Bagian Empatpuluh Delapan

Kemarin ada reader yg minta dibikinin denah (udah pernah komen di bab awal, terus aku lupa, sampe dia komen lagi di bab kemarin maapkan ya🤣)

Bikaus aku gak bisa corat coret di aplikasi gambar, jadi manual aja yak wkwkwkwk. Ini imajinasiku ya, kalau yg udah ada denah imajiner sendiri, tak apa. Versi simpelnya begini:

——————————

"Apa, Mbak? Nyariin Abang? Masih pagi nih. Udah nyari aja."

Agni berkilah sebisa mungkin, meski ini hanya Jingga. Dia mau jawab jujur juga tidak masalah. Anak ini termasuk yang mendukung hubungannya dengan Ardan semenjak mereka masih hobi bertengkar seperti anjing-tikus. "Mau beli pewangi."

Jingga mesem menyebalkan. "Biar aku masih abege juga, aku ngerti urusan orang dewasa."

Berjalan di antara rak. "Tahu apa emangnya?"

"Capek lihat Abang nyengir mulu kayak orang sawan. Makan aja nyengir. Mandi pake nyanyi-nyanyi. Nonton sinetron, Mama sama Mbak Cici nangis, dia nyengir. Belum cerita sih orangnya, tapi orang serumah tahu kenapa Abang begitu."

Mengambil pewangi yang dia cari, Agni berputar ke rak makanan ringan. "Kenapa tuh?"

Jingga gemas jadinya. "Udah deh, langsung pelaminan aja. Mbak kan punya jalur orang dalam. Aku sama Mama. Didit masih bocil, nggak ngerti dia."

Membawa belanjaannya ke kasir. "Nikah nggak kayak goreng tahu bulat, Jingga."

"Temen sekelasku ada yang nikah. Kayak goreng cilor malah, lebih dadakan. Kemarin masih haha-hihi sama aku, besoknya nggak masuk, tahunya ijab."

"Serius?"

"Hamil duluan soalnya."

"Itu beda cerita."

Jingga merapatkan tubuh ke meja kasir. Berkata pelan penuh waspada. "Abang nggak ngajakin Mbak aneh-aneh, 'kan?"

Nyaris saja Agni lupa berapa umur anak ini. Harus dia jawab kalau abangnya mulai berani cium pipi? Menggeleng, tidak penting juga diceritakan ke Jingga. "Menurutmu gimana?"

Jingga meringis. "Kayaknya nggak berani deh Abang macem-macem. Kalau cuma sekadar cium pipi atau kening, berani aku rasa."

Iya. Emang berani! Agni mengedarkan pandangan, masih menebak-nebak ke mana Ardan. Chat yang dia kirim belum dibalas padahal sudah dibaca.

"Abang nganter Mama ke pasar." Jingga menyerahkan kembalian. Sudah gatal ingin berkata ini sejak awal.

"Udah dibilang nggak nyariin."

"Bo'ong."

"Iya, nyariin." Sekalian. "Biasanya pulang jam berapa?"

Jingga menatap jam di sudut monitor. "Ada pesanan katering banyak buat besok, kayaknya sih bisa habis dhuzur nih pulangnya." Lalu memasang senyum sopan tapi menjengkelkan. "Mohon kangennya ditahan beberapa jam lagi. Kalau udah pulang ntar aku bilang ke orangnya, biar terbang nyamperin ke kos."

Oke. Agni tahu sifat siapa menurun ke siapa. Dia kembali ke kos. Tumpukan cucian yang menggunung sudah menanti. Tapi ketika melihat kamar Sasa yang terbuka, Agni iseng mampir. Si pemilik kamar sedang menjuntaikan kepala di tepi kasur, meluruskan kaki ke atas, bertumpu pada dinding.

"Ngapain lo?"

Nyengir sebentar tanpa mengubah posisi. Menjawab sekenanya. "Lagi mikirin Bang Ardan." Padahal dia hanya sedang gabut. Cuciannya penuh sekeranjang tapi badannya ingin menempel di kasur saja.

"Orangnya nggak mikirin lo, buat apa."

"Cinta nggak berbalas itu nggak selamanya sad ending tahu, Kak."

"Tapi banyak yang sad ending."

"Kalau sama aku, bisa aja happy ending."

"Tergantung lo jadi peran apa di hidupnya Ardan."

"Aku mungkin bakal jadi plot twistnya."

"Lo lebih cocok jadi cameo."

"Ih, ya Allah, kejam amat."

Agni hendak meninggalkan kamar Sasa. Tapi secepat kilat Sasa bangun. Dia tidak akan basa-basi, cukup satu pertanyaan. "Kak Agni beneran pacaran sama Bang Ardan?"

"Iya."

Sasa berguling-guling di kasur, tertawa hingga terpingkal. "Komedi banget sih hidup aku." Lantas tertawa sambil guling-guling lagi.

"Lo ketawa karena percaya atau sebaliknya?"

Berhenti berguling, Sasa bangun. "Nggak. Aku pilih nggak percaya."

"Pilihan yang tepat. Kesehatan mental adalah segalanya."

***

Ardan selesai memindahkan semua belanjaan Mama ke dapur, berniat kembali ke kursi kebesarannya di balik kasir dan ngadem di sana.

"Mending Abang buruan cek HP." Jingga berdiri, menyingkir agar abangnya bisa duduk.

"Emang kenapa?"

"Takutnya bangunan kos ambruk gara-gara ada yang lupa kasih kabar dari pagi dudududu~"

Terburu-buru duduk, Ardan cekatan menyalakan kipas, lalu menarik ponsel dari saku celana. Membuka chat dari Agni. Mengutuk diri sendiri. Dia sudah mengetik balasan tapi ternyata lupa mengirimnya. "Nyariin ke sini tadi?"

"Siapa yang Abang maksud?" Jingga pura-pura bodoh demi menggoda abangnya. "Pacar atau Mbak Agni?"

Tinggal dijawab apa susahnya? Toh sama saja.

"Soalnya tadi Mbak Agni juga ke sini sih."

"Agni yang Abang maksud."

"Oh. Pacar baru?" Terkikik menyebalkan. "Aman kok. Nggak marah dia. Udah aku jelasin."

"Ngapain juga dia marah." Ardan mengetikkan pesan ke Agni, yang kali ini dia pastikan telah terkirim.

"Kasih kabar itu bagi cewek penting banget, Bwang. Lama jomlo sih makanya nggak terasah bakat bucinnya."

"Jangan ceramahin Abang soal beginian. Kamu aja masih gonta-ganti cowok."

"Mumpung aku belia, Bang. Masih bisa milih-milih."

"Milih-milih atau cuma mainin mereka?"

Jingga melesat pergi sambil menggerutu.

Baru juga mengecek roomchat Agni, yang dia tunggu balasannya, ternyata orangnya muncul langsung di hadapannya.

"Nyariin banget?"

"Selasa gue interview kerja." Seperti anak kecil yang melapor ke orangtuanya ketika dapat nilai bagus.

Senyum sontak Ardan kembangkan di wajah. "Mau dianter?"

"Nggak. Semangatin aja kayak kemarin."

"Kayak kemarin? Cium pipi maksudnya?"

Membuat gerakan hendak menabok. "Pas di halte itu."

"Ya ampun, itu. Bukannya lo kesel?"

Agni tidak malu-malu menjawab. "Nggak. Terbantu kok saat itu. Meski lo emang cuma iseng."

"Bukan iseng. Cuma nggak tahu aja cara ngasih semangat yang bener. Masa tiba-tiba gue ngomong manis, yang ada kena gampar."

"Udah, gue mau ngomong gitu aja." Agni berbalik.

"Lagi apa di kos?"

Agni mundur lagi dan menghadap ke Ardan. "Habis nyuci, terus beberes kamar."

"Mau dibantu?"

Agni meniup poni yang berantakan. Berkacak pinggang. "Berani lo ke sana tanpa alasan galon sama gas?"

"Berani."

Tantangannya disambut. Agni mendadak senewen. "Nggak! Duduk!" Ketika Ardan akan berdiri. "Duduk nggak lo?! Udah diem-diem aja di sini sambil bernapas!"

"Pocecip amat." Emil datang-datang langsung menempel di kusen pintu. "Gue towel Bang Ardan-nya boleh nggak, Ni?"

Agni berhenti di samping Emil, melirik. "Biseks lo?"

Menatap kepergian Agni dengan mulut ternganga. "Astagfirullah. Nggak beda jauh sama Renna mulutnya." Menoleh ke Ardan. "Selamat, Fren. Dia pawang yang tepat."

"Pujian apa sindiran?"

"Kita bisa mancing sama-sama ntar kalau lo udah nikah sama dia."

Ardan mendecak, tapi mengaminkan ujung kalimat Emil. "Beli apa lo?"

"Pake nanya lagi. Gue ke sini kalau nggak beli popok bini ya popok anak." Mengambil sendiri yang dia cari. "Ngomong-ngomong, anak kos nggak ada yang curiga sama kalian?"

"Udah pada curiga. Tapi yang berani konfrontasi langsung baru Sasa."

"Apa nggak histeris mereka kalau tahu kalian nggak pacaran tapi HTS-an?"

"Status nggak penting. Yang penting hati kami."

Emil seketika menempelkan tangan di dahi Ardan dengan gerakan yang berlebihan, lalu menempelkannya ke dahi sendiri. Membandingkan. "Lo kayaknya demam deh."

"Nggak."

"Mana yang kemarin katanya mau nikahin dia langsung?"

"Nikah kan urusan dua orang yang sama-sama udah nggak tahu lagi mau ngapain selain lanjut ke jenjang pernikahan. Agni masih santai, gue ngikut dia aja."

"Bulol."

"Apa tuh?"

"Bucin tolol."

"Ngaca. Lo lebih dari itu."

Emil melengos, beranjak pergi.

"Lo bayar dulu dong! Emang lo pikir toko gue badan amal buat lo?"

Urusan menyerahkan uang pun harus dengan drama. Memasang ekspresi sesedih mungkin. "Gue nggak kenal Ardan yang kemarin. Sekarang tiap gue calling nggak pernah diangkat, tahunya asyik sama ciwik-ciwik nonton drama. Nggak pernah tuh ada waktu buat gue. Tahu gitu nggak gue restui lo sama Agni."

Ardan merebut uang dari Emil, lalu melayangkan bantalan leher untuk menyabet kepala sahabatnya itu. "Pulang lo. Jijik dengernya."

***

RICH ONTY

Eriska: barusan si tante belenjong2 banyak, pasti pesenen katering deh, siap2 aja pokoknya. Seharian ini jangan kemana2

Puput: tapi minggu kan mau self healing

Eriska: tahan dulu borosnya

Jessi: mau nunggu atau tanya lgsg si tante butuh bantuan kita ga

Ajeng: kuyang masukin lagi dong, kesian dia🙁

Eriska telah menambahkan Dea.

Dea: AKU MARAH

Puput: siapa yg mau tanya ke bang ardan

Dea: apa nih?

Jessi: lo aja deh @Eriska

Eriska: tapi biasanya kalo butuh bantuan bang ardan pasti bilang di grup

Dea: pada bahas apaan nih gw tanya😤

Ajeng: sekali2 kita jemput bola duluan gpp

Sasa: aku ajaaaaaa
Sasa: ini kebetulan lg di toko
Sasa: bang ardan ada di dpnku nih
Sasa: ganteng bgt kek biasanya
Sasa: mau pap?

Ajeng: 😫😫😫

Dea: mauuuuuuuuuuuuuu

Jessi: ga usah, kita geruduk ke situ skrg

Puput: ide bagus. sekalian liat bang ardan kangennnn

Eriska: ulur waktu selama mungkin

Ajeng: siap

Sasa mengangkat kepala dari layar yang sejak semenit lalu dia tekuri. "Bang, kakak-kakak kos mau ke sini."

Menghentikan film yang sedang dia tonton. "Hah? Ngapain? Penting?"

Sasa nyengir karena harus sedikit berbohong. "Nggak tahu."

"Bilang. Gue aja yang ke kos. Suruh kumpul ruang TV."

Sasa mengetikkan di grup apa yang dikatakan Ardan. Tak sampai satu menit, semua sudah berkumpul di ruang TV, Ardan melangkah ke sana tapi hanya sebatas ambang gerbang. Sasa ikutan nyempil di ujung sofa. Tentu saja Agni tidak ada di antaranya.

"Ada yang mau kalian sampaikan?" Ardan menatap mereka satu per satu. Wajah-wajah yang setengah nyengir menatap balik dengan tatapan memuja. Ardan mengabaikan hal itu. Hanya fokus kenapa mereka ingin menemui dirinya, mungkin ada keluhan atau apa.

"Aku cinta mati sama Abang."

Seketika Dea mendapat sentilan di dahi, pitingan, cubitan dan segala siksaan lainnya. Ardan menunggu mereka hingga selesai. Pemandangan yang sudah dia maklumi sejak lama, pun ungkapan cinta yang bosan dia dengar. Dia tidak kaget lagi saat harus mendapati perempuan-perempuan dewasa ini tingkahnya seperti anak TK—malah bagusan tingkah anak TK-nya.

"Ini mungkin nggak penting buat Abang, tapi penting buat kami." Jessi menjadi perwakilan.

"Oke, silakan."

"Tante tadi kan belanja banyak banget ya. Itu buat pesanan katering kan ya? Tante butuh bantuan kami nggak kira-kira?"

Ya ampun. Ternyata sesepele ini. Ardan terlalu menganggap serius mereka.

"Gue belum tahu Mama butuh bantuan apa nggak. Nanti gue kabarin di grup." Ardan akan berbalik, tapi urung, bukan karena Geng Rusuh bertanya hal sepele lainnya.

"Katanya beberes kamar. Kok cepet?"

Geng Rusuh menatap Ardan bingung. Lalu mengerti saat suara lain terdengar. Menatap bodoh interaksi dua orang yang kini berdiri berhadapan.

"Ada janji."

"Sama siapa?"

"Abang."

"Abang pertama atau kedua?"

"Kedua."

"Di mana janjiannya?"

Agni melirik ke ruang TV, tempat di mana mata-mata menatap penasaran. Sudut bibir Agni terangkat. "Kenapa? Mau nganterin gue?"

"Ayo."

Lihat, wajah-wajah itu langsung bereaksi. Agni tahu mereka berusaha tetap di tempat, tidak mampu bersuara, dan diam-diam patah hati.

Barusan Agni hanya bercanda, tapi di luar dugaan, Ardan langsung menyanggupi, di depan Geng Rusuh pula. Lelaki ini sadar atau tidak sebenarnya? "Nggak usah."

"Tapi—"

Menekan suaranya. "Nggak usah."

"Oke."

Agni melanjutkan langkah, melewati bahu Ardan. Berbisik sambil lalu. "Kalau ada apa-apa, gue kabarin."

Ardan menoleh, menatap wajah Agni yang sejajar dengan bahunya. "Hati-hati."

Sebelum benar-benar berlalu, sambil mendengkuskan senyum. "Tuh, urusin, hatinya pada patah semua."

Menoleh ke sisi kanan, Ardan menemukan tatapan tidak percaya yang Geng Rusuh layangkan padanya. Anehnya, dia tidak ingin menjelaskan apa-apa. Hanya mengulang, "Gue kabarin di grup ya."

Mereka kompak diam, tidak merespons.

"Soal bantuan kalian tadi. Atau misal kalian sibuk, nggak perlu memaksakan diri kok. Tapi makasih buat niat baik kalian."

Mereka tetap diam. Ardan akhirnya tersenyum, menyingkir dari ambang gerbang lalu menutupnya.

Setelah gerbang tertutup sepenuhnya, mereka tertatih mencoba beranjak dari sofa. Masih terlalu syok untuk bicara apa-apa. Ini belum seberapa. Hanya potongan percakapan sepele antara Agni dan Ardan. Tapi mana bisa mereka anggap sepele kalau terdengar lebih dari itu? Yang ada justru semakin terngiang. Pikiran mereka pun jadi liar ke mana-mana. Kebenaran mulai terbentuk di kepala mereka.

Mana interaksi ala anjing-kucing antara Ardan dan Agni yang dulu? Mana?!! Kapan mereka jadian? Siapa yang lebih dulu nembak? Apa, apa yang sebenarnya disukai Ardan dari Agni?

Pemikiran yang terakhir benar-benar membuat pening. Bahkan sampai detik ini, mereka masih percaya jika mereka jauh lebih cantik dari Agni. Selama ini, mereka yang jungkirbalik mengejar Ardan. Mana bisa jadiannya malah sama Agni?

Badut. Benar-benar badut hidup mereka.

Dea yang pertama berhasil berdiri. "Kalian berubah pikiran, 'kan? Yuk, ke dukun sekarang yuk. Udah pada mandi, 'kan?"

Semua mendongak, menatap Dea beberapa detik. Senyap yang horor. Dea berniat menarik kembali ucapannya. Tapi kalah cepat dengan suara yang sahut-menyahut memakinya.

"Kuyang bisa diem nggak?!"

"Prik banget. Lo sendiri aja sana!"

"Nggak kapok gue kick dari grup?!"

"Bagi-bagi dosa my ass!"

"Tobat, Kak, tobat. Capek aku bilangnya. Hah!"

Dea terduduk kembali. Mencicit. "Iya, iya. Maapin."

***

Titipan reader lagi nih. Tadi sore ada reader yg ngasih tau kalo nemu sarung merek ardan. Auto nyari di sopeee. Beneran ada donggg 🤣 inget sarung inget tragedi sarung basah yakhann 🤣

Dah baca belum? 😚

Senin/06.12.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top