Love Game


"Kenapa kamu tidak percaya cinta?"

Di bawah langit bertabur bintang, pertanyaan itu terdengar. Detik selanjutnya, hanya ada suara gesekkan besi antar besi rantai pada ayunan. Angin berhembus pelan, seakan menghapus jejak suara di udara malam yang dingin.

Tanya masih belum bertemu dengan jawaban, dan kini sang pendengar hanya dapat menghembuskan napas kasar. Kalimat yang paling tak ingin Iku dengar di dunia ini. Konyol, lagipula apa gunanya mencintai kalau pada akhirnya itu hanyalah ilusi semata?

Sang pria enggan untuk menjawab, pandangannya hanya terangkat menatap langit gelap dengan bintang yang bersinar. Hening ini tak terasa dingin, rasanya Iku bahkan tak pernah merasakan keheningan seperti itu. Kenapa kini ia jadi begitu pendiam?

"Ah, apakah itu gemini?"

Suara ringan khas itu terdengar, tangan terulur ke atas dengan jari yang menunjuk pada dua bintang berdekatan yang terang. Iku terhenyak mendengar lanjutan kalimat dari gadis di sampingnya. "Seperti kita, ya?"

Sesak, seperti itulah perasaan dalam dada Iku sekarang. Kalimat itu sama persis ketika ia melihat langit berbintang bersama Yui—almarhum kakaknya. Kenapa, gadis di sampingnya ini mengatakan hal yang mengingatkan Iku pada Yui?

"Kau begitu naif," akhirnya Iku mengeluarkan komentar, membuat Ferena di sampingnya menoleh bingung.

Naif katanya?

"Menjalani hidup dengan senyuman, menyelesaikan masalah dengan ringan, bahkan membuat relasi pada orang-orang semudah kau membalikkan telapak tangan. Aku heran, kau juga begitu mendambakan cinta tapi belum menemukannya." Iku menahan napasnya sejenak. Ah, sepertinya ia malah terlalu banyak bicara.

Ferena hanya dapat tersenyum kecil mendengar itu, ia menerimanya. Lagipula, ucapan Iku itu memang benar dan jujur. "Apa salahnya berharap?"

Harapan, huh? Begitu naif bagi Iku, percaya pada harapan terdengar seperti orang bodoh. Dan ia tak mungkin mengatakan opini itu di hadapan Ferena. Meskipun ia ingin, hatinya mengatakan untuk tidak melakukan hal itu. Sekarang, Iku malah menuruti ucapan hatinya, aneh.

"Ada salah satu hal yang aku percayai, yaitu harapan. Karena terkadang harapan itu juga bisa terkabulkan dan menjadi nyata."

"Seperti kau berharap pada bintang jatuh, huh?" ejek Iku.

"Seperti aku berharap pada bintang jatuh." dengan santai, Ferena malah menyahutinya.

Iku hanya dapat menghela napas berat, pemuda ini tak dapat mematahkan pendapat Ferena. Ada sesuatu, yang membuat Iku ingin menghancurkan opini bodoh itu, namun rasanya jiwa licik ini masih tertidur dalam batin.

Hembusan angin kembali menjadi jarak di antara mereka, saling enggan untuk kembali membuka suara. Lampu taman menyala dengan remang, menemani bulan yang menyinari di atas sana. Suasana seakan begitu sepi, dan itu membuat rasa damai yang kentara dirasakan para penyendiri malam.

Cinta, harapan, kepercayaan, tiga elemen utama yang menjadi musuh utama Iku. Baginya, cinta hanyalah sebuah permainan, dimana jikalau ada satu dari sepasang insan yang melakukan permainan ini dan salah satunya jatuh cinta lebih dulu, maka ialah yang kalah. Dan, harapan, harapanlah yang membuat hatinya mati. Lalu, kepercayaan, kepada siapa Iku bisa percaya? Bahkan untuk Kotaro saja ia masih harus berpikir dua kali untuk meminta bantuan.

Tak bisa dipercaya, sekali lagi ia menemukan gadis dengan pandangan polos yang sama di Seigetsu Academy. Setelah Tsukiko, Ferena juga tak berbeda jauh. Entah mengapa kini sepertinya Iku akan membuat rencana untuk menjauh dari para gadis saja, terlalu merepotkan menghadapi sifat mereka yang naif ini.

"Iku, kau belum menjawab pertanyaanku."

Iku segera tertarik ke masa kini, lamunannya buyar kala indera kembali mendengar suara ringan itu. Ah, benar, pertanyaan itu masih mencari jawabannya. Lantas, apa yang harus ia jawab?

"Jujur saja," seulas senyum mampir di bibir Ferena, seakan gadis itu paham bahwa Iku memang sedang mencari jawaban sekarang.

Meskipun Iku pandai berbohong tentang perasaan, tapi kali ini rasanya sulit sekali. Ia tak ahli dalam menjelaskan rasa, walaupun memang ia lihai dalam mengatur rencana. Jadi, kini ia sebaiknya bagaimana?

"Karena, cinta adalah penyebab kenapa kakakku pergi dari dunia ini,"

Kali ini, giliran Ferena yang terhenyak. Rasanya, ada sebuah panah kecil imajiner yang menembus dirinya, menyisakan lubang berisi rasa bersalah yang begitu perih. "M-maaf, kau tak perlu—"

"Tidak, kau yang membuatku menjawabnya, maka kau akan mendengarkanku. Cukup... Dengarkan saja," Iku mengambil napas panjang, sebelum menghembuskannya perlahan. Setelah cukup menyiapkan diri dan untaian kata di ujung bibir, ia tak akan membiarkan angin menghapus semua itu begitu saja.

Lalu, Ferena pun tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti. Lagipula kalaupun menolak, nanti dia malah dibilang durhaka dan dikutuk jadi bintang. Maaf, Ferena tak ingin hal itu terjadi. Jauh dengan jodoh di bumi saja rasanya gurih, apalagi kalau ia sudah jadi bintang di angkasa nanti. Oke, mari lupakan hal itu.

Dan begitulah, Iku menceritakan kisah singkat kehidupan kakaknya—Yui, kembaran Iku yang juga memiliki tubuh dengan fisik yang kurang kuat. Yang selama hidupnya harus terus berbaring di atas tempat tidur. Seorang gadis yang setelah menyatakan perasaannya pada Kotaro, lantas meninggal beberapa minggu setelahnya. Yui, seseorang yang paling Iku cintai, seseorang yang paling berharga bagi Iku, membuat alasannya hidup lebih berarti. Dan sayangnya, orang itu sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.

Dan kini, Ferena menemukan titik terang dari jawaban Iku. Pemuda berkacamata itu takut, takut bahwa dirinya nanti akan dihianati oleh cinta, takut bahwa nanti dirinya akan dikecewakan karena cinta, takut bahwa mungkin saja dirinya juga mati karena cinta. Itulah mengapa sang gemini tak mempercayai cinta, tak pernah berharap lebih, bahkan pada kehidupan atau bintang jatuh sekalipun.

"Kau harus tahu, orang dewasa selalu berpikir jauh ke depan dibandingkan remaja naif sepertimu, Nona manis." Iku terkekeh kecil mengakhiri kalimatnya, rasanya begitu ringan setelah ia mengakui semuanya pada Ferena, ajaib sekali.

"Aku anggap itu sebagai pujian, terima kasih." dan Ferena, hanya bisa tersenyum menanggapi kalimat Iku. "Kalau begitu, kenapa Sensei tidak mencoba untuk kembali percaya? Tak ada salahnya mencoba, 'kan?"

Kali ini, lengkungan kurva teduh tergores pada bibir Iku. Pemilik marga Mizushima itu tersenyum kecil menatap sang murid yang berumur jauh lebih muda daripadanya. Ada sedikit kehangatan magis kala berbincang bersama seperti ini, terkadang diselipi pula debaran jantung yang begitu ambigu maknanya.

"Aku takut," jawab Iku pendek. "Aku takut, aku belum siap untuk kehilangan setelah percaya." lanjutnya kemudian, menuangkan jujur dalam hati lewat lisan. "Lagipula, kepercayaan itu ada untuk dihianati."

Manik mata mengerjap, Ferena lantas menggeleng-geleng mendengar ucapan Iku yang tak ia setujui itu. "Tidak tidak tidak, kepercayaan itu—"

"Masih berbicara naif lagi, Nona manis?" Iku meluncurkan kalimat—sedikit merendahkan. "Sudah kubilang, orang dewasa selalu berpikir jauh daripada remaja naif sepertimu. Jadi, segera singkirkan pikiran naifmu itu. Kau bahkan tak berpengalaman tentang percaya dan khianat."

Kicep, mampus dah. Ingin kembali menentang, tapi rasanya Ferena tak punya kalimat yang tepat. Ah, Iku kejam, selalu saja berlidah silet seperti itu. Di satu waktu jahat, di satu waktu lainnya manis, dan kini kembali hitam, Ferena tak pernah mengerti sikap Iku.

"Apa, hm? Kau ingin membuktikan padaku bahwa kepercayaan dan cinta itu adalah hal yang nyata?" ah, ternyata sang licik sudah terbangun. Terbukti dari seringai samar di balik segala topeng yang ada, Iku rupanya kembali menyiapkan sebuah jebakan baru.

Sang surai kuning menoleh, lantas terdiam sejenak sebelum akhirnya sebuah pertanyaan terdengar. "Bagaimana caranya?"

Sempurna, batin Iku. Mangsa sudah tertarik dengan umpan, tapi Iku masih ingin menunggu sedikit lama. "Mainkan sebuah game bersamaku. Selama sebulan, jadilah kekasihku, dan buktikan tentang kepercayaanmu itu kepada cinta, harapan dan hal-hal nyata lainnya." dialog itu terucap santai tanpa cela sedikitpun, membuat Ferena tak menaruh rasa curiga.

Permainan, huh? Cukup menarik, tapi, sepertinya cukup sederhana dan sulit di saat bersamaan. Ferena pun sedikit tak yakin, persentase kemenangannya cukup kecil. Mengingat Iku adalah seorang gemini, kau-mengerti-maksudku.

"Kalau kau tak berhasil, kau harus keluar dari Seigetsu Academy." Oh, lihatlah seringaian raja topeng itu. Iku kelihatannya akan menikmati jalannya permainan ini. "Tapi kalau kau menang, maka kau harus menjadi kekasihku secara nyata."

Hah?

Excuse me, wtf?

Dan, pena takdir itu bergerak di atas buku takdir, tinta hitamnya membuat sebuah kalimat pembuka dari halaman baru dengan kertas putih. Menarik, apa yang akan terjadi selanjutnya? Benang merah tak kasat mata itu masih samar-samar terlihat oleh hati, lantas apa yang harus raga perbuat?

"Setuju,"

Siapa sangka, game itu ternyata menjadi tali penghubung keduanya. Kelicikkan Iku, dan kenaifan Ferena, bila keduanya disatukan ternyata cukup menarik. Kini, mari kita berharap agar Iku mendapatkan keberuntungan memainkan game ini selama sebulan. Karena Iku tak pernah tahu, bagaimana orang Prancis membuat pasangan mereka jatuh cinta dengan mudahnya.

"Kau percaya diri sekali," gesekkan antar besi rantai terdegar, Iku beranjak dari ayunan dan lantas mengulurkan tangan pada Ferena. "Terhitung hari ini, kau adalah kekasihku. Jadi, mari aku antar kau pulang, gadis kecil."

Meski tak terima dengan panggilan Iku, Ferena malah tetap menerima uluran tangan sang guru. Lantas, ia segera memiringkan kepala, memasang senyum simpul—terlihat seperti gadis yang antusias diajak kekasihnya untuk pulang. Namun sebenarnya bukan begitu.

"Baiklah, ayo pul—"

Cup!

Kaki berjinjit, wajah dicondongkan, dan bibir lembut menyentuh pipi begitu cepat. Iku bahkan dapat merasakan bahwa ia menahan napas selama sesaat. Dan saat pemuda itu menoleh, ia hanya mendapati wajah senang berbunga-bunga khas Ferena dengan sedikit rona merah di pipinya.

Tunggu-tunggu. Kenapa rasanya ini... manis sekali?

"Aku sayang padamu, Sensei!"

"Pikirkan dulu kalimatmu sebelum kau mengucapkannya, bocah."

"He? Beneran, 'kok, sayang sama Sensei!"

"Ayo pulang,"

Yah, begitulah. Saat itu, langit berbintang menjadi saksi bisu dari permulaan game yang dijalani mereka berdua. Tanpa disadari, keberuntungan mengikuti langkah mereka di belakang kala malam itu. Debaran jantung menjadi bukti nyata yang terasa seperti ilusi, dan genggaman tangan menjadi selimut hangat hati keduanya.

Sepertinya, Iku menemukan bintangnya. Persis seperti yang pernah Yui pernah katakan, bahwa ia akan menemukan bintangnya suatu hari nanti. Dan mungkin, kini hari itulah yang sedang dijalani oleh Iku.

Yah, siapa tahu? Takdir memang jahil, 'kan?


THE END


A/N :

Terima kasih buat @D-Amantes yang mengadakan project ini. Sejujurnya ini adalah pertama kali bikin ff tentang Iku, beberapa kali nonton ulang Starry Sky tapi yang ada malah nyesek doang tiap liat episode Iku:"

Well, kayaknya ini OOC, sifatnya Iku emang agak---sulit dimengerti. Well, tingkat kepekaan saya masih berada pada level yang rendah ternyata, ohoq.

Oke, lah. Terakhir, terima kasih untuk kalian yang kini tengah membaca di balik layar, Love u all~ sini aku peluk virtual satu-satu deh~ (/slap)

See ya di kisah selanjutnya! Stay tune, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top