Bagian Duapuluh Empat
Geng Rusuh berebut untuk duduk di sebelah Ardan. Sasa yang ada di sisi kiri Ardan nyaris kena gusur kalau dia tidak sigap mempertahankan posisi. Enak saja mau main rebut. Sasa bersungut-sungut, mengancam dengan tusukan sate.
Ardan mengabaikan urusan Geng Rusuh yang berisik soal tempat duduk dan memilih fokus ke tusukan sate. Memerlukan waktu beberapa menit sebelum akhirnya mereka bisa duduk tenang, itu pun masih saling sikut dan cubit.
"Abang kapan lewatnya? Kok aku nggak lihat." Dea yang bertanya. Terdengar kecewa karena bisa-bisanya radarnya kecolongan.
"Gue kebetulan pake cara ninja."
"Ngerayap di tembok?"
"Kok tembok, atap dong."
Agni mengangsurkan bungkus sosis dan tusukan sate ke Geng Rusuh. Biar mereka ada gunanya di sini selain caper ke Ardan.
"Abang, tadi sore kami minta jambu, hehe. Lupa bilang." Eriska nyengir.
"Iya, udah tahu."
"Aku jago manjat sampai atas lho, Bang." Dea membanggakan diri. Terdengar tidak penting. Teman-teman di sebelahnya kompak melempar tatapan aneh.
"Wah, hebat. Bakat dari kecil ya?"
Dea mengangguk senang. Padahal Ardan tidak berniat memuji. Bodo amatlah.
"Nggak dijual aja, Bang?" Jessy mengalihkan. "Jambu yang di pohon masih banyak banget. Sayang kalau dilemparin batu mulu."
"Biarin, biar pada puas ngambil buahnya. Tahun depan mau ditebang soalnya."
Puput menyahut antusias. "Beneran mau dibikin kos cowok, Bang?"
"Rencananya begitu."
"ANJIR, FIX, GUE PINDAH KE LANTAI DUA!" Eriska refleks berseru. Mengaduh kencang saat Jessy mencubit pinggangnya.
Ardan terkekeh. "Percuma. Gue bakal bikin lantai dua ngadep ke arah yang beda."
Geng Rusuh kompak protes. "Yah, kok gituuu."
"Tembok pembatas kos gue tinggiin biar ngekover lantai dua sama tiga."
"Bang, jangan!"
Dengan santai Ardan melanjutkan. "Jadi kalau mau jemur-jemur aman. Terus jemuran kalian nggak jadi pemandangan gratis buat mereka."
"Kita udah nunggu-nunggu kos cowok dibangun tahu, Bang. Jangan halangi niat baik kami buat nyari jodoh."
Ardan mendecak. "Ya ntar bisalah ketemu di warung Mpok Jaenab."
"Ngegebet kagak, ketikung iya." Ajeng merana. "Sekarang kalau nggak gercep, saingan di mana-mana, Bang. Temen makan temen juga banyak!"
"Emang yakin jodoh kalian ada di kos cowok yang belum jelas bentukannya itu?"
"Namanya juga ikhtiar, Bang."
"Jodoh bisa dipaksakan, Bang."
"Aku penginnya berjodoh sama Bapak Kosnya aja."
"Abang, nikah yuk?"
Semua kompak meraup wajah Dea. Yang lain masih tahap menggoda, dia langsung tancap gas. Lihat, wajah Ardan jadi ilfeel begitu.
Malas ikut nimbrung, Agni menyalakan kompor portabel dan meletakkan grill pan di atasnya. Dia mengolesi mentega di permukaan grill pan. Lebih banyak diam karena mau bicara juga sudah berisik oleh Geng Rusuh. Mereka terus menanyakan ini-itu ke Ardan. Bukan sungguhan ingin tahu, tapi memang niatnya caper dan ganjen. Sampai detik ini, Ardan masih menanggapi. Padahal jelas-jelas raut mukanya sudah lelah menjawab pertanyaan aneh-aneh dari mereka.
"Mbak, tolong dong." Agni berniat minta tolong ke Mbak Ayuk untuk membukakan tutup kaleng soda, tapi sebelum direspons, sebuah tangan sudah terulur-melewati Sasa-dan mengambil kalengnya lebih dulu.
"Mulai dibangunnya belum tahu bulan apa. Keputusan ada di Mama sih." Ardan membuka tutup kaleng dengan mudah, lalu mengembalikannya ke Agni. Sudut matanya menangkap Agni yang sempat bengong.
"Bang, aku juga." Sasa tentu saja melihat pemandangan persis di hadapannya itu. Dia pun meringis dan mengulurkan kaleng soda ke Ardan. Tentu saja Sasa iri setengah mati barusan.
"Ntar milih anak kosnya pake seleksi ya, Bang," usul Dea. "Kami siap jadi panitia."
"Udah dibilang, belum tentu mereka jodoh kalian."
"Kita butuh yang bening-bening. Tapi kalau nggak jodoh, udah biasa. Abang contohnya."
"Ya, ya, terserah." Ardan sudah menyerah.
"Main jawab jujur yuk!" Sasa meraih botol kecap di dekatnya. Dengan semangat meletakkannya di tengah-tengah tikar.
"Truth dare aja deh."
"Males ah, pake tantangan. Lo suka aneh-aneh. Nggak, jawab jujur aja."
Sasa bertepuk tangan, meminta perhatian. "Cukup jawab jujur aja. Satu pertanyaan, satu jawaban."
"Oke. Gas!"
"Yang mau muter duluan siapa nih?"
"Yang muter yang ngasih pertanyaan?"
"Iyap."
"Gue nggak ikutan." Agni hendak menyingkir, duduk menjauh dari lingkaran itu. Tapi lengannya langsung ditahan dan dipaksa duduk kembali oleh Sasa.
"Oke. Agni duluan yang muter," tunjuk Ardan.
Gagal kabur, Agni terpaksa memutar botol kecap dengan ogah-ogahan. Botol berputar. Semua pasang mata melebar penuh antisipasi, menanti botol akan berhenti menunjuk siapa.
Agni tidak peduli, tapi mendadak tertarik saat botol itu berhenti di Ardan. Bibirnya menyeringai tipis. Matanya berkilat jail.
"Silakan tanya." Ardan pasrah.
"AKU BANG, AKU MAU TANYAAA."
Ardan mengibaskan tangan. "Skip, selain Dea."
Semua tangan Geng Rusuh terangkat kecuali Dea yang terpaksa menurunkan tangannya dengan cemberut.
"Berasa lomba cerdas cermat," decak Ardan geli. "Tadi aturannya gimana. Berarti Agni dong yang tanya."
Tanpa perlu pikir panjang, Agni bertanya kelewat ringan. "Lo pernah jadiin salah satu dari kami fantasi di dalam mimpi?"
Ardan sukses terperangah.
Dea tiba-tiba cegukan. Yang lain mendekap mulut tak percaya. Bisa-bisanya Agni bertanya begitu. Tapi tak menampik, mereka juga penasaran dengan jawaban Ardan. Maksudnya, ayolah, Ardan kan tetap lelaki normal meski memberi batasan tegas ketika anak kos menggodanya. Terlihat sama sekali tidak terpengaruh. Tapi mana bisa sih lelaki normal menolak pesona anak-anak kos yang cantik jelita meski kelakuan durjana?
"Lo sebenarnya lagi tanya atau bunuh karakter gue sih, Ni?"
Agni bersedekap. Mengangkat dagu dengan tampang tidak berdosa. "Dua-duanya."
Ardan menghela napas. Mengangguk perlahan. Membuat semua yang di sana menahan napas hingga tidak sanggup menuntut jawaban lainnya.
Namun, Ardan perlu sedikit meluruskan. "Sori, gue nggak bisa spill nama. Buat yang muncul di mimpi gue, maaf banget pokoknya, meski cuma sekali doang. Kalian udah gue anggap seperti adik dan kakak. Kayak keluarga sendiri. Jadi selama kalian di sini, gue penginnya ngejaga kalian. Bukan mau yang aneh-aneh."
"Uh, so sweet!"
"Aku terharu, Bang."
"Oke, giliran lo, Sa." Agni mengalihkan, menepuk paha Sasa agar lekas memutar botol. Penjelasan dari Ardan sudah cukup, Agni juga merasa bersalah karena mengajukan pertanyaan jahat. Apalagi lelaki itu sempat tertunduk beberapa saat sebelum kembali mengangkat wajahnya-seolah tidak apa-apa menjawab pertanyaan dari Agni.
Botol kali ini mengarah ke Jessi. Pertanyaan dan jawaban yang mendadak samar di telinga Agni. Dia sudah memastikan jika Ardan tidak lagi terbebani dengan pertanyaan tadi. Lelaki itu sudah tertawa. Tapi perasaan bersalahnya tetap tidak mau hilang. Maka, dia terus memastikan berkali-kali. Tidak peduli jika yang dia perhatikan menyadari apa yang dilakukan Agni sejak sepuluh menit terakhir.
Botol selanjutnya diputar oleh Dea. Sudah komat-kamit berdoa semoga mengarah ke Ardan. Botol kecap itu pun kena cium Dea demi-yak! Betulan menunjuk Ardan! Dea sampai terlonjak senang.
Ardan siap dengan pertanyaan paling absurd.
"Selama ini kami sebetulnya belum pernah denger tipe istri idaman Bang Ardan. Jadi cari yang kayak gimana, Bang?"
Ardan mendesah lelah meski pertanyaan itu terdengar sangat wajar. "Yang jelas perempuan."
Dea langsung protes karena jawaban hanya singkat sementara tidak boleh ada pertanyaan susulan. Menyesal dia tidak menyuarakan isi pikirannya yang sesungguhnya dan memilih pertanyaan aman. "Abang! Pelit banget sih jawabnyaaa!"
Mengabaikan keberatan Dea, sekarang giliran Ajeng memutar botol. Kebetulan yang menyenangkan, botol kembali berhenti di Ardan yang lagi-lagi hanya mendesah lelah.
"Ini pada sengaja apa gimana?" Ardan sampai mengambil botol kecap itu, meneliti, apakah ada yang salah dengan botolnya.
Tanpa menunggu, Ajeng melontarkan pertanyaan yang sudah ditahan sejak tadi hingga menunggu giliran. "Abang kapan nyuci mobil pake sarung lagi?"
Pertanyaan yang terang-terangan mendapat dukungan dari Geng Rusuh lainnya.
Mengerutkan wajah menahan kesal. "Besok ya, Jeng. Pantengin aja dari balik gerbang."
"Beneran besok?!" Ajeng bersiap berguling di lantai-saking senangnya. Untung langsung dipegangi Eriska.
"Next." Ardan mengalihkan ke giliran selanjutnya.
Semua sudah mendapat giliran, pertanyaan konyol dan tidak masuk akal memenuhi atap lengkap dengan jawaban yang tak kalah aneh. Gelak tawa tak terhindarkan. Sasa sampai terpingkal dan menepuk-nepuk tikar. Sekarang tiba saatnya Ardan yang memutar botol lagi. Akan sangat menyenangkan kalau botol ini berhenti di Agni.
Persis ketika botol berhenti dan ajaibnya mengarah ke Agni, Ardan bisa melihat tatapan waswas dari perempuan itu. Dia pikir Ardan akan balas dendam apa?
"Lo kan benci setengah mati sama gue ya. Gimana kalau ternyata lo nanti dapet suami kayak gue?" Langsung diralat. "Nggak, maksud gue, kalau gue yang jadi suami lo."
"Ha?" Ini respons dari Agni.
"HAH?!!" Geng Rusuh kompak bereaksi lebih dramatis dari yang bersangkutan.
Ardan nyengir lebar melihat Agni yang terdiam tidak bisa menjawab. Sampai kemudian ponsel Ardan bergetar. Panggilan masuk. Tidak pas momennya. Padahal Ardan sedang menunggu jawaban Agni.
Begitu panggilan diangkat, suara Emil langsung menyambar. "Lo di mana, Bujank?!"
"Di kos."
"Pulang. Cepet. Temenin gue mancing."
"Nggak salah? Udah malem woi."
"Pulang atau jemput paksa?"
"Berantem sama bini nih pasti." Tingkah Emil memang aneh kalau sedang bertengkar dengan Renna. Kadang ngajak nongkrong di SPBU, warnet, nge-warkop sampai pagi, dan sekarang mancing di empang atau kali-entah mana.
"Buruan pulang! Gue tungguin!"
Ardan tidak membantah. Menutup panggilan dan langsung bangkit dari duduknya. "Sori ya, Gaes, nggak bisa gabung sampai selesai. Gue ditungguin Emil nih."
"Urusan Emil lebih penting, Bang?"
Sambil memakai sendalnya. "Oh, jelas iya."
"Abang homo ya?"
Ardan hanya membuat gerakan ingin menjitak sebagai balasan kalimat ngawur Sasa barusan.
Sepeninggalan Ardan, mendadak atap kos menjadi krik-krik. Jessi yang pertama berdiri, menguap, pura-pura sudah mengantuk agar bisa kabur dari sana. Yang lain juga mengikuti dengan mengarang alasan yang berbeda.
"Ardan beneran suka sama kamu tuh, Ni." Ayuk menyenggol lengan Agni. Atap hanya menyisakan tiga orang.
Agni mencebik sebal. "Apa sih, Mbak. Bedain deh mana yang serius mana bercanda. Lagian dia pasti bales dendam, makanya tanya gitu biar aku cengoh bego kayak barusan."
"Kok aku dengernya serius ya?" Sasa menimpali dengan sedih. "Kak Agni nggak lihat mukanya Bang Ardan tadi?"
"Lihat. Pengin gue tonjok rasanya."
"Ish, kufur nikmat. Wajah minta dibawa ke KUA gitu padahal."
Agni mengambil sate bakso ikan. Menggigitnya satu. "Berhenti halu ke Ardan, Sa. Lo nggak tahu tipe lelaki kayak dia tuh gimana? Suka menebar pesona. Baik ke semua perempuan. Kalau jatuh cinta, dia nggak cinta ke orangnya, tapi ke sensasi setiap deketin cewek. Lo ngerti kan maksud gue? Nah, hati-hati aja."
"Kamu kali, Ni, yang mesti hati-hati." Ayuk bukannya membela Sasa, hanya saja dia melihat hal ini dari sudut pandang yang lebih netral. "Ardan memang dikejar-kejar sama anak kos, tapi dia sukanya kan ke kamu."
"Mbak, berhenti berasumsi kayak gitu."
"Asumsiku didukung banyak observasi, Agni." Ayuk menggeleng geli. "Coba tanya aja ke Sasa. Pasti sama kayak aku."
Sasa langsung menyurukkan diri ke tikar. Menikmati sakit hati yang menikam sambil menyanyikan lagu patah hati dengan nada sumbang. Sementara Agni tidak bisa menyanggah, menatap kosong Sasa yang kini berguling-guling.
***
Satu jam yang sia-sia telah dihabiskan untuk memandangi air yang pekat. Belum ada yang memulai bicara. Mereka hanya menunggui alat pancing yang belum juga menandakan ada ikan yang memakan umpan.
Ardan pikir Emil akan cukup gila dengan mengajak memancing di sungai besar yang jauh dari rumah. Ini mah cuma selokan di depan kantor kelurahan.
"Ini ikan udah pada tidur apa gimana?" Emil berkomentar akhirnya. Ardan membiarkan. Di selokan ini mungkin malah tidak ada ikannya. Biarkan. Suka-suka Emil saja.
"Masih belum mau cerita?"
"Lo aja deh yang cerita."
"Kok malah gue?"
"Males gue mau cerita. Masih dongkol."
"Nggak ada cerita."
"Lo ngapain di kos tadi?"
"Ngebadut."
"Kenyang vitamin mata dong."
"Senam jantung iya."
"Pada pake tanktop sama hotpants semua?"
"Nggak nyangka, pikiran lo masih waras ternyata."
"Yang galau kan hati, bukan otak." Emil melanjutkan. "Rezeki nomplok."
"Nggaklah. Mereka pake baju sopan tadi."
"Halah, naif. Lo belum lihat aja bini lo berkeliaran di rumah pake daster tanpa beha."
"Katanya galau. Gitu aja udah kangen Renna yang berdaster."
Hening. Emil terdiam lesu.
"Cerita apa kek, Dan. Anyep banget."
Ardan berdeham. "Anak kos tadi bakar-bakaran sosis. Gue gabung deh. Terus main lucu-lucuan jawab jujur gitu." Lalu Ardan menceritakan semuanya.
"Hmm, ya."
"Tuh, reaksi lo begitu. Males ah."
"Lo berharap gue ngapain? Gue lagi sedih."
"Tapi, Mil." Ardan ingat sesuatu. "Sebelum lo telepon gue, kan giliran gue tanya ke Agni tuh. Ya udah, gue bales dengan elegan dong. Gimana kalau gue jadi suami dia. Muka bingungnya tuh bermakna banget. Gue kayak puas sama pertanyaan gue. Tapi sialnya, dia belum jawab, lo udah maksa gue turun."
"Ya kan, bisa lo tagih jawabannya besok pagi. Kayak gue nggak tahu aja lo sering sarapan berdua sama dia. Lo udah sarapan di rumah, tapi masih suka nongkrong pagi di warung Mpok Jaenab. Buat apa kalau nggak modusin Agni? Sebel tapi diterusin. Demen namanya."
"Nggak sering juga, cuma beberapa kali."
"Beberapa kali itu banyak. Coba yang lain. Lo pernah diajak sarapan sama siapa itu, Puput apa Ajeng atau yang lain, lo langsung kabur. Mau kucing-kucingan sama Agni sampe kapan yaelah? Keburu Bulan punya adik."
"Emang bakal di-acc?"
"Huh?"
"Lo aja lagi berantem sama Renna."
Emil menendang alat pancing di hadapannya hingga tercebur ke selokan. Lantas berdiri. "Gue salah. Harusnya pas sedih gini gue nggak boleh lari ke sobatnya Renna."
"Gue nggak belain Renna." Ardan membela diri.
"Halah. Bacot." Emil bersiap meninggalkan tepian selokan.
Dengan sabar Ardan mengambil alat pancing yang tidak berdosa itu. "Udahan mancing halu-nya?"
"Diyam!"
***
Semoga kangenmu terobati 🤗
Oh iya. Mohon maaf lahir batin ya, teman-teman ☺🙏
Selasa/01.06.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top