Bagian Delapan


Keluar dari bangunan kos, Ardan melihat Mama tergopoh berlari keluar rumah. Wajahnya panik sekali.

"Adikmu, Dan, adikmuuuu!"

"Didit? Jingga?"

"Kita ke sekolah Jingga sekarang!" Mama membuka pintu mobil, Ardan sigap mengikuti.

Mama terburu mengenakan sabuk pengaman. Meralat kalimatnya sendiri. "Bukan sekolah, tapi klinik dekat sekolahnya Jingga."

"Ada telepon dari guru BK?" Ardan berusaha fokus menyetir dan menekan panik.

"Iya."

"Jingga tawuran, Ma?" Ardan clueless. Hanya menebak apa yang terlintas saja.

"Kakinya keseleo katanya. Nggak tahu gimana kronologinya, Mama keburu panik."

Ardan tidak bertanya lagi. Tidak sampai lima belas menit, mereka sampai di klinik. Mama mengangkat kaftan-nya supaya bisa melangkah cepat. Ardan mengikuti sambil mengawasi langkah Mama, jaga-jaga kalau mamanya tersandung atau terantuk.

Pintu di salah satu ruangan terkuak, Mama tidak pandang bulu ada siapa di sana, langsung mengomel. "Kamu jalannya gimana sih, Jingga? Teledor banget. Kalau sampai patah tulang gimana? Apa? Mau ngejawab kamu? Mau alasan apa?"

Jingga menekuk wajahnya, siap menangis.

Ardan menyapa dua guru yang menemani di sana, mengangguk sopan dengan senyum minta permakluman atas sikap mamanya.

"Lain kali hati-hati makanya. Sakit kan? Ini untung cuma keseleo ya, nggak yang macam-macam. Lain kali ulangi." Mama melanjutkan omelan di dalam mobil, lengkap dengan sindiran.

Jingga sudah tebal telinga sebenarnya. Kena omelan Mama sudah biasa. Jadi dia hanya menunduk, menatap sedih kaki kanannya yang dibebat dengan perban elastis.

"Ma, kecelakaan kan nggak ada yang tahu. Besok Jingga pasti lebih hati-hati."

Mama menoleh ke belakang. "Kalau bercanda sama temen, yang wajar aja. Bercanda apa yang sampai nggak lihat jalan?"

"Ma—" Ardan menyergah pelan.

"Kamu selalu belain adik-adikmu. Mereka jadi ngegampangin apa-apa."

Ardan melirik adiknya dari spion tengah. "Yang penting Jingga nggak luka serius, Ma. Kakinya lusa sembuh kok."

Tidak ada suara lagi sampai mobil tiba di depan rumah. Mama tidak mengomel, turun lebih dulu. Ardan mengelilingi mobil, membukakan pintu belakang.

"Aku bisa kok jalan sendiri." Jingga dengan raut sedihnya, menatap Ardan.

Dengan lembut. "Abang gendong aja biar cepet."

Agni yang akan berangkat kerja, berhenti untuk bertanya. "Jingga kenapa, Tante?"

"Jatuh di depan sekolah, Ni. Kakinya keseleo."

Agni mendekat, melihat Ardan yang merunduk di samping mobil. Sepertinya sedang membujuk adiknya. Sebelum akhirnya Ardan menggendong Jingga di bagian depan.

"Ma, tolong pintunya."

Mama bergegas membuka pintu rumah lebih lebar.

Agni masih di sana. Menatap punggung Ardan dan separuh wajah Jingga bergantian. Rasa-rasanya dia cemburu dengan hal sederhana itu. Bukan hanya sekarang, tapi apa-apa yang sudah dia saksikan selama setahun ini.

Tentang bagaimana lelaki itu tahu cara menjaga keluarga.

***

Masalah lain datang menjelang magrib. Sasa melapor padanya kalau air di kos mampet. Baik itu kamar mandi lantai satu dan dua. Ardan melangkah ke bangunan kos sambil bertanya ke Sasa yang menyejajari langkahnya. "Pada pake baj—"

"Gimana, Bang?"

Ardan menggeleng. Tidak jadi meneruskan pertanyaannya. Dia hanya harus mengecek ke mesin pompa di pojokan lantai satu. Kalau dirinya tidak bisa membetulkan, besok pagi-pagi dia akan memanggil tukang.

"Bisa nggak, Bang?" Sasa bertanya saat Ardan membuka tutup pompa, mengisinya dengan air dan coba dinyalakan. Tetap tidak mengalir airnya. Mana ini sudah magrib, Ardan sendiri juga belum mandi.

Hampir setengah jam dan tidak berhasil. Ardan menyerah. Seraya menyingsingkan lengan kausnya, Ardan berkacak pinggang. "Maaf banget, kalian kayaknya mesti ngungsi mandinya. Ada kan temen yang ngekos deket sini?"

Para perusuh yang berdiri mengelilingi Ardan, kompak mengangguk. Lebih tepatnya mendadak bodoh karena melihat lengan Ardan yang basah oleh keringat. Di mata mereka terlihat seksi. Kalau tahu akan begini, lebih baik mereka rusak saja pompa air itu sejak awal atau apa pun. Asal bisa membawa Ardan datang ke sini.

Apalagi tadi Ayuk sengaja bercerita tentang betapa tampannya Ardan mengenakan batik lengan panjang, membuat geng perusuh heboh dan histeris sendiri. Oke, tidak nyambung. Tapi kalian perlu tahu betapa menyesalnya mereka tidak bisa menyaksikan pemandangan itu.

Eh, sebentar, Bang Ardan tanya apa tadi?

"Ada, Bang, ada. Nggak apa-apa kok kita mandinya ngungsi dulu. Iya kan, Gais?" Ajeng mewakili teman-temannya untuk menjawab. Yang serta merta disetujui oleh yang lain.

"Oke. Berarti sisanya mandi di rumah gue ya."

"APA?!"

"HAH?"

"NGGAK, BANG. KITA NGGAK PUNYA TEMEN YANG NGEKOS SEKITAR SINI."

"AKU DIBUANG TEMAN-TEMANKU, BANG."

"AKU TARIK OMONGANKU, BANG!" Ajeng menggeleng dramatis, penuh penyesalan.

"AKU INTROVERT, BANG!"

Ardan menghela napas. Segera pamit. Terserah mereka mau mandi di mana, yang jelas Ardan sudah menawarkan untuk mandi di rumahnya.

"Bang, kamarnya Bang Ardan ada kamar mandinya nggak?" Bukan suara cewek sungguhan, itu suara Emil yang menghadangnya di depan gerbang kos. Suaranya dibuat kemayu, terdengar seperti tikus kejepit—masih bagusan tikusnya.

Ardan menutup gerbang dan mengabaikan Emil.

"Dan, suruh mereka mandi di rumah gue aja."

"Emang udah siap mati malem ini?"

Emil mengusap dada. "Ya Allah, sadis banget mulutnya." Tidak perlu diusir Emil sudah balik kanan dan pulang.

"Nggak bisa nyala airnya, Dan?" Mama bertanya ketika Ardan hendak naik ke kamarnya.

"Iya, Ma. Nggak bisa diapa-apain. Besok pagi-pagi aku panggil tukang. Mereka sementara mandi di sini dulu—"

Belum selesai kalimat Ardan, mereka sudah muncul di ambang pintu depan yang memang sengaja tidak Ardan tutup. Masing-masing memeluk handuk, baju ganti dan peralatan mandi.

Jessy nyengir lebar sekali. "Tanteeee, kita nebeng mandi yaa. Bang Ardan tadi udah nawarin."

"Oh, boleh, boleh. Sini masuk."

Tapi yang terjadi adalah mereka berebut untuk melewati pintu. Saling sikut, tarik, dan jambak. Tidak rela jika ada yang mendahului. Seakan urusan menumpang mandi ini setara dengan perkara berebut perkedel di Warung Makan Padang ketika jam makan siang. Nyesek kalau tidak kebagian!

Ardan menatap mamanya. "Ma, bikinin aja nomor antrean."

Mama tertawa dan melangkah ke kamar mandi utama. Menyalakan lampunya. Dan para cewek itu belum juga selesai memutuskan siapa yang mandi pertama.

"Yang tua—" Kalimat Ardan dipotong.

"Apa gue bilang! Awas minggir!"

"—ngalah."

Sasa tertawa penuh kemenangan seraya menyibak Jessy dan Ajeng yang manyun. Melenggang menuju kamar mandi.

***

"Kok belum tidur?"

Jingga menoleh ke pintu. Melihat kepala abangnya menyembul di sana. "Belum ngantuk. Abang sendiri?"

Ardan mengangkat gelas kopi di tangan. "Habis bikin kopi, terus mampir lihat kamu."

"Oh."

"Abang boleh masuk?"

"Hm."

Ardan membawa serta kopinya, duduk di karpet bulu samping ranjang. Meletakkan kopinya di meja nakas setelah disesap sedikit. Matanya sempat memperhatikan kaki kanan adiknya yang disangga oleh bantal.

"Kakimu udah nyaman belum? Bantalnya mau ditambah?"

"Nggak. Ini udah nyaman kok."

Ardan manggut-manggut.

"Bang."

"Ya?" Ardan beralih menatap wajah adiknya.

"Aku minta maaf ya."

"Iya."

"Kok langsung iya sih? Nggak tanya dulu minta maafnya buat apa."

"Udah tahu."

Jingga membuang napas. "Abang pasti doain aku ya?"

"Doain yang jelek?"

"Abang beneran doa begitu?"

"Enggak."

"Terus kenapa aku bisa keseleo?"

"Kamu sendiri yang teledor."

"Aku jarang jatuh, Bang. Ini beneran karma deh."

Ardan tersenyum tipis. Hening sejenak.

"Maaf, Bang, aku kemarin nggak jujur. Aku kan minta uang cuma buat beli bedak. Tapi aku malah traktir temen-temen makan. Terus aku lupa diri pas lihat sepatu, baju, sama jaket. Lucu-lucu banget soalnya, minta banget dibeli." Jingga menatap kakaknya dengan berkaca. "Bang ... maafin yaa."

"Iya. Kan tadi udah dimaafin di awal."

"Abang boleh kok marah."

"Nggak marah."

"Marah aja nggak apa-apa."

"Nggak marah aja kamu udah nangis gini, marah apalagi."

Jingga mengusap pelipisnya. "Aku sedih aja. Inget wajah cemas Abang tadi siang, aku ngerasa bersalah banget. Belum lagi Mama yang ngomel."

"Mama kan kalau khawatir begitu, pasti wujudnya omelan."

"Kalau yang itu udah khatam kok." Mengusap pelipisnya lagi. "Tapi tadi pertama kali lihat Abang cemas kayak gitu."

Ardan termangu. Apakah sikapnya berlebihan? Perasaan dia biasa saja. "Abang lebay di mata kamu ya?"

Jingga menggeleng. "Sayang banget ya sama aku?"

"Kok tanya gitu?" Terkekeh. "Jelas sayang-lah."

"Padahal aku nyebelin."

"Emang."

Pura-pura mendelik. "Isshhh."

Suara ketukan terdengar dari pintu depan. Ardan berdiri. Mengambil gelas kopinya. "Meski besok kamu izin nggak sekolah, jangan begadang. Buruan tidur."

"Itu siapa? Bang Emil?"

"Paling anak kos yang mau numpang mandi."

"Tapi ini kan udah jam sebelas."

Ardan mengangkat bahu. Keluar dari kamar Jingga dan menutup pintunya. Tidak menebak siapa yang akan dia temui di depan pintu. Begitu pintu terbuka, tangan kirinya tanpa sadar memegang gelas kopinya lebih erat.

"Sori, Dan, ganggu. Gue ...." Terdengar ragu dan sungkan. "... mau numpang mandi. Boleh?"

Tatapan Ardan langsung jatuh di handuk merah yang dipeluk Agni. Matanya sontak berkedut. Handuk sialan!

Berdeham. Ardan menyingkir dari pintu, memberi Agni jalan.

"Tante udah tidur?"

"Yap." Ardan menutup pintu, atau biarkan terbuka saja? Selama menunggu Agni mandi, Ardan harus apa?

"Sakelarnya di dekat pintu."

Agni menekan sakelar sebelum masuk ke kamar mandi.

"Lo mandinya lama apa nggak?"

"Hah?" Agni di ambang pintu dan menoleh bingung.

Ardan menunjuk pintu utama di belakangnya. "Gue mesti ngunci pintu rumah."

"Sepuluh menit."

"Oke." Ardan memilih menyalakan televisi seraya menunggu. Memindah-mindah channel dengan bosan. Hingga sepuluh menit belum ada, Agni sudah keluar dari kamar mandi membawa semerbak yang memabukkan—tidak, ini berbeda dengan parfum abege-nya Jingga. Ini jenis harum yang berbeda.

"Udah?" Ardan rasanya ingin menampar mulut sendiri. Kenapa nada pertanyaannya terdengar lembut begitu?

"Udah. Makasih." Agni berusaha bersikap biasa saja.

Meski sungguh, sama sekali tidak biasa. Sebelum mengetuk pintu rumah ini, dia membuat banyak pertimbangan. Dia tidak mau mengulangi insiden handuk nyaris melorot, jadi dia sudah antisipasi dengan kemungkinan baju ganti jatuh di kamar mandi. Gerakannya pun lebih hati-hati dan tidak serampangan. Ketika mandi pun, dia memastikan berkali-kali kalau bajunya masih aman di gantungan.

Ardan mengikuti—ingat ya, mengikuti, bukan mengantar—Agni hingga ke teras. Menunggu sampai punggung Agni masuk ke gerbang kos, mengunci gerbang, dan langkahnya tidak terdengar lagi.

Sementara Ardan masih berdiri di pintu yang setengah terbuka. Sibuk dengan satu hal yang memenuhi kepala. Agni pakai shampoo apa ya? Kok wanginya enak. Shampoo apa sabun ya? Kayaknya shampoo.

Eh, atau sabun?

Jangan-jangan pewangi pakaian, kali.

Ardan mengacak rambut dan menutup pintu.

***

Ada yg udah cinta (banget) ke Ardan belum? 😎

Rabu/10.02.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top