Bagian Empatpuluh Sembilan

Lagi suka lagunya Jackson yg di mulmed. Telat sih sukanya, udah 4bln sejak rilis 😭❤

Inget, baca sambil ngupil, biar lama🤣

——————————

Ardan melipir dari ruang tengah, tempat ibu-ibu gang dan Geng Rusuh berkumpul selepas magrib. Sibuk dengan kegiatan iris-mengiris sayuran dan mengupas kentang.

"Loh? Eh? Gue mau bantuin." Langkah Agni langsung dihadang oleh Ardan di depan pintu. Dia sengaja menunggu Agni muncul sejak tadi.

Agni dipaksa mundur lalu digenggam tangannya, putar badan, dibawa menjauh dari teras rumah dan menuju dipan bawah mangga. "Udah penuh, kebanyakan yang bantu. Udah di sini aja. Duduk."

Baru juga Ardan akan membuka mulut, bertanya tentang pertemuan Agni dan abangnya, satu manusia hama datang.

"Lo ganggu banget, Mil. Pulang."

Emil masih berseragam pabrik. Tidak mengindahkan usiran Ardan, justru naik ke dipan bagian belakang, menelentangkan tubuh di sana. Memejamkan mata, menjadikan kedua tangan sebagai bantalan. "Gue mau tidur bentar sebelum masuk kandang. Lanjut aja. Gue tidur, bukan nguping. Biar kalian juga nggak dicurigain berduaan di sini mau mesum unboxing apa gimana."

Rasanya sesekali Ardan ingin menabok mulut Emil dengan sandalnya.

"Kami cuma ketemu biasa." Agni tahu jika Ardan menunggu penjelasannya.

Maka secara otomatis Ardan meneliti penampilan Agni, memindai wajah dan bagian tubuh yang terlihat tanpa berani pegang-pegang. Emil benar, satu orang lewat dan melihat mereka, sudah dipastikan akan dipelintirkan menjadi gosip. Mana cukup temaram di sini. Sumber cahaya hanya dari teras warteg Mpok Jaenab.

Dengan senyum yang sulit disembunyikan, Agni mengerti apa yang Ardan khawatirkan. "Nggak ada luka. Tenang aja."

Kemudian Ardan bisa duduk lebih santai.

"Aku tadi bantuin beres-beres kosnya. Hubungan kami agak membaik. Makan siang bareng juga. Tapi cuma ngobrol dikit."

"Setelah mukul kamu waktu itu, dia tobat gitu? Nyesel?"

Agni meringis kecil. "Kayaknya sih."

"Terus kok pulangnya sore?"

"Aku mampir ke rumah abangku yang pertama. Mumpung keponakanku diantar mamanya ke sana."

"Mereka judes kayak tantenya?"

"Nggaklah. Mereka manis-manis tingkahnya kayak mamanya."

"Kamu mampir juga ke rumah papa kamu?"

"Nggak."

Ardan membasahi bibir. Berusaha terdengar tidak menuntut. "Tapi kamu, maksudnya aku, cepat atau lambat bakal kamu kenalin ke papa kamu, 'kan?" Ketika melihat raut muram, Ardan buru-buru menambahkan. "Aku nggak mau kawin lari."

Tersenyum tipis. "Iya. Tapi nggak tahu kapan. Aku juga nggak bisa menjanjikan dalam waktu dekat."

Nggak tahu kapan. Hubungan ini saja terasa masih dini. "Gimana pun, seburuk apa pun situasi di antara kalian, dia tetap papa kamu." Ardan seperti bicara ke dirinya sendiri. "Karena aku pernah ngerasain. Meski beda masalah."

"Aku nanti juga nikahnya minta restu ke Papa." Agni menekuri kukunya. "Cuma untuk balik kayak semula, ya nggak bisa. Kecewaku sama dia, udah besar. Aku nggak minta kamu buat ngerti. Tapi aku minta kamu buat ada."

"Kapan pun aku ada."

Agni setengah bercanda, bertanya sekadar cek ombak. "Kamu mau kita berhenti backstreet?"

Mengernyit bingung. "Kenapa tiba-tiba?"

"Belum sebulan sih kita gini, tapi rasanya udah lama."

Ardan mengangguk setuju. "Mau ketemu juga susah."

Di belakang mereka, Emil menepuk pipi yang tiba-tiba gatal kena gigit nyamuk, menyebabkan tidurnya terganggu. Kebetulan dia dengar potongan percakapan mereka yang terakhir. "Makanya nikah. Ketemu mulu dah lo saben hari sampe bosen terus nggak punya pilihan lain selain pasrah."

"Nikah emang sebosen itu?" Agni bertanya, tapi yang dia tanya sudah kembali tidur.

"Jangan dengerin omongan Emil. Biar dia matanya jelalatan, celamitan lihat cewek, tapi cinta beneran sama Renna. Semua gajinya aja dikasih ke bini."

"Tahu dari mana?"

"Apa sih yang aku nggak tahu dari manusia ini? Kecuali warna celana dalem dia."

"Ngomong-ngomong, ngapain sih kalian suka banget mancing di comberan?" Agni beberapa kali melihat mereka tapi malas menyapa. Mereka terlihat serius menatap pancingan, mungkin sambil berharap tiba-tiba muncul gurame di comberan itu.

"Nah itu. Dia nih kalau galau habis ribut sama bini pasti larinya ke mancing."

"Tapi bisa kan mancingnya tuh yang lazim gitu. Comberan adanya juga cebong."

"Udah capek aku bilanginnya. Yang penting dia waras ajalah."

"Kalian ngatain gue gila?" Emil bangun karena kena gigit nyamuk lagi. Sambil menggaruk perut, dia pergi dari dipan itu. Setengah mengantuk tersaruk pulang, menghadapi kenyataan.

"Oke, karena setannya udah pergi, aku mau bantuin kerjaan Tante Sukma." Agni memakai sandalnya di bawah tatapan Ardan yang mengerucutkan bibir. Tangannya gagal meraih Agni yang sudah berjalan menjauh.

Ardan berlari kecil menyusul. Mengalungkan tangan di bahu Agni lalu secepat kilat melempar tubuhnya sendiri ke dinding di dekat pintu toko. Agni juga tak kalah terkejutnya. Pertama oleh gerakan Ardan dan kedua karena Sasa yang tiba-tiba muncul dari teras rumah.

"Kalian ngapain?!" Sasa menatap setengah kaget setengah bodoh. "Abang ngapain?!"

Masih menempel di dinding. "Cosplay jadi tanaman rambat."

Sasa beralih menatap Agni. Dia mau mereka jujur saja, tapi bibirnya justru mewek.

"Lah, nangis lo?" Agni mendekat, merangkul kepala Sasa untuk dibawa ke bahunya.

"Aku cuma halusinasi kan, ya?"

"Nggak. Yang lo lihat beneran." Agni sekuat mungkin menahan tawanya. Ini anak juga aneh. Orang dia lihat sendiri Ardan ngapain barusan, masih minta dibohongi lagi.

"Nggak. Aku percaya Bang Ardan cosplay tanaman rambat."

"Iya, terserah."

Ardan melepaskan diri dari dinding. Dari pelukan Agni, Sasa menatapnya sengit. Mungkin Sasa berpikir Ardan akan meyakinkan jika dirinya rabun atau matanya ketempelan dugong hingga dalam sekejap pandangannya salah kaprah menangkap situasi, tapi ...

"Sa, boleh gantian? Gue juga mau dipeluk Agni."

Menghentakkan kakinya ke aspal, berontak lepas dari Agni. Sasa meraung nelangsa. "Hihhhh. Nyebelin semua!"

***

Senin tanggal merah bukan lagi jadi kabar gembira. Sasa mending masuk kelas dosen killer, tidur di bangku paling belakang, kena sambit boardmarker, lalu diomeli di hadapan teman sekelas. Karena semua itu tidak lebih menyakitkan dari fakta yang dia percayai sekarang. Ralat. Terpaksa hati dan logikanya percayai.

Kemarin dia belum sepenuhnya percaya ketika kabar masihlah asumsi-asumsi belaka. Mana mungkin air dan api bersatu? Ini bukan lagu band Naif. Yang semalam dia lihat justru kebalikannya, air dan api mulai akur dan bahkan punya hubungan lebih. Mau membohongi hati bagaimana lagi? Sudah buntu.

"Sa, kami mau nonton. Lo ikut ng—gak?" Dea mendorong pintu. "Lo kenapa? Bisulan?"

"Hatiku bisulan."

"Beneran nggak ikut?"

"Aku ikut kalau Bang Ardan juga ikut."

"Ya kalau itu kami juga seneng!"

"Bujukin dong makanya. Akal bulus kalian kan banyak."

"Doi sibuk bantu Ibu Sukma. Kalau pun longgar, akal bulus kami nggak mempan."

"Ya udah, nggak jadi ikut aku. Tutup pintunya lagi."

Dea masih bertahan di ambang pintu.

"Tinggalin aku sendiri."

"Besok coba ikut casting sinetron. Muka-muka melas lo cocok jadi—"

"Protagonis tersakiti?"

"Pembantu terdzolimi."

Sasa memanyunkan bibir. Menyambitkan satu boneka tapi Dea lebih cepat menutup pintu.

Tak lama, pintu kembali terbuka setelah terdengar satu ketukan, Sasa melempar boneka kedua dengan tenaga lebih besar. Terdengar suara mengaduh yang bukan suara milik kakak-kakak kosnya yang rese.

Secepat kilat, Sasa bangun dari rebahan. Nyaris lompat ke pintu. "Bang, maaf, Bang. Sakit ya?"

Ardan mengembalikan boneka bebek yang barusan mencium hidungnya. Lumayan sakit. "Gabut nggak?"

"Nggak." Sok jual mahal. "Aku sibuk, Bang."

"Ya udah, gue minta bantuan Agni aja."

Terlalu cepat menjilat ludah sendiri. "Abang nggak lihat aku gabut?" Sasa kemudian melempar boneka ke kasur tanpa menoleh. Dia maju selangkah hingga membuat Ardan mundur dua langkah.

Menutup pintu di belakangnya, Sasa mendahului langkah ke gerbang. "Bantuin apa, Bang? Mindahin rumah apa mindahin hati Abang ke aku?"

Ardan terkekeh-kekeh di belakangnya. "Mama minta bantu plastikin kacang."

Begitu memasuki rumah Ardan, Sasa mencelos habis-habisan. Dia sudah bangga karena hanya dia yang bisa dimintai tolong saat ini, nyatanya di ruang tengah itu ada—

"Gimana filmnya? Bagus banget ya?" Sambil duduk, dia menyindir kakak-kakak kosnya.

Ajeng mencolek paha Sasa. Berkata pelan. "Kami rasional. Milih mana yang lebih menguntungkan."

Oke. Sasa juga tidak naif. Sambil tangannya menyendokkan kacang mede ke plastik klip, matanya jelalatan mengikuti gerakan Ardan yang lebih sering mondar-mandir antara dapur bersih dengan dapur kotor yang letaknya agak di belakang—tempatnya lebih luas dari dapur bersih yang bersampingan dengan ruang tengah ini.

Pemandangan berikutnya adalah Didit yang tiba-tiba melintas dan dicegat oleh abangnya. Tidak jelas apa yang Ardan katakan karena cukup bising suara TV dan percakapan ibu-ibu gang, tapi yang jelas lolipop yang semula diemut Didit kini sudah berpindah ke abangnya.

Tanpa sengaja, Ardan menoleh ke ruang tengah dan waktu seperti melambat dengan kejam—DOUBLE KILL!

Geng Rusuh mati-matian menahan jeritan di detik berikutnya. Apa-apaan itu. Cuma perkara Ardan mengemut permen lolipop saja membuat mereka belingsatan? Hei, kurang badut apa semua ini? Sudah cinta bertepuk sebelah tangan, mereka masih diberi cobaan segila ini?

Dea hendak berdiri, menyingkir dari ruang tengah sebelum kehabisan napas tapi Eriska menahan lengannya. Memaksanya kembali duduk di karpet. Mendesis, "Mau ke mana lo?"

"Gue bengek nggak bisa napas, Bego." Ditahan supaya tidak meninggi suaranya.

"Lo pikir yang lain gimana?!"

Barulah mata Dea mengedar ke teman-temannya. Kondisi mereka tak jauh berbeda, sama-sama mengenaskan. Dia bahkan harus menampar pipi Ajeng agar sadar jika air liurnya hampir menetes.

Seakan belum cukup adegan lolipop sialan, dengan cepat disusul oleh gerakan Ardan yang mengusap dahi, menyibak rambut bagian depan yang agak memanjang, lalu mengikatnya dengan karet gelang yang sejak tadi ada di pergelangan.

TRIPLE KILL!

Geng Rusuh sempurna megap-megap seperti ikan koi. Ajeng sungguhan meneteskan air liur, tidak ada yang mencegah, semua sibuk dengan hati masing-masing.

Mereka mendadak linglung. Hanya Sasa yang bisa tetap waras, itu pun karena dia ingat kalau lelaki idamannya sudah punya pujaan hati. Angan tentang Ardan yang datang membawakan bunga di hari wisudanya terpaksa dipupus hari ini. Besok? Itu lain urusan.

Tapi dua tahun kan masih lama. Siapa tahu hubungan Ardan dan Agni ambyar di tengah jalan. Doa jelek yang ingin dia aminkan tapi satu sisi tidak tega melihat orang baik patah hati. Biarlah cukup dia dan kakak-kakak kosnya yang patah hati.

Jadi begini rasanya tumbal perasaan? Orang ganteng dan baik kenapa tumbalnya nggak cukup satu saja sih?

***

Rambutnya Ardan giniiii:


Rambut cowok yg dikucir kayak gitu damage bgt gak sih? Apa cuma aku aja yg tingkahnya kayak Geng Rusuh cuma perkara poni dikucir doang? 🤣

Oh iya, chapter ini kayaknya bakal ada extended versionnya di Karyakarsa. Tunggu notipnya dalam minggu ini yaa

Selasa/14.12.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top