23N : No One Know
Kicau burung mengalun di pagi yang berembun, tetesan air dari dinginya malam membasahi setiap dedaunan yang hidup. Matahari menunjukkan dirinya walau malu-malu, sedangkan sang awan menjadi selimut tempatnya sembunyi.
Sama halnya yang matahari yang malu-malu untuk menunjukkan dirinya, lelaki dengan rambutnya yang hitam, sehitam langit malam tengah menikmati waktu penuh keajaiban di pulau kapuknya. Bahkan selimut hangatnya itu kembali ia rapatkan ketika embusan angin yang dingin menerpa kulitnya.
Sungguh, pagi itu dirinya seakan enggan untuk beranjak walau satu jengkal sekalipun. Terlebih hujan yang sempat mengguyur di malam tadi berhasil membantu setiap manusia untuk tidur lebih nyenyak.
Namun, secara mendadak lelaki itu membuka matanya, menatap sekitar untuk memastikan apa yang ada di mimpi buruknya. Kev tidak pernah menyangka mimpi indah itu memudar dengan berganti kilasan buruk yang lebih buruk dari apa pun.
Napasnya terengah-engah, Kev mencoba menenangkan diri dan beranjak keluar untuk membersihkan badannya.
Lantas, lelaki dengan setelan yang sama seperti kemarin datang menghampiri. "Ada apa dengan dirimu?" tanyanya yang menyadari raut penuh ketakutan dari sosok Kev.
"Tidak ada," balas Kev yang memilih segera masuk ke dalam kamar mandi dan mulai membilas tubuhnya itu dengan air pagi yang terasa dingin sekaligus menyegarkan.
Beberapa menit ia butuhkan untuk bersiap. Kini pemuda yang memiliki manik kelabu dengan rambut hitam acak-acakan itu tampak mengarahkan langkah kecil itu menuju tempat Al berada, meja makan. Tempat itu tidak terlalu besar, hanya sebuah meja bundar dengan tiga kursi kayu yang memiliki hiasan sulur-sulur tanaman merambat serta meja yang lebih mirip jamur.
"Jadi kau tinggal di sini selama 10 tahun?" tanya Kev sembari menerima semangkuk sup tidak jelas yang diberikan oleh Al.
"Ya, kurang lebih seperti itu."
Kev mengamati sejenak mangkuk di depannya, kerutan di dahinya ketara jelas ketika melihatnya, seolah tidak yakin akan makanan tersebut. "Boleh aku memastikan apa ini?"
Al yang mendengarnya membalas dengan anggukan. "Sup biasa, jamur dengan beberapa dedaunan alami," ujar lelaki bermanik cerah itu.
Mendengar penjelasan dari Al yang terlihat menyakinkan itu membut Kev mengangguk penuh percaya. Dirinya segera menyendokkan kuah yang sedikit lebih gelap itu dan memakannya dalam diam. Jamur dengan rasa yang belum pernah Kev temui ini memang terkesan sedikit berbeda, kesan pertama yang ia temui adalah rasa gurih sekaligus lezat.
"Ini lumayan," ujar Kev. Raut penuh bahagia atas makanan itu terpampang jelas di wajahnya, seakan ia baru saja menikmati makan setelah sekian lama terdampar ke sana kemari.
Lelaki yang memiliki manik silver itu ikut senang, dirinya yang telah usai makan, pun segera beranjak dari tempat duduk berbahan kayu tersebut dan berdiri di depan wastafel alami seraya mencuci mangkuk bekasnya makan. "Sempat aku kira kau akan membuangnya."
Kev tersenyum kecil. "Tergantung apa yang kau masak. Bahkan, aku pikir kau tidak pandai membuat semacam ini."
Al yang membelakangi letak Kev duduk itu hanya tertawa kecil, selesai dengan pekerjaan itu dirinya mencuci tangan dan menghadap ke arah Kev. "Hanya itu yang bisa aku buat, selebihnya tidak mungkin."
"Jadi, setiap hari kau ... memakan hal yang sama?" tanya Kev sembari menghentikan kegiatannya untuk sejenak.
"Tidak juga, terkadang ada rasa bosan untuk hal yang sama. Aku bisa memakan apa pun yang sekiranya aman, termasuk mencuri beberapa hal dari hewan di luar sana," jelas Al disertai tawa di akhir kalimatnya.
"Mencuri dari hewan di luar? Apa itu?"
"Daging mereka kebanyakan, atau bagian yang bisa di makan," balas Al.
Mangkuk milik Kev kini hanya menyisakan sendoknya saja, lelaki berparas tampan itu pun beranjak untuk melakukan kewajiban yang harus ia kerjakan selesai makan. Di tengah kegiatan penuh keheningan itu, Al memilih ke tempat lain untuk mengecek beberapa kebutuhan hariannya.
"Al!" Si pemilik nama menoleh, menunggu apa yang hendak diucapkan oleh Kev. "Aku akan kembali melanjutkan perjalanan hari ini, ada niatan untuk ikut?" tanya Kev.
Al sempat terdiam untuk sesaat, ada dilema dalam kepalanya itu. "Ya, aku ingin berada di luar sana untuk sekadar menghirup udara, tapi ... ada yang membuatku harus menetap di sini. Jadi, maaf," terang si lelaki bermanik silver.
"Kau tidak bosan?" tanya Kev yang telah selesai melakukan aktivitas mencuci mangkuk. Dirinya mendekati Al, membantu lelaki itu untuk mengangkat beberapa kebutuhan seperti dedaunan, kayu dan tumbuhan yang didapatkannya.
"Bosan? Bagaimana bisa melupakan kata itu, aku selalu bosan setiap detiknya berada di sini." Ia menjedanya sejenak. "Namun, harus bagaimana lagi jika ini satu-satunya rumah untuk berpulang," lanjut si lelaki.
Kev mengerti betul akan hal itu, tidak ada yang bisa dilakukan jika tempat yang menurut orang lain membosankan. Namun, nyaman untuk diri sendiri, bahkan tempat yang menjadikan kita selalu enggan untuk beranjak, walau sedekat apa pun.
"Sulit jika kau memang menganggapnya rumah, aku tidak memaksa." Setelah selesai membereskan apa yang menjadi penghalang di depan pintu, Kev menghela napas sejenak untuk mengembalikan tenaganya.
"Ah, aku bisa membantumu menyiapkan keperluan untuk perjalanan panjangmu, bagaimana?" tawar Al.
"Ya, jika itu tidak memberatkanmu," balas Kev yang hanya mengangguk-angguk saja, dirinya melangkah pergi, menuju kamar tempatnya semalam untuk tidur dan mengambil tas serta pakaian yang ia pakai sejak menginap di Revers.
Al memang memberikannya pakaian ganti, hanya kaus yang cukup pas di tubuhnya dengan celana bahan yang mirip seperti milik lelaki itu. Selesai memasukkan beberapa barang miliknya, Kev mengambil sepatu boots hitamnya dan memasangkan benda itu untuk melindungi di setiap langkah yang akan dirinya ambil.
Siap, kini lelaki bermanik kelabu dengan rambut hitam yang masih terlihat acak itu bergegas keluar, dirinya menghampiri Al yang tengah duduk di depan rumah dan menepuk pundaknya. "Kegiatan harianmu?"
Al tersenyum kecil. "Semacam itu," balasnya tanpa ada niatan untuk menoleh sedikit pun. Lelaki itu justru bangkit dan mengangkat tangannya di depan seperti tengah mengangkat bola, Kev yang melihat itu hanya mengernyit heran akan tingkah anehnya.
"Sedang—"
"Pelankan suaramu," potong Al seraya berbisik.
Beberapa detik keduanya hening dalam posisi yang aneh, Al masih dalam posisi semula sedangkan Kev di belakangnya hanya menatap ke arah tak menentu. Hingga kemudian senyum Al merekah dengan sendirinya ketika sesosok yang tak terduga datang dari arah yang berlawanan.
"Yeah! Kau hebat!" seru Al kala hewan bersayap itu hinggap di tangannya yang sedari tadi siap menunggu. Kev seketika tambah bingung saat menyadari siapa yang datang sebagai tamu di pagi hari seperti ini.
"Asa?" Lelaki itu mendekat, melihat lebih teliti burung elang yang ada di hadapannya. Corak cokelat tua dengan leher putih itu. Jangan lupakan sebuah ikatan sulur tumbuhan di kakinya, itu sebagai tanda.
Al yang mendengar nama itu mendadak kembali tersenyum dan membelai lembut hewan bersayap itu. "Jadi kau menamainya Asa?" tanya Al, "Itu bagus. Aku kehilangan dia beberapa hari lalu, kemudian dia kembali dengan membawa potongan kain berdarah, yang aku yakini milikmu."
Kev sempat terkejut akan hal itu. "Jadi dia peliharaanmu?" tanya Kev yang seakan tidak percaya, bahkan ketika Asa dengan jelas lebih nyaman di atas punggung Al.
"Ya, dia satu-satunya temanku semenjak aku tinggal di sini." Al merentangkan tangannya agar Asa beralih ke pundak Kev. "Tapi sekarang, dia lebih memilih bersamamu."
"Aku tidak akan merebutnya dari dirimu, lagi pula ...."
"Siapa yang mengatakan kau merebutnya? Justru dia yang ingin datang, bukan kemauan dirimu," potong Al seraya menyentuh sekilas burung elang yang telah bertengger di pundak Kev. "Jangan sia-siakan hewan yang memilihmu, Kev."
"Ya, pasti." Lelaki itu menoleh ke arah Asa. "Rasanya aneh jika bertemu denganmu setelah meninggalkan diriku sendirian di tengah hutan penuh makhluk buas." Keduanya tertawa kecil, Kev yang kemudian menatap langit di atasnya pun teringat kembali akan perjalanan yang hendak ia lakukan. "Hari semakin siang," ucap Kev.
"Kau benar," Al mengangguk. "Kau bisa mulai bergegas sebelum petang tiba, jika bisa pun kau seharusnya sampai di perbatasan ini."
Mendengar penjelasan dari Al, Kev menatapnya dengan serius. "Sungguh? Perbatasan antara Frenilic dengan Crylic?"
"Bukan, perbatasan ini memisahkan kota Frenilic dengan Craven. Dan setelah melewati Craven, kau akan sampai di jembatan besar yang membawa ke Amory."
Paham akan itu, Kev menganggukinya dan mengambil perlengkapan beserta tas cokelat yang selalu ia bawa. "Aku akan pergi," ucapnya dengan nada sedikit merendah.
Al mendekat, ia menepuk pundak Kev. "Tenang, Kawan. Di depan sana, kau pasti akan menemukan partner yang bisa menjadi teman berpetualang," ujar Al memberi semangat.
"Ya, aku harap demikian. Aku telah kehilangan banyak orang akan hal ini," ujar Kev dengan nada akhir yang sedikit merendah.
Al menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju, dirinya itu mendekat kemudian membuka suara, "Kehilangan tidak pernah ada, kau hanya perlu mengganti. Mungkin kau hanya kehilangan seseorang, kemudian akan ada seseorang baru yang bisa kau dapatkan di kemudian hari," jelas Al, "Sitemnya seperti itu."
"Aku tahu ucapanmu selalu membuatku mengerutkan kening, tapi menarik." Kev kemudian melangkah perlahan seraya melambaikan tangan. "Terima kasih atas segalanya, sampai jumpa!"
Anggukan samar ditunjukkan Al. "Ya, sampai jumpa di dunia tanpa akhir." Ia melambaikan tangan dengan senyum lebar untuk mengantarkan kepergian Kev demi mendapatkan tujuannya.
Sebenarnya Kev sempat mengernyit bingung kala kalimat terakhir yang Al lontarkan. Namun, ia melupakan begitu saja dan memilih fokus pada apa yang ada di depannya kelak. Sekarang perjalanan baru akan ia mulai kembali, tidak ada kata untuk berhenti karena tujuan hanya tinggal beberapa kilometer lagi.
~
|| Pilihlah jalan mendaki karena itu akan mengantarkan kita ke puncak-puncak baru. ||
ARCANE
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top