Bagian Empatpuluh Tujuh
"Pada ngapain pagi-pagi?"
Jalan Agni terhalang oleh manusia-manusia yang mengintip dari celah gerbang. Ini bukan kejadian langka, dia tidak perlu bertanya seperti barusan untuk tahu apa yang mereka lakukan. Sudah jelas mereka sedang mengintip siapa. Jika biasanya Agni tidak peduli, sekarang rasanya dia ingin membuat mereka menyingkir dari gerbang dengan cara apa pun—kalau bisa dengan cara paling menyakitkan biar kapok.
Sasa menoleh di saat yang lain masih mengabaikan. Bertanya polos. "Kak Agni mau ikut ngintip?"
Ngapain dia ikut ngintip kalau bisa lebih dari itu? Agni maju, menyibak tubuh Dea dan Eriska, cuek menggeser gerbang tanpa bisa dicegah oleh Geng Rusuh. Yang pertama dia dapat adalah Ardan yang menoleh padanya. Sebelum lelaki itu menyapa, Agni sudah menyapa lebih dulu tanpa suara. "Pagiiiii." Diakhiri dengan senyum manis.
Ardan balas tersenyum lebar.
"ANJIRRRR, GUE DISENYUMIN BANG ARDAN!!!"
Agni langsung memutar tubuh, mengubah ekspresinya dengan cepat, menatap tajam Ajeng yang berdiri di belakangnya—di ambang gerbang yang terbuka. Yang ditatap tidak merasa, sibuk meleleh karena menyangka dapat senyuman Ardan.
Dia cemburu lagi? Tidak, tidak. Agni akan melompati fase itu dan memilih menjadi posesif. Melanggar prinsip? Yang ini demi kebaikan hatinya biar tenang. Jika tidak ada Geng Rusuh, dia tidak akan sebegininya. Masalahnya perempuan-perempuan centil ini pantang mundur sebelum Ardan benar-benar punya istri.
Meletakkan satu tangan di sisi gerbang, Agni sengaja menghalangi pandangan Geng Rusuh yang dihadiahi dengan tatapan sengit dari mereka. Wajah-wajah protes karena Agni merusak acara mereka dalam rangka mencari asupan vitamin.
"Nggak kerja kalian?" Nada suaranya agak ketus, berharap mereka terusik dan rela meninggalkan gerbang secara sukarela.
Namun, mereka tetap diam di tempat. Beberapa tersenyum mengejek Agni—seakan tahu jika Agni cemburu. Memang sekentara itu?
Sebuah suara terdengar tepat di atas lengan Agni yang memegang sisi gerbang. "Apa menariknya sih ngintipin gue cuci mobil?"
Agni sedikit terkesiap lalu berdeham. Menutupi keterkejutannya begitu sadar Ardan berdiri di dekatnya.
"Abang mau ngapain aja menarik kok, Bang."
Dehaman Agni berubah kencang. Tidak memberi kesempatan. "Gue mau tutup gerbangnya, awas tangan kalian." Tanpa mengindahkan protes Geng Rusuh, Agni menutup paksa gerbang. Demi menahan agar tidak dibuka lagi, Agni cepat-cepat menyandarkan punggung di muka gerbang.
Ardan geleng-geleng melihat kelakuan para anak kosnya. Termasuk kelakuan partner HTS-nya ini. Biasanya kalau Geng Rusuh mengintipnya mencuci mobil, Agni tidak pernah merecoki. Sekarang malah ikut campur tangan. Ardan senang-senang saja. Apalagi cukup menyenangkan melihat kilatan cemburu di mata Agni.
Ketika mendengar langkah kaki menjauh di belakangnya, memastikan mereka sudah pergi semua, Agni menyipitkan mata. "Apa? Seneng lo jadi pusat perhatian?"
Ardan mengangkat bahu, berbalik kembali ke mobilnya. "Siapa yang nggak suka?"
"Udah nyuci aja. Nggak usah nanggepin mereka."
"Iya, Yang."
"Ardan!"
"Iya, Sayang."
Agni ternganga. Panik melihat sekitar dan menilik ke celah gerbang di belakangnya. Bagaimana kalau ada yang dengar?!
Sebaliknya, Ardan justru terlihat santai. "Iya. Nih gue lanjut nyuci. Lo jagain di situ, begitu mereka ngintip lagi, banting aja. Lo kan bisa taekwondo."
"Bisa nggak, nyucinya ke carwash aja? Mohon maap kalau lupa, anda kan kaya, Bang."
"Ini healing, tahu."
Agni mencebikkan bibir tak terima. "Healing kok tiap hari!"
"Nggak tiap hari. Coba tanya ke Geng Rusuh. Mereka lebih tahu jadwal gue nyuci mobil kapan aja."
"Ngeselin!"
"Udah dibilangin kemarin." Terkekeh-kekeh.
"Diem!"
***
KAMI FAKIR BAHAGIA
Dea: gw acungin jempol sama refleknya ajeng barusan, good sekali👍
Jessi: khodamnya keluar
Ajeng: hah?
Eriska: biar agni kelabakan mampos🤣
Ajeng: apa sih ga ngerti
Dea: emg pinter lo manipulasi keadaan, ngaku2 disenyumin bang ardan sampe histeris
Ajeng: gw emang disenyumin bang ardan
Jessi: HALU
Eriska: ngahahahahhaha bangun jeng
Puput: saking desperatenya si ajeng
Dea: orang bang ardan senyum ke agni, pede gila anda @Ajeng 😭👋
Ajeng: 😭😭💔💔💔💔
Sasa: aku jadi pengin bolos aja😔
Dea: pait tp itu kenyataannya, agni yg disenyumin😫
Eriska: kita masa mau gini terus? 😌
Jessi: selama janur kuning blm melengkung, bang ardan tetap milik bersama
Puput: udahlah kayak biasanya aja kita
Puput: toh kalo beneran pacaran mereka blm berani go public, kesempatan masih terbuka lebar
Jessi: trueee
Dea: apa kita ke dukun aja?
Eriska: cape deh😌
Sasa: dosa kak dosaaaa, kurang apa dosa yg udah kaka punya?
Dea: kan dosanya ditanggung berenam, dikit nanti jadinya😬
Dea: jadi bertujuh kalo dibagi sama dukunnya
Dea: gimana?
Dea: gais?
Dea: helooooouuuuw
Dea: it's me~~~~
Dea sedang mengetik...
Eriska telah mengeluarkan Dea.
***
Pagi berikutnya, giliran Ardan yang bertingkah aneh. Dia pagi-pagi sudah menggotong galon, memasuki gerbang kos, membalas sapaan heran anak-anak kos, lalu naik ke lantai dua.
"Mbak, bangun. Paket nih. Paket!" Ardan sempat melirik Geng Rusuh yang mendadak berkumpul di dapur demi bisa mencuri lihat apa tujuan Ardan datang ke sini. Dia terus mengetuk pintu di depannya sampai mendapat respons.
"Paket apaan?! Jangan ngadi-ngadi!" Pintu terkuak, memunculkan wajah bantal Agni dan rambut yang mencuat sana-sini tapi tetap cantik. Begitu sadar siapa yang datang, matanya membuka lebar. "Ngapain lo?!"
Ardan segera tahu jika ini sungguhan Agni yang biasanya. Mungkin juga kesal karena tidur nyenyaknya terganggu. Tidak peduli jika ini Ardan sekali pun, tetap kena semprot. Ya gimana lagi, Ardan kangen. Mereka terakhir ketemu kemarin pagi. Untuk segera bisa melihat Agni, cuma terlintas cara konyol ini.
"Anter galon."
"Gue nggak pesen galon."
Ardan mendesis. "Udah. Iyain aja."
"Oh, bener. Gue lupa." Agni segera paham jika banyak mata dan telinga yang mengawasi.
"Bilang suruh pasangin juga," desisnya lagi.
Suaranya agak meninggi. "Lo pasangin sekalian deh. Lagi males gue."
Agni membuka pintu lebih lebar. Dia mencoba kooperatif biar bisa cepat lanjut tidur lagi. Ardan masuk, menaruh galon di dekat dispenser.
Galon yang terpasang masih terisi separuh. Agni hanya bersedekap tangan, menunggu kejelasan. "Apa nih maksudnya? Kesambet apa?"
"Mulai sekarang jangan angkat galon sendiri, nyuruh gue aja. Termasuk gas. Suruh gue anter. Suruh gue pasangin. Kalau perlu suruh gue nyalain kompornya. Suruh gue nyicipin tiap lo bikin kreasi masakan. Pokoknya hal-hal remeh selagi gue ada, suruh aja."
Agni mengacak rambut. Menghela napas panjang. "Ya ampun, biar apa? Lo cukup jadi babunya Ana aja."
Merendahkan suaranya. "Biar punya alasan buat ketemulah."
Jangan dikira Agni akan mesem-mesem salah tingkah. Ini bukan waktu yang tepat, dia masih mengantuk. Ardan hanya cari ribut kalau mengganggu tidurnya demi air galon yang belum dia butuhkan.
"Iya. Oke. Silakan pulang ye, Bang. Gue mau lanjut tidur."
"Begadang lagi lo? Cuma demi drama Korea? Gantengan juga gue ke mana-mana timbang mereka."
Agni mendorong bahu Ardan hingga ke pintu sebelum lelaki itu merepet lebih panjang. Tapi belum sempurna kakinya menginjak lantai luar, Ardan merangsek masuk lagi. "Galonnya miring tuh!"
Tidak sempat mencerna apa yang terjadi, Agni yang menoleh ke galon di atas dispenser terkesiap saat Ardan mencium sebelah pipinya.
Agni mendadak lupa caranya bernapas. Dapat dirasakan jika pipinya memanas dan dia masih menatap bodoh galon yang baik-baik saja. Tidak berani melihat ke Ardan.
"Masuk siang ya? Semangat kerjanya. Nanti gue nggak jaga toko, jadi nggak bisa lihat lo berangkat kerja."
"Emang mau ke mana?"
"Ada urusan."
Agni mau bertanya lagi tapi ragu. Ardan kemudian berlalu. Melewati Geng Rusuh yang kelabakan pura-pura mencari kesibukan di dapur, lalu bertemu Sasa begitu tiba di lantai satu.
"Abang dari mana?" Ada handuk yang nangkring di rambutnya yang basah.
"Anter galon."
"Buat siapa?"
"Agni."
"Hah? Kok bisa? Kak Agni kan biasanya gotong galon sendiri. Mana ada cerita Abang nganterin galon? Ada meteor jatuh bawa alien semalem?" Sasa melantur ke mana-mana.
Apa sih nih bocah? Makin hari makin random. Ardan jadi ingat bagaimana Sasa menginterogasi soal seafood dioplos bumbu indomie waktu itu. Masih lucu kalau diingat.
"Beneran. Gue nganter galon. Lo tanya deh kakak-kakakan lo sana. Mereka juga lihat."
"Emang Kak Agni lagi nggak bisa ambil sendiri?"
"Agni mungkin sadar udah waktunya modusin gue."
Merajuk gemas. "Jawab serius, Bwanggg."
"Sesekali sebagai Bapak Kos, gue juga pengin manjain dia. Kalian aja bisa gotong galon, tetep minta anterin sejak awal kok. Agni berhak dapat perlakuan yang sama kayak kalian." Kecuali cium pipi ya. Karena yang sudah-sudah, setelah Ardan bantu memasangkan galon anak kos, dia langsung ngibrit kabur.
Sasa mendelik lucu, alih-alih merasa tersinggung. "Besok Abang juga nganterin gas buat lantai dua?"
Menjentikkan jari. "Pinter!"
Pujian yang tidak membuatnya senang. "Kalau mau backstreet, jangan nanggung dong, Bang. Ini mah kayak orang pacaran."
"Pacaran?" Ardan tertawa mengacak rambutnya sendiri. "Buka mata dong, Sa. Pacaran yang gimana yang lo maksud. Gue sama Agni nggak pacaran." Backstreet-nya sih iya.
"Abang nggak boleh nikah cepet-cepet pokoknya."
"Lah?"
"Tungguin aku wisuda."
"Keburu jodoh gue kabur dong, Sa."
"Cuma dua tahun lagi, Bang. Siapa tahu aku lebih menawan nantinya."
Ardan jadi bingung. Jenis kepercayaan diri Sasa ini ingin sekali dia hancurkan, tapi tidak tega. "Ya kalau dua tahun lagi sih, kemungkinan lo akan ketemu yang lebih dari gue. Belum ntar lo kerja, lingkup lo lebih luas lagi. Yang lo temuin bukan jamet-jamet temen kuliah lo."
Menggeleng tegas. "Enggak. Kalau perlu kita nikah sekarang aja."
Ardan terbahak geli. "Jangan naif. Dah, gue balik. Kuliah yang bener."
***
"Inget nggak ulang tahunku tahun lalu?" Ardan melempar topik itu dengan sengaja.
"Yang gagal karena hujan itu?"
"Ingetnya bagian gagal doang ya."
Ardan menjemput Agni pulang kerja. Kejutan karena Ardan tahu-tahu sudah di depan restoran, tidak konfirmasi tentang jam pulang lewat chat. Mungkin lelaki itu asal tebak. Tadi saat Agni tanya katanya baru menunggu beberapa menit.
Di tengah perjalanan, mereka mampir makan di warung tenda khas Lamongan yang cukup ramai. Mengobrol sambil menunggu pesanan mereka datang.
"Nggak. Aku juga inget tanggal ulang tahunmu kok."
"Coba kapan?"
"Lima Maret, 'kan?"
Nyengir senang karena Agni ingat. "Kalau kamu?"
"Enam Maret."
Ardan ternganga takjub. "Heh? Kok bisa?!"
Mengangkat bahu, Agni hanya mengerling clueless. Dia juga sama kagetnya ketika tahu, ternyata tanggal lahir mereka hanya berurutan.
"Bayangin deh kalau kita ulang tahun." Ardan mulai lupa dengan sekitar yang ramai dan hanya fokus ke perempuan di hadapannya.
Agni menopang dagunya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mengetuk-ngetuk meja. "Hm. Oke. Jadi biar adil dirayain jam 00.00 di antara tanggal 5 dan 6? Gitu ya?"
"Bener, bener. Kuenya juga ngirit. Satu bisa buat berdua."
Keduanya terkekeh.
"Temen-temen kita jadi nggak repot ya."
Agni menimpali. "Kado juga bisa satu aja asal mahal."
Mengangguk-angguk, kembali tertawa. Setelah reda, Ardan mengutarakan sesuatu yang membuatnya tiba-tiba mencomot topik soal ulang tahun. "Tahun lalu aku dapet hadiah spesial dari Papa, Ni."
Mata Agni membulat antusias. "Oh ya?"
"Nanti kapan-kapan aku ajak lihat ya."
Tanpa mendesak lebih jauh. "Boleh. Masih rahasia ya?"
"He'em. Dalam waktu dekat kamu pasti tahu kok."
"Ah, oke, aku sabar-sabarin."
Hanya dengan melihat binar bahagia di mata Ardan saat ini, Agni seolah ada di sana, ikut menyaksikan ketika lelaki ini menerima hadiah spesial itu. Mungkin wajahnya terlihat lebih bahagia dari sekarang.
Sementara, tahun lalu, tidak ada hal istimewa di hari ulang tahunnya.
Ardan mengulurkan tangan, menepuk-nepuk punggung tangan Agni yang ada di atas meja. Tersenyum lembut di bawah penerangan lampu tenda. "Bulan besok, kita rayain sama-sama ya."
Tidak ada yang mampu Agni katakan atau jelaskan atas buncah perasaan yang dia rasa. Yang dia tahu, semakin hari semakin dia jatuh hati dengan lelaki ini.
"Apa aku harus berterima kasih ke Sabrina karena udah ninggalin kamu?"
Ardan tidak terkejut saat nama Sabrina disebut. Ekspresinya tampak tenang. "Nggak usah. Terima kasih ke aku aja. Aku nggak jadi pengecut dalam waktu yang lama. Cukup setahun aja."
Mengerling jail. "Jadi sebenarnya udah setahun sukanya?"
Tidak sungkan menjawab. "Yap."
"Dimaklumi. Nyembuhin hati yang dikhianati dua kali pasti susah."
"Betul. Jadi aku mau ngosongin gelasku dulu, baru bisa serius lagi sama perempuan."
Agni tergelitik untuk bertanya. "Seserius apa sama yang sekarang?"
Seolah yang dibicarakan tidak ada di hadapannya. "Di saat dia nawarin buat HTS, aku kepikirannya nikah. Tapi akhirnya apa aja boleh deh, asal bisa deket sama dia."
"Keberatan jalanin HTS sama dia?"
"Nggak. Setelah dijalani beberapa hari, not bad kok."
Ada senyum puas di bibir Agni. "Suka nggak dicemburuin?"
"Suka."
"Tapi dicemburuin kan ribet?"
"Justru kalau nggak dicemburuin, aku ribet."
"Oh, ngerti. Kamu butuh pawang biar nggak digangguin anak-anak kos, 'kan?"
Sudah cukup. Ardan menyerah. "Iya, Agni, aku butuh kamu banget. Jadi jangan berani ninggalin aku, oke?"
Kalimat yang ditangkap secara benar oleh Agni. Dia mengalihkan wajah demi menyembunyikan senyum yang sulit ditahan. Hatinya kebat-kebit. Semoga pipinya tidak memerah. Dia juga tidak tahu kenapa bisa senorak ini.
***
Capek nyengir pas ngetik😭 belum ditambah nyengir lagi pas ngedit duhai kering gigi iniii~ 😭👋
Dear pembaca barukuuu, dah kenalan belom sama Juna? 😚
Anak kesayangan yg baru pulang dari Cabaca~
Kamis/02.12.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top