9C : Chaos

Suara dari seekor burung berhasil membangunkan sosok lelaki dengan keadaan yang amat sangat menyedihkan. Lelaki bersurai hitam itu bangkit, merasakan embusan udara pagi yang terasa alami dan memanjakan paru-paru. Sesaat si lelaki merasakan rasa perih dari perutnya, entah sejak kapan ia terakhir kali mengisi perutnya dengan makanan.

"Hei, kawan." Kev melebarkan senyumnya kala burung elang itu masih setia berada di atasnya dengan sebuah daging yang sama sekali tidak Kev ketahui. Rasa lapar dan haus menuntunnya untuk berusaha bangkit, dengan sempoyongan Kev berusaha menggapai air dari danau tersebut.

Walau terpaksa itu sangat melegakan, setelah cukup barulah Kev melihat ke sekelilingnya yang baru ia sadari bahwa dirinya benar-benar terjebak di bawah sebuah lubang. Kev mendongak, menatap permukaan yang telah menunjukkan aktivitas paginya.

"Kau ada cara untuk kembali ke atas?" tanyanya pada seekor burung yang sama sekali tidak bisa mencerna ucapan Kev. 

Mengabaikan hal itu, si lelaki segera mengambil kembali tasnya, mengacak-acak isi di dalamnya dan tidak menemukan sesuatu yang pantas di makan kecuali sepotong roti yang telah basah dan berjamur. "Oh, aku membencimu."

Tidak ingin sesuatu buruk terjadi, akhirnya Kev memilih untuk mengembalikan roti itu di tempat semula dan melanjutkan perjalanan tanpa asupan energi. Mungkin, Kev akan mencari makanan lain yang lebih pantas dari pada harus membunuhnya secara perlahan dengan bantuan bakteri-bakteri tersebut.

Perairan dangkal itu dilaluinya dengan hati-hati, langkah demi langkah begitu ia perhitungkan demi menghindari hewan yang tak diinginkan. Manik kelabu itu kini menatap celah yang kemungkinan besar jalan satu-satunya untuknya keluar dari sini.

Burung elang yang sedari tadi hanya menatap Kev, kini ia tampak terbang dengan kepakan sayap besarnya, menghampiri si lelaki berbaju kusam itu dan hinggap di salah satu bebatuan di depannya. "Ada jalan keluar?" tanya Kev kemudian.

Kev menggeleng tidak yakin dan menghela nafas kasar saat menyadari kelakuan anehnya. "Aku bahkan tidak paham apa yang aku lakukan denganmu, kau hewan, aku manusia dan ...." 

Ucapan lelaki bersurai hitam itu terpaksa berhenti kala hewan bersayap itu mulai terbang ke arahnya. Entah apa yang membuat burung itu marah, yang mana berhasil melukai lengan Kev dengan cakaran tajamnya.

"Hei ... hei!" seru Kev yang berusaha menghindar dengan melindungi diri menggunakan tasnya.

"Kau marah, hah? Oke, aku minta maaf, kau temanku. Kali ini aku tidak akan memandang spesies, oke?" Lelaki itu menggelengkan kepalanya perlahan, keanehan yang kesekian kalinya untuk Kev. 

"Aku akan memberikan nama untukmu, bagaimana kalau ... Ony?" Burung itu tidak merespon, hanya menatapnya dengan tatapan tajamnya.

"Ony memiliki arti burung elang, kau burung elang, jadi cocok." Kev menggeleng kan kepalanya tidak yakin, "Nama itu tidak cocok untuk dirimu yang terlalu gagah."

"Ah, Asa. Aku ingat nama itu memiliki arti elang," ucap Kev seraya menyentuh kepala dari si burung yang berhasil ia berikan nama.

Selesai dengan urusan yang tidak penting untuk menamai si elang, Kev mulai merenggangkan ototnya. Melakukan aktivitas fisik sejenak sebelum mulai memanjat tebing di depannya.

Karena tidak ada pilihan serta jalan keluar yang ada, Kev memutuskan untuk memanjat satu persatu bebatuan kasar yang kapan saja bisa melukai tubuhnya yang rentan itu. Tangan itu dengan sekuat tenaga menjadi penahan utama untuknya, kakinya yang mengantung dengan ketinggian yang tak seberapa membuat Kev hampir tergelincir beberapa kali.

Manik kelabu itu mencoba menemukan harapan terbesar, syukur-syukur jika ada orang yang tidak sengaja lewat dan menolongnya. Namun, tampaknya harapan itu tidak pernah terkabul kala Kev mulai menanjak setengah dari tebing curam tanpa pengaman tersebut.

Burung elang yang entah darimana itu mulai muncul lagi dengan membawakan seutas tali yang sangat tidak meyakinkan untuk Kev saat tali tersebut diberikan. Kev tidak yakin jika elang ini mampu menarik bebannya yang amat sangat berat, bahkan tali tersebut terkesan rapuh.

Namun, rasanya burung bermata tajam itu tampak tidak ingin ada penolakan dari Kev, terbukti dengan usahanya yang terus membantu walau itu sangat tidak membantu bagi si lelaki.

Di tengah usaha kerasnya tersebut, Kev sesekali melihat ke bawah. "Ini hanya setengahnya," gumam dengan raut sedikit kesal.

"Ahhhh ...!"

Tangannya memerah, bahkan beberapa dari kulitnya terlihat sobek dengan luka memanjang yang menyakitkan. Di tengah posisinya yang mengantung itu, Kev berusaha meminta pertolongan walau tidak memungkinkan masih ada orang di atas sana.

Pada akhirnya pencapaian itu harus berakhir ketika tangan sebelah kanannya tak lagi bisa menahan beban, kakinya pun harus tergelincir karena bebatuan tempatnya berpijak mulai berjatuhan. Pasrah dengan keadaan, Kev pun terjatuh kembali ke perairan dangkal itu dengan wajah yang benar-benar lelah dan putus asa.

"Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menyelamatkan ibu ketika aku sendiri selalu gagal dalam segalanya."

Tidak langsung bangun, Kev memilih diam sejenak di tengah perairan dingin yang hanya bisa menenggelamkan telingannya. Maniknya penuh permohonan untuk nyawa terakhirnya, harapan tertingginya hanya pertolongan.

Berjam-jam Kev habiskan untuk menunggu yang sama sekali tidak ada hasilnya, ia bahkan tahu jika yang ia tunggu tidak pernah ada. Kemudian rasa penuh emosional itulah yang berhasil membangkitkan jiwa petualangannya. Lelaki itu bangkit dan berdiri dengan tegaknya, menatap kembali dunia yang sekarang bukan miliknya.

"Aku datang bukan untuk bersantai!" ucapnya penuh keyakinan, lelaki bersurai hitam itu merobek sebagian bajunya untuk menutup luka goresnya dan kembali melangkah dengan keyakinan yang tiada habisnya.

Namun, sebelum Kev benar-benar memanjat kembali, burung elang yang sedari tadi bertengger di salah satu ranting pohon mulai mengeluarkan suaranya dan terbang ke arah lain. Kev yang melihat itu berhasil dibuat penasaran, dengan penuh keraguan ia menyusuri jalanan berair yang mengarah ke bagian kiri.

"Kau menemukan jalan, huh?"

Ada sebuah lubang di depannya, dengan ketinggian yang memang pas untuk ukuran orang dewasa, serta jalanan berair yang sangat gelap.

Lelaki itu menggeleng tidak percaya, ia pun mulai melangkah lebih jauh ditemani oleh si elang yang kini hinggap di atas bahunya. Mulanya air itu memang dangkal dengan beberapa bebatuan yang ada di atasnya, semacam gua berair.

"Kau yakin ini aman? Bagaimana jika ada seekor ular?" tanya Kev pada sosok di bahunya. Sungguh, tempat ini bisa dikatakan sangat mengerikan dengan sisinya yang diselimuti bebatuan kasar.

Perlahan demi perlahan ia melangkah, membiarkan kakinya menjaga keseimbangan di atas bebatuan yang mulai terasa semakin berat dan dalam.

"Bagaimana jika ada monster air?" tanyanya kembali saat air mulai naik dari mata kaki hingga ke lututnya. Kev menoleh sekilas, memandang burung yang hanya diam dengan gaya bak pemimpin. 

Gua itu memang panjang dengan dikelilingi bebatuan. Namun, tidak terlalu gelap saat beberapa bebatuan memiliki celah-celah kecil yang memancarkan cahaya dan udara. Kev sesekali berhenti, memastikan kembali niatnya yang terasa sangat buruk. "Bagaimana jika ada buaya?"

Sungguh, Kev bahkan memperhitungkan tingkat kematian dari tempat ini. Baginya ini lebih beresiko dari panjat tebing yang terasa menyakitkan. Tapi, bagaimanapun Kev harus bisa keluar sebelum hari-harinya terlewatkan begitu saja. 

"Bagaimana jika ada sekawanan ikan Piranha?" Entah untuk keberapa kali lelaki itu terus melontarkan pertanyaan yang sama sekali tidak dimengerti oleh si elang. 

"Atau ... bagaimana jika ada hewan penghisap? Seperti lintah?" Kev bergidik ngeri ketika membayangkan sesuatu yang sangat ia benci, ia memilih melupakan semuanya dengan terus fokus dan berpikir positif.

Namun, akankah pikiran positif itu mampu Kev pertahankan ketika kakinya harus terpeleset hingga hampir membuatnya tenggelam. Nafasnya seketika memburu, jantung itu berdegup lebih kencang dari biasanya.

Sekarang tidak ada pegangan atau apapun yang bisa ia jadikan pengaman. Mengerikan memang, membayangkan bagaimana suasana di gua dengan kadar oksigen yang semakin menipis.

"Oke, oke. Ini cukup menantang."

Kini air mulai menenggelamkan dirinya hingga mencapai dada. Burung elang itu berusaha menggapai puncak kepala Kev, walau Kev tahu cakaran dari burung itu benar-benar membuatnya tersiksa.

"Hei, hei! Asa! Turun dan terbang lah ke depan, kau harus menunjukkan jalan." Elang bernama Asa itu sempat terdiam, sebelum Kev akhirnya bersuara kembali.

"Ayolah! Kau bisa menunjukkan tanda bahaya di depan sana." Perintah itu seketika dilaksanakan oleh Asa dengan baik. Burung elang yang cukup besar tersebut mulai terbang ke depan sana guna mencari jalan keluar, sekaligus memantau pergerakan negatif.

Kev meraih tasnya dan mengambil senter untuk penerangan. Tas itu kembali ia bawa dengan menjinjing nya di atas kepala. "Oh, benar-benar buruk jika aku semakin tenggelam di sini."

Air naik kembali hingga mencapai leher Kev, nafas itu seketika mulai tidak beraturan. Rasa sesak benar-benar terasa ketika gua semakin gelap dan dalam. Entah berapa lama Kev harus berjalan sampai menemukan titik terang yang pasti.

"Hh—huh ... I can, I can."

"Asa!" panggil Kev saat keadaan mulai tidak berjalan dengan baik, sesuatu terapung di depannya. Dengan keringat yang mulai menyatu dengan air, dengan tangan bergetar penuh ketakutan, Kev mengarahkan senternya ke benda itu.

Cahaya menerangi sebuah tulang besar yang terapung di depannya, Kev membeku di tempatnya, menyadari jika tulang tersebut bukanlah hal yang baik. "Oh, sial!"

Semakin dekat dirinya dengan benda asing yang mengerikan itu, semakin tersirat jelas raut penuh ketakutan. "Apakah itu tulang manusia?" tanyanya dengan wajah panik.

Selangkah lagi, selangkah lagi Kev akan berhasil melewatinya. "Huh ... huh ... Astaga."

Kev menghembuskan nafas lega ketika berhasil melewatinya, sempat ada keraguan lebih untuk melanjutkan perjalanan panjang ini, tapi itu harus ia buang jauh-jauh saat sadar bahwa ia telah berada di ujung jalan.

"Cahaya?" Senyum itu terlihat samar-samar, burung elang bernama Asa itu datang saat Kev mulai merasakan hawa lega setelah sekian lama melewati masa penuh sesak dari dalam sana.

Saat hampir keluar dari gua yang gelap itu, Kev tanpa sengaja menginjak sesuatu dengan tekstur aneh, yang pada akhirnya membuat dirinya berusaha berlari walau sedikit sulit.

Karena ketakutan, berkali-kali pula ia harus menelan air yang kini mencapai seluruh badannya. Sungguh malang nasibnya, bertemu tulang manusia dan kini seekor hewan yang belum jelas wujudnya.

Daratan di depannya akhirnya mampu ia gapai, Kev menyetabilkan nafasnya yang memburu dan menatap ke arah Asa yang sama sekali tidak peduli. Di tengah perasaannya yang campur aduk itu, entah kenapa ada sesuatu yang aneh dari kakinya.

Kala celana bahan itu ia sibakkan ke atas, Kev mematung untuk sesaat dengan raut yang benar-benar geli. "Shit! Why should you!" teriaknya pada hewan-hewan kecil yang kini menempel erat di kakinya, hewan yang paling Kev benci sepanjang masa, lintah.

Dengan perasaan aneh, lelaki bermanik kelabu itu berusaha mencari kayu atau bahkan belatinya untuk mencongkel-congkel sosok hewan yang suka darah manusia itu.

"Yang tidak aku sukai dari alam liar adalah hewan-hewan aneh ini!"

~

|| Mendapatkan sesuatu harus melalui tantangan, walau seberat apapun itu. ||

ARCANE

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top