Bagian Duapuluh Dua

Puseng mikirin nasib Kana, yodah melipir dulu ke sini 😭😭😭

Selamat membaca. Semoga sukak

—————————

"Ketangkep nggak, Bang?" Jingga bertanya saat mereka sarapan bersama.

Ardan mengucek mata. Dia baru pulang pukul tiga. Butuh usaha untuk membuka mata yang lengket. "Nggak."

"Kok nggak?" Mama menimpali.

"Ditungguin sampai jam tiga nggak ada apa-apa, Ma."

"Pindah daerah operasi kali ya, Dan?"

"Kayaknya, Ma."

"Bang!" Jingga menyambar lengan abangnya. Sedikit menggebu. "Jangan-jangan dia nggak muncul karena lagi ikut ngeronda!"

"Maksud kamu pelakunya cuma orang sini?"

Jingga mengangguk cepat sambil matanya dijuling-julingkan.

"Kamu curiga ke siapa?"

Tanpa keraguan berkata lantang. "Bang Emil!"

Ardan mencubit sebelah pipi Jingga, sedikit menariknya, membuat muka adiknya terlihat lebih aneh tapi menggemaskan. "Kebanyakan nonton drama Korea."

"Namanya juga asas praduga tebak-tebakan." Jingga cemberut, mengelus pipinya yang habis kena cubit.

Pukul setengah tujuh, meja makan sudah bersih. Didit langsung melesat saat temannya menghampiri, berangkat bersama. Jingga yang biasanya rajin minta antar abangnya, mendadak menolak diantar beberapa hari ini. Katanya ada teman yang sudah menunggu di ujung jalan.

Di saat yang sama, gerbang kos terbuka. Geng Rusuh juga bersiap berangkat kerja. Rapi dengan setelan masing-masing. Cantik-cantik. Tapi jangan ditanya kelakuan mereka seperti apa.

"Temenmu cowok apa cewek?"

Jingga menyerobot tangan abangnya untuk dibawa ke dahi seraya mengambil ancang-ancang untuk lari. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan abangnya, akan ribet dan panjang urusannya. Jadi lari adalah pilihan paling bijak meski nanti-nanti kena interogasi. Halah, itu urusan nanti ya nanti.

"Eh, eh, kamu belum jawab pertanyaan Abang!"

Seperti tak mau dengar, Jingga mempercepat larinya.

"Bang, bolehkah kami antre?" Ajeng yang memulai sepik lebih dulu. Mumpung ada kesempatan. Jarang-jarang bisa berpapasan dengan pujaan hati di pagi hari.

"Antre apa?" Ini sama sekali bukan Ardan yang polos atau bagaimana. Dia sungguhan tidak tahu maksud mereka izin minta antre.

"Buat salim tangan Abang."

Ardan langsung menyambar Ana yang lewat di sebelahnya. Menggendongnya seperti bayi. Ana sedikit kaget dan mengeong lirih. Tapi ekspresinya berganti manja saat kepalanya digaruk. "Tangan gue sibuk."

"Abang makin pinter ngelesnya." Ajeng berlalu dari depan gerbang kos sambil mengacungkan dua jempol, mengedipkan sebelah mata. Membuat Ardan bergidik.

"Kalau aku, cukup kasih kiss jauh aja, Bang. Tangan kan lagi sibuk tuh." Dea menyelipkan rambut ke belakang telinga. Cengengesan.

"Baek-baek di jalan ya, Dea. Semoga ketemu jodoh," balas Ardan menahan keki.

"Aku udah ketemu jodoh, Bang. Cuma saingannya se-Kecamatan."

Jessy memutar bola mata, geli bercampur jengkel. Puput menyusul, nyaris menubruk punggung Jessy. Sebelum Puput juga ikut-ikutan sepik, Jessy merangkul kedua temannya. Tersenyum ke Ardan. "Kita berangkat dulu, Bang. Mari."

Di belakang mereka, tak berapa lama Agni muncul. Masih mengenakan baju tidur celana panjang. Menguap lebar. Ardan meringis. Perempuan itu sepertinya tidak mau repot-repot jaga imej di depannya.

"Nggak kerja?"

Agni berjengit. Rupanya baru menyadari keberadaan Ardan.

"Mau sarapan?" Ardan melepas Ana, kemudian mencuci tangannya di keran.

Alih-alih menjawab, Agni sudah berjalan lebih dulu ke warung Mpok Jaenab. Ardan berlari kecil menyusul. "Traktir gue kopi ya."

"Ogah."

"Mpok, kopi hitam satu, yang bayar Agni."

Agni mendelik ke arah Ardan yang juga memilih duduk di sebelahnya, di bangku yang sama.

"Ada apa nih semalem." Mpok Jaenab mesam-mesem seraya mengelap piring. "Tumben minta dibayarin sama Agni pagi-pagi."

"Nggak bawa duit, Mpok."

Agni membiarkan Ardan berbicara sesuka hati, sementara dia sibuk memilih lauk untuk sarapan.

"Bungkus apa makan sini?"

"Bung—"

"Makan sini, Mpok!" Ardan menyahut cepat.

Sekali lagi, Agni menoleh dan mendelik. Mpok Jaenab mengikuti jawaban Ardan, mengisi piring dengan nasi. Agni dengan cemberut menunjuk telur balado dan orek tempe.

"Lo kayaknya punya cita-cita sarapan sama gue ya. Selamat, udah terkabul." Niat Agni hanya sarkas biasa, toh mereka memang sungguhan duduk berdua di satu meja. Berhadapan.

"Kalau cuma minum kopi dan lo anggap sebagai sarapan bersama, gue nggak keberatan." Ardan membalas santai, mengedikkan bahu. "Gue udah sarapan di rumah, tapi nggak apa-apa. Daripada lo sarapan sendirian. Gue berbaik hati nemenin."

Agni membelah telur baladonya dengan kesal sambil mengumpati Ardan di dalam hati, tapi meleset. Telur itu nyaris melompat dari piring kalau saja tidak tertahan orek tempe. Jadilah separuh irisan tempe itu yang harus tercecer di meja. Bodo amat. Agni lebih baik fokus makan dan jangan meladeni lelaki aneh di depannya.

"Anak-anak semalem lo apain?"

"Nggak gue apa-apain." Agni lupa dengan janjinya sendiri. "Ngeronda semalem ada hasilnya nggak?"

"Nggak."

"Dulu juga pernah ada orang sinting begitu."

"Kapan?"

"Pas lo masih di Bandung."

"Ketangkep nggak?"

"Terlupakan sendiri. Orangnya juga udah nggak nongol lagi. Warga jadi lupa dan ya udah."

Ardan menopang dagu. "Kira-kira orang yang sama bukan ya?"

"Bisa jadi orang yang sama."

"Lo kan sering pulang malem, pernah ketemu sama orang beginian?"

"Dua kali malah."

Ardan semakin tertarik. "Reaksi lo kayak gimana? Nangis ya pasti." Lalu tertawa.

"Gue tendang anu-nya."

"Eh, sumpah?"

"Ya nggaklah. Gue kabur." Agni menyelesaikan kunyahan. Matanya berkilat jail. "Lo yang cowok ketemu sama orang begituan aja taku—"

Telunjuk Ardan persis menempel di bibir Agni. Orangnya memang tidak sadar dengan apa yang dilakukan, Ardan hanya berharap Agni tidak meneruskan kalimatnya. Jadi cara itu yang terlintas di pikiran Ardan.

"Singkirin tangan lo." Peringatan pertama masih dengan nada normal.

Ardan mendesis lirih. "Lo mau sebarin aib gue?!"

"Singkirin atau gue gigit!" Mulai emosi.

"Janji dulu ke gue. Lo nggak akan bahas ini di mana pun dan kapan pun."

"Gue hitung sampe tiga." Agni sudah di tahap siap melepas emosinya.

"Janji dulu."

"Satu, dua, tiga!" Agni tidak akan berubah pikiran.

"ARGH!" Ardan cepat-cepat menarik tangannya. Mengibas-ngibaskannya untuk mengusir rasa sakit. Dia salah jika menganggap Agni hanya bercanda. Digigit beneran dong!

"SAKIT, AGNIII. LO YA NGGAK KIRA-KIRA!"

"Kalian ini, perasaan baru aja ngobrol asyik, eh Mpok tinggal ngulek cabe, udah gigit-gigitan aja." Mpok Jaenab menghempaskan lap ke udara, kesal bercampur gemas. "NIKAHIN JUGA NIH!"

Pak Dadang hanya tertawa melihatnya.

Agni melanjutkan sarapan dan Ardan menyesap kopinya yang mulai dingin. Masing-masing merasa canggung tapi berusaha ditepis.

***

Mama membuat nasi liwet sorenya. Ardan diberi titah untuk mencari daun pisang di pekarangan samping kos. Untuk makan malam bersama anak-anak kos, katanya. Maklum, tanggal tua. Mama memang pengertian sekali.

"Bang, ikuuuttt!!" Didit baru pulang dari main, urung berbelok ke rumah saat melihat abangnya melangkah ke pekarangan.

"Nggak usah. Dicariin Mama kamu, suruh mandi."

Didit nekat, tetap memilih mengintil abangnya.

"Emang Abang udah mandi?"

Ardan sedang memilih daun pisang yang utuh. "Udah dong." Setelah menemukan yang dicari, Ardan menebasnya hati-hati. Bukan apa-apa, dia takut terkena getah pisang. Dia mengenakan kaus putih soalnya.

"Bang, mau jambu air." Sambil menunjuk pohon besar yang memiliki banyak cabang. Salah satu cabang bahkan sampai melewati tembok pembatas kos.

Ardan meletakkan daun pisang di tanah. Ini pekarangan milik Mama—rencana tahun depan akan dibuat kos laki-laki—jadi bebas mau ambil apa pun. Biasanya bocah gang sering melempari jambu dengan batu. Mama dan Ardan sih santai, asal tidak keterlaluan.

"Abang, aku juga mau, Banggg!!" Teriakan terdengar dari arah kos. Sasa lompat-lompat seperti anak kecil di depan kamarnya.

"Gue lempar, lo nangkepnya yang bener ya!"

"Oke, Bang!" Sasa mengambil posisi yang segaris dengan posisi lemparan Ardan. Buah pertama, hap! Buah kedua, ketiga, dan seterusnya ditangkap Sasa dengan sempurna. Jumlahnya cukup untuk dibagi dengan anak-anak kos.

"Udah, 'kan?"

"Makasih, Bang!"

"Oh iya, bilangin ke temen-temen ya, nanti malem makan bareng!"

"Hah?!"

"Makan bareng!"

Sasa mendadak budek. "Kita berdua?"

"Ck. Serius ah!"

"Iya, serius. Berdua. Mau banget, Bang!"

Sedikit kesal. "Ibu Sukma masak banyak!"

Sasa mengangguk sambil tertawa. Senang mengerjai Ardan. "Siap, nanti aku bilang ke temen-temen kos!"

"Kalian pikir ini hutan?" Agni baru pulang dari kerja, mampir di depan kamar kos Sasa. Mengambil satu buah jambu, mengelapnya di jaket kemudian menggigitnya. "Berasa Tarzan sama Jane?"

"Manis nggak, Kak?"

Agni mengangguk. "Lumayan."

"Abang, turunnya hati-hati ya!" Sasa berseru ketika Ardan bersiap turun. Agni refleks mengikuti arah pandang Sasa.

Ardan mengacungkan jempol dan melihat Agni yang juga sedang menatap ke arahnya. Sangat jarang mendapati perempuan itu pulang sore begini. Sambil tersenyum—entah untuk alasan apa—Ardan turun dari pohon. Didit selesai memunguti semua jambu dan menjadikan kausnya sebagai wadah.

Selepas magrib, makan malam dengan daun pisang siap digelar di lorong lantai satu. Lantainya sudah disapu bersih sebelum daun pisang ditata. Acara menyapu pun jadi agak drama karena Ardan ada di sana—Geng Rusuh berebut mencari muka. Yang biasanya jarang memegang sapu pun berlomba menyapu, saling rebutan, nyaris patah itu gagang sapu kalau Ardan tidak menengahi. "Udah, udah, biar Sasa aja yang nyapu. Biasanya juga dia. Kalian mah sibuk."

Bagi yang mengerti, itu adalah sindiran. Tapi tetap saja berhasil dimanuver oleh Dea. "Nanti kalau aku udah jadi istri, pegangnya gagang sapu juga kok, Bang. Kalau sekarang kerja nyari uang dulu sebelum mengabdi jadi istri."

Setelah memastikan daun pisang tertata rapi di lantai, Ardan kembali ke rumah, mengambil nasi.

"Syukurin lo, dikacangin!" Yang lain tertawa puas, apalagi wajah Dea yang menggembung lucu. Mau marah tapi terlalu sayang dengan Ardan.

"Gue mulai garing ya? Perasaan tiap kita gombal pasti ditanggepin meski jawabnya cuma; iya, nggak, terserah, sebahagia lo aja, kita nggak jodoh, lo kesurupan ya."

Sasa merangkul bahu Dea, menghibur ala kadarnya.

Urusan menata makanan diselesaikan secara kilat dan rapi oleh Sukma. Nasi liwet, ayam goreng, tempe-tahu goreng, sambal terasi, kerupuk, lalapan, semua ditata dengan cantik membentuk lingkaran yang panjang—hampir setengah dari panjang lorong lantai satu.

Anak-anak kos sudah mengambil posisi duduk masing-masing. Ardan baru bergabung ketika semua sibuk memfoto hasil kreasi mamanya. Jingga menggelayut malas di bahunya, Didit memeluk pinggangnya. Kalau Jingga memang jarang mau makan ramai-ramai begini kalau bukan dengan keluarga atau teman akrabnya. Sementara Didit masih merajuk karena giginya sakit saat makan jambu tadi.

Jingga memindai dan menemukan tempat kosong yang dia cari. "Aku duduk deket Mbak Agni aja." Lalu melepaskan diri dari bahu abangnya.

"Abang mau duduk di mana?" Ajeng tampak antusias. "Di sebelahku kosong nih."

"Itu tempat Mbak Ayuk tadi. Orangnya lagi ambil HP ke kamar."

"Sampingku kosong, Bang." Puput tak mau kalah.

"Lo pikir gue gaib?!" Jessy tidak terima. Jelas-jelas di samping Puput ada dirinya!

"Abang mau duduk di pangkuanku?"

Semua orang kompak menoleh ke satu arah, satu orang. Dea.

"Salah lagi ya?" Nyengir lebar sampai matanya menyipit. "Apa langsung duduk di pelaminan aja, Bang?"

Terdengar suara burung gagak menggema di kepala masing-masing.

Sukma tertawa kecil memecah hening. "Udah, ayo kita mulai makan. Nasinya keburu dingin, nggak enak." Menoleh ke Ardan yang akhirnya nyempil di sebelahnya seraya memangku Didit. "Yuk, Dan, pimpin doanya."

Acara doa selesai. Semua mulai makan. Obrolan ringan mulai tercipta. Sukma yang membukanya, bertanya hal remeh mulai dari pekerjaan dan kuliah; apakah lancar atau ada kendala. Masing-masing mendapat jatah menjawab.

Ardan tidak terlalu memperhatikan. Sudut matanya melirik Jingga yang duduk di ujung yang berseberangan dengan Ardan. Tampak sibuk sendiri ngobrol berdua dengan Agni. Sekilas terdengar nama asing. Ah, pasti mereka sedang membahas aktor drama Korea. Dasar.

"Kalau Bang Ardan, kenapa milih ngelepas jabatan Manajer Marketing dan pulang?"

"Eh, kenapa jadi gue?"

"Jawab aja, Dan." Sukma menepuk paha Ardan dengan tangannya yang bersih.

"Mama butuh gue di rumah." Jawaban super singkat. Ardan malas menjelaskan lebih banyak. Secara garis besar cerita, beberapa anak kos sudah mengerti.

"Emangnya nggak apa-apa, Bang, nggak jadi apa-apa seumuran kayak Abang? Maksudnya, setelah resign."

Tidak. Ardan tidak tersinggung dengan pertanyaan itu. Bibirnya membuka, hendak menjawab tapi dipotong satu suara.

"Nggak jadi apa-apa gimana?" Jingga dengar dan tidak terima. "Abang jadi orang hebat di rumah. Abang jadi kakak yang baik buat aku sama Didit. Abang juga jadi anak paling berbakti buat Mama. Kos jadi keurus karena Bang Ardan juga. Emang kakak-kakak nggak sadar sering bikin repot? Bang Ardan nggak ngeluh sedikit pun asal kalian tahu."

Sukma tersenyum sungkan ke penghuni kos yang mendadak merenung. "Jingga, cukup. Kamu terlalu jauh jawabnya."

Ardan meluruskan, menjawab lebih baik. "Nanti kalau Didit udah gedean dan bisa bantu Mama, terus Jingga juga udah dewasa, mungkin gue lebih tenang buat ninggalin rumah lagi." Ardan mengangkat bahu. "Untuk saat ini, jalani yang ada dulu. Gue bahagia 'nggak jadi apa-apa' tapi bisa kumpul sama Mama dan adik-adik. Kalian juga sih. Makasih udah bikin hidup gue berwarna ya."

"Ardan sepuluh tahun tinggal di Bandung, sejak kuliah sampai kerja. Tante senang karena kami akhirnya bisa tinggal sama-sama lagi." Sukma merangkul bahu Ardan. Tersenyum bangga. "Tante juga nggak marah kalian modusi anak lelaki Tante."

Keadaan sedikit mencair dan kembali normal.

"Maaf ya, Bang, kita sering ngerepotin."

"Maafin juga karena sering gombal receh ke Abang."

"Maaf karena sering ngintipin Abang nyuci mobil."

Sukma hampir tersedak.

"Cuma ngintip aja, Tan. Nggak bayangin apa-apa. Sumpah."

Di ujung sana, Agni tak banyak bereaksi. Tapi sekali-dua kali akan menatap Ardan cukup lama. Di tatapan ketiga, Ardan menangkap basah. Agni tidak buru-buru melempar pandangan. Perlahan, bibirnya justru mengembang samar.

Senyum tipis yang membuat Ardan bingung dan kepikiran sepanjang sisa malam.

***

Senin, 12/04/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top