Say, I Love You
Semua orang punya cerita. Dari hal menyenangkan sampai menyedihkan sekalipun, tersimpan dalam kenangan berbeda. Musim semi yang berpatokan dengan kasih sayang, selalu lebur dengan sendirinya. Kemesraan antara kedua insan, membuat dunia ini penuh rasa iri yang besar dari pihak berbeda. Entah itu dari dirinya yang tak punya pasangan atau benci terkait hubungan rumit seperti itu.
Akan tetapi, berbeda dengan pemuda satu ini. Iris mata berwarna biru itu terus menatap seorang gadis berambut coklat tanpa mengalihkannya ke arah manapun. Sedangkan dilain sisi, gadis itu merasa sedikit risih dengan apa yang pemuda itu lakukan. Sesekali iris amber miliknya akan berputar; menghindari kontak mata langsung darinya.
Sekitar enam menit berlangsung, tak ada sepatah katapun keluar untuk menghentikan apa yang sedang mereka lakukan. Canggung? Tentu saja, bahkan gadis itu sudah tak kuat menghindarinya setiap saat. Kejadian ini tak berlangsung tiap hari, tetapi tetap saja, setiap kali pemuda itu datang menemuinya, situasi langsung berubah secepat kilat. Menghamburkan suasana menjadi canggung bahkan terasa sunyi sekalipun.
"Ami-san!" Pemuda itu memanggilnya, mendapati perhatian dari sang gadis yang kali ini tampak dibuat bingung olehnya.
"Berkencanlan denganku!"
Kalimat itu membuatnya terkejut. Angin berhembus menegur alam, memberikan kesejukan yang nyaman kala seorang gadis terpasung dalam keadaan tak terduga. Ia berdiri tegak, menatap seorang pemuda yang sama dari kenalan sang kakak. Orang yang lucu, penuh perhatian meski suka gugup disaat berbicara serius. Bersamanya membuat dunia terasa senyap dari rasa kesepian. Namun, mengapa yang dia incar tiap hari hanya gadis itu bukan perempuan lain seperti kenalannya? Izumi contohnya.
Ia pun heran tanpa mempertanyakan hal apapun darinya. Bungkam begitu saja. Mau bagaimana lagi, dia juga mempunyai perasaan yang sama dengannya dan hal itu tak bisa ia ubah dengan mudah.
━━━━━━━━━━━━━━━
Nanao Taichi x Fushimi Ami [OC]
Disclaimers : Liber Entertaiment
Genre : Romance
Total Words : 2535
━━━━━━━━━━━━━━━
Tokyo, sebuah tempat yang dikagumi setiap orang. Tempat yang dikelilingi gedung pencakar langit serta beraneka macam wisata terdapat di sana. Mungkin ini terdengar gila, gadis muda dengan notabene kasar serta keras kepala, begitu mudah mengikuti ajakan seorang pemuda sebelumnya. Pada dasarnya, gadis satu ini belum pernah berkecan dengan siapapun. Ia hanya sering pergi bersama sang kakak, Omi atau saudara laki-lakinya yang lain.
Tapi kali ini berbeda. Fushimi Ami, gadis yang menginjak umur enam belas tahun itu pergi keluar bersama seorang pemuda untuk pertama kalinya. Namanya Nanao Taichi, aneh jika harus memanggil pemuda itu meski Ami sudah sejak lama ingin pergi berdua dengannya. Ego yang Ami miliki terlalu besar, membuatnya susah diatur dan lebih memilih dirinya sendiri dibandingkan impian lamanya itu.
Ia merasa beruntung, Taichi mengajaknya untuk pergi ke kota besar hari ini. Meski ia merasa bakal mendapati kesialan berlipat ganda saat berdiri tepat disampingnya.
"Ami-san, apa ada tempat yang ingin dikunjungi?" Suara itu menegurnya, dengan tatapan lurus mengingatkan Ami dengan anak anjing miliknya yang ada di rumah. "Tidak ada," katanya menjawab jelas, singkat, dan padat tanpa ada tambahan pada akhir kalimat yang ia keluarkan. Spontan Taichi tertawa kikuk dan menghela napas panjang; merasa bingung untuk melakukan apa setelah ini.
Layaknya orang baru bangun dari tidur nyenyak, mereka berdua hanya berjalan tanpa melakukan apa-apa, tampak kebingungan dengan situasinya. Ya, tentu saja, dari awal pun Ami sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Dia bukan tipe perempuan banyak omong yang selalu menghabiskan waktu membicarakan hal tak penting. Mungkin jika di rumah Ami termasuk perempuan cerewet, tetapi jika di luar sifat itu berubah begitu cepat.
'Apa aku harus menelpon Omi-kun untuk meminta bantuan?'
Dalam batin Taichi dia sudah menjerit tak peduli. Mereka berdua sudah menjalin kasih selama kurang lebih dua bulan. Taichi menyukai Ami sejak Omi mengajaknya ke gedung teater secara percuma. Waktu pertunjukkan mereka yang pertama kali, saat itu Taichi jatuh hati pada pandangannya. Ia juga berpikir aneh, karena menyukai Ami begitu saja sampai meminta ijin secara langsung pada Omi saat itu juga, sebuah kebetulan melihat Taichi menjadi pemuda pemberani meski hanya sebentar.
Kejadian itu disaksikan oleh Banri dan Juza, lalu mendapati komentar pahit dari Sakyo, salah satu pria yang iri karena tak punya pasangan. Omi yang mempunyai sisi malaikat, menyetujui permintaan Taichi untuk mendekati adiknya tersebut. Dan siapa sangka, dalam tenggang waktu yang tak lama mereka sudah menjadi sepasang kekasih meskipun masih kaku sampai sekarang.
Taichi berpikir, ia ingin menjadi pemuda satu-satunya dalam hidup Ami walaupun pada suatu saat mereka akan berpisah. Tanpa bantuan teman dekatnya, tanpa memerlukan saran kuat dari Omi atau yang lainnya. Ia akan berusaha membuka hati dan menghancurkan tameng yang telah lama menutupi sisi lembut miliknya. Dengan cara apapun dia akan terus berusaha.
"Eh?" Ami terkesiap, tangan kanannya kini dibaluti tangan seseorang. Ia menolehkan diri—menatap ke arah Taichi yang tampaknya sedang berusaha menahan malu seraya mengalihkan wajahnya kala rona merah tampak berada jelas di sana. Mungkin ini yang pertama kalinya Ami memegang tangan Taichi di sampingnya. Tangannya begitu kasar tapi ia merasakan kehangatan terbentuk di sana. Taichi ternyata orang yang bekerja keras, ketahuan dari cara ia mendeskripsikan jari-jemarinya saat ini.
Mereka melanjuti perjalanan dengan tangan yang saling terhubung. Penglihatan mereka saling menatapi beberapa toko yang berada di persimpangan jalan. Secara perlahan, kekosongan itu mulai terisi. Taichi berbicara, mengenai beberapa toko yang ia ketahui dan kerap dia kunjungi. Pada dasarnya perempuan itu suka dengan makanan manis, maka Taichi membawa Ami ke sebuah crepes stands. Beraneka macam crepe terjual di sana membuat Ami tanpa sadar menatap menu dengan mata berkeliaran.
Dan apa mereka tahu? Sebuah kehidupan lain tercipta tepat di belakang mereka.
"Mereka sedang apa?"
"Hoi, Hyodo. Kecilkan suaramu, bodoh! Kau mau kita ketahuan?"
"Hah? Bukankah daritadi suaramu yang kebesaran?"
"Apa katamu, sialan!?"
Kebisingan itu dibuat oleh dua pengintai yang berpakaian layaknya orang hilang. Banri dan Juza, akibat mereka berdua berkelahi di dapur dan memecahkan beberapa piring kaca, Omi menyuruhnya untuk mengintai keadaan Ami dan Taichi di luar sana. Meski dari awal Omi sudah tak ragu melihat mereka berdua pergi, tetap saja, insting seorang kakak pasti merasa khawatir dengan keadaan adiknya yang kadang ceroboh pada hal apa saja. Dan ancamannya, mereka berdua dilarang ikut makan malam sampai mereka berdua pulang dalam keadaan selamat.
"Jika saja kamu tidak datang ke dapur, aku tidak bakal ikut dalam hal intai-intaian seperti ini," ketus Banri yang tampaknya masih belum mengampuni dosa Juza padanya. Padahal dari awal memang salahnya cari gara-gara tapi Banri bukan tipe orang pemaaf dengan mudah. Ya, kecuali sama perempuan cantik mungkin.
"Kenapa jadi salahku? Bukankah yang mecahi piring itu kamu?" Dan Juza, pria keras kepala yang selalu ingin menjadi juara. Jika Banri masih berbicara, ia pun juga ikut meladenin sampai selesai. Mengingat masalah mereka berdua tak pernah selesai, bisa jadi satu abad pun mereka tetap akan meneruskannya sampai jenggot melebihi batas dada.
"Hyodo, kau ngajak kelahi, huh?" Banri yang kembali teralihkan mulai menatap tajam Juza di dekatnya. "Kau yang memulai." Dan Juza lagi-lagi terpancing emosi olehnya.
"Ban-chan?"
"SEMBUNYI!"
Taichi menoleh ke arah sebuah dinding rumah yang berada tak jauh dari stand tersebut. "Ada apa? Banri-san ada di sini?" Dengan mulu yang penuh dengan cream, Ami ikut menoleh ke arah serupa dengan Taichi namun tak ada siapa-siapa di sana.
"Mungkin perasaanku saja mendengar suara Ban-chan dan Juza-san di sana," kata Taichi mengusap tengkuk kepalanya polos dan menatap ke arah Ami kembali. "Kamu lapar? Bisa jadi karena perut kosong kamu jadi bodoh seperti itu," saran Ami yang sama sekali tidak terdengar bagus.
"Mungkin iya... ehh!? Aku tidak bodoh, Ami-san!" Pekik Taichi yang merasa salah atas ucapan Ami sebelumnya. Dia mengaku tidak bodoh, tapi jika Ami suka itu, dia rela berpura-pura bodoh demi sang pujaan hati.
"Ini, cobalah" Ami menyodorkan crepe miliknya yang sudah mempunyai beberapa gigitan di sana. Makanan itu terlihat begitu menggiurkan sampai tak sadar Ami sudah memakan setengah.
Pemuda itu jelas mendadak diam dengan netra membelalak lebar. Ia pikir Ami tak akan melakukan hal seperti ini sebelumnya. Siapa sangka, Ami itu perempuan yang cukup agresif rupanya. Taichi tidak memikirkan berapa banyak yang akan ia lahap, tetapi ia berpikir mengenai satu hal, ciuman tak langsung. Jika dia memakan crepe milik Ami yang sekarang tinggal setengah bagian, secara otomatis itu akan menjadi ciuman tak langsung pertama untuknya.
Bukankan ini kesempatan emas?
Taichi belum pernah merasakan bagaimana rasa bibir mungil Ami sebelumnya. Masa bodoh dikatai mesum, pemikiran seperti itu wajar, bukan? Lagian, Taichi sudah lama puber. Mendapati ciuman tak langsung dan Ami yang tampak tak sadar mengenai hal itu, merupakan sebuah keberuntungan luar biasa.
"Tidak mau tak apa, biar aku habiskan."
"Tidak tidak tidak! Aku mau aku mau! Berikan aku satu gigitan saja, kumohon, Ami-san!"
Ami yang sebelumnya menarik kembali crepe tersebut akhirnya kembali ia sodorkan. Taichi menelan ludahnya kasar, menatap tak sabaran makanan yang ada di depannya kali ini. Seolah ragu untuk memakannya, tapi ia juga ingin langsung melahapnya segera.
Sampai akhirnya Taichi mengigit dan memakannya dengan wajah memerah. Ami menatap heran dirinya tanpa bertanya dan memakan kembali miliknya. "Enak?" Ami bertanya dan diberikan anggukan singkat oleh sang pemuda. "Nanao-san, telingamu memerah. Kau tak apa?"
Sedangkan Banri dan Juza yang tak sengaja memperhatikan mereka—meski awalnya memang tugas mereka berdua, terkejut sampai butuh beberapa menit agar mulut mereka tertutup.
"Ciuman tidak langsung!?"
Entah mengapa, laki-laki akan segera peka terhadap hal seperti itu meski bagi Ami sendiri hal tersebut tidaklah penting.
━━━━━━━━━━━━━━━
━━━━━━━━━━━━━━━
"Tadi itu cukup menyenangkan, bukan begitu, Ami-san?"
"Ya, tidak buruk"
Mungkin tidak ada yang menyadari tentang kegiatan mereka berdua selama ini. Menghabiskan waktu setengah hari dan itu pun mereka berdua sama-sama tak menyadari. Berbeda dengan dua orang di belakang yang gelisah ingin berpisah dan pulang tetapi tampaknya kedua insan itu belum juga usai. Sungguh melelahkan baginya harus mengendap-endap berusaha untuk tidak ketahuan.
Mendadak Taichi berhenti, menoleh ke arah Ami yang sama sekali tidak menampilkan mimik wajah keinginan pemuda itu selama ini. Entah, apa yang ia pikirkan, tak ada seorang pun mengerti tentangnya.
"Ada yang ingin aku tunjukkan padamu." Taichi menarik Ami menuju sebuah tempat asing. Terdapat di daerah yang tinggi, menaiki tangga terlebih dahulu membuat gadis itu sempat memikirkan hal aneh padanya. Tapi Ami tak bertanya ke mana mereka akan pergi. Ami mulai percaya dengan Taichi saat ini, ia yakin, ke mana pun Taichi membawanya, pasti hal tak menduga datang darinya.
Dan itu benar-benar terjadi. Sebuah tempat yang belum pernah Ami pijaki sebelumnya. Di sana ia bisa melihat koto Tokyo yang luas disertai gedung impiannya. Rasanya manusia tak dapat ia liat saking jauhnya jarak mereka. Menaiki tempat ini memang sulit, tetapi puncaknya benar-benar membuat Ami terkesima.
"Dari mana kau tahu tempat ini, Nanao-san?" Ami bertanya, menatap ke arah Taichi saking ingin tahunya. Disertai angin musim semi yang lebih teras daripada sebelumnya. "Oh itu, Omi-kun yang memberitahuku."
"Eh? Kakak?" Taichi mengangguk ke arah Ami dan menolehkan pandangannya ke arah pemandangan di depannya. "Dia yang mengajakku ke sini, katanya di sini tepat sempurna untuk mencari gambar unik meskipun aku tidak tahu apa yang ia katakan saat itu, haha."
Ami geming tanpa mengucapkan apapun padanya akibat kaget dengan asal muasalnya. Siapa sangka, sang kakak yang menemukan tempat ini. Tempat yang sukses membuatnya takjub tanpa bisa menguraikan kata-kata. Ia akan berterima kasih dengan Kakaknya nanti atau tidak, mungkin ia akan mengucapkannya pada Taichi kali ini.
Situasi kembali sunyi seperti semula kecuali suara angin yang saling bergesekkan dengan dedaunan di belakang mereka. Pandangan mengarah ke arah serupa, tak ada kalimat keluar dari buah bibir mereka. Membuat dua orang dibelakang kebingungan dan tambah gelisah melihatnya.
"Kenapa mereka diam saja?" Tanya Juza yang sedang bersembunyi di antara tumpukkan dedaunan, katanya biar bisa menyusaikan dengan alam tanpa ketahuan oleh mereka. Sedangkan Banri normal, bersembunyi di balik pohon besar sambil mengintip diam-diam.
"Mana kutahu. Mereka sudah seperti itu sejak datang ke tempat ini," kata Banri yang sama bingungnya dengan situasi.
Tetapi, tampaknya Ami sudah tak menyukai situasi itu lagi. Ia menarik baju Taichi tanpa menatap ke arahnya kala pemuda itu menoleh padanya. "Terima kasih," ucap Ami lirih, mendadak malu atas kalimatnya sendiri.
Taichi membuat senyuman lebar untuk sang kekasih, mengusap lembut kepala Ami meski awalnya Ami tak suka dengan itu. "Apapun untukmu, Ami-san."
"Dan juga, ada yang ingin aku katakan padamu."
Mereka saling bertatapan, netra amber milik Ami juga tampak penasaran, apa yang akan Taichi katakan padanya.
Taichi menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan dengan muka sedikit memerah. Ia sudah merangkai kata-kata yang pas untuk hari ini, jadi tak akan ia biarkan begitu saja.
"Aku mencintaimu, Ami-san. Aku tahu ini sama dengan mencari perhatian, mengingat kita sudah berhubungan. Hanya saja, aku ingin mengatakan ini padamu. Aku bersungguh-sungguh dengan apa yang aku rasakan padamu, Ami-san."
Ami diam tanpa mengubah ekspresi wajahnya. Taichi menatap itu, dan dalam hatinya ia merasa sia-sia setelah melihat reaksi Ami padanya. Namun, semua itu salah.
Gadis itu lebih pendek dari sang pemuda, memberikan kecupan singkat pada pipi kanannya—sambil berjinjit untuk mengukur tinggi badan agar sejajar. Senyuman yang jarang Ami tampilkan pada orang luar, ia berikan percuma pada Taichi di depannya. Ia sadar, menahan diri bukan hal bagus untuk dilakukan. Setelah melakukannya sendiri, Ami merasa lega pada dirinya kali ini.
"Tanpa diberitahu, aku sudah tahu itu, Taichi."
Pemuda itu seolah merasa bebatuan jatuh dari atas kepalanya sebanyak dua kali setelah melihat apa yang Ami lakukan padanya dengan kedua mata telanjang. Dadanya merasa sesak, jantungnya berdebar cepat bahkan wajahnya semakin memerah. Kedua telinga yang dipenuhi piercing tampak memerah dan nyaris menyerupai warna rambutnya.
Baru kali ini Ami mengecup pipinya dan baru kali ini gadis itu memanggil nama depannya dengan sempurna. Nikmat apa lagi yang akan dia rasakan setelah ini selesai.
"A-ah, i-iya benar juga," ucap Taichi gugup layaknya robot. Ami merasa sedikit puas dengan kencan pertama mereka kali ini. Ia belum pernah merasakan kencan sebelumnya, jadi ia merasa hari ini sangat-sangat luar biasa. Bisa gawat jika Ami akan ketagihan dan bakal mengajak Taichi keluar tiap harinya nanti.
Ami pun berbalik, "Ayo kita pulang, Nanao-san. Aku yakin kakak akan menunggu terlalu lama kali ini," ajaknya yang meninggalkan Taichi begitu saja. Dan tampaknya, panggilan itu tetap tak berubah seperti sedia mula. Tapi, Taichi puas, karena bisa melihat Ami yang berbeda dari biasanya. Meski Ami sebelumnya tidaklah buruk, ia masih menyukai Ami dengan sifat yang tak terduga seperti yang satu ini.
-
-
-
Epilogue
"Aku melihat dua ekor anjing mengikutiku kemarin."
Ami berdiri tepat di belakang sofa yang sedang diduduki oleh dua pemuda, Banri dan Juza. Mendadak aura mencengkam dapat mereka rasakan seolah ada malaikat pencabut nyawa yang kini tengah mengintimidasi mereka berdua. Kedua pemuda itu saling senggol-senggolan, menunggu siapa yang akan menjawab pertanyaan dari gadis bermata tajam tersebut.
Pada akhirnya, mereka berdua menoleh dengan senyuman yang terpaksa dibuat. "Oh, Ami-chan. Kami tidak ada mengikutimu kemarin. Mungkin yang kamu lihat itu orang lain," kata Banri mengindar sebisa mungkin dari tatapan Ami yang semakin menakutkan.
"Benar benar. Kemarin kami berdua punya urusan masing-masing. Tak mungkin mengikutimu yang sedang kencan, bukan?" Ujar Juza mengikuti alur kebohongan Yang Banri buat.
"Benar benar."
"Aku tidak ada bilang akan pergi kencan."
Banri dan Juza kembali diam. Ia tundukkan kepala, menghiraukan Ami yang berada tepat di depan mereka. Sekilas Ami tersenyum, menepukkan tangannya sambil berkata, "Akan kubuatkan kare untuk kalian berdua. Tunggulah dengan sabar di sini," dan pergi meninggalkannya dengan senandung kecil yang ia buat.
"Tunggu! Tidak tidak, tunggu Ami-chan!"
Percayalah, Ami tidak bisa memasak. Jikapun dia menyentuh dapur, banyak yang sadar jika yang membuat masakan itu bukanlah manusia, melainkan iblis bermuka dua.
━━━━━━━━━━━━━━━
━━━━━━━━━━━━━━━
Owari !1!1!1!
Ceritanya absurd, iya tau :( Yang bikin lagi mageran, ada ide tapi dianggurin gitu aja. Maaf apabila karakter yang ada di sini OOC dari sifat aslinya. Tadinya mau masukin Sakyo sama Azami juga, tapi lebih tertarik ama di duo bego Banri ama Juza 👀✨
Dan, logat Taichi enggak aku masukin :'V
Seharusnya dia tuh kek kise ngono suka akhiri kalimat pake "-ssu" tapi entah ngapa, gak cocok aja kalo aku buat fanfic pake gituan :'D kalo dibaca bakalan aneh dan aku bakal geli merinding gitu :( /HALAH
Terima kasih sudah mampir ke sini dan thanks D-Amantes
Entar kalo buat collab kasih dedlen 3 bulan dong 👀 Renka kan sibuk urusin husbu ama event-eventnya ☆。゚+.(人-ω◕ฺ)゚+.゚
おつかれさまでした ! ! !
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top