Bagian Empat


Di samping rumah Ardan, ada sisa pekarangan kecil yang biasanya digunakan anak-anak gang untuk nongkrong. Ada pohon mangga yang cukup rindang. Di bawahnya, Ardan memberi bangku yang cukup lebar untuk duduk sekitar lima-enam orang. Memang baru setahun ini dijadikan tempat nongkrong. Sebelum Ardan pulang, dulu anak-anak ikut bergabung di warteg dan harus tabah mendengar jokes bapak-bapak gang yang cringy.

Yang sering menguasai tempat ini memang hanya Ardan dan teman-temannya. Kalau para bapak-bapak markasnya ada di warteg Mpok Jaenab yang jelas-jelas ada kopi, gorengan dan TV. Letaknya tidak jauh dari rumah Ardan, hanya terpisah dua rumah.

Emil sudah duduk di bawah pohon mangga sambil merokok ketika Ardan datang memeluk gitar. Tak lama setelahnya, datang Saiful dan Edo.

Sebelum menggenjreng gitar, Ardan melempar pertanyaan. "Gimana interviewnya? Keterima kerja nggak?"

Edo yang menjawab. "Dikabarin minggu depan katanya."

"Tahulah, Bang. Males berharap sama yang ini." Saiful menambahkan.

"Lo berdua enak, masih muda, belum punya istri sama buntut." Emil menepuk punggung mereka bergantian. "Yang semangat dong cari kerjanya! Nggak mau kawin lo?"

"Ya maulah."

"Panutan gue belum kawin, gue mah santai." Edo melirik Ardan. Yang dilirik sibuk mengencangkan tali senar.

"Dia mau kawin besok juga bisa. Tampang oke banget kayak pemain sinetron begini, tinggal tunjuk, dateng sendiri tuh perempuan. Duitnya juga banyak. Emaknya juragan kos sama katering. Nah elu?"

Oke. Senar sudah kencang. Mengabaikan soal kawin-kawin, Ardan siap memetik—

"BANG ARDAN, ADA TIKUS! AAAA!!!"

Sedetik. Dua detik. Tiga lelaki itu saling sikut demi bisa bangkit dari bangku lebih cepat. Saling tarik lalu sama-sama terjungkal di atas bangku. Tangan-tangan terangkat untuk merenggut rambut lawan. Lanjut bergulat dengan kaki. Cukup sengit. Ardan sesaat terhibur melihatnya.

"Bang, inget bini lu, Bang!"

"Jangan halangi jiwa kompetisi gue, Ipul!"

"Anak lo malu lihat bapaknya, Bang!"

"Lo jangan bawa-bawa anak gue, Do!"

Sambil menunjuk dengan heboh, Saiful berusaha lepas dari pergulatan itu. "Bang, bini lo ke sini sumpah gue nggak bohong!"

Dalam satu gerakan, Emil melepas tangannya dari rambut Edo dan langsung bangun. Begitu tidak melihat siapa-siapa, dia kembali menyerang Saiful, jambakannya semakin kencang. Edo yang sudah lelah dan ingin melerai malah ikut kena jambak. Ardan membiarkan, malas menghentikan.

Teriakan kedua dari ruang TV di dekat gerbang kos terdengar lagi. Bukannya tidak sigap datang, tapi Ardan menunggu kalau-kalau tikus itu sudah kabur sehingga dia tidak perlu ke sana. Ini sudah malam, cukup satu kali saja Ardan ke sana gara-gara kecoak dan pemandangan tidak seharusnya terpampang jelas.

Para perempuan dan baju malamnya yang Ardan tidak mengerti. Tanktop dan hotpant. Inilah kenapa tiga orang ini berebut ingin datang. Tentu demi pemandangan indah itu, bukan karena sungguhan ingin mengusir tikusnya. Ardan pernah bercerita dan mereka jadi penasaran.

Ardan berhenti di depan gerbang yang masih tertutup tapi belum digembok. "Girls, tenang. Tikusnya ada di mana emang? Belum pergi?"

"Nyelip di bawah sofa kayaknya, Bang." Salah satu menjawab dengan gemetar.

"Ada berapa sih tikusnya?" Sambil mengulur waktu, siapa tahu tikusnya sudah siap kabur.

"Dua."

"Nggak. Gue lihat cuma satu kok."

"Satu apaan sih. Tiga, Bang, tiga."

"Ngaco lo ya. Tiga dari mana, orang jelas-jelas cuma dua."

"Bodo amat berapa, buruan usir, Bang!!"

"Bang, Sasa hampir ngompol nih, buruan usir!"

"Ih, fitnah. Nggak ngompol kok, Bang."

Ardan menghela napas. "Pada pake baju—?"

Dipotong dengan serempak dan ngegas. "YA PAKE DONG, BANG, ASTAGA."

Maksudnya baju yang pantas. Belum selesai ngomong, main potong aja. "Gue nggak berani masuk sebelum kalian nyingkir dari ruang TV."

"Emang kenapa, Bang? Gerbangnya kan belum digembok. Langsung masuk aja."

Hadeh. Harus dijelaskan seperti apa? Ardan silau dengan paha putih mulus mereka? Itu belum ditambah dengan belah—Ardan mendadak pusing membayangkannya.

Akhirnya salah satu dari mereka ada yang paham. "Sori, Bang, sori. Kami lupa kalo lo lelaki normal."

Ardan menepuk-nepuk dada sendiri dengan dramatis. Setahun ini lo dianggap apa sama mereka, Dan? Ibu kos? Jelas-jelas lo lelaki tulen sejak lahir.

Kemudian terdengar komando. "Yok, satu-satu lompat ke sofa gue. Terus lompat masuk ke kamar Eriska. Jangan panik oke. Tikusnya sedang mengintai kita. Jangan sampe lo jatoh. Sasa tahan jangan ngompol di sini."

Ardan menunggu seraya tertawa pelan. Seketika merasa iba dengan tikus yang nyasar di tengah mereka. Semoga si tikus tidak tekanan mental.

Emil tergopoh sampai di sebelahnya. "Mana tikusnya mana?"

"Balik gih. Yang lo cari nggak ada."

"Lo nggak tahu perjuangan gue buat sampe ke gerbang ini?" Menyuruk-nyurukkan kepala ke arah Ardan. Rambut gondrongnya yang setengah keriting itu tampak berantakan.

Ardan malas ribut. "Balik atau gue bilangin bini lo."

Emil mengerucutkan bibir. Asal kalian tahu, istrinya lebih mempercayai Ardan ketimbang dirinya. Tentu satu aduan dari mulut Ardan akan mengundang petaka. Emil mengentakkan kaki sebelum berbalik. Memaki Ardan dua kali. Kembali ke bangku  dan disambut gelak tawa.

Setelah berhasil mengusir tikus, memastikannya lari melewati gerbang, Ardan kembali ke bangku. Hanya mengambil gitar, tidak duduk dan langsung pulang. Niatnya dia hanya nongkrong sebentar karena sudah ada janji dengan Jingga.

"Bang, mau ke mana?"

Sambil menyisir rambut gondrongnya dengan jari. "Pulang banget nih, Dan? Belum juga konser kita."

"Udah ngantuk lo, Bang?"

Ardan menjawab sambil melangkah pulang. "Jingga ada PR prakarya. Kalau nggak dibantu, ngamok dia."

Sampai di rumah, Ardan melihat Mama menonton sinetron sambil memegang ponsel. Siap siaga kalau ada anak kos yang baru pulang kerja minta dijemput. Mbak Cici duduk di sebelah Mama, ikutan fokus ke sinetron. Mereka berdua kompak memasang ekspresi yang sama sesuai dengan adegan yang muncul di layar besar itu. Mereka akan ngomel ketika tokoh jahat menyakiti si tokoh utama. Didit? Duduk manis di pojokan sofa sambil menjilati es krim. Orang rumah sudah lelah melarang soal makan es krim di malam hari.

"Depan ada apa, Dan? Kok tadi kayaknya heboh."

"Tikus masuk ke ruang TV, Ma."

"Udah beres tapi?"

"Udah kok."

"Mas Ardan nggak merasa dimodusi sama mereka?" Mbak Cici nimbrung.

Mama mengulum senyum penuh makna.

"Emang beneran ada tikus, Mbak."

Sudah. Godaan itu tidak berlanjut. Barusan karena iklan saja makanya sempat meledek Ardan. Sekarang, sinetron kesayangan mereka sudah kembali tayang dan Ardan diabaikan.

Ardan menghampiri Jingga yang duduk di lantai. Kertas karton dan potongan kardus berserakan di dekatnya. Adiknya itu tetap bisa fokus meski ada di tengah keseruan sinetron. Bahkan sepertinya Ardan tidak perlu bantu, rekayasa lalu lintas ibu kota ala-ala ini sudah hampir jadi.

"Terus besok bawanya gimana?"

"Anterin pake mobil dong, Bang."

"Oke." Lalu mengamati Jingga yang hati-hati menempel lampu lalu lintas. "Abang perlu bantuin apa?"

Tanpa mengalihkan pandangan. "Abang cuma perlu lakuin satu hal aja. Gampang banget, nggak keluar tenaga pokoknya."

Ditanggapi serius. "Apa?"

"Kasih aku uang buat beli bedak."

"Nggak."

"Abang tuh nggak pelit. Ayo mari pertahankan imej itu tetap menjadi milik Abang selamanya. Mengingat selama ini Mama tuh pelit. Rakyat jelata kayak aku sama Didit bakal berpihak ke Abang terus pokoknya."

Di tengah asyik menikmati sinetron, peringatan pertama dilayangkan Mama. "Jingga .... "

"Bang, cuma tiga ratus ribu kok."

"Abang nggak pegang uang segitu."

"Ya udah, pinjem kartu atm-nya aja, kasih tahu pin-nya. Aku ambil sendiri. Janji sumpah nggak akan lihat isi saldo."

Ardan menghela napas. Duduk mundur hingga menyandar ke sofa. Meluruskan kaki sambil mengamati adik perempuan kesayangannya ini. "Kamu ini udah cantik, Jingga. Abang bukannya pelit. Kasihan kulit kamu kalau dihajar sama bahan-bahan kimia. Ada cowok yang kamu suka dan dia mewajibkan kamu glowing? Sini, biar Abang gampar bolak-balik."

Memang bukan berupa teriakan, tapi balasan dari Jingga terdengar dingin.  "Abang tuh nggak tahu apa-apa."

Sesaat Ardan tertegun. Ada yang salah dengan kalimatnya? Reaksi Jingga di luar dugaannya. Dia pikir anak ini akan berteriak dan menyanggah seperti biasanya, bukannya terus menunduk ke prakarya sambil menghindari tatapan Ardan.

"Abang salah ngomong?"

Tidak dijawab.

"Ya udah, Abang minta maaf."

Tidak dijawab lagi. Sesulit inikah menghadapi anak remaja yang sedang fase menuju dewasa?

Ardan menyerah. Dia mengeluarkan dompet. Menarik salah satu kartu atm dan mengulurkannya ke arah Jingga.

"Ambil sebelum Abang berubah pikiran."

"Abang emang ikhlas?"

"Tiga detik."

"Pasti kepaksa."

"Tiga. Dua. Sa—"

Mengangkat wajah, menyambar uluran kartu atm di depannya. "I love you, Bang!"

Mama berkata prihatin ketika sinetron sedang jeda iklan. "Adikmu itu suka sok ngambek biar dikasih. Kamu juga, gampang banget luluh. Tuh, dia nyengir ngeselin kan jadinya."

***

Senin/11.01.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top