Bagian Empatpuluh Lima
Warning: chapter ini pendek, tolong bacanya sambil merem😭🙏
——————————
"Aku boleh main ke rumah kamu?"
Agni kira Ardan sudah selesai dengan acara bercandanya soal ajakan menikah tadi. Tapi ketika mereka pulang, dan Agni minta diturunkan di halte, Ardan menanyakan hal yang sukses membuat Agni termangu. Pertanyaan yang terlalu tiba-tiba untuknya.
Ada ya manusia serba buru-buru seperti Ardan?
"Nggak boleh ya?" Ardan mengamati raut wajah Agni yang tidak terbaca. Tapi sorot matanya terlihat tak tenang.
"Buat apa?"
Mengembangkan senyum, berharap bisa membuat Agni relaks. "Pengin ketemu Papa kamu. Nggak, aku nggak bermaksud ngelamar kamu secara paksa. Setidaknya, kenal dulu dengan keluarga kamu."
Melihat Agni yang masih diam, Ardan melanjutkan. "Tapi, mungkin lain kali. Kalau kamu sudah merasa yakin sama aku dan hubungan kita lebih solid dari ini."
Lain kali yang tidak bisa dijanjikan Agni. Tapi dia tetap harus mengatakan sesuatu. Lelaki di depannya ini terlihat serba salah. Akhirnya, dengan senyum tipis. "Keluargaku, ya kayak yang lain. Nggak terlalu menarik."
"Tapi untuk seseorang yang ingin menjadi bagian dari hidup kamu, segala sesuatu tentang kamu menjadi penting
... dan menarik."
Agni menghela napas tertahan. Ardan menatapnya dengan lembut, tidak ada desakan. Apa yang lelaki ini katakan terdengar begitu tulus, seolah datang dari hati dan bukan sekadar candaan yang masih ingin Agni percaya.
"Jujur aja. Kamu naksir aku sejak kapan?" Agni jadi penasaran.
"Nggak tahu. Mungkin dari awal?"
"Hatimu udah sembuh ya?"
"Udah." Tersenyum. "Kenapa?"
"Aku nggak tahu kalau kamu bakal secinta ini sama aku."
Senyum Ardan berangsur menjadi tawa menyenangkan. "Anggap aja jomlo setahun bikin aku kayak gini."
Menggeleng sambil ikut tertawa. "Atau kamu memang begini?"
Ardan menatapnya lembut lagi.
"Kalau gitu, semua perempuan yang kamu cintai, ternyata seberuntung ini." Sekalipun terdengar norak, Agni hanya berusaha jujur dengan hatinya.
"Nanti aku juga akan jadi nyebelin kok, tenang aja. Biar kamu nggak bosen."
"Oh, tentu. Kamu emang nyebelin. Aku juga akan lebih judes dari biasanya nanti. Kamu siap-siap."
Keduanya lalu tertawa bersama.
"Gih, jalan, aku kasih lampu dari belakang."
"Nggak sekalian turunin aku depan gerbang kos?" tantang Agni.
"Lupa tadi siapa yang ngotot minta turun di halte?"
Agni mendelik, pura-pura kesal. Lalu dia mulai berjalan. Belum terlalu larut, baru pukul setengah sepuluh.
"Suka banget sih jalan?"
Tanpa menoleh, Agni menjawab. "Penginnya terbang, tapi aku tahu diri."
"Nyesel tanya."
"Salah sendiri."
Ardan mengajukan pertanyaan random lainnya. "Suka warna apa?"
Kali ini sedikit menoleh. "Semua suka."
"Punya fobia?"
"Fobia sama cowok buaya."
"Nggak semua cowok buaya hatinya juga buaya."
Agni memutar tubuhnya. "Oh ya?"
"Hatiku hello kitty." Ardan mengutuk lidahnya. Pengakuan macam apa ini?
Tergelak tanpa suara, Agni melanjutkan langkah.
Ardan bertanya lagi. "Kamu nggak mau tahu tentang aku?"
"Aku udah tahu semua-semuanya dari Geng Rusuh."
"Nggak seru."
"Emangnya aku merasa seru tiap hari kena spoiler yang isinya kamu mulu?"
"Udah deh. Sini naik. Berantemnya sini aja. Kepergok kita habis pacaran juga bodo amat."
"Tanggung, mau nyampe."
***
"Eh, Agni, sarapan, Ni."
Emil langsung mendapat pelototan dari Ardan hanya gara-gara perkara menyapa Agni. Tapi dasar Emil yang masa bodo, dia hanya mengedik bahu.
Ketika Agni sudah duduk di sebelah Ardan dengan sepiring sarapannya, Emil cuek bertanya. "Dari mana kalian semalem?"
"Jalan."
"Cari angin."
"Tumben jawabnya kompak."
Agni melirik lelaki di sebelahnya. "Lo nggak sarapan?"
Balik ke semula nih? Oke. "Sejak kapan lo peduli gue sarapan apa nggak?"
Emil mesem menyebalkan. Memperhatikan dua manusia yang sedang menghayati peran backstreet mereka. Gemes juga. Tapi bisa tahan berapa lama sih mereka?
"Jadi yang semalem itu kencan pertama ya?"
"EMIL!" hardik Ardan.
"SEMBARANGAN!" Agni nyaris menggebrak meja.
"Apa, Mil?!" Mpok Jaenab berhenti mengulek cabe, mendongak.
Ardan dan Agni menoleh bebarengan, panik.
"Mpok, gosong, Mpokkkkkk!" Emil heboh menunjuk wajan yang mengepulkan asap. Melonjak-lonjak di kursinya, siap lari kalau warteg ini meleduk. "Pak Dadang ke mana Pak Dadang?!"
"Ayam-ayamkuuuu!" Tergopoh mematikan kompor dan mengangkat ayam goreng yang mengenaskan itu.
Beruntung tidak ada keributan besar. Kompor langsung dimatikan, menyisakan Mpok Jaenab yang meratapi nasih ayam gorengnya.
"Kalian utang budi sama tuh ayam goreng." Emil sudah tenang, cuek kembali menghabiskan sarapan.
"Mulut lo emang sekali-sekali perlu disetrika."
"Sebelum disetrika, masukin ke pengering." Agni menimpali.
Emil langsung membekap mulut. "Udah gila kalian!"
***
Ardan yang baru turun dari anak tangga nyaris terpeleset saat mendengar suara familier dari kamar Jingga yang setengah terbuka. Mengubah tujuan, Ardan berjalan ke kamar adiknya. Dan betapa bahagianya ternyata ada Agni duduk di sana. Melantai di depan laptop, bersebelahan dengan Jingga.
Tanpa pikir panjang, Ardan menyelinap masuk. Melempar tubuh ke kasur, menopang kepala dengan satu tangan, mengintip mereka yang sedang fokus menonton series Korea.
Akhirnya Ardan memahami fungsi Jingga sebagai adiknya—selain tukang minta duit jajan. Bukan hanya sekarang, nanti-nanti Jingga akan berjasa besar dalam memperlancar hubungan HTS ala-ala ini.
"Sekali-sekali jangan Korea dong, biar aku nyambung."
Jingga menoleh keki. Memencet tombol pause. "Ini kan pake subtitle, Bang. Kecuali abang nontonnya merem."
"Kamu kan tahu, Abang geli denger bahasa mereka."
Agni ikut menoleh. "Kamu cuma belum terbiasa aja, kali. Aku awalnya juga aneh sama dialek mereka, tapi lama-lama justru suka."
"Kupingku malah lebih toleran sama bahasa Thailand."
"Kok kamu aneh sih?!"
"Ganti film Thailand aja deh. Biar aku bisa ikut nonton."
"Yang nyuruh kamu ke sini siapa?" Agni berkacak pinggang.
Jingga melongo menyaksikan perdebatan dua orang ini. Agni yang tanpa sengaja melirik Jingga dan mengerti apa yang abege itu pikiran, buru-buru mengalihkan. "Ribet amat sih lo, kalau protes lagi, sana keluar. Ganggu aja."
Untung nih, untung Ardan lagi baik moodnya. "Ya udah. Ak—Abang diem deh. Lanjutin nontonnya, Princess-princessku."
"Geli tahu, Bang!" Jingga memukul abangnya dengan boneka hiu. Memutuskan untuk tidak mempermasalahkan keanehan yang barusan terjadi. Tidak sekarang, sedang seru nontonnya.
Ardan nyengir dan mencari posisi ternyaman. Dia tadi rencananya mau nongkrong dengan Emil. Lima menit ini saja ponselnya terus bergetar di saku celana. Mau itu orang memborbardir ponselnya, ngamuk-ngamuk di luar sana, mancing semalaman di comberan, Ardan tidak peduli. Dia tidak akan ke mana-mana. Titik!
Heroin-nya sedang ada di sini. Kesempatan yang langka. Tidak boleh disia-siakan. Dia juga tidak berani mengganggu acara menonton mereka, daripada kena usir dari kamar ini.
"Abangggg!" Terdengar samar seruan Didit di dari luar.
"Abang di kamar Kak Jingga!" Ardan menyahut sedikit kencang.
Tak lama, pintu terbuka. Didit melongok di ambang pintu. "Di depan ada Bang Emil, nyariin Abang."
Menjawab dengan suara pelan karena barusan kena lirikan tajam Jingga. "Bilang aja, Abang lagi nonton drama Korea."
Didit mengangguk. Menutup pintu kembali. Tapi hanya beberapa saat, bocah itu muncul lagi memberi laporan dengan wajah mengerut. "Bang Emil marah-marah terus pulang."
"Iya, nggak apa-apa. Bang Emil marahnya ke Abang, bukan ke Didit."
"Hmm, oke. Didit tidur ya, Bang."
Ardan tersenyum super lebar, melambaikan tangan. Nyaris berbisik tapi tetap terdengar oleh Didit. "Mimpi yang keren ya."
Terkikik. "Abang jugaaa." Lalu pintu benar-benar tertutup.
Diam-diam, sambil matanya tak berpaling dari layar, Agni menahan senyumnya demi mendengar interaksi sederhana itu. Sudah Agni bilang kan kalau dia iri setengah mati dengan adik-adik Ardan? Seakan kalau reinkarnasi memang ada, ingin rasanya menjadi Jingga atau Didit di kehidupan yang akan datang.
Oke. Didit sudah masuk ke kamarnya, Ardan yang bingung harus apa, sesekali ikut menyaksikan layar laptop yang dominan gelap. Tapi begitu satu sosok muncul dengan gigi penuh darah dan mata yang berwarna putih, Ardan terlonjak, membekap mulut dan langsung mengubah posisi ke arah tembok. Gila, gila, gila! Mereka bisa-bisanya menonton series zombie tapi tidak berteriak. Urat takut mereka sudah korslet apa bagaimana?!
Maaf-maaf saja, bukannya Ardan cemen. Dia tidak takut dengan hantu atau cerita-cerita seram, tapi ini meski cuma drama, monster penghisap darah memang menyeramkan. Lalu soal eksibionis waktu itu? Ardan cuma kaget. Terserah kalau tidak percaya.
Niatnya Ardan akan terjaga sampai Agni pulang. Tapi selama beberapa jam, dia hanya diam sambil mendengar bahasa planet yang tidak dia mengerti, suara-suara aneh khas zombie, jeritan-jeritan. Ardan kemudian memilih membuka sosmednya hingga terkantuk-kantuk lalu akhirnya jatuh tertidur. Jingga terpaksa membangunkan ketika acara nobar itu bubar.
"Bang, pindah tidurnya, Bang." Menepuk-nepuk bahu Ardan.
"Hmm." Menggumam tanpa membuka mata dan hanya menggaruk pipi. "Udah kelar nontonnya?"
"Udah."
"Jam berapa sekarang?"
"Duabelas."
"Agni?"
"Barusan pulang."
Mata Ardan sontak terbuka. "Kok nggak pamit?"
Jingga menabok lengan abangnya. "Aneh banget. Buruan bangun, Bang. Aku ngantuk nih. Besok aku telat gara-gara Abang ya."
Mengerjapkan mata, Ardan menarik tubuhnya bangun, turun dari kasur. "Pinter banget nyalahin Abang. Kalau telat ya salah sendiri ngapain nonton maraton."
Jingga sedikit mendorong punggung abangnya ke pintu. Sebelum menutupnya, dia merebut guling yang masih dipeluk abangnya.
***
Ah iya, mau kasih tau kalau ada extended version yg aku taruh di Karyakarsa. Sekali lagi, mampir ga mampir, gapapa, sukasukaa kamu okeyyy 😚🙌
Kamis/25.11.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top