32R : Run From Death
"Ayo! Siapkan keperluan yang tertinggal!"
"Bersiaplah untuk berangkat, Arion!"
"Hei! Siapkan milikku."
Kev hanya memandang sebagian orang dengan maniknya yang tampak lebih cerah, orang-orang di sana menyibukkan diri dengan menyiapkan keperluan. Demikian, sebagian lagi ada yang telah berangkat untuk memulai.
"Apa aku terlambat?" tanyanya saat langkah kaki itu berhenti di samping gadis bersurai merah yang tampak di ikat rapi.
"Hampir," ujar si gadis dengan memberikan senjata berupa busur panah. Kev mengernyitkan, tidak paham akan apa yang diberikan Lada.
"Aku tidak ingin menolak, tapi jujur saja aku tidak bisa memakainya," ungkap Kev.
Lada sempat terdiam, menahan tawa yang siap saja meluncur. "Sungguh? Kau bisa menggunakan senapan, seharusnya ini mudah bagimu."
"Hei, itu tidak sama. Senapan hanya tinggal menarik pelatuknya, sedangkan ini ... aku harus benar-benar membidik dengan baik."
Gadis bermanik biru itu berdecak. "Baik, baik. Aku rasa mereka memiliki senjata api untuk simpanan," ujar si gadis sembari berlalu, tapi mendadak ia menghentikan langkahnya, "Ke mana perginya dua senapan mu?"
Pertanyaan itu membuat Kev menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Ya ... aku mungkin melemparkan ke jurang atau tidak sengaja jatuh."
"Kau sangat aneh! Itu masih bisa diisi peluru, Kev!"
"Aku tahu, tapi bagaimana lagi? Aku tidak berpikir untuk mengisinya, maaf."
"Lupakan, sekarang temui Asa. Aku akan pergi mencari senjata yang cocok," ujar si gadis yang menunjuk bagian Balai Pengobatan tempat Asa berada.
Kev mengangguk paham, ia memutar arah dan berjalan menuju ruang itu. Pintu secara perlahan ia buka, mencari sosok yang membuatnya datang kemari.
"Asa?" Kev melihatnya, hewan itu kini berada bertengger di atas kayu dengan sebuah perban yang cukup menutup walaupun berkali-kali hendak dilepas oleh Asa.
"Hei, kawan! Aku sangat merindukanmu, bagaimana kabarmu?" Lelaki itu berjalan mendekat, membelai lembut hewan bersayap itu.
"Aku baik, Kev. Apa kabarmu?" Mendadak lelaki bersurai hitam itu terkejut akan suara yang datang dari arah belakang. Kev menoleh, memastikan kembali suara yang tampak familier di telinganya.
Sosok di depannya dengan sangat nyata, berdiri dengan senyum manis. Mata kecil khas wajah Asia selalu menjadi ciri akan dirinya, sosok itu masih tetap sama seperti saat mereka berpisah dari atas pesawat.
"Fei?"
"Hallo," ucapnya masih dengan suara yang lembut seperti sediakala. Kev menatap tak percaya, termenung akan apa yang ia lihat.
"Kau? Bagaimana ... bagaimana bisa kau ada di sini?" Fei tidak menjawabnya, melainkan langsung memeluk si lelaki dengan sangat erat.
"Oh, aku kira kau telah tiada Kev. Aku sempat takut akan hari itu," ujar si gadis, ia membenamkan wajahnya dalam pelukan hangat itu, merasakan aroma khas dari si lelaki.
Kev hanya membalas tepukan di punggung Fei, kemudian mengakhiri acara pelukan itu dengan sangat singkat. "Aku justru mengkhawatirkan dirimu."
"Untungnya setelah pesawat itu hancur, aku terjatuh di bagian yang tidak terlalu kasar untuk mendarat," ujar Fei memulai ceritanya.
"Aku mendarat di sebuah sungai, sempat berhari-hari terbawa arus hingga akhirnya aliran itu membawaku ke sisi utara, dan berakhir di sebuah perairan dangkal."
Kev menyimaknya dengan serius karena rasa penasaran akan usaha Fei untuk bertahan hidup.
"Ya, kemudian memang tidak mudah beradaptasi si luar sini. Aku terus berjalan tanpa henti, memang banyak sekali hewan yang menganggu, tapi untung saja aku bisa berlari."
Tunggu, Kev mengangkat tangannya untuk jeda sejenak. "Sebentar, kau tidak memiliki senjata apapun, bukan? Saat pesawat itu hancur?"
Fei mengangguk. "Ya, aku tidak menyisakan apapun, karena seperti yang kau pikirkan tadi. Aku kira aku akan mati," jelasnya sembari melangkah mendekati Asa.
"Kau bisa bertahan tanpa senjata?"
"Sebenarnya tidak, aku hanya mengandalkan belati dan pistol yang hanya aku gunakan ketika butuh." Fei mengambil pistol yang sedari tadi berada di pinggangnya.
Lelaki bermanik kelabu itu pun mengangguk paham, ia memberikan senyum akan hal paling membahagiakan ini dan teringat sesuatu yang harus ia tunjukkan. Kev merogoh tasnya, mengambil sebuah botol yang berisi gulungan kertas dari Reo.
"Kau tahu tentang surat ini?"
"Entahlah, yang pasti dia hanya menyuruhku untuk memastikan kau membawanya," balas gadis berwajah oriental itu.
Kev pun mengerti, kedua orang itu akhirnya beranjak dari sana dengan membawa Asa. Kini, perhatian Kev sedang tertuju kepada orang-orang yang berlalu lalang, mencoba mencari sosok yang sempat ingin memberinya senjata.
"Kau mencari siapa, Kev?" tanya Fei saat menyadari akan gelagat lelaki itu.
Kev menoleh sekilas. "Seorang gadis bersurai merah, dia bilang akan membawakan beberapa senjata api padaku."
"Kau bisa membawa milikku," ujar Fei sembari memberikan pistol miliknya, "Bagaimana?"
"Itu milikmu, aku akan mencarinya, sebentar." Kev menuruni beberapa tangga dan mulai berjalan ke bagian lain.
Sampai akhirnya manik kelabu itu menemukan sosok yang tepat, Claudia. "Ibu!" panggil si lelaki sembari berlari kecil.
"Kev? Ada apa?"
"Kau melihat Lada?" tanya Kev sembari menatap sekelilingnya, mencoba menemukan si gadis yang terus saja menghilang.
"Lada? Oh, gadis berambut merah itu? Aku lihat dia pergi terlebih dahulu bersama Arion," ujar Claudia.
Kev mengerutkan keningnya heran, bagaimana bisa Lada pergi begitu saja meninggalkan dirinya?
"Oke, lupakan dia. Mari kita berangkat bersama," ucap Kev sembari memeluk Ibunya untuk segera berjalan. Claudia pun hanya menatap sendu si lelaki.
Para penduduk Crylic yang tersisa mulai meninggalkan tempat yang telah hampir rapuh itu. Sebab, hanya tinggal beberapa saat lagi, gerbang utama akan hancur oleh serangan sekelompok mutan yang tiada hentinya.
Dengan beberapa truk mereka semua mulai beranjak, mengemudi di tengah jalanan yang hancur dan berharap menemukan tempat yang lebih aman dari sana.
"Kita akan pergi ke mana?" tanya Kev.
"Entahlah, Nak."
"Kita menemukan tempat bersinggah di bagian barat, mungkin hanya untuk sementara, melarikan diri dari Cenprey adalah hal yang utama," sahut Claudia.
Dalam truk mini itu, Kev duduk di samping Claudia, kemudian di sebelah Claudia ada Fei dan beberapa lelaki lain dari bagian Crylic.
Di depan Kev ada pria yang beberapa waktu lalu sempat menjadi pemimpin kala menyelematkan dirinya, kemudian di sebelahnya duduklah Lada yang masih terdiam sepanjang perjalanan.
"Aku berjalan di sepanjang jalan barat hutan Westnelle, aku rasa di sana tidak memiliki rasa aman yang cukup," ujar Kev kemudian.
Claudia menatapnya. "Ini tergantung pada ketua kita," ungkapnya, nada bicara yang selalu lembut itu selalu membuat siapapun merasa tenang.
"Siapa pemimpin di sini?"
"Elmer," balas pria di depan Kev. Lelaki bermanik kelabu itu hendak bertanya kembali sebelum si pria membuka suara, "Dia berada di kursi samping kemudi."
Keheningan menyelimuti perjalanan tiada henti itu, Kev memilih diam di tempatnya tanpa berucap apapun. Tatapan itu sesekali mengarah pada gadis bermanik biru di depannya.
Namun, teralihkan kembali karena tidak ada jawaban yang pasti penyebab diamnya Lada.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba saja Kev teringat sesuatu yang cukup menarik. Ia baru sadar bahwa ada orang yang kemungkinan bisa membantu mereka di tengah keadaan seperti ini.
"Aku melihat ada tanda-tanda kehidupan di bagian timur," ujar Kev di tengah keheningan mereka.
Beberapa orang di dalam truk menoleh, menatapnya dengan penuh tuntutan. Sampai akhirnya Kev mengangguk meyakinkan. "Sungguh, ada seseorang yang tinggal di menara tinggi, letaknya di tengah kota Amory."
"Kau bercanda, Kev? Amory menjadi sarang Cenprey, tidak mungkin ada orang yang berani tinggal di sana," kata Arion sembari tertawa kecil.
"Aku melihatnya, ada seseorang berada di atas menara saat malam tiba," terang si lelaki sembari terus memberikan fakta.
Lada pun yang sedari tadi diam ikut membuka suara pada akhirnya. "Ya, dia bilang melihat cahaya di atas menara, tapi aku yakin itu bukanlah kehidupan."
"Semacam lampu abadi?" sahut lelaki lain yang memiliki surai kemerahan dengan wajah yang terlihat gemar bergurau. Beberapa anak muda lain tertawa.
"Tidak, aku serius pasal ini. Kita harus ke sana untuk memastikan hal itu," sela Kev, ia menatap Ibunya, berharap wanita itu mempercayai ucapannya.
"Aku percaya padamu lebih dari apapun, Kev. Tapi sekarang pimpinan bukan di tanganku, jadi kau harus meminta izin padanya."
Kev pun menepuk mengetuk bagian kaca pemisah antara kap belakang dengan kursi kemudi. Si sopir sempat menoleh sekilas, kemudian barulah pria dengan wajah dinginnya.
"Aku ingin berbicara padamu, Elmer."
Pria itu tidak menjawab, ia berbalik menghadap lurus dan hanya menyentuh tangan si supir sebagai tanda pemberhentian pertama.
Truk berhenti di sebuah jalanan bercabang, yang kita ketahui simpangan jalan antara bagian barat dan timur. Sosok bernama Elmer itu turun, disusul Kev yang mengikuti arah gerak di pria.
"Katakan!"
"Kita harus pergi ke timur, ada orang yang bisa membantu kita di sana. Aku yakin ada alat komunikasi untuk mencapai radar dari wilayah besar lainnya."
"Timur, artinya kita kembali menuju lab A.S.L." Kev mengangguk dengan sedikit tidak yakin, ia sekarang merasa sangat terpojok dengan tatapan tajam dari sosok Elmer ini.
"Aku pikir akan lebih mudah mencari bantuan dari dia."
"Kau yakin dia benar-benar manusia?" tanya Elmer, kini bukan lagi tatapan yang ia tunjukkan, ia memiliki menyibukkan diri dengan memandangi sebuah kompas di tangannya.
Kev kembali menganggukkan kepalanya. "Aku yakin, aku sempat melihat cahaya dari menara itu. Aku sangat yakin bahwa masih ada penghuni di sana," terang si lelaki dengan terus membujuk.
"Aku tidak yakin," ungkap Elmer, "Jadi lupakan saja."
Pria itu berlalu pergi, hendak meninggalkan Kev. Namun, si lelaki bersurai hitam itu kembali membuka suara. "Mengapa tidak mencobanya?"
"Mencoba apa? Bunuh diri? Ya, silakan, kau bisa mendaftar terlebih dahulu," ketus si pria yang kini berjarak beberapa meter di depan Kev.
"Ayolah, Elmer! Aku yakin sekali ...."
"Cukup!" Pria itu mengangkat jari telunjuknya tepat di depan wajah Kev, "Hentikan omong kosong itu dan naiklah sebelum mereka datang."
Kev menggeleng pelan. "Kau keras kepala!"
"Ini demi keselamatanmu, Nak. Lihatlah penumpang lain, jangan hanya dirimu."
Kev yang tadinya hendak pergi pun kembali menoleh, menatap dalam-dalam pria yang masih menunggunya untuk naik. "Kau mementingkan ego."
Elmer yang mendengarnya pun menghampiri kembali Kev. "Apa taruhan mu jika yang kau tuju hanyalah lampu abadi seperti ucapan Alvin?"
"Apapun, aku sangat yakin anggapan kalianlah yang salah!"
Pria dengan jaket kulit yang menyelimuti itu tampak tertawa, ia menatap sekilas sekelilingnya. "Baik, kita lihat seberapa benar keyakinan bodoh mu itu."
Elmer menepuk pundak Claudia, kemudian memberikan kode untuk turun. "Ada apa?"
"Pimpin yang lain menuju perbatasan utama, aku akan kembali beberapa jam lagi." Claudia sempat menatap heran.
"Kau akan pergi ke mana?" tanya wanita bersurai hitam itu sembari menatap Elmer dan Kev bergantian.
"Sisi timur," balas si lelaki.
"Aku akan ikut," ujar Claudia.
"Tidak! Aku akan pergi bersama para pemburu, kau memimpin bagian yang untuk menjauh dari laboratorium. Paham?"
Si wanita yang pada akhirnya menurut pun menganggukkan kepalanya paham, kemudian mengambil alih kepemimpinan sementara dan menggerakkan truk lain untuk segera bergerak.
Kini yang tersisa hanya satu truk terakhir, dengan beberapa pemburu seperti Arion, Alvin, Sofia, Lada, Fei dan Sarvar.
"Baiklah, kita berangkat!" seru Elmer sembari mengomandoi si supir, Sarvar.
Mereka memutar arah, kembali ke bagian yang Kev lewati kemarin dan berharap cemas tatkala kendaraan yang mereka tumpangi mulai memasuki area yang cukup dalam dari bagian Amory.
"Aku harap kau benar-benar yakin akan keputusanmu, Kev."
"Dia sangat yakin," sahut Alvin di tengah rasa paniknya. Entah mengapa lelaki itu tampak seperti ketakutan akan suasana yang semakin terasa sepi.
Suara-suara hewan aneh itu mulai terdengar dari berbagai penjuru. Mereka dengan siap selalu berada di sana dan menunggu mangsanya lenggah.
"Posisi siaga," ujar Elmer dengan nada cukup lirih. Para pemburu mulai menyiapkan keperluan masing-masing sesuai perintah.
Di situ juga, Lada tanpa menatap Kev segera memberikan senapan yang ada di bagian sisi tempat duduknya. "Aku belum sempat mengisinya," ujar Lada.
Kev yang menerima itu segera menunjukkan senyumnya, ia mengangguk mengerti dan mulai mengisi beberapa peluru sebagai penjagaan.
Sekarang, truk tiba tepat di tengah-tengah kota. Kedelapan orang yang dalam posisi siaga itu mulai membelokkan ke arah kanan, menemui lebih dekat satu-satunya gedung yang cukup tinggi.
"Kita sampai."
~
|| Ketakutan akan kematian selalu menyelimuti di setiap detik orang-orang yang lemah. ||
ARCANE
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top