Bagian Duapuluh Satu

"Emang kenapa, Bang?"

"Jangan keluar malem dulu. Situasinya lagi nggak aman."

Sasa mengatupkan bibir. Dia sempat berharap Bang Ardan kesambet dan mengajaknya kencan—hal yang mustahil. Sudah tahu tidak mungkin, Sasa masih saja berani berharap. Nampaknya semangat kakak-kakak kos sudah merasukinya. Dia awalnya hanya melihat Bang Ardan sebagai sosok kakak lelaki yang ganteng dan baik, tapi karena terbiasa nimbrung setiap penghuni kos ghibah Bang Ardan—entah di grup Whatsapp atau ruang TV—jadilah pandangan Sasa berubah. Perasaan kagum menjelma menjadi sayang.

Jantungnya rajin disko setiap melihat Bang Ardan. Pun tingkahnya mendadak konyol cenderung sembrono kalau di depan Bang Ardan. Padahal Sasa dulunya kalem dan anti namanya keselek popcorn—jangan dikira gimmick ya, Sasa sungguhan keselek kemarin, bukan sengaja mau caper di depan Bang Ardan.

Oke, kembali ke Bapak Kos kita yang masih berdiri di depan pintu kamar Sasa dengan gantengnya. "Tapi kan aku pasti dianter sampai depan gerbang kos. Apa jemputnya mesti izin ke Abang dulu?"

"Nggak usah pokoknya."

"Nggak usah yang mana? Pergi keluar apa yang izin dulu?"

"Nggak usah keluar. Otomatis yang kedua mengikuti."

Sasa manggut-manggut. "Emang serem ya, Bang, ekshibi-ekshibi itu?"

Mau tak mau Ardan jadi ingat kejadian laknat itu. Sekuat tenaga berusaha menghalau serangan ingatan yang masih begitu melekat. Juga menahan untuk tidak bergidik meski bulu kuduknya mulai meremang. "Bukan serem sih. Geli aja. Merinding."

"Kok geli? Merinding?" Sasa menyipitkan mata.

Ardan cepat-cepat memberikan jawaban yang lebih tepat sebelum Sasa menyimpulkan apa-apa. "Ya bagi perempuan jelas serem, Sa. Tapi nggak tahu ya kalau Agni gimana."

Namun, Sasa tidak teralihkan dari jawaban Ardan sebelumnya. "Abang emang pernah ketemu?"

"NGGA—" Ardan tidak seharusnya berteriak, jadi dia menurunkan suara. Berdeham. Memberi tekanan saat menjawab. "Nggak." Dengan harapan tidak dibahas lebih lanjut.

"Abang kalau ketemu orang kayak gitu, bakal gimana?"

ADA APA DENGAN SEMUA ORANG?! Ardan memegang dada, menahan emosi. "Gue maki itu orang."

"Terus Abang pukul?"

Gue pilih lari.

"Abang bisa berantem, 'kan?"

"Harus ya kita bahas ini, Sa?"

"Hehe. Silakan pulang, Bang. Makasih ya."

***

KOS KENANGA

Dea: girlssss, sasa enaknya diapain?

Jessy: sasa kick dulu dong jamettt

Sasa: aku jangan diapa2in, msh kecil, masa depanku msh panjang, mana blm bisa dapetin bang ardan:(

Dea telah mengeluarkan Sasa.

Ajeng: bikin adonan kek biasa?

Eriska: sasa takut apa sih?

Dea: kecoak?

Puput: @Dea yee, kalo itu kita semua jg takut -_-

Dea: tikus putih?

Puput: lo mau pingsan duluan sblm ngerjain sasa? @Dea

Dea: kodok?

Ajeng: gue takut jangannn!

Dea: anakan kobra gmn? 🤣

Jessy telah mengeluarkan Dea.

Jessy: waktunya mepet, bikin adonan kek biasa aja. Harusnya bahas dr kemaren njir

Ajeng: ya maap, ini aja tulang punggung mau lepas semua, akhir bulan coy

Puput: lemburrr jg 😭

Eriska: tepung sm telor aja?

Jessy: @Eriska sip, lo yg bikin ya

Eriska: oghey

Ardan: jangan bikin keributan apalg kotor2an ya, sayang tepung sm telornya

Ajeng: sayang aku jg ga bang?

Eriska: sayang aku jg ga bang? (1)

Puput: sayang aku jg ga bang? (2)

Jessy: eh kok ada bang ardan? 😂

Ardan: cie salah grup~

Ardan: @Ajeng @Eriska @Puput gak

Jessy menjerit dari dalam kamarnya di lantai dua. "DEAAAAA! Bisa-bisanya lo salah grup! Mama mertua kalau ikut baca gimana?!"

***

"Kok kamu senyum-senyum sendiri, Dan?"

Ardan meletakkan ponselnya di meja makan. "Ini, Ma, anak-anak kos mau ngerjain Sasa."

"Kamu marahin?" Sukma menata perkedel di tepian nasi kuning yang berbentuk kerucut.

"Cuma negur halus, Ma. Mereka mau bikin air tepung sama telur. Kan sayang. Apalagi malem. Masa iya bikin anak orang basah kuyup."

Sukma hanya geleng-geleng saja. Maklum dengan tingkah anak-anak kosnya, yang sebenarnya wajar di seusia mereka. "Kamu dapat jatah ronda kapan, Dan?"

"Nanti malam."

"Mau dibawain bekal apa?"

Ardan meringis. "Kayak mau berangkat perang aja, Ma."

"Lah kan iya. Kamu harus bisa nangkap orang itu, Dan."

"Mama bakal bangga kalau aku bisa nangkap dia?"

"Jelas iya."

Ardan menumpukan kedua siku di meja dan menangkup wajah dengan telapak tangan. Meremas-remas rambut bagian depan. Sukma terlalu sibuk untuk menyadari gestur Ardan.

"Mama buatin snack tadi. Sebagian buat anak kos, sebagian buat kamu bawa nanti."

"Emang Mama sempat bikin snack segala?"

"Cuma ini ...." Sekarang ganti menata suwiran ayam. "... bikin bola-bola ubi, pisang nugget, sama goreng emping."

Mama termasuk orang yang jarang berbasa-basi kalau memberi kejutan. Begitu lepas jam tujuh, dibantu dengan Mbak Cici, Mama membawa tumpeng ke kos. Meletakkannya di meja ruang TV lantas memanggil anak-anak kos agar berkumpul. Terkhusus Sasa, Mama sendiri yang mengetuk kamarnya. Bak anak kandung, Sasa dirangkul dengan akrab dan diajak ke ruang TV.

Tidak ada kejutan ala-ala, setidaknya Ardan bisa tenang karena tidak ada keributan, yang artinya Geng Rusuh menuruti omongannya. Ketika semua anak kos—kecuali Agni—sudah berkumpul di ruang TV, acara dimulai. Mama menyiapkan es krim tiramisu yang diberi lilin. Ardan meringis dalam hati. Itu punya Jingga dan tinggal satu-satunya, bisa ngamuk anaknya kalau tahu es krim kesayangan diberikan ke orang lain.

Acara tiba di bagian potong tumpeng. Sasa memberikan suapan pertama ke Sukma, sebagai bentuk terima kasih karena sudah repot-repot begini. Lalu suapan kedua, disodorkan pada Ardan yang seketika kaget karena tahu-tahu sendok sudah ada di depan mukanya.

"Gue makan sendiri aja ya." Ardan tersenyum tipis, mengambil sendok dari tangan Sasa, sedikit susah karena Sasa bersikeras ingin menyuapi.

"Aak, Bang, aaaak." Sasa seperti sedang membujuk anak kecil agar mau membuka mulut.

Ardan akhirnya mengalah. Di bawah tatapan mupeng dan nelangsa Geng Rusuh, Ardan menerima suapan Sasa.

"Cepet dewasa ya." Ardan menepuk pelan kepala Sasa. Itu pun juga tak luput dari tatapan terluka dari Geng Rusuh yang ingin ditepuk kepalanya seperti itu. Lalu masing-masing menggali ingatan. Ardan tidak pernah begitu saat mereka ulang tahun. Sungguh tidak adil!

"Wah, ada rame-rame apa nih?" Emil datang dengan membawa lipatan sarung yang dikalungkan di leher. Matanya mengedar dan berhenti di Sasa. "Dedek Sasa ulang tahun?"

"Iya, Bang Emil."

"Selamat kalau gitu. Semoga makin cantik dan besar—eh astaga." Menampar mulut sendiri. "Dewasa maksudnya."

"Makasih, Bang."

Saat melihat Sasa masih memegang sendok dan sepiring kecil nasi kuning. "Minta disuapin juga dong."

Ardan meraup wajah Emil dan mendorongnya keluar dari ruang TV. Ardan pamit seraya menarik Emil yang sempat berkelit untuk mencomot dua perkedel dari meja.

Saat mereka berdua menjauh, samar terdengar. "Tante, kok bolehin Bang Ardan temenan sama Bang Emil sih?"

"Emang kenapa nggak boleh?"

"Bang Emil nggragas kayak gitu."

Ardan tertawa. Emil melirik senewen sambil mengunyah perkedel.

"Lo tahu nggak sih arti nggragas, Mil?"

"Bodo amatlah." Emil berkata congkak. "Penting gue udah laku ini. Ganteng doang tapi jomlo, buat apa."

Ardan tidak membalas dengan kalimat, tapi dia melompat dan memiting Emil. Yang dipiting tetap santai mengunyah perkedel.

Mereka berjalan menuju pos ronda di gang utama. Di sana sudah berkumpul bapak-bapak, sedang bermain catur.

Ardan menyapa dan meletakkan kotak makanan yang sudah disiapkan Mama di teras tadi.

"Apa nih, Dan?" Salah satu bertanya, melepas sejenak mata dari papan catur.

"Sedikit snack bikinan Mama, Pak. Mumpung anget."

"Wah, makasih. Bilang makasih ke mamamu ya."

Emil yang tadinya menyandar di tiang pos, menegakkan tubuh. "Dan, temenin ke warung gang sebelah. Beli sebat."

"Sendiri aja."

"Gue takut dicegat sama orang gila."

"Belum ada jam sembilan, Mil. Dia keluarnya jam sebelasan." Ardan malah duduk di tepian pos yang berlantai keramik itu. Memperhatikan permainan catur dan mengabaikan Emil. "Keluar jam segini minta digebukin apa."

"Tahu dari mana lo dia selalu keluar jam sebelas? Siapa tahu dia mau ubah jam operasi setelah beberapa hari, mungkin dia bosen. Nggak ada yang tahu, 'kan? Kecuali lo emang berteman sama dia danhmpppt—"

"Udah, udah, ayo buruan!" Ardan berdiri dengan kesal sambil membungkam mulut Emil. Menyeretnya menjauh dari pos ronda.

Ardan menunggu di jalan sementara Emil masuk ke warung. Sambil mengedarkan pandangan ke sekitar—matanya tiba-tiba menyipit saat sebuah mobil berhenti di gapura utama. Sepertinya menurunkan seseorang. Ardan belum bisa melihat siapa yang turun karena silau lampu. Tapi ketika mobil itu mundur dan berputar pergi, Ardan bisa melihat jelas siapa yang baru saja diturunkan.

"Woi, Dan, mau ke mana lo?"

Ardan tidak mendengarkan seruan Emil dan berjalan menghampiri Agni yang juga berjalan ke arahnya. Mereka bertemu di tengah. Sama-sama berhenti.

"Tumben pulang jam segini?"

"Ini hari terakhir kerja."

"Oh. Dianterin siapa?"

"Atasan gue. Tadi habis makan-makan farewell."

"Oh."

Agni memasukkan kedua tangan ke saku jaket. "Mau interogasi apa lagi?"

Ardan menunjuk ke arah gapura, tempat mobil tadi sempat berhenti. "Yakin cuma atasan yang anter pulang sehabis farewell? Nggak lebih?"

"Dia mau lebih."

"Terus lo kasih?!" Ardan meninggikan suara. Lalu menelengkan kepala. "Eh, bentar. Dia mau apa dari lo?"

"Pikiran lo pasti jorok."

"Siapa juga yang mikir itu." Ardan berniat membela diri tapi malah blunder. "Tapi apa sih yang dipengin cowok kalau bukan itu."

"Nah, persis kayak yang ngomong."

"Eh, apa nih, apa nih. Jangan kelahi." Emil datang dan berdiri di tengah mereka. "Jawab cepet! Bumi bulat apa datar?"

"Bulat!"

"Datar!"

"Oke, kalian nggak jodoh." Emil bertepuk tangan, terbahak tapi langsung kicep saat sadar hanya dirinya sendiri yang tertawa.

Agni berlalu dari sana. Menoleh sewot saat Ardan terlihat menyusul. "Lo ngikutin gue?!"

"Pede banget. Orang gue mau ambil HP, ketinggalan di rumah."

"Jangan lama-lama!" Emil berseru.

Ardan dan Agni kompak membisu sepanjang jalan 350 meter itu. Tidak ada yang dipikirkan. Hanya saja tidak tahu mau bicara apa. Agni tidak terbiasa berbasa—dia tersentak saat bahunya tiba-tiba disenggol.

Sebuah motor melewati mereka, melaju kencang dan hampir menyambar Ardan yang berjalan di sisi kanan Agni.

"Woi, jalan gang nih, udah kayak sirkuit aja! Bapak lo yang ngecor aspalnya?!" Ardan refleks ngomel. Jantungnya nyaris lompat ketika lengannya nyaris kena senggol spion motor.

Senggolan di bahu Agni cukup kencang, kalau saja tidak ada satu tangan yang menahan pinggangnya, Agni pastilah sudah nyungsep ke selokan. Yang jadi masalah, tangan ini masih nangkring di pinggangnya. Agni melirik tajam Ardan yang masih menatap ke arah pengendara motor tadi. Nyari kesempatan?!

Sebelum Agni menyemburnya, Ardan segera mengangkat kedua tangan dan menjauh dua langkah. "Sori, gue beneran kaget barusan."

"Gue jalan duluan. Lo jalan pas gue udah lima langkah!"

"Dangdut banget." Ardan mendengkus geli. Anehnya, dia menurut, benar-benar menghitung langkah Agni sampai lima, baru dia mulai berjalan.

Petaka datang ketika Agni hampir mencapai gerbang kos. Dia tidak menduga jika Sasa akan muncul dari mulut gerbang. Lari kencang dan menghambur padanya. Sebelum bisa memahami apa yang sedang terjadi, Sasa sudah berlindung di punggung Agni, persis ketika guyuran air berbau amis menghantam Agni. BYURRRRRRR!!

"YA AMPUN, AGNI, AGNI, SORIIIIIII." Ajeng panik sendiri karena guyurannya salah sasaran. Agni pula. Kalau penghuni kos yang lain lebih mudah urusannya.

Ardan ingin tertawa melihat Agni yang mematung menahan emosi, tapi di saat yang bersamaan juga merasa kasihan. Sebadan kuyup dengan air campuran tepung dan telur. Pada akhirnya Ardan gagal menahan tawa saat Ajeng membuang ember sembarangan lalu bersimpuh di kaki Agni. Sebagai bentuk setia kawan, Geng Rusuh lainnya juga mengikuti apa yang dilakukan Ajeng.

"Kak Agni, maaf banget. Besok aku cuciin bajunya ya." Sasa merasa sangat bersalah. "Sama aku jajanin boba deh. Ehm, sushi tei?"

Mengabaikan Sasa, Agni menoleh ke Ardan yang tertawa dan mengabaikan rayuan Geng Rusuh di hadapannya. "Tawa lo? Seneng?"

Ardan mengangguk, lalu menggeleng. "Enggak. Udah, lanjutin, lanjutin." Menunjuk ke arah Geng Rusuh. "Mereka udah gue bilangin, ngeyel pada."

***

Sekali lagi, kamu tim mana:

1. Tim Ardan-Agni

2. Tim Ardan-Sasa

3. Tim Oleng

Tengkiuu masih ngikutin cerita ini 😘

Minggu/04.04.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top