deh, Bang."
"Siapa yang bilang—" Emil sangat ingin memiting Edo yang mulutnya bocor.
Agni mengabaikan tiga orang itu dan menatap Ardan yang juga sedang menatapnya.
"Kalau gue basah-basahan sama Ardan, emang kenapa?" Agni beralih menatap Emil dengan tenang. "Ada yang merasa dirugikan?"
Emil ternganga sejadi-jadinya. Begitu juga dengan Saiful dan Edo, yang sepertinya lebih takjub karena Agni terlihat cool di mata mereka.
"Ngomong dipikir dulu kali, Ni." Ardan keberatan, tapi nadanya tidak membentak. "Gue nggak nyaman dengernya."
Agni berlalu. Tidak merespons. Juga sama sekali tidak merasa bersalah dengan kalimatnya tadi.
Begitu Agni sudah masuk ke kos, Emil mencolek pelan lengan Ardan. "Dan, lo lagi kenapa sih? Suntuk? Tumben amat tersinggung."
Ana menguap lebar dan meregangkan keempat kakinya. Ardan lekas berdiri. Memakai sendalnya. "Ana ngantuk."
Saking gemasnya Emil. "Astaga! Dia lo lepas juga pulang sendiri nyari kandang. Sana kelonin sana!"
***
Selama punya kucing, Alhamdulillah belum pernah dikasih ular. Jangan sampeeee~~
Aku pernah dikasih belalang, cicak, tikus, burung, tulang 😌
Jum'at, 05.02.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top