Bagian Duapuluh Delapan

Agni menghentikan gerakan menggosok rambut basahnya. Dia baru selesai mandi dan melihat kamar kosong di sebelah kamarnya sedang dibersihkan. Dia pun melongok di depan pintu yang dibuka lebar. "Mau ada anak baru ya, Tan?"

"Bukan. Ini, temennya Ardan ada yang mau nginep." Sukma menoleh, menjelaskan singkat.

Agni ber-oh pelan. "Ada yang bisa aku bantu, Tan?"

"Nggak usah. Ini udah dibantu Cici, lagi ambil seprei dia. Kamu lagian harus cari makan malam." Menjawab seraya membersihkan lemari bagian dalam.

Agni berbalik, menjemur handuk di jemuran kecil depan kamar dan kembali. "Aku bantu ya, Tan, biar cepet."

Sukma tidak menolak. Cici datang tak lama kemudian. Membawa seprei dan gorden bersih.

"Mas Ardan kok jemputnya lama ya, Bu?"

"Keretanya mungkin ngaret, Ci."

"Oh bisa jadi ya, Bu."

Mereka kembali membersihkan kamar dalam diam. Kebetulan Agni kebagian membersihkan kaca jendela dan memasang gorden.

"Emang mantannya Mas Ardan nggak naik mobil aja, Bu? Dulu kayaknya pas ke sini bawa mobil."

Gerakan tangan Agni yang memasang pengait gorden, memelan. Dahinya berkerut tanpa sadar. Mantan? Tadi katanya temen?

"Mobilnya dia, tapi yang nyetirin kan Ardan, Ci. Ada trauma habis kecelakaan, belum berani nyetir mobil lagi."

"Tapi kok bisa sih, Bu, Mas Ardan masih baik ke mantan?"

Nah! Agni juga heran. Katanya diselingkuhi dua kali? Baik apa bego?

"Kan katanya diselingkuhi dua kali kan, Bu? Maaf sebelumnya." Cici menyuarakan semua isi pikiran Agni dengan baik.

"Alhamdulillah, Ci, dia nggak pendendam. Aku juga nggak tanya banyak. Asal dia kelihatan tenang aku nggak mau usik."

"Tapi siapa tahu Mas Ardan mendam banyak pikiran, Bu."

Agni menoleh. Sukma dan Cici pun sama-sama menghentikan gerakan tangan mereka yang memasang sarung bantal. Entah kenapa Agni juga ikutan mematung begini. Terlebih lagi, kenapa dia mendadak peduli dengan masalah pribadi Ardan?

Berdeham, Agni memecah hening. "Hm, Tan, ini gordennya udah selesai. Aku bisa bantu apa lagi?" Karena sepertinya semua sudah beres. Ruangan juga sudah diberi pewangi. Dari yang semula apek sudah semerbak wangi.

Sukma tersadar dan mengedarkan pandangan ke seisi kamar. "Ah, iya, udah selesai semua. Makasih bantuannya ya, Agni. Ini tinggal nyapu. Biar kami aja."

Agni pun pamit. Masuk ke kamar, menyisir rambutnya yang basah. Menyambar kardigan untuk melapisi kaus tanpa lengannya. Saat turun tangga, Sasa menghadangnya. "Mbak mau ke mana?"

"Cari mi dokdok."

"Ikut."

"Aku belinya ke bapak gang sebelah. Antrenya lama nggak boleh ngeluh." Agni bersandar di daun pintu kamar Sasa.

Sasa mengaduk isi lemari. "Nggak apalah."

Sekejap mata, Sasa selesai siap-siap. Dia menggandeng lengan Agni dan meninggalkan kos. Seakan lupa kejadian tadi sore, Sasa sudah bisa mengobrol santai dengan Agni. Mereka ada di posisi abu-abu. Semua kemungkinan ada. Sasa mau bersaing secara sehat.

"Tante Sukma tadi ke atas ya, Mbak?" Sasa membuka obrolan selagi mereka berjalan. Tidak jauh, tapi daripada saling diam.

"Hm."

"Bersih-bersih?"

"Yap."

"Ada anak baru?"

"Bukan."

"Terus?"

Agni menggaruk pelipis. Yakin nih cuma dia sendiri yang tahu kalau ... "Temennya Ardan mau nginep. Temen atau mantan gitu deh. Nggak jelas tadi." Jelas. Agni mendengarnya dengan jelas. Ingin iseng saja dia.

"Apa?"

"Temen."

"Bukan. Yang terakhir."

"Mantan."

"MANTAN?!" Sasa membelalakkan mata. Reaksi yang sudah Agni duga.

"Ardan manusia biasa kali, Sa. Bisa punya mantan. Muka-muka kayak dia cocok kalau punya mantan segudang."

Sasa memegang kepala dengan kedua tangan. Mendadak linglung. "Puyeng bayanginnya."

"Ngapa lo puyeng. Yang ada Ardan noh yang harusnya puyeng lihat mantan."

"Kalau balikan gimana?"

"Jodoh berarti."

"Jangan gituuu."

"Lah kok ngatur?"

"Mbak Agni kok belain mantannya sih? Jahat tahu dia, selingkuhin Bang Ardan dua kali."

"Malah bagus pas masih pacaran udah ketahuan selingkuhnya. Coba pas udah nikah. Lebih amsyong."

"Udah ah. Aku mau diem."

Agni mendecak. "Lo tahu nggak mantannya Ardan secantik apa?"

"Emang Mbak Agni udah pernah ketemu?"

"Jingga yang ngasih tahu."

Menggeleng dramatis. "Nggak mau tahu. Nggak mau denger."

"Kayak Ariel Tatum."

"HUAAAAAAH." Sasa menggigit lengan jaket, meredam jeritan.

Agni tertawa. Senang melihat kenelangsaan Sasa. Ini baru Sasa ya, belum penghuni kos lainnya. Bisa jumpalitan mereka melihat mantannya Ardan nanti.

Selesai meratap, Sasa mengeluarkan ponsel. Dengan menggebu dia membuka chatroom dan mengetik cepat. Dia tidak boleh kaget sendirian.

***

"Kok Bang Emil sih yang muncul?!"

"Lah, belum punya kekuatan ngilang gue." Tertawa sendiri lalu mingkem cepat. "Nggak lucu ya?"

"Minggir deh, Bang."

"Iya dah. Gue mah apa. Panunya Ardan."

"Bang Ardan nggak mungkin panuan!"

"Jangan sembarangan, Bang!"

"Bang Ardan tuh bersih nggak jorok kayak Bang Emil!"

"Penting gue udah laku." Emil menjulurkan lidah sambil memperbaiki posisi tas besar yang dia peluk. Lucu juga menggoda para anak gadis yang tergila-gila dengan Ardan ini.

"Pada ngapain di sini?"

Yang mereka tunggu akhirnya muncul di belakang Emil. Geng Rusuh berbinar tapi langsung ingat jika tujuan mereka di sini adalah karena penasaran. Cengiran mereka surut sudah. Dalam sekejap lenyap melihat jelmaan bidadari yang ikut hadir di sebelah Ardan.

Mereka melakukan pemindaian singkat. Wajah cantik nan glowing. Badan proporsional bak supermodel. Rambut lurus panjangnya tergerai indah—Dea yakin nyamuk bisa main perosotan di sana. Senyumnya ramah dan hangat. Tingginya bahkan sejajar dengan Ardan. Paling menyakitkan adalah mereka terlihat seserasi itu. Kalau si Mbak ini tidak berkhianat dan mereka menikah kelak, kebayang kan kayak apa anak yang dihasilkan?

Jangan dijawab!

Selesai melakukan scanning, Dea menyilangkan kedua tangan di depan dada. Jessi menyisir rambut yang mungkin mencuat. Ajeng merapikan lengan baju yang terlipat. Puput membersihkan kotoran di ujung mata. Yang bisa mereka banggakan adalah mereka sudah mandi dan selebihnya tidak ada. Gagal mencari sugesti untuk menyelamatkan mental mereka yang meleyot.

"Halo."

SUARANYA JUGA MERDU TOLONGGG!

"Kenalin semua, ini Sabrina. Temen gue waktu di Bandung. Rencana mau ngine—"

"Ah, temeeeeen."

"Iya kok. Percaya kalau temen."

"Cantik banget, Bang, temennya."

"Temen tapi pernah demen."

Ardan gelagapan.

Emil menyemburkan tawa. "Jujur aja deh, Dan. Mereka pasti udah tahu."

"Bener cuma teman sekarang." Sabrina menjawab. "Tapi dulu pernah sayang."

Geng Rusuh rasanya ingin berbalik dan mencakar-cakar tembok. Dea yang sudah tidak tahan, hendak berbalik ke tembok, tapi Jessi merangkulnya kuat-kuat. Mereka harus menjaga citra diri saat ini. Bukan saatnya untuk membagong.

Ardan diam, tidak ingin menambahkan apa-apa. Tapi kemudian berdeham untuk mengalihkan. "Kamarnya di atas, Sab."

Geng Rusuh menepi, memberi jalan. Mereka terlalu sungkan untuk menjabat tangan Sabrina. Takut kalah mulus.

"Duduk. Kita perlu duduk." Salah satu tersadar dan mengomando yang lain untuk menenangkan diri di sofa. Tapi tidak bisa dibohongi. Mereka terduduk dengan wajah ditekuk. Patah hati massal.

"Baru kali ini gue merasa insecure."

"Tapi pantas kok Bang Ardan dapet yang secantik Sab—siapa tadi?"

"Sabrina."

"Namanya aja dah cantek."

"Cantik tapi tukang selingkuh."

Semua mengangguk bersamaan. Setuju.

"Mereka nggak mungkin balikan, 'kan?"

"Sabrina kelihatan masih ngarep banget."

"Bang Ardan tapi kelihatan biasa aja tadi."

"Tapi hatinya kan kita nggak tahu."

Lantas kompak mengembuskan napas lesu.

"Udah dateng ya mantannya Ardan?" Agni muncul bersama Sasa, nyaris tertawa melihat manusia-manusia sedang termenung di ruang TV.

Sasa mendekat, memeluk satu per satu. Memberi dukungan moril seperti:

"Ululuh, sabar."

"Sini, sini, pukpuk."

"Nggak apa-apa. Kita belum kalah."

"Jangan patah semangat dong. Udah dipeluk kembaran Maudy Ayunda nih."

Dibalas Jessi telak. "Lo kuliah S1 aja belum bener. Sok-sokan Maudy Ayunda."

Sasa oleng dan akhirnya terduduk. Ikut termenung.

Agni bersedekap. "Cantik kayak Ariel Tatum?"

"Gue nggak ngerti tadi itu Ariel Tatum, Luna Maya atau Raline Shah."

"Kalian cantik kok. Jangan rendah diri gitu dong."

"Enak banget ngomongnya. Lo lihat sendiri sana!"

Agni melepas dekapan tangan, meninggalkan ruang TV. "Kenapa gue harus rendah diri coba."

Saat melangkah di anak tangga, Agni berpapasan dengan Ardan dan Emil yang turun dari lantai dua. Ardan sengaja tidak menepi dan menghalangi langkah Agni.

"Duluan aja, Mil."

Emil pun pergi sambil mesam-mesem.

Agni bergeser ke ruang kosong di sebelah Ardan tapi lelaki itu juga bergeser. Geser lagi, Ardan tetap mengikuti. Tidak membiarkan Agni lewat.

Dengan nada senewen. "Apa sih?"

"Kamar sebelah lo ada penghuni baru."

Gue yang bersihin jendela dan pasang gordennya tadi! "Emang kenapa?"

"Yang akur."

"Lo pikir gue gigit?"

"Maksud gue—"

"Iya. Gue akan baik-baikin mantan lo. Puas?"

Ardan kehabisan kata-kata.

"Sekarang minggir."

"Habis dari mana?"

"Beli makan."

Meski sedikit tidak rela, Ardan akhirnya membiarkan Agni lewat.

"Sa? Kenapa?" Ardan melihat Sasa yang melintas seperti orang linglung di depannya.

"Ini mau ke kamar. Makan." Mengangkat plastik putih di tangan, memberi jawaban yang tidak nyambung. "Abang mau pulang?"

Mengangguk. "Habis dari mana sama Agni?"

"Beli mi dokdok."

"Oh."

"Abang mau balikan sama mantan ya?"

"HEH?!"

"Kalau mau balikan, jangan bilang-bilang ya. Jangan sampai kami tahu pokoknya. Tapi Abang harus pikir jutaan kali, dia udah nyakitin Abang dua kali."

"Sa, lo laper banget ya?"

"Tadinya iya. Tapi hatiku kayaknya bocor, Bang."

Ardan mengangguk-angguk paham. Menyudahi di sana karena Sasa sedang aneh. Dia pun menepuk bahu Sasa sebelum melangkah pergi.

"Jangan elus-elus, nanti aku salah sangka, Bang!"

"Cuma pegang, nggak elus. Astaga. Cepetan makan deh biar waras."

***

Tanpa keraguan, Agni mengetuk pintu di sebelah kamarnya. Tak lama, pintu terkuak. Memunculkan perempuan berparas cantik seperti Ariel Tatum. Baik, Jingga tidak berbohong soal ini. Mantannya Ardan memang sungguhan cantik paripurna.

"Hai." Agni menyapa lebih dulu. "Gue—aku Agni, yang tinggal di kamar sebelah."

Sabrina membuka pintu lebih lebar dan melangkah keluar. Mengulurkan tangan. Tersenyum sangat ramah. "Halo. Sabrina."

Menjabat tangan mulus itu tanpa menunggu. "Semoga betah ya, Sab. Kalau butuh apa-apa ketuk aja."

"Makasih ya, Agni."

"Oh iya, udah makan malam?"

Mengangguk. "Udah, tadi di jalan."

Oh, makan berdua bareng Ardan maksudnya?

"Makan sama Ardan dan Emil." Sabrina melanjutkan. "Tadi dijemput ke stasiun."

"Ah." Agni membuka mulut. Mau memberi jawaban yang lebih, tapi yang keluar hanya itu. "Ya. Ya. Ya."

"Kamu mau makan ya? Buruan sebelum dingin nggak enak."

Agni pun pamit masuk ke kamar.

"Halo, Kak Sabrina." Terdengar suara dari depan kamar Agni. "Nanti kita kenalan ya. Sekarang aku laper banget, takut gigit orang. Hehe."

Lalu pintu kamar Agni terbuka. Sasa datang membawa mangkuk dan sendok. Langsung duduk melantai tanpa permisi. Membuka plastik mi dengan grasak-grusuk. Dari gesturnya antara sungguhan lapar dan ingin menelan orang.

Agni menyusul, duduk di lantai berhadapan dengan Sasa. Menjangkau kotak tisu di meja kecil. "Pilih salah satu. Mewek atau makan dulu."

"Makan dong." Sasa mengusap wajah. Bertekad untuk mengisi perut lebih dulu. Galau butuh tenaga.

"Mbak tahu—"

"Nggak."

"Barusan aku nyapa mantannya Bang Ardan kan. Rasanya udah mau tersungkur aja."

"Itu lo berani nyapa duluan."

"Sok-sokan berani aja aku. Biar keren kayak Mbak Agni."

Agni mendecak geli.

"Kok dia bisa secantik itu sih?" Sambil mengunyah, Sasa menatap ke langit-langit. Mengawang. "Bang Ardan pantes maafin pas dia selingkuh pertama kali."

"Kalau ganteng terus Ardan mau, ya lo lebih histeris lagi."

"Suka amat matahin orang. Ish." Sasa kembali ke mangkuk dan menyuap. "Bang Ardan standarnya tinggi banget ternyata. Pantes nggak mau nyebutin tipe idaman tiap ditanya. Tinggal kasih tunjuk foto mantan aja sebenarnya. Beres."

"Mantan selalu jadi tolok ukur ya?" Agni serius bertanya. Tapi di telinga Sasa terdengar seperti ejekan.

"Ya masa enggak?"

Agni diam dan mengalah.

"Ngerinya malah justru harus lebih dari mantan. Tapi kalau mantannya aja paripurna kayak begitu, terus penggantinya kayak apa?" Sasa menjatuhkan sendok ke mangkuk, membuat kuahnya sedikit muncrat ke lantai. Kedua tangannya terangkat ke ketek. Membuat gerakan mengepakkan sayap. "Malaikat?"

Setelah tercengang sesaat, Agni coba menghibur. "Siapa tahu setelah ketemu lo, Ardan jadi suka yang gemes-gemes gitu."

"Gemes apanya. Aku selalu disamain sama Jingga. Hiks!"

"Kalian mirip soalnya."

"Kalau dipikir, Mbak sadar nggak sih?"

Menghentikan kunyahan, firasat Agni tidak enak. "Sadar apa?"

"Bang Ardan tuh kasih banyak sinyal ke kamu, Mbak."

Ini anak kalau galau random-nya kumat ya?

"Mbak ini berdosa banget. Nggak peka ada yang naksir. Apalagi orangnya Bang Ardan. Kalau lewat kan sayanggggg!!"

Agni menelengkan kepala. Tunggu, ini terdengar seperti .... "Lo nurunin standarnya Ardan dengan nganggap dia sekarang lagi naksir sama gue?"

Dengan polos, Sasa mengangguk.

"Biar gampang punya saingan kayak gue ya?"

Mengangguk lagi.

"Keluar sendiri atau gue tendang, Sa?"

Sasa membelalakkan mata. Tanpa bicara lagi, dia mengangkat mangkuknya. Menyingkir pergi selagi Agni masih memberinya pilihan.

"Tutup pintunya!"

"Iya. Maap. Nih aku tutup." Sasa kembali. Memasang cengiran lebar sambil menutup pintu. "Selamat makan malam, Mbak Agni yang Cantik Jelita."

***

Gak berasa udah mau bab 30 aja 🤣 di ceritaku sebelum2nya saat begini pasti dah nyiapin ending yg kek gimana. Tapi ini malah belum kebayang apa2 😌

Ada salah satu komen jg yg bilang cerita ini jangan berakhir. Mauku jg begitu sihhh~ aku berat pisah dari Ardan 😭

Kita lihat sampai mana cerita ini berhenti. Loske wae ya. Wkwkwkwk

Afterglow jg update ya 😘

Senin/05.07.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top