7A : At Another
KOTA HAUNELLE.
"Hancurkan mereka," perintah James dengan nada lirihnya. Wanita di sebelah pria itu mengangguk paham dan memerintahkan dua pilotnya sekaligus melalui alat komunikasi mereka.
"Baik, Pak."
"Tembakan diluncurkan pada ... lima, empat, tiga, dua dan ... satu!"
Pria itu dengan jelas melihat bagaimana pesawat yang di terbangkan oleh Fei hancur begitu saja di atas udara. Manik biru keabu-abuan itu dengan sangat nyata menangkap pemandangan pesawat miliknya yang telah menjadi kepingan kepingan benda tak berharga lagi.
"Lacak mereka, pastikan tidak ada yang hidup."
"Baik, Pak." Dua anggota Hal Soldier yang berisi para wanita itu segera mengaktifkan alat pelacak yang tertanam dalam tubuh Kev dan mencarinya hingga akhirnya salah satu dari mereka berhasil menemukan keberadaan lelaki yang berhasil kabur tersebut.
"Kev berada di sebelah tenggara perbatasan, aku rasa ada di sekitar Danau Von Stelle," ujar salah seorang dari mereka.
James yang mendapatkan laporan itu segera menghampiri mereka. Ia sempat mengerutkan dahinya heran. "Tidak ada tanda-tanda aktivitas dari dia," ucap pria berwajah tegas tersebut.
Salah seorang dari mereka mengangguki ucapan pemimpin mereka dan mulai berpendapat jika Kev telah tiada. "Dia mati?"
"Aku rasa," ucap si pria, "Tapi, kita harus tetap memantau aktivitas darinya. Kita tidak pernah tahu pergerakan tiba-tiba."
Mereka dengan mudah menuruti ucapan pria itu, mengangguk dan terus melakukan pekerjaan sebaik mungkin.
"Bagaimana dengan Fei?" tanya James yang teringat akan gadis paling hebat dalam Hal Soldier yang ia latih.
Salah seorang di depan James menggeleng pelan, menandakan kekecewaan mendalam. "Tidak ada alat pendeteksi yang aktif dalam tubuhnya, aku bisa tebak dia telah melepaskannya sebelum pergi."
Helaan napas geram terdengar dari mulut si pria. "Ikuti pergerakan Kev. Besok kita luncurkan pasukan untuk mencari bangkai pesawat itu sekaligus Fei "
James beranjak dari ruangan itu, langkah panjangnya menuju ke ruang khusus milik orang yang selama ini mengendalikan dan membangun Haunelle.
Pria itu telah sampai, ia dengan beraninya menginjakkan kaki di tangga paling atas menuju ruang sang pemimpin sesungguhnya. Lantai berbalut emas dengan gaya klasik itu terletak di bagian belakang kota, hingga siapa pun tidak akan mampu menggapai bagunan mewah milik seorang Gya Halcyon.
Pintu dengan tinggi yang tidak lagi bisa diukur itu mulai terbuka secara perlahan layaknya pintu kerajaan di dalam dunia fantasi. James melihat sekelilingnya, kemudian mulai melangkah masuk dengan sedikit ragu. Di sekitarnya tidak ada siapa pun kecuali patung-patung Dewi Yunani dan beberapa benda bersejarah.
Seorang wanita dengan gaun berwarna silver datang dengan senyum indahnya, ia menyambut James dengan baik dan menunjukkan sikap khas kerajaan yang sangat formal dan elegan.
"Apa yang membuatmu kemari wahai Tuan Jenderal?" tanya wanita itu dengan sopan.
"Aku ingin menemuinya," ucap James pada sosok wanita di depannya ini. Mendapatkan jawaban sedemikian rupa, si wanita yang merupakan asisten dari sosok yang James cari segera mengangguk paham dan berlalu pergi.
Sedangkan James sendiri memilih untuk melihat-lihat beberapa artefak yang sengaja diperlihatkan di sepanjang celah antar pilar-pilar berukuran raksasa.
"Terasa seperti museum," ujar James kala tangannya mulai terulur untuk menyentuh kaca berbahan Tempered dengan ketebalan 10 milimeter tersebut.
"Aku hanya mengamankan barang-barang berharga dari seluruh dunia," sahut seseorang yang entah sejak kapan berdiri di depan air mancur bersimbol H.
"Oh, Lady Halcyon." Pria itu dengan senyum lebarnya segera menghampiri pemimpinnya itu dan membungkuk hormat pada wanita bergaun hitam dengan jubah berwarna emas yang terlihat indah.
Wanita dengan gaya elegan nan menawan itu hanya mengangguk-angguk sembari menunjuk arah lain untuk keduanya duduk. "Aku tidak ingin membuat kaki itu patah karena diriku."
"Ya, tentu saja."
Ruang yang terletak di bagian kanan halaman utama itu merupakan ruang temu dengan tersedianya sofa-sofa empuk berserta pasangan sejatinya, meja kaca. Meja dengan gaya modern tersebut tampak jelas ketika James menyadari bahwa meja itu tidak memiliki penyangga.
Gya Haclyon mulai mendudukkan dirinya dengan sorot yang masih tertuju pada lawan bicaranya. "Apa yang membuatmu mengunjungi diriku, James?" tanyanya dengan nada khas yang berkharisma.
"Ya, aku tidak bisa berhenti memikirkan dia semenjak hari itu," ucap James kemudian.
"Aku paham dengan apa yang kau pikirkan. Dia adalah ancaman sekaligus kunci untukmu mendapatkan mereka." Wanita itu tersenyum ramah pada asistennya yang datang bersama dua cangkir teh.
Pria berseragam khas militer itu mengangguk. "Maksudnya, Crylic?" tanya James memastikan.
"Oh, benar. Kau mengincar siapa? Kota mereka untuk kau jadikan bahan bakar? Atau sumber daya yang berhasil mereka kuasai?"
"Keduanya, aku bahkan tidak ingin melihat ada ancaman baru dari luar sana."
"Ya, tujuan kita selalu sama. Mendaur ulang para sampah dan mengisi bahan bakar," ucapan itu ia jeda. "Lagi pula, para monster di luar sana mungkin menjadi ancaman. Namun, masih ada cara untuk mengendalikannya."
"Kau benar, tapi itu sulit."
"James Gibson. Kau selalu berpikir negatif akan kekuatanku, tidak ada yang tidak mungkin selama mesin modern kita masih menyala," ungkap si wanita seraya mengambil cangkir tehnya.
"Meski begitu, kita ...."
Gya mengangkat tangannya, membuktikan akan dirinya yang tidak ingin mendengar lebih jauh ucapan dari James. "Baik, baik. Berhenti sampai di situ. Sekarang aku ingin bertanya padamu."
Wanita itu meletakkan cangkirnya setelah menikmati sejenak kehangatan dari teh hitam. Kemudian melipat kedua tangan di atas paha dan tersenyum ke arah James.
"Anak itu kabur, ya?"
James sedikit lebih tegang saat ini. Takut-takut jika sosok di depannya akan memakinya kembali. "Maaf," lirih James kemudian. Dengan raut bersalah, ia hanya bisa menunduk diam dan terus terpaku pada cangkir di depannya.
Senyum di wajah sang wanita terlihat sangat tenang, ia mulai bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan perlahan. "Semenjak hari itu, ada banyak sekali sesuatu yang aku dapati."
James yang mendengarnya ikut bangkit, menghampiri si wanita dan berdiri tepat di belakangnya.
"James, dia adalah harapan untuk kita. Sayang sekali, kau tidak bisa menahan belenggunya."
"Aku telah mencobanya."
"Tidak. Kau hanya menghentikan sementara, bukan membuat ulang sosoknya. Itu kesalahan terbesar dari dirimu," jelas Gya Haclyon dengan menekankan kalimatnya, berusaha menegaskan ulang bahwa James memang menanggung kesalahan besar ini.
Gya Haclyon yang telah merasa cukup segera merubah haluannya dan menatap sekilas ke arah James. "Bawa dia padaku, James."
"Aku berjanji akan membawanya padamu sesegera mungkin," kata si pria bermata biru indah itu.
Langkah si wanita mulai terlihat sebelum ia kembali menoleh. "Ya. Kita harus merombak ulang dirinya." Akhirnya wanita itu benar-benar pergi dan berganti kembali pada sosok wanita yang menjabat sebagai asisten.
"Baiklah, Tuan Jenderal. Waktu anda telah selesai."
James hanya membalas dengan senyuman paksa dan mulai berlalu pergi bersama si asisten.
Di depan pintu berbalut emas itu keduanya berhenti. "Terima kasih atas kunjungannya anda, semoga hari anda menyenangkan!"
"Aku harap."
***
Siang dengan matahari yang tampak gagahnya terlihat sangat menegangkan saat seorang lelaki tak bersalah berada di dalam ruangan serba putih. Dengan pandangan kosong lelaki itu hanya bisa memainkan kedua tangannya.
"Jawab kami." Kedua orang di depannya hanyalah bentuk tak nyata dari seberkas cahaya hologram.
"Apa yang harus aku ucapkan?" tanya si lelaki untuk kesekian kalinya. Ia mengalihkan pandangan, memikirkan sebuah kabar yang berhasil membuatnya semakin buruk di setiap detik.
Dua orang yang berada di dalam hologram itu tampak menatap kesal dengan lawannya. "Kau terlibat dengan aksi ini, Sam?" tanyanya lagi.
Lelaki itu Sam, ia hanya bisa diam dan sesekali pula menghela napas panjang. Berkali-kali dirinya telah mengatakan sejujurnya, tapi tetap saja mereka menganggapnya berbohong? Kenapa?
"Kau sahabatnya, Sam."
Si lelaki pun menoleh, menatap kedua orang di hadapannya dengan datar. Namun, kemudian ia beralih kembali. Sempat ada keraguan dalam dirinya semenjak aksi Kev yang tidak terduga.
"Entahlah," balas Sam setelah sekian lama melamun tanpa arti, pandangannya bahkan terkesan putus asa, lelah akan semua yang terjadi. Akhirnya keheningan menyergapnya kembali saat dua orang tersebut mematikan alat komunikasi modernnya.
Sam tidaklah mengerti apa yang harus ia lakukan sekarang. Lelaki itu terus saja merenungkan sosok sahabat yang dengan tega meninggalkannya sendirian. Bahkan Kev tidak memberitahukan sedikit pun tanda-tanda akan pergi.
"Kenapa, Kev? Bahkan aku tidak pernah berkeinginan untuk keluar dari sini." Sam menundukkan kepalanya sangat dalam, menyakinkan dirinya kembali untuk tetap bertahan atas penghianatan Kev.
Namun, perhatiannya kembali teralihkan saat seorang pria datang dengan wajahnya yang sangat tegas dan dingin. "Apa kabarmu, Sam?" tanya James.
Sam mengangguk sebagai jawaban singkat. Sedangkan James memilih untuk duduk berhadapan dengan Sam, manik biru keabu-abuan itu mengamati lebih dalam sosok Sam melalui tatapan menyedihkan yang selalu terpancar dari netranya.
"Apa kau mengetahui informasi sedikit saja tentang aksi kaburnya sahabat mu?" James mulai bertanya dengan nada ringan dan santai.
"Tidak."
"Kenapa?" tanya James yang berusaha membuat Sam menjelaskan apa pun yang lelaki itu tahu. "Apa Kev tidak lagi menganggap dirimu seorang sahabat?"
Pertanyaan dengan nada sedikit menekan itu berhasil membuat Sam menatap pemimpinnya ini dengan tatapan berbeda. "Dia tetaplah sahabatku. Berhenti membuat emosi pada orang yang seharusnya menjadi kunci atas pertanyaanmu, Sir."
"Oh, begitu." Ia tersenyum. "Jika diingat, aku pemimpinnya di sini."
Sam hanya bisa tersenyum tipis mendengar hal tersebut. Memang benar ucapan James, bahkan Sam sempat takut pada pria itu. Namun, sekarang tidak lagi setelah mengetahui kebusukan dari para pemimpin Haunelle.
"Bukan. Kau bukan seorang pemimpin," ungkap Sam, "Kau hanyalah pengecut yang bersembunyi di balik kekuasaan!"
James menatap datar, menahan segala gejolak yang ada dalam dirinya. "Pikirmu begitu?"
"Bahkan kau lebih pengecut dari lelaki yang selalu dipanggil dengan sebutan 'lembek'. Dia berani, sedangkan kau? Hanya anjing dari wanita iblis itu!"
"Kita bertaruh? Aku tidak yakin sahabatmu itu hidup melebihi 2 hari, atau bahkan hanya 1 hari?"
Sam mengalihkan pandangannya. "Aku yang akan bertaruh bahwa dia bisa menghancurkan kota ini dalam 1 jam."
"Kita bisa melihat mayatnya besok, tunggulah!"
"Enyahlah, pengecut!" Tatapan keduanya beradu, tidak ada yang berucap di antara keduanya. Sampai akhirnya James mengangguk.
"Baiklah, jika itu kemauan mu, Sam." James bangkit dari tempatnya duduk, menatap sekilas lelaki di depannya ini dan berlalu pergi bersamaan dengan datangnya dua penjaga yang siap menyiksa kembali.
Sam sendiri masih bisa menahan segala jenis siksaan kedua orang itu. Ia hanya akan menutup mata, membayangkan dunianya sendiri dan berusaha keras menyembuhkan rasa sakit itu dalam diam.
Rasa sakit Sam sebenarnya bukan tentang siksaan yang ia dapat saat ini, melainkan rasa sakit akibat kepergian sosok yang selama ini selalu ia percayai. Kev adalah satu-satunya orang yang ia anggap sebagai keluarga, Kev dan dirinya bagaikan saudara.
Namun, mengapa dengan tega lelaki itu pergi tanda sepatah kata pun? Tanpa pamit dan tanpa mengajaknya? Sam tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya, apakah selama ini ia hanya dianggap angin oleh Kev?
Mungkin saja lelaki itu sengaja tidak memberitahunya, agar Kev dengan bebas menikmati dunia di luar sana. "Kita tunggu sampai waktunya tiba, Kev."
***
|| Tidak ada yang pernah tahu bagaimana cara kerja waktu. ||
ARCANE
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top