8. Dungeon Master
"Dan bagi orang-orang yang meragukanku, niscaya mereka tak akan menganggapku ada. Sebab hanya orang-orang beriman yang akan menyaksikan keagunganku!" ~ Cereztia
¤¤¤
"Hei, bangun, bangunlah!"
Alvia mengguncang-guncangkan tubuh Giovanni. Karena terganggu, Giovanni tersadar dari tidurnya dan merasa cukup kesal pada gadis biarawati itu.
"Ini masih pagi," keluh Giovanni sambil mengucek-ucek mata.
"Iya, tapi Tuan Furash memerintahkan kita semua untuk segera melanjutkan perjalanan sekarang."
Giovanni memperhatikan ke sekeliling, matahari belum sepenuhnya timbul dan suhu dingin masih menyeruak dari berbagai penjuru rubanah.
Furash bersama Raven di sisi lain sedang mengemasi barang-barang.
"Aku ... aku masih mengantuk sekali. Apakah kita tidak bisa berangkat beberapa menit lagi?" Giovanni ingin kembali tertidur.
"Tuan Furash yang memberi perintah. Jika kau tidak segera bangun, dia nanti bisa memarahimu," ucap Alvia.
Giovanni membuang nafas, dia berusaha sekuat tenaga menghilangkan rasa kantuk dan perasaan malasnya untuk bangun dengan meregangkan badan. Alvia tersenyum melihat ini.
"Nah, itu baru semangat. Cuci mukamu terlebih dahulu." Alvia memberikan Giovanni sebuah botol air.
"Terima kasih." Giovanni menerima botol itu, kemudian mencuci muka dan mengairi tenggorokannya yang sedikit terasa haus.
Setelah itu, Giovanni bersama Alvia membantu Raven dan Furash berbenah sebelum melanjutkan perjalanan.
***
Beberapa hari yang lalu Furash memberi syarat kepada Giovanni untuk membantunya. Persyaratan tersebut adalah, Giovanni harus bersedia ikut dengan partynya sampai mereka selesai menjelajahi rubanah.
Oleh sebab itu, Giovanni mengikuti Furash dan yang lain menuju ke pusat rubanah yaitu ke pilar-pilar besar tajam yang Giovanni pertama kali lihat saat tersadar di dalam gubuk tua. Di sana, terdapat seekor monster penguasa rubanah yang dijuluki sebagai Dungeon Master.
Setiap pemburu monster harus membunuh Dungeon Master yang ada jika ingin menyelesaikan sebuah rubanah. Tindakan ini dinamakan dengan conquering.
Setiap berhasil melakukan conquering, monster dan Dungeon Master yang ada akan muncul kembali setelah party yang menaklukannya keluar. Sehingga, ada kesempatan bagi party pemburu yang lain untuk melakukan conquering pada rubanah tersebut.
"Urgh, panas sekali," keluh Alvia melindungi kepala dengan tas miliknya.
"Semakin mendekat ke pusat rubanah, suhunya semakin meningkat," timpal Raven yang juga kepanasan.
"Intensitas Mana dapat mempengaruhi iklim suatu tempat. Jadi, jangan heran apabila kalian merasa sangat panas atau dingin di tempat-tempat tertentu." Furash memberitahu mereka berdua.
Suhu yang terlalu tinggi bisa diakibatkan karena intensitas Mana di suatu wilayah terlalu pekat, begitu pun jika suhunya terlalu rendah.
Di dalam rubanah pun tidak berbeda. Apalagi, kepadatan Mana yang ada biasanya jauh lebih tinggi sehingga membuat iklim suatu rubanah kadang menjadi begitu ekstrim.
"Kita beruntung masuk ke dalam rubanah yang memiliki iklim panas. Kita tidak membawa perlengkapan musim dingin, aku hanya bisa membayangkan harus bertarung dengan monster di tengah badai salju dan es, hahaha."
Furash selalu memiliki humor yang sedikit tidak pantas. Dia senang bercanda di tengah situasi yang berbahaya atau membuat bahaya itu sendiri sebagai sebuah lelucon.
Sebagai pemimpin party, sikap Furash tersebut kadang-kadang dianggap oleh Alvia dan Raven tidak membantu sama sekali dalam keadaan genting.
Namun, mereka berdua selalu percaya pada Furash karena dirinya adalah seorang pria yang dapat diandalkan.
Sesekali rombongan berhenti untuk beristirahat dan memakan bekal yang dibawa. Di sela-sela rehat yang singkat itu, Giovanni mengasah kemampuan memanahnya.
Meskipun, Giovanni tidak berpikir akan dapat membantu apabila pertarungan terjadi nanti, tetapi Furash percaya bahwa berlatih jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Setidaknya, dengan ini Giovanni memiliki sedikit pengetahuan untuk mempertahankan diri dan tidak sepenuhnya menjadi beban bagi party Furash.
Beruntung sebab perlakuan yang Alvia, Furash dan Raven berikan kepadanya begitu ramah. Jika tidak, Giovanni tak bisa membayangkan apa jadinya nasibnya di tangan orang lain yang kejam dan hanya membawanya untuk dimanfaatkan.
Setelah beberapa jam melakukan perjalanan, party Furash akhirnya tiba di dekat struktur pilar-pilar tajam raksasa.
Aura yang ada begitu gelap, mengubah suasana jadi mencekam. Udara serasa menyesakkan nafas karena suhu yang panas.
"Tuan Furash, sebaiknya kita cepat-cepat membunuh monster jelek itu. Aku sudah tidak tahan terus dipanggang oleh suhu yang panas ini!" Alvia sedikit melonggarkan tudung jubahnya karena tak sanggup menahan panas.
Alvia memelototi si Dungeon Master yang duduk diam di tengah-tengah pilar-pilar besar tajam, menunggu para pemburu untuk datang dan menantangnya dalam duel.
Monster itu memiliki bentuk tubuh manusia dengan kepala dan kaki kambing. Di tangannya, sebuah kapak beristirahat tenang menantikan pertarungan.
Furash menyeringai melihat monster kambing yang disebut Rammer tersebut. Dia menganggap kalau Rammer bukanlah monster kuat untuk ukuran sesosok Dungeon Master. Hal ini tidak mengherankan, sebab rubanah yang sedang dimasuki oleh Furash dan partynya bukanlah rubanah besar.
"Baiklah, semuanya dengarkan aku. Ini rencananya." Furash berkata sambil berkacak pinggang, "Raven akan menjadi umpan untuk kambing jelek itu, sementara aku yang menjadi penyerang utamanya. Seperti biasa. Untuk Alvia, kau bawalah Giovanni ke titik yang aman sambil mendukung kami dengan sihirmu, mengerti?"
Perkataan Furash yang melibatkan Giovanni mengejutkan semua orang, termasuk Giovanni sendiri. Raven mempertanyakan keputusan Furash, begitu pula dengan Alvia.
Pria tua itu mengatakan pada kedua anggotanya bahwa tidak masalah Giovanni ikut. Dia meyakinkan Alvia dan Raven bahwa semuanya akan baik-baik saja asalkan rencana mereka berjalan.
"Tapi, bagaimana aku bisa mendukung kalian berdua apabila aku juga harus menjaga Giovanni di 'titik aman'. Lagipula, apakah ada titik aman di sekitar sini?"
Raven sependapat dengan Alvia, "Monster bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Giovanni dan Alvia dapat dengan mudah terkepung jika monster muncul dan memojokkan mereka."
"Jadi, apa kalian memiliki ide lebih baik dari ini?" Furash balik bertanya.
Raven dan Alvia seketika diam untuk memikirkan rencana lain. Melihat keduanya tidak langsung menjawab, Furash pun memanfaatkan momen ini untuk menyegel keputusannya.
Tindakan tersebut membuat Alvia dan Raven cukup kesal, tetapi tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi.
"Ok, anak-anak. Bersiaplah bertarung! Jangan lupa tarik nafas dalam-dalam dan buang, karena sebentar lagi kita akan melakukan aksi yang cukup cadas!"
Alvia yang masih jengkel menggerutu seraya menaikkan Giovanni ke punggungnya. Dia kesusahan menggendong Giovanni apalagi harus membawa tongkat sihir yang panjangnya dua kali tinggi badan biarawati muda itu.
Berada dalam gendongan Alvia membuat Giovanni sebenarnya merasa tidak nyaman.
Dia pun teringat pada suatu aturan mengenai para rahib yang tidak mempebolehkan kontak fisik antar lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah. Saat Giovanni mengingatkan Alvia tentang hal ini, gadis itu langsung menjatuhkannya.
"Tuan Furash pikun! Apa kau lupa kalau aku tidak boleh menyentuh laki-laki?!" Alvia membenturkan tongkatnya ke bahu Furash.
"Huh? Ah, iya ... aku lupa itu. Tapi, kau sendiri kenapa tidak bilang?"
Alvia langsung salah tingkah. "S-suhu di sini panas membuatku kehilangan fokus. Kau yang lebih tua seharusnya mengingatkanku tahu!"
Furash terkekeh mendengar Alvia berkilah.
Akhirnya, Furash kembali menggendong Giovanni dan mencari tempat aman strategis bagi Alvia menjalankan perannya sebagai pendukung serangan. Sementara itu, Raven beranjak sendirian menghadapi Dungeon Master.
"Ini dia, pertarungannya akan dimulai!" Furash berujar sesaat setelah menemukan tempat aman bagi Giovanni dan Alvia, melihat Raven telah sampai di dekat si Dungeon Master.
Mata Dungeon Master terbuka begitu Raven berada di dekatnya. Tatapan tajamnya tak sedikitpun menumpul meski telah berada dalam tidur yang cukup panjang.
Monster itu pun berdiri dari duduknya seraya mengangkat kapak besarnya yang bergagang emas dan berbilah setajam gigi Dire Wolf.
Meski demikian, berhadapan dengan sesosok monster besar bersenjatakan kapak raksasa tak membuat Raven gentar sedikit pun.
Raven malah ikut mengangkat pedangnya tinggi, lantas melakukan beberapa gerakan yang tujuannya untuk memprovokasi Dungeon Master. Tapi, Rammer adalah jenis monster yang cukup cerdas sehingga tak termakan pancingan Raven.
"Hmph, kalau begitu ....," dengus Raven. "Fleeting Step!"
Pemuda itu bergerak seperti angin ke bawah kaki Dungeon Master. Raven melakukan tebasan ke tumit kiri seraya meluncur ke belakangnya.
Dungeon Master mengerang merasakan pedihnya tebasan Raven, dia berusaha berbalik untuk menyerang pemuda itu akan tetapi karena luka di tumitnya dia terjatuh saat hendak memutar badan.
Di saat bersamaan, Furash tiba-tiba datang melesat dari belakang dan menyayat punuk Dungeon Master. Furash lantas melemparkan kedua belatinya yang terus meledak ke lengan kiri Rammer itu dan membuatnya kembali mengerang kesakitan.
Dari tempat aman Alvia dan Giovanni, si biarawati merapalkan sebuah mantra yang cukup panjang. Lingkaran sihir kemudian muncul di ujung tongkatnya. Setelah itu, Alvia mengarahkan tongkat sihirnya pada Dungeon Master dan melepaskan sebuah mantra.
"Falldom!"
Seketika, Dungeon Master jatuh terlentang ke atas tanah. Seolah ada medan magnet yang menarik tubuhnya ke bawah dan menahan pergerakannya dengan begitu kuat.
Erangan khas Rammer pun diteriakkannya dengan kencang, seperti mencoba memohon belas kasihan pada party Furash untuk mengampuninya.
"Maafkan aku, monster. Tapi, kami harus membunuhmu untuk memperoleh hadiah kami!"
Furash memandang Dungeon Master tanpa sedikit pun menunjukkan empati. Dia tak peduli pada monster. Walau dia mengetahui Rammer sanggup menunjukkan emosi melalui tatapan mata, tetapi Furash memutuskan untuk mengabaikannya.
Pria tua itu mengambil satu bilah belati lagi, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Dungeon Master menyadari bahwa inilah akhir dari riwayatnya dan membelalak lebar.
Jeritan penuh rasa sakit keluar dari dalam tenggorokan Dungeon Master begitu belati tajam Furash menghujam dan menggorok lehernya. Bersamaan dengan darah yang mengalir keluar, riwayat Rammer itu pun tamat seketika.
Angin tiba-tiba berhembus di sekitar pilar-pilar tajam di sana, membawa kabut gelap yang mengelilinginya menuju ke tengah struktur pilar dan terkumpul menjadi sebuah bola. Udara di sekitar sana pun menjadi lebih bersih dan langit berubah cerah.
Dari dalam kabut-kabut yang terkumpul menjadi sebuah bola bundar besar tersebut, kemudian muncul cahaya emas yang menyinari mayat Dungeon Master.
"Selesai juga, ayo cepat ke sana!"
Alvia langsung turun dari atas gundukan tanah yang merupakan titik amannya tanpa mempedulikan Giovanni.
"Hei, tunggu!"
Giovanni kalang kabut menyusul Alvia, alhasil dirinya terjungkal hingga sampai ke bawah gundukan. Tanpa memikirkan rasa sakit yang dirasakan, Giovanni segera bangkit dan menyusul Alvia dengan susah payah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top