Bagian Empatpuluh Empat
Ajeng merunduk di depan gerbang, melingkarkan jari di depan mata padahal teras rumah Ardan terlihat jelas dari lubang kecil di dekat handle gerbang. "Oke. Target sudah terkunci."
Mereka sudah bersiap di sofa sejak beberapa menit lalu. Tapi masih sibuk mengucek mata, menghilangkan belek, menguap lagi. Mengumpulkan nyawa yang tidak terkumpul-kumpul. Konyol sekali kalau sampai gagal jogging dengan Ardan. Pengorbanan bangun pagi ini tidak main-main.
Dea bahkan harus menampar pipi Sasa yang tertidur di bahunya. "Bangun, Sasa, bangoooon."
Dalam sekejap, Sasa terlonjak bangun. "Iya, Pak, maaf, Pak! Saya nggak tidur kok!"
"Nih bocah keseringan tidur di kelas jadinya begini." Dea menunjuk wajah lucu Sasa sambil terpingkal.
Sasa menekuk wajah, kembali duduk. Menampar pipi satunya. Berharap kantuknya bisa hilang.
"Oke. Kita keluar sekarang." Jessi memutuskan cepat sebelum ada yang tertidur lagi. Tanpa bisa dicegah, Jessi melangkah tegas, dalam satu gerakan menggeser gerbang. Hanya untuk kemudian ternganga lebar.
Melihat Jessi yang mematung, membuat yang lain beringsut ke gerbang, berebut mengintip dari celah tubuh Jessi.
"Kalian mau jogging?"
"I-iya." Jessi menggeleng, meralat jawaban yang sangat bertolak belakang dengan kostum mereka. "Enggak."
"Abang mau ke mana?!" pekik Dea dari bawah ketek Jessi.
"Oh, ini mau nyabutin giginya Didit."
"Harus ya, Bang, pagi-pagi begini?"
Ardan menatap satu per satu kepala yang menyembul di balik tubuh Jessi. "Dokternya praktik pagi."
"Sore biasanya kan praktik juga, Bang."
"Sakitnya kan sekarang, bahkan sejak tengah malem tadi." Ardan hendak mengambil mobil di garasi, tapi sebelumnya dia berkata. "Rajin-rajin jogging biar sehat."
"Abang nggak mau jogging bareng kita?" Dea memelas.
Dijawab sambil mengulum senyum. "Gue lebih suka jogging sendiri."
Sasa akhirnya ikut bersuara. "Kalau yang ngajak Mbak Agni, pasti Abang jawabnya nggak gitu."
Ardan berkacak pinggang, mengembuskan napas. "Masalahnya, emang kapan dia sudi ngajak-ngajak gue?"
Sasa memanyunkan bibir. Tanda tak puas dengan jawaban Ardan.
"Udah ya. Kalian buruan kalau mau jogging, mumpung masih sejuk."
"Orang kita mau ke warung Mpok Jaenab kok, Bang."
"Abang kalau jogging tiap hari apa, Bang—BANGGG?!!!" Ajeng dengan wajah nelangsanya.
Tangan-tangan itu kompak terjulur, tidak rela ketika Ardan melangkah ke garasi, membuka pintu dan mengeluarkan mobil dari sana.
Jessi mendorong mundur manusia-manusia yang menempel padanya, lantas menutup gerbang dengan tegas. Menyudahi pagi indah yang tinggal angan-angan. "Udah. Balik aja ke realita. Gue mau mandi."
"Gue juga mau mandi." Eriska masuk ke kamar.
Ajeng dan Puput berlalu. Dea merangkul Sasa yang kantuknya sudah hilang.
"Jalan jodoh memang memedihkan." Sasa balas merangkul.
"Nggak. Kitanya aja yang lagi sial."
"Sial kok tiap hari, tiap kesempatan, tiap waktu."
"Itu artinya Tuhan mau kita berjuang lebih keras lagi."
Sasa berhenti, menoleh ke Dea yang wajahnya persis ada di sebelahnya. "Jangan ngomong bijak, Kak. Ngerusak estetika kalimatnya."
Dea melepas tangannya dari bahu Sasa. Hanya sesaat sebelum meraih kepala Sasa dan membenamkannya di ketiak. "Mamam ketek gue, mamaaaam!"
***
Di saat semua anggota keluarga sudah bersiap di meja makan, Ardan justru menuruni anak tangga dengan pakaian rapi. Wangi pula. Membuat Jingga langsung menyipit curiga. Bahkan wangi masakan Mama langsung lenyap, meja makan seketika dipenuhi harum atlantis—pokoknya itu yang pernah Jingga lihat di botol minyak wangi abangnya.
"Abang nggak ikut makan?" Didit bertanya polos. Berharap abangnya makan bersama dengan pakaian serapi itu. "Mau pergi? Ayo makan sama kita dulu."
Ardan tersenyum, sambil lewat dia mengacak rambut Didit. Menghampiri Mama di sisi meja yang lain, mengecup sebelah pipinya. "Keluar bentar ya, Ma."
"Ke mana?"
Menghadap ke mamanya, lalu tanpa suara menjawab. "Jalan sama Agni." Diakhiri dengan senyum lebar.
Mama balas tersenyum. Tidak banyak tanya. "Hati-hati."
"Awas pulang di atas jam sembilan, Abang tidur di luar!" ancam Jingga.
"Nanti Didit yang bukain pintu, Bang."
Ardan terkekeh. Mana ada. Didit saja jam sembilan sudah tidur. Lagi pula Ardan bawa duplikat kunci.
"Didit!"
Setelah mendapat acungan jempol dari abangnya, Didit menjulurkan lidah ke kakak perempuannya.
Masih terdengar suara Jingga ketika Ardan membuka pintu. "ABANG MAU PACARAN YA?!"
"Abanggggg, tunggu! Aku mau beli es krim!" Sasa menghadang di depan rumah. Merentangkan kedua tangan.
Ardan menaikkan kaca helm, tanpa mematikan mesin. "Jajan es krimnya besok aja ya. Gue buru-buru soalnya."
"Bentar doang." Sasa merajuk siapa tahu berhasil.
"Atau lo minta bukain toko sama Jingga. Tapi dia lagi makan."
Sasa menekuk wajah lalu menepi. "Emang Abang mau ke mana?"
"Nyamperin Emil."
"Ih, boong. Rapi gini, wangi pula. Nggak mungkin, nggak mungkin." Sasa menangkap satu helm di bagian depan motor. "Itu ada helm lagi, nggak mungkin sekadar nyamperin Bang Emil."
Tertawa. "Iya, bener."
"Bener gimana?"
"Ngapain juga gue nyamperin Emil rapi-rapi begini. Mubazir."
"Terus?"
"Mau jalan."
"Ke mana, Bang? Sama siapa?"
Ardan hanya tersenyum kemudian melajukan motor, meninggalkan Sasa yang cemberut. Tadinya dia berniat membawa mobil, tapi Agni bilang motor saja. Mereka janjian di halte. Saat tiba di sana, ternyata perempuan itu sudah menunggu.
Kencan yang tidak terencana sebenarnya. Karena jogging tadi pagi juga gagal, Ardan pikir mungkin besok-besok pasti ada waktu untuk jalan ke mana. Tahunya, tadi sore Agni bilang ingin cari angin malam ini.
Tujuan mereka adalah street food di pinggiran jalan yang berjajar rapi. Agni ini sama seperti perempuan kebanyakan, suka jajan. Suka icip-icip. Mungkin suka juga masak. Tipe yang self healingnya makan. Satu sisi yang baru Ardan sadari. Tapi kenapa kok lebih sering masak mi sih manusia ini?
"Cobain deh, ini risolesnya sama kayak buatan aku." Sambil menyusuri jalan yang ramai, Agni mengambilkan satu risoles dari kantung kertas.
"Apa?"
"Buatanku. Delia pernah ngasih, 'kan?"
"Nggak tuh." Ardan sedang memutar otak, mencoba mengingat. "Enggak, gue belum pernah makan risoles buatan lo. Emang bisa bikin?"
Dengan bangga. "Bisa dong."
"Gue kira bisanya masak mi doang."
Lalu Ardan kena sikut di perut. Tertawa sejenak sebelum berpindah posisi. Sejak tadi Agni selalu kena tabrak orang di bahu.
"Mau cimol?" Ardan tertarik karena antreannya lumayan panjang.
"Boleh. Aku yang setengah mateng aja."
Ini bisa nggak sih Agni beraku-kamu sampai selamanya? Ardan kira tadi cuma keselip lidahnya, eh sampai sekarang bicaranya masih begitu.
"Kamu cari duduk di mana gitu, biar aku pesen. Pedes, 'kan?"
Agni mengangguk, tapi dia memilih mengamati jalan raya dan lalu lalang orang. Sesekali dia akan menoleh ke belakang, hanya untuk memastikan Ardan tidak bosan menunggu antrean.
Orangnya santai-santai saja sih, bahkan terlihat mengajak ngobrol penjualnya. Yang tidak santai itu, dua mbak-mbak yang antre di belakang Ardan. Mereka berbisik-bisik sambil melirik penuh minat ke Ardan.
"Nggak sadar ya dilihatin Mbak-mbak cantik?" Ketika Ardan akhirnya datang membawa dua plastik cimol. Satu diulurkan padanya.
"Yang di belakangku?" Mereka kembali berjalan dengan Ardan yang otomatis di sisi kanan. "Katanya nggak mau cemburu?"
"Iya sih." Agni mengembuskan napas lelah. "Otomatis cemburu nggak jelas. Mungkin ini minusnya punya pac—temen deket ganteng."
Ardan mengulum bibir menahan tawa. Dia dengar jika Agni nyaris kelepasan menyebutnya 'pacar'. See, HTS memang ribet. Mau cemburu, tapi siapa. Mau tidak cemburu, tapi kok sakit. Ini kalau bukan maunya Agni sendiri, Ardan juga ogah HTS-an.
Tapi daripada disebut pacar, Ardan lebih suka disebut suami sih. Ya tapi untuk sampai ke sana memang butuh proses, Ardan sadar dan tidak ingin memaksakan. Mereka di tahap ini saja sudah bersyukur. Cara kerja hati memang ajaib. Dulu mana terlintas kalau dia akan jalan dengan salah satu anak kos.
"Emang enak cimol setengah mateng gitu?"
"Enak. Cobain."
Tangan Ardan sudah akan bergerak mengambil tusukan di plastik Agni, tapi Agni lebih dulu mengambilnya dan mengarahkan ke Ardan.
Membuka mulut, Ardan menerima suapan dua buah cimol setengah matang itu. Mengunyah sebentar lalu mengangguk-angguk. "Beneran enak. Tahu gitu aku pesen yang setengah mateng juga."
"Tukeran sini."
"Nggak, suapin aja lagi."
Agni menurut. Menyuapi. Dan ngomong-ngomong sejak satu jam yang lalu mereka hanya memutar di sepanjang gerobak-gerobak street food. Jika sudah sampai di ujung, mereka akan berbalik lagi. Diulang-ulang. Dunia seakan milik berdua. Orang jatuh cinta memang dangdut, tapi sensasinya indah. Tak terhitung berapa kali Ardan nyengir sejak tadi.
Di perjalanan pulang, Agni tiba-tiba tertarik untuk berhenti di jembatan. Ardan tidak banyak tanya, menepikan motornya di dekat jembatan. Agni melangkah lebih dulu ke pagar pembatas. Ardan lekas menyusul hingga mereka berdiri bersebelahan. Menikmati angin malam yang kadang tenang kadang ribut.
Di belakang mereka, lalu lalang kendaraan tetap ramai. Terdengar bising. Tapi anehnya, hamparan udara kosong di depan mereka, terasa begitu melegakan dan menenangkan. Agni sempat menutup mata dan menghirup napas dalam-dalam. Ardan hanya diam, memperhatikan lamat-lamat.
"Cinta pertama kamu siapa, Ni?"
Agni membuka mata, memiringkan kepala, tampak mengingat. "Hmm, anak kecil rese yang dulu jadi tetangga."
"Kalau rese kenapa suka?"
"Emang kamu nggak rese?"
"Iya, maaf. Aku pernah rese emang." Ardan teringat bagaimana mereka pernah salah paham hingga membuat hubungan mereka jadi aneh. Setelah dipikir-pikir, Ardan memang yang salah. "Kalau cinta pertama kamu ini, resenya gimana?"
"Kalau main, suka ngumpetin sandalku. Ngambil jepit rambutku terus dibuang ke semak-semak. Nyomot jajananku tanpa permisi."
"Itu bukan rese lagi, rusuh. Kalian umur berapa emang?"
"Anak baru masuk SD gitu. Berapa sih? Enam-tujuh tahun kayaknya."
"Terus yang suka duluan siapa?"
"Ya akulah."
"Terus kamu nyatain ke dia?"
"Enggak. Orangnya keburu pindah. Lagian cuma suka gitu aja."
"Klise ya."
"Emang kamu berharapnya kisah cinta pertamaku heroik ya?"
Ardan terkekeh geli. "Ya, enggak. Aku pikir bakal bersemi lucu-lucu gitu."
"Patah hati yang ada. Mana aku nggak tahu pindahnya ke mana. Nangisnya kayak kehilangan sahabat sih ketimbang orang yang dicinta. Bocah belum terlalu ngerti juga perasaan gitu-gitu."
"Nggak coba nyari pas kamu udah besar?"
"Nyari di Facebook, ketemu sih, tapi ya buat apa. Pasti awkward banget. Iya kalau dia inget."
Ardan mengangguk setuju.
"Kalau kamu? Cinta pertama kamu pasti Mama ya?"
Menggeleng. "Temen sekelas pas TK."
Agni menunduk, Ardan kira kenapa, tahunya tertawa. "Percaya aku, udah ada bakat buaya dari taman kanak-kanak ternyata. Pantes gedenya gini."
"Dia duluan yang deketin aku ya."
"Tapi kamu pasti yang ganjen duluan."
"Seganjen-ganjennya anak TK, bisa apa sih, Ni. Makanan jatuh ke lantai aja nangis. Nggak dapet mainan pas istirahat, ngadu ke ibu guru."
Agni tertawa lagi. Wajahnya sampai memerah. Angin juga membuat rambutnya berantakan. Pemandangan yang membuat jantung Ardan jumpalitan.
Seraya menyingkirkan rambut yang mengganggu dan menyelipkannya di belakang telinga, Ardan berkata. "Aku tadinya malah ngira cinta pertama kamu Ayah kamu."
Wajah Agni berubah seketika. Tawanya lenyap. "Nggak semua anak perempuan punya Ayah yang bisa dijadiin cinta pertama. Bukan aku nggak bersyukur, kamu tahu maksudku."
Ardan mengerti. "Nanti, mungkin anak lelaki kamu yang bakal jadiin kamu cinta pertama dia."
Agni sudah kembali seperti tadi. "Semoga aku bisa jadi ibu yang baik nanti."
"Aamiin."
"Ngomong-ngomong, kok gemes sih doanya?" Agni baru tersadar. Dia sampai susah menahan cengiran. Di saat yang lain ribut menanyakan kapan dia menikah, Ardan justru memikirkan hal berbeda.
"Karena aku gemesin." Sumpah, Ardan juga geli sendiri.
"Ck. Udah serius juga."
Keduanya sejenak diam.
"Nanti, bikin anaknya sama aku ya. Jangan sama yang lain."
Agni tidak menjawab. Tapi tinjunya menyarang di lengan Ardan.
Meringis, mengusap lengannya. Tersenyum lebar. "Ini tawaran serius. Sama aku aja nikahnya nanti ya?"
Berusaha menyembunyikan dirinya yang salah tingkah, Agni pun berbalik. "Ayo, pulang sekarang. Ngantuk."
Ardan pikir dia tidak mendapat jawaban, ternyata di tengah perjalanan, Agni tiba-tiba berkata. "Dan, aku tahu kenapa kamu ngomongin nikah di saat kita baru jalan seminggu. Mungkin cuma euforia kamu sesaat, karena terlalu seneng. Kalau kita di situasi yang beda, hubungan kita dikasih ujian, kita berantem dan semacamnya, kamu akan mikir dua kali buat bercanda kayak tadi."
"Yang tadi ... bukan bercanda."
Entah Agni dengar atau tidak.
***
Makasih yaa masih nungguin cerita ini ❤
Btw, Special Chapter bagian 7-8 dah update kemarin di Karyakarsa~
Bagian 9-10 akhir bulan ini InsyaAllah🤗
Minggu/21.11.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top