Bagian Delapanbelas
Chapter Ardan yg paling panjang. Happy reading! ❤
——————————
Menyingsingkan lengan kaus, Ardan naik ke atas pick up. Bantu menurunkan galon air. Bapak yang mengantar hanya datang sendiri, padahal biasanya ada satu teman.
Senin begini Ardan bisa fokus mengurus toko. Tidak ada keributan apa-apa di kos karena semua sibuk menyambut Senin. Rumah sepi, Mama barusan ke pasar dengan Mbak Cici. Belanja untuk arisan ibu-ibu nanti malam. Kebetulan rumah mendapat jatah tempat arisan bulan ini. Tentu urusan makanan Mama selalu all out. Kondangan sunatan lewat!
Selesai dengan urusan galon dan mobil pick up berlalu dari depan toko, Ardan masih harus memisahkan gas elpiji yang kosong. Menatanya di depan toko, agak siangan truk distributor akan datang.
"Pagi, Bang Ardan!" Sasa muncul di toko dengan poni yang digulung rol dan setelan tie dye.
"Nggak kuliah?"
"Dosennya mendadak kosong. Hihi."
Sasa berdiri menepi, takut jika menghalangi Ardan yang sedang wira-wiri membawa tabung gas.
"Mau beli apa?"
"Jajan, Bang."
"Ambil aja. Uangnya gampang."
"Aku tungguin di sini ya." Sasa kemudian duduk di kursi depan meja kasir setelah menyambar satu popcorn karamel. "Kok sepi, Bang. Tante ke mana?"
"Belanja."
"Oh. Ada pesanan katering?"
"Nanti malam arisan ibu-ibu di rumah."
Sasa otomatis tersenyum lebar, tapi buru-buru dilenyapkan saat Ardan berbalik dan menatapnya.
"Butuh bantuan anak-anak kos nggak, Bang?"
"Senin gini, Mama palingan nggak enak mau ngerepotin kalian."
Sasa menggoyangkan tangan. "Mana ada cerita Tante Sukma ngerepotin. Nggak. Nggak sama sekali. Nanti kita bantu."
"Nanti bantu makan aja." Ardan berbalik memunggungi Sasa untuk mengelap keringat di wajah dengan kaus. "Cuma ambil popcorn?"
"Iya. Ini aja. Tapi aku bayar pokoknya, Bang."
Ardan menyelinap ke meja kasir. Menyalakan kipas dan duduk. Ana yang sejak tadi malas-malasan berbantal kaki kipas, menggeliat, menguap dan lompat begitu saja ke pangkuan Ardan. Kepalanya dijejalkan ke dada sang babu, minta diusap-usap manja. Dan dituruti.
"Kalau dosen kosong, nggak main ke mana gitu?" Satu tangan Ardan yang bebas bergerak untuk menyalakan komputer. Dia memasang scan barcode sudah lama, meski seringnya tidak berfungsi. Orang akan membayar dan langsung ngacir. Tidak sabaran.
"Masih pagi, Bang. Mal juga belum buka."
"Kos nggak ada orang?" Bukan maksud mengusir, tapi tumben saja Sasa nongkrong di sini.
"Ada. Lantai dua. Pada bikin sarapan apa nggak tahu, tadi pagi-pagi Mbak Agni belanja ke pasar."
"Bisa masak dia?"
Sasa mengacungkan jempol. "Masakannya paling enak sekos."
"Baru tahu gue."
"Cuma karena sibuk, jarang masak. Ini tumben." Mengangkat bahu sebelum sok-sokan gaya melempar popcorn dan menangkapnya dengan mulut. Hap. Percobaan pertama langsung berhasil. "Mbak Agni bikinin bekal buat pacarnya kali."
"Pacar?"
Kunyahan popcorn terdengar nyaring. Krauk. "He'em."
"Punya pacar?"
Krauk. "Harusnya punya. Kalau nggak punya, ngapain dia nggak ikut naksir Bang Ardan?"
"Gue dicap berengsek sama dia."
"Yang aku heran juga, kenapa Mbak Agni sebenci itu sama Abang?"
"Itu yang gue nggak tahu."
Percobaan kedua. Popcorn dilempar ke udara, tapi sayang, gagal masuk ke mulut. Sasa nyengir dan turun cepat. Mengambil popcorn di lantai dan membuangkan ke tempat sampah. Kembali lagi ke kursi. "Terakhir kemarin aja, kalian kelihatan romantis nyeberang berdua."
Sasa hanya tidak tahu saja kalau Ardan dan Agni sedang perang dingin.
"Ngobrol akrab juga di teras minimarket."
"Nggak ngobrol, Sa. Gue berantem sama dia. Beneran."
"Bikin kami semua susah nelen nasi padang. Kak Puput sampe keselek kikil. Kak Dea kena sambel matanya. Nangis-nangis."
"Nggak ngobrol. Dibilangin ngeyel."
"Baliknya dari minimarket, sepayung berdua. Emangnya itu payung tinggal satu?"
"Itu pun ambilnya buru-buru, mana sempat mikir ambil dua—apa faedahnya juga gue cerita ke elo?"
"Kan klarifikasi, Bang. Kami patah hati sampai pagi ini."
Ardan tahu bagaimana Geng Rusuh mencoba selalu mencari perhatiannya. Yang jika itu menyangkut hal serius, Ardan akan tanggapi. Kalau masalah keluhan-keluhan perkara hati, Ardan tidak menganggapnya serius.
"Kalian cantik-cantik—"
"Nah, itu, Bang. Tahu jika kami cantik, kenapa Abang nggak naksir salah satu dari kami? Salah semua juga boleh, biar kami berkompetisi." Nadanya sama sekali tidak menyebalkan. Justru lucu. Apalagi suara Sasa cempreng seperti anak kecil.
"Kompetisi, kompetisi. Masa depanmu masih panjang, Sa, jangan ikut rusuh nggak jelas gitu."
"Abang nggak tahu?"
"Apa?"
"Abang itu masa depan yang cerah."
Ardan menyemburkan tawa. Masa depan yang cerah? Pagi-pagi dirinya sudah digombali anak kuliahan yang usianya terpaut sekitar sepuluh tahun darinya.
"Gimana? Abang terpesona ya sama aku? Aku lucu kan, Bang?" Sasa menaruh kedua tangan di pipi, kotor bekas popcorn bodo amat.
"Dikit lagi lucu kok. Haha. Iya, lucu."
"Garing ya? Maaf, Bang."
Ardan tersenyum. Sasa sudah seperti Jingga di matanya. Meski beda kelakuan. Sasa lebih manis. Kalau ikutan bertingkah, tentu saja terbawa kakak-kakak kosnya.
Sasa lanjut mengemil popcorn dengan gaya lempar ke udara. Sementara Ardan membuka peramban di layar monitor, mengetikkan lagu di kolom pencarian Youtube. Dia memasang mini speaker dan terkejut sendiri karena tiba-tiba ada tangan terjulur ke arahnya.
Tangan Sasa menggelapar di udara saat popcorn tadi nyangkut di tenggorokan. Mencoba mencari bantuan. "Tolonkh, Banhhggg!!"
"Hadap kanan, hadap kanan!"
Sasa memutar duduknya ke arah kanan dengan cepat. Ardan menggeplak punggung Sasa sedikit keras. Satu geplakan dan popcorn itu berhasil keluar.
"Sakit?"
"Hati?" Sasa terbatuk-batuk, mengangguk. "Banget."
"Punggung, Sa, punggung."
Nyengir sambil menyeka bibir. "Geplakannya sakit. Tapi nggak apa-apa daripada aku lewat. Makasih, Bang."
"Jangan mainan nyawa di depan gue tolong."
Sasa mengeluarkan uang dari kantong celana. Ardan menyergah. "Udah, nggak usah, bawa aja."
"Yaah, kan aku sering jajan ke sini. Udah sering dikasih gratis juga."
"Upah buat debus lo barusan."
Sasa turun dari kursi seraya menggeleng. "Nggak lagi-lagi. Janji aku, Bang."
***
Jingga menutup pintu kamar. Menatap sekitar. Dia memeluk laptop dan berniat mengungsi ke kamar abangnya. Sudah kebiasaan. Kalau ingin menonton drama Korea dengan tenang dan bebas dari teriakan Mama, dia akan ke lantai dua. Menginvasi kamar abangnya. Jadi sebelum ruang tamu dan tengah penuh ibu-ibu, Jingga segera ngacir. Bantuannya tidak diperlukan, para anak kos kesayangan Mama sudah di sini selepas Magrib. Ribut membantu di dapur. Paling sebentar lagi membuat onar. Jingga hafal pola mereka.
Ardan yang sedang mengisi gelas-gelas dengan teh panas dari termos jumbo stainless di meja makan, melihat upaya Jingga yang kabur. Tapi membiarkan. Sudah banyak orang yang membantu.
Jessy mengantarkan gelas tambahan ke meja makan. Hati-hati sekali membawanya, takut kakinya tiba-tiba berubah jeli hanya karena ditatap Ardan. Padahal Ardan menatap ke arah gelas yang dibawa Jessy, bukan orangnya.
"Makasih, Jess."
"Butuh bantuan, Bang?"
"Gelasnya udah bersih?"
"Belum dilap. Barusan dikeluarin sama Mbak Cici dari lemari."
"Tolong bantu lap ya." Ardan menunjuk ke lap yang masih terlipat di atas meja.
Jessy nyengir super lebar. Kesempatan langka dan effortless yang jarang sekali dia temukan. Biarpun dangdut; mengelap gelas berdua. Tidak apa. Jessy hanya perlu sedikit bermanuver. Akan sempurna kalau dia mencari topik obrolan yang ringan dan lucu. Lalu mereka akan tertawa bersam—
"Dan, coba ke rumah Pak RT. Pinjam karpet buat digelar dekat TV. Biasanya pada bawa anak-anak. Karpet kita udah digelar semua, 'kan?"
Jessy menoleh ke arah Tante Sukma. Mengulum bibir menahan jeritan karena imajinasinya pecah berantakan bahkan sebelum dimulai. Pedih!
"Oke, Ma." Ardan meninggalkan gelas yang setengah dia lap. "Jess, tolong sekalian ya."
Memangnya Jessy bisa apa selain mengangguk dan merelakan Ardan pergi darinya?
Sepulang Ardan dari meminjam karpet, Ajeng dan Puput berebut lari menyambut Ardan. Pekerjaan mereka yang menata snack di dapur sudah selesai, begitu melihat celah, langsung gas. Sementara Jessy terjebak dalam urusan mengisi gelas. Nelangsa jilid dua. Apalagi melihat dua temannya berhasil membantu Ardan menggelar karpet. Sungguh sial.
"Jess—" Dea mendekat dan langsung kena tebas.
"Apa?!"
Dea menjitak kepala Jessy dan menutup keran di jumbo air. "Banjir, begooo."
"Hah?" Jessy menunduk dan kaget sendiri. Tangannya baru merasakan panas. Pegangannya pun refleks lepas dari gelas yang nasibnya sudah dipastikan ambyar di lantai.
"Kenapa, kenapa?" Mendengar suara benda pecah, Sukma segera berlari mendekat. Lantai di dekat meja makan sudah banjir, ditambah dengan pecahan beling. "Jangan dipungut pakai tangan."
Eriska langsung berinisitif mencari pengki dan sapu. Begitu juga dengan Puput.
Jessy urung merunduk. "Aku ganti gelasnya ya, Tan. Maaf banget."
"Udah, nggak apa-apa."
"Aku pel sampai bersih ya, Tan." Jessy merebut gagang pel yang dibawa Puput. Enak saja mau cari muka di atas penderitaannya.
Sukma kembali ke dapur. Tidak mempermasalahkan keributan kecil itu.
"Buru lo ambil belingnya biar gue bisa pel." Jessy menunjuk lantai.
Eriska mendengkus. "Lo nggak mau akrobat dulu? Tuh, mumpung Bang Ardan muncul."
Sasa menimpali polos. "Bang Ardan nggak suka cewek yang hobi debus."
"Sok tahu."
Sasa hanya menipiskan bibir. Malas berdebat.
"Lagian ya, kita nggak perlu debus segala. Kelakuan kita emang begini adanya." Dea tertawa lepas tapi berangsur sumbang karena dipelototi oleh yang lain.
"Tolong ketawanya aturan." Ajeng mengingatkan. "Ini bukan di kos."
Jessy mengepel dengan murung. Mendumal lirih. "Imej gue makin rusak di mata mama mertua. Bikin lantai banjir. Mecahin gelas pula. Anaknya bakal kayak apa kalau nikahin gue." Melirik ke arah Ardan yang kembali naik anak tangga. "Padahal gue akan segenap jiwa raga mengabdi jadi istri yang baik. Melahirkan anak-anak yang lucu."
Yang lain kompak memutar bola mata.
"Lo sekalinya ngomong panjang, bikin gumoh ya, Jess. Sama kayak Dea. Udah bener pilihan hidup kalian selama ini. Pertahankan."
Jessy mendelik tajam ke arah Ajeng.
Pukul setengah delapan, ibu-ibu gang mulai berdatangan. Banyak yang menggandeng anak. Ruang tengah segera penuh dengan bocil-bocil sementara para ibu duduk di karpet ruang tamu.
Minuman diantarkan Ardan. Menolak bantuan anak kos. Berat, biar Ardan saja. Lagi pula tidak menjamin akan ada gelas pecah susulan kalau mereka ikut bantu. Jadi lebih baik anak kos duduk di karpet ruang tengah, menemani bocil bermain. Rata-rata mereka sepantar dengan Didit. Makanya Didit semangat menyeret box mainan dari kamarnya. Entah itu monopoli, ular tangga, uno, lego, puzzle, rubrik, slime berbagai rasa. Semua ada.
Ardan lanjut mengeluarkan nampan berisi piring snack kecil-kecil. Saat yang lain lengah memperhatikan bocil bermain, Sasa sigap berdiri. "Bang, aku bantu nyalurin ya."
Mendapat anggukan sekilas, Sasa semangat mendekat. Geng Rusuh tercengang melihatnya. Bisa-bisanya mereka lengah dan kecolongan. Mata mereka melebar seperti pembawa acara gosip yang sayat-sayat itu. Dagu mereka terangkat, dada dibusungkan, hidung kembang-kempis. Bersungut-sungut.
"Boleh juga nyali dia."
"Gue salah anggap dia remeh selama ini."
"Bakal plot twist kalau yang nggak berjuang malah yang dapetin."
"Jangan lupain Agni. Dia kandidat plot twist paling pertama dan sialnya terkuat."
Puput memegang kepala dengan kedua tangan. "Udah, stop. Gue trauma inget kejadian kemarin."
"Yang mana?" tanya Ajeng.
Dea menjawab lemah. "Nyeberang sepayung berdua."
Helaan napas lesu mereka terdengar berbarengan.
***
"Baru pulang jam segini?"
Agni terhenyak. Tangannya yang memegang kunci gerbang gemetar, membuat kunci itu jatuh. Dia mengusap dada. Teras rumah depan kos gelap dan sepertinya tidak ada siapa-siapa. Di sekitar pun sudah sepi. Siapa yang tidak jantungan kalau tiba-tiba ada yang bersuara. Suara kucing akan dimaklumi.
"Biasa aja mukanya." Ardan mendekat ke tepian teras. "Yang nyapa lo manusia, bukan setan."
Memungut kunci yang jatuh. "Mending setan sekalian kalau manusianya itu lo."
"Mulai lagi. Gue tanya baik-baik, jawabnya pake hinaan." Ardan mendecak. "Langit bakal runtuh apa gimana kalau lo ngejawabnya manis?"
Setelah berhasil membuka gembok, Agni menoleh. Tersenyum manis. "Iya, baru pulang nih, Bang Ardan."
Awalnya diucapkan dengan manis, sempat membuat Ardan terkesiap, hanya sepersekian detik, lalu dihempaskan di kalimat berikutnya.
"Nggak punya mata ya?" Agni mendongak. "Langit tetep aman. Nggak usah ngajak berantem orang tengah malem. Gue capek."
"Udah makan?"
Gerakan menggeser gerbang urung dilakukan Agni. Dia kembali berpaling ke Ardan. "Udah."
"Beneran udah? Di rumah banyak lauk sisa arisan tadi. Kalau lo belum makan, daripada bikin mi instan, mending—"
"Lo sengaja nungguin gue pulang buat tanya gue makan apa belum?"
Mengibaskan tangan. Tertawa. "Nungguin lo? Haha. Nggak ada kerjaan banget."
Agni berkata serius. "Gue risi sama sikap lo yang begini. Gue cuma bercanda tanya kemarin. Lo boleh naksir siapa pun, asal jangan gue."
Memasukkan kedua tangan ke saku celana kargo pendeknya, Ardan melangkah tenang ke arah gerbang kos. Ekspresinya tidak terbaca. Agni langsung waspada. Siapa tahu selama ini diam-diam Ardan menyembunyikan jiwa psikopatnya di balik citra diri yang baik.
"Apa? Lo mau apa?!" Ketika Ardan berhenti satu langkah di hadapan Agni.
Jujur, Agni sedikit gentar, apalagi mata itu menatapnya dengan intens. Sedikit demi sedikit mencondongkan tubuh. Agni bisa-bisanya diam dan tak berkutik begini. Dapat dirasakan jika punggungnya sudah menempel di besi pagar.
"Kenapa nggak boleh naksir sama lo?" Berkata persis di depan wajah Agni yang mematung. Perlahan muncul seringai di sudut bibir Ardan. "Lo sukanya sama perempuan?"
Agni membuka bibir, sudah mengumpat kalau saja bisa. Tapi lidahnya kelu. Otaknya mendadak kosong. Matanya? Terperangkap di manik mata Ardan. Sungguh sialan!
"Ah, tunggu. Pipi lo merah." Ardan bersorak dalam hati. Membiarkan seringai mengembang semakin lebar. "Grogi ya?"
Agak tergagap. "B-blush on!"
"Yang bener? Sini coba gue pegang."
Dengan segala upaya dan kewarasan yang ada, Agni akhirnya bisa menguasai diri. "Minggir atau gue teriak?!"
Ardan mengangkat kedua tangan, mundur. Puas menjaili Agni yang sudah merah padam. Dagunya mengarah ke gerbang. "Buruan masuk. Dingin."
"Sinting!"
"Selamat bobo, ya. Mimpiin gue."
"Najis lo ya!"
Namun, Ardan justru tertawa kecil. Wajah merah Agni terlihat sangat menggemaskan.
***
Senin/15.03.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top