Bagian Empatbelas
Pada Sabtu pagi yang tenang dan damai.
Eriska: BSNG ARDAN NYUCI MOHIL PAKEK BOXERRR!!
Dea: typo tuh
Ajeng: PAKE BAJU GAK?
Jessy: yaqin?
Puput: demi apa miskah
Sasa: kakak2 aku lg di warung mpok jaenab, ada yg nitip?
Dea: kenapa gk pake sarung lg sih? Kalo boxer kan aurat kemana2
Ajeng: lo ngemeng apa sih @Dea
Jessy: aurat mana yg lo masalahkan?! @Dea
Dea: bulu2 di kakinyaaa
Sasa: ish, aku dicuekin
Ajeng: PAKE BAJU KAN?
Eriska: lo pikir dia nyuci mobil sekalian mandi?!
Ajeng: ya sapa tau emg mau mandi sekalian, gue mau gabung gitu
Puput: gw pengin nyabunin, nyampoin, ngehandukin! Dahlah, gw siap jd ibu dr anak2 dia
Jessy: imajinasi gw gak nyampe tolong! @Ajeng @Puput
Sasa: YAKIN GAK ADA YG NITIP SARAPAN NIH?
Ajeng: sasa admin grup bukan sih? kick aja dia brisik
Sasa: JAHAT AKU ADUIN BANG ARDAN!
Dea: nitip nasi uduk dong @Sasa, pake uangmu dulu
Sasa: lagu lama basi @Dea
Eriska: pada niat nonton bang ardan kagak sih? mubazir info berharga gue!
Jessy: gw turun skrg!
Ajeng: i'm cominggg
Puput: on my wayyy
Dea: gw udah di gerbang
Kerusuhan tanpa suara segera tercipta di balik gerbang. Kali ini sambil waspada. Jangan sampai kejadian mereka terjungkal terulang lagi. Selama ini imej mereka memang sudah rusak di mata Ardan, tapi pantang mempermalukan diri sendiri. Jangan.
"Agni udah pulang kan?" Jessy berbisik awas.
"Udah. Gue tadi lihat," sahut Eriska.
Ajeng mulai meracau. "Insting mencuciku gede nih tiba-tiba."
"Lo cuciin baju gue sana."
"Nggak gitu konsepnya!"
"Berisik gue jorokin keluar ya!" desis Jessy sambil menggertakkan gigi.
"Jorokin ke dadanya Bang Ardan tapi ya."
"Ngelunjak!"
"Kalau mau berantem, pada minggir!" Eriska memberi peringatan dengan nada rendah tapi tajam.
Akhirnya semua kembali mengintip dengan tenang. Mata-mata mereka makin membulat maksimal. Apalagi kaus putih yang dikenakan Ardan sudah basah bagian depan. Memperlihatkan lekuk kotak yang gagal mereka hitung karena jarak. Mendadak mereka ingin punya kekuatan untuk menghilang.
"Gue pengin ngitungin pack-nya ada berapa masa."
"Udahlah, anggap aja sixpack."
"Kayaknya lebih deh."
"Halah, nanti juga jadi onepack kalau udah bapak-bapak."
"Lo emang suka merusak imajinasi semua orang ya, De."
"Gue cuma menerima dia apa adanya tanpa ngeributin kotak perutnya ada berapa."
Kedua tangan Jessy mengibas-ngibas kesal. "Gue jorokin beneran ya—"
Belum selesai ancaman dari Jessy, gerbang ditarik dari luar secara tiba-tiba. Tidak. Kali ini mereka aman, tidak perlu drama terjungkal segala. Tapi lihat siapa yang berdiri di depan gerbang. Mereka sontak menelan ludah. Dea langsung cegukan. Ke-gap dong. Anjir. Bengek jadinya. Susah napas. Apalagi harum sabun mobil menyeruak begini. Belum lagi wajah berkeringat Ardan menjungkirbalikkan akal mereka.
Jessy nyengir. Menyelipkan rambut ke belakang telinga dengan kikuk. Bisa berubah manis kalau di depan Ardan saja. "Ada apa, Bang?"
Sasa yang menyambar. "Ish kalian ternyata. Aku mau narik gerbang jadi nggak bisa. Akhirnya minta tolong Bang Ardan."
Dengan matanya, Puput dan Ajeng mengumpat ke Sasa. Kenapa mereka luput menyadari kalau Sasa berusaha menarik gerbang dan gagal? Pesona Ardan yang mencuci mobil sedahsyat ini rupanya. Sampai-sampai Sasa menjadi tak kasat mata.
"Abang kenapa nyuci mobil?" Dea bertanya.
"Kan besok mau buat kondangan."
Ajeng menyambar. "Oh bener! Kita nebeng ya?!!"
"Kalian ngapain ngumpul di gerbang?" Ardan menyeka keringat di pelipis dengan punggung tangan sekaligus menghindar dari jawaban.
"Bang, jangan!"
Ardan bingung. "Hah?"
Puput sudah menjulurkan satu tangan. "Sini aku elapin!"
Ardan menatap horor.
"Keringetnya. Sini aku bantu elap."
Jessy menggeplak tangan Puput dengan kekuatan maksimal saking jengkelnya.
Kembali ke pertanyaan Ardan. Fokus dong fokus!!
Ajeng yang menjawab pertama. "Olahraga, Bang!" Olahraga mata dan jantung.
"Nungguin Sasa aku, Bang. Nitip nasi uduk ke dia."
"Aku lagi nyari angin, Bang. Bagus nih udara depan gerbang. Sejuk." Puput menggerak-gerakkan tangan, seolah meresapi udara yang sedang dia hirup. Hidung dan mulutnya pun megap-megap biar terlihat totalitasnya.
Yang lain, yang mentok tidak punya alasan untuk ngeles, hanya mengangguk. Alasan Puput terdengar paling masuk akal.
Ardan menyeringai tipis. "Ngintipin gue nyuci mobil lagi?"
"NGGAK KOK NGGAK!!"
"KATA SIAPA HAHAHAHAHAHA."
"ORANG KITA CUMA—"
"Iya. Ngintip. Sekalian, Bang." Dea dengan wajah tidak berdosanya. "Eh tapi beneran, aku memang nunggu nasi udukku kok, Bang! Nih yang lain nih, sengaja ngintip! Aku mah nggak sengaja ya."
"Lain kali boleh bantu nyuci, Bang?" Sekalian, sudah tertangkap basah. Lanjut berkubang.
"Papaku punya carwash lho, Bang. Inget kan?"
"Mamaku punya laundry, Bang. Inget juga kan?"
Ardan terkekeh sumbang dan pelan-pelan menjauh. "Nggak. Makasih. Gue bisa sendiri."
Begitu Ardan sudah berbalik, Jessy langsung menarik lengan Sasa. Eriska sigap menutup gerbang kembali. Mereka sudah membuka mulut, siap mengomeli Sasa yang sok manja dengan minta dibukakan gerb—
Tiba-tiba Dea bertepuk tangan sendiri. Masih dengan wajah terkesima. Kedua tangannya mengepal gemas di pipi lalu memekik tertahan, "Ada eightpack!!!"
"LO NGITUNG?!"
"Mana tadi yang katanya terima dia apa adanya. Mamam tuh eightpack mamam!"
"Lah kok ngamok?" Dea mulai ditinggalkan sendiri di depan ruang TV. "Kan gue baik, bantu ngitung. Heiiiii."
Diabaikan.
"Beneran. Kita tetap bersaing secara fair kok. Gue cuma ngitung astaga. Kagak pegang!"
Semakin diabaikan.
"Gaes ...?"
***
Selain mati air menjadi salah satu petaka, maka salah dua adalah mati listrik! Malam minggu pula. Langit mengerjap benderang. Gemuruh. Siap hujan lebat.
Sukma sudah mengingatkan Ardan untuk bersiap. Ribut soal lilin. Sukma tahu anak-anak kosnya pemberani tapi soal gelap, memang wajar takut.
"Dan, udah sana, cek dulu. Mereka punya persediaan lilin apa nggak. Mama firasat kalau banyak petir biasanya kan sengaja dipadamin dari PLN-nya."
"Abang PLN-nya bisa madamin petirnya?"
"Kamu receh nurun dari siapa?" Sukma menepuk bahu anaknya.
"Mama ini, orang terang begini. Mati lampu gimana."
Lalu gelap seketika.
Ardan langsung bangun dari rebahan di pangkuan mamanya. Dia meraba ponsel di meja. Menyalakan senter saat Didit memanggilnya. Dia bertugas menjemput ke kamar dan membawa Didit ke ruang tengah. Jingga? Selama baterai laptopnya masih, mana peduli sekalipun gempa bumi.
Mbak Cici mengambil lilin ke dapur. Memasang di beberapa titik. Ardan pamit ke kos depan sambil membawa dua kotak lilin. Sementara dia hanya berbekal senter ponsel. Dia hanya sebentar. Niatnya begitu sih.
Namun, saat tiba di teras kos, hujan turun dengan sangat deras. Dari semula niatnya hanya menaruh lilin tambahan lalu pulang, jadinya mengecek mana-mana saja yang bocor. Ruang TV ternyata bocor. Menggigit ponselnya, dia menggeser sofa sebelum basah. Lalu juga menggeser meja TV.
Lantai satu tidak ribut. Mungkin sudah berkumpul di salah satu kamar dan semoga saja tidak menyadari kehadirannya.
Ardan mengarahkan senter ke langit-langit koridor, mencari siapa tahu ada yang bocor. Lantas naik ke lantai dua. Bertemu dengan Agni yang berjongkok, sepertinya mencari lilin di lemari dapur bagian bawah.
"Nyari lilin?"
Agni mendongak dan berdiri.
Ardan tidak perlu jawaban atas pertanyaan retorisnya. Dia meletakkan dua kotak lilin di meja dapur. "Ada yang bocor nggak di lantai dua?"
"Nggak tahu." Agni mengambil sebatang lilin dari kotak. Mematikan senter di ponsel dan fokus menyalakan lilin dengan korek gas.
"Lorong?" Ardan sesekali mengarahkan senter ponsel ke langit-langit dan pada Agni yang kesulitan menyalakan korek gas.
"Kayaknya nggak."
Ardan mendekat, mengambil korek gas dari tangan Agni. Menyalakannya dalam sekali coba. Kemudian mendekatkan ke lilin yang dipegang tangan kiri Agni. "Kamar lo, bocor nggak?"
Hingga lilin menyala sempurna dan Ardan mematikan korek, belum juga ada jawaban. Agni baru bereaksi ketika Ardan menatapnya.
"Ehm ..." Agni mengedikkan bahu. "Biasanya nggak."
"Coba cek. Soalnya hujan biasa sama hujan lebat beda. Apalagi kucing tetangga suka pacaran di genteng."
"Bentar." Agni memutar badan, melangkah ke kamar. Ardan mengikuti dua langkah di belakangnya. Awalnya santai, kemudian tergesa saat Agni berseru. "Baju guee!"
Ardan tidak bisa langsung masuk saat Agni ribut memindahkan jemuran kering dari atas kasur. Yang mana isinya tahu sendirilah. Ini mati lampu ya, tapi bisa-bisanya mata Ardan menangkap tali yang memiliki pengait—menjulur di antara baju-baju yang disingkirkan ke atas kursi.
Warnanya? Ungu tua. Eh, hitam sepertinya. Atau malah biru dongker? Bodoh. Malah mempermasalahkan warna! Bukannya bantu Agni.
Ardan cepat mendahului mengangkat kasur busa itu dan menyandarkannya ke tembok, sebelum Agni melakukannya. "Lo tidurnya ngungsi ke kamar Mbak Ayuk dulu deh."
"Gampang." Seperti bukan masalah besar kalau didengar dari jawaban. "Atau gue bisa tidur di ruang TV."
"Janganlah!"
Agni menatap aneh.
"Ya, jangan, maksudnya di sana juga bocor." Ardan lalu menunjuk langit-langit. "Besok habis kondangan gue cariin tukang."
"Oke."
Ardan masih mengamati langit-langit yang bocor.
"Lo ada urusan lagi?" usir Agni terang-terangan. "Kalau nggak, boleh pergi."
Ardan menurut, keluar dari kamar Agni. "Lo ada korek selain yang tadi?"
"Kenapa?"
"Lilin lo ntar kalau mati, heboh. Mewek. Ngedrama. Bilang kalau gue tega. Gue ini, gue itu. Ntar lo ngadu ke nyokap gue. Padahal kan gue udah tanya lo punya korek cadangan apa ngga—"
"Dan." Terpaksa dipotong. "Lo nyabu ya?"
Terperangah tak habis pikir. "A-apa?!"
***
Kangen banget ya? 🤣
Minggu/28.02.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top