7. Busur Sihir Giovanni Dan Perasaan Curiga Alvia serta Raven

"Tidak masalah seberapa jelek wajahmu, itu tidak berpengaruh pada kehebatanmu." ~ Astria Axelia

¤¤¤

Mata Giovanni terbelalak melihat beberapa ekor monster bipedal berkepala kadal muncul dari balik dinding yang runtuh.

Furash, Raven dan Alvia segera menarik keluar senjata masing-masing bersiap menghadapi sekawanan monster itu.

Furash menggunakan sebilah pisau belati, Raven memakai sebilah pedang kecil sementara Alvia menggunakan tongkat sihir.

"Grasstail!" seru Raven.

Belum sedetik Raven menyebut jenis monster yang mengepung mereka, beberapa ekor monster berkepala mirip kadal dengan ukuran jauh lebih kecil merayap dari dalam sebuah lubang di tanah.

"Kobold ... ughh ... aku benci mereka," ujar Alvia yang memasang raut jijik.

Grasstail dan Kobold adalah jenis monster reptil yang senang menempati wilayah terbuka atau area pinggiran hutan. Mereka biasanya hidup berkelompok, sangat jarang ditemukan Kobold maupun Grasstail yang sendirian. Sebaliknya, kedua jenis monster ini seringkali ditemukan berburu bersama.

"Kita tidak pernah menemukan Kobold maupun Grasstail dalam kawanan yang berbeda, ya? Haha, seolah kedua jenis monster ini adalah pasangan."

Berbanding terbalik dengan Furash yang baru saja melemparkan candaan, Giovanni merasa begitu tegang dan cemas. Dia mencengkram erat baju Furash.

"Tenang saja, Nak. Kami akan menghabisi makhluk-makhluk itu dalam sekejap."

Furash berujar dengan sangat percaya diri. Dia menyeringai tipis, lalu memerintahkan Raven dan Alvia untuk menyerang.

Menggunakan tongkat sihirnya, Alvia merapalkan mantra untuk mengawali serangan. Sebuah sinar merah yang di pinggirnya berwarna kuning melesat dengan kecepatan tinggi ke arah seekor kobold yang berdiri paling depan.

Kobold itu seketika meledak menjadi serpihan-serpihan kecil. Mengetahui rekan mereka tewas, para Grasstail dan Kobold lainnya pun memekik kencang sebelum menyerbu manusia di depan mereka.

"Fleeting Step!" rapal Raven.

Giliran pemuda itu yang melakukan serangan. Dia berlari melebihi kecepatan manusia pada umumnya, menerjang sendirian kawanan Kobold dan Grasstail yang menyerang.

Memanfaatkan efek mantra yang meningkatkan kecepatannya selama beberapa saat, Raven menebas beberapa ekor Kobold dan Grasstail sebelum mundur saat efek mantranya habis. Dia bermaksud membagi konsentrasi kawanan monster reptil itu agar tak semuanya menyerang Alvia dan Furash.

"T–Tuan Furash!" teriak Giovanni melihat kawanan monster mendekat.

"Sudah kubilang tenang saja, Nak."

Furash membuat Giovanni lega saat dia melemparkan belatinya ke arah kawanan monster itu dan belati tersebut meledak membunuh mereka semua.

"Hati-hati menggunakannya, jangan lemparkan saat jarak kita terlalu dekat!" ujar Alvia.

"Iya, iya. Aku paham itu," balas Furash sembari mengeluarkan sebilah belati lagi.

Serbuan Kobold dan Grasstail itu tidak berlangsung lama, sebab hanya beberapa menit kemudian hampir semuanya berhasil Alvia dan partynya habisi.

Setelah seekor Kobold terakhir mati di tangan Raven, pertarungan kecil itu pun berakhir.

Giovanni cukup merinding melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Kakinya gemetaran. Namun, perasaan kagumnya jauh lebih besar terhadap party Alvia.

"Kalian hebat! Hanya dalam beberapa saat saja kalian mampu menghabisi monster-monster itu!"

Furash menyunggingkan senyum atas pujian tersebut. "Terima kasih, ini hanyalah pekerjaan sehari-hari kami sebagai pemburu monster."

"Tetap saja kalian hebat, aku kagum pada kalian."

Giovanni membuat pujian yang menurut Alvia serta rekan-rekannya berlebihan. Tetapi, mereka tak ambil pusing perihal tersebut.

Furash lantas memerintahkan Alvia dan Raven untuk membelah tubuh monster yang barusan mereka habisi untuk mengumpulkan inti mana monster-monster itu. Inilah yang mereka cari dalam perburuan, untuk nanti ditukarkan di gilda dengan uang.

Setelah mengumpulkan semua inti mana, Furash pun memutuskan untuk kembali ke tempat kemah karena merasa tidak ada urusan lagi menetap di kuil rusak itu.

Selama perjalanan, Giovanni bertanya-tanya tentang pengalaman Furash, Alvia dan Raven sebagai pemburu monster.

Kekaguman Giovanni hanya bertambah setelah mendengar cerita mereka, terutama kepada Alvia yang baru berumur 10 tahun tapi sudah lebih baik menggunakan sihir darinya.

"Oh, jangan kaget. Sebagai Cleric kemampuanku sebenarnya masih rendah. Mantra yang kugunakan tadi sama sekali tidak mengagumkan," ujar Alvia merendah.

"Ibuku juga seorang Cleric dan dia sangat hebat! Aku banyak belajar sihir darinya, tapi aku tidak terlalu pandai menggunakan sihir."

Raut wajah Giovanni menjadi murung. Beruntung, sebab kemudian Furash mengatakan hal yang cukup menghiburnya.

"Kalau kau tidak pandai menggunakan sihir kau bisa memakai peralatan magis untuk menutupi kekuranganmu."

Mata Giovanni segera berbinar terang. "Sungguh? Tapi, aku tidak memiliki peralatan magis apapun. Bunda bilang anting kristal milikku ini adalah artefak magis tapi aku tidak tahu cara menggunakannya."

Pundak Furash, Raven dan Alvia seketika tegang. Begitu mendengar Giovanni menyebutkan anting kristal itu, hawa dingin langsung membelenggu raga ketiganya.

"K–kalau begitu aku akan memberikanmu peralatan magis yang lain. Tenang saja," ujar Furash gugup.

Giovanni tersenyum lebar, tetapi dia menyadari rasa cemas Furash dan yang lain. "Ada apa dengan kalian?"

"Tidak apa-apa, kami hanya merasa lelah setelah bertarung tadi. Jangan khawatirkan kami," jawab Raven dengan nada datar.

Giovanni merasa heran dengan sikap ketiga pemburu monster itu yang tiba-tiba saja berubah. Kecurigaan timbul dalam benaknya, namun tidak bertahan lama sebab beberapa saat kemudian Giovanni mengabaikan perubahan sikap Alvia dan partynya.

***

Seperti yang dikatakannya, Furash memberi Giovanni sebuah peralatan magis berupa busur sihir yang anak panahnya menggunakan Mana penggunanya.

Giovanni cukup senang terhadap pemberian Furash, namun dirinya merasa ragu memakai panah itu sebab tidak tahu cara menggunakannya.

Furash sudah menduga akan hal ini, dan dirinya pun mengatakan bersedia untuk mengajari Giovanni cara memanah.

"Kau tahu, menurutku memanah itu pada dasarnya cukup mudah. Yang penting, kau tahu cara memegang dan membidik targetmu terlebih dahulu. Masalah akurasi atau semacamnya akan kita urus nanti."

Pertama-tama, Furash mengajari Giovanni cara memegang busur. Kemudian, dia melatih Giovanni membidik. Dia membiarkan Giovanni terbiasa memegang busur terlebih dahulu baru setelah itu dirinya mengajari Giovanni cara menggunakannya.

Hanya memiliki satu kaki tak menyulitkan Giovanni belajar memanah, ini membuat Furash dan yang lain begitu kagum.

Prinsip semua peralatan magis pada dasarnya sama saja, yaitu aktif apabila dialiri oleh Mana. Yang membedakan hanya cara pengaktifannya di mana ini membedakan peralatan magis menjadi 2 tipe, yaitu Manual Cast dan Loaded Cast.

Busur Giovanni adalah peralatan magis tipe Manual Cast, yang mana dalam setiap penggunaannya Giovanni harus mengalirkan Mana untuk dijadikan anak panah.

Lain halnya dengan tongkat sihir Alvia yang dapat digunakan tanpa harus mengalirkan Mana dalam setiap kali penggunaan, karena mampu menyimpan Mana yang diisikan oleh penggunanya.

Ada pula tipe peralatan magis hibrida yang menggabungkan kedua tipe peralatan magis yang ada. Namun, itu cukup jarang dijumpai oleh masyarakat umum.

Furash meletakkan beberapa buah apel di atas sebatang pohon yang telah tumbang untuk dijadikan target latihan Giovanni. Furash merasa Giovanni sudah cukup terbiasa dengan peralatan sihirnya, jadi kini waktunya dia untuk berlatih.

"Nah, sekarang aku mau kau membidik apel-apel ini dan tembak satu per satu!" Furash lalu mendekati Giovanni.

"Baik!"

Giovanni menarik tali busur dan mulai membidik. Dia pun kemudian berkonsentrasi untuk mengalirkan Mana dari dalam tubuh ke telapak tangan menuju tali busur sihirnya. Sebuah anak panah berwarna biru pun muncul pada busur tersebut.

Teknik untuk mengalirkan Mana sendiri adalah menggunakan latihan pernafasan yang diiringi kendali pikiran dan keinginan batin.

Di dunia ini, melakukannya sama mudah dengan membalikkan telapak tangan. Itu adalah hal alami yang setiap manusia di dunia ini mampu lakukan.

"Bagus sekali, Giovanni. Kau sudah bisa menciptakan anak panah. Sekarang, agak angkat busurmu beberapa derajat. Pastikan tarikanmu kuat dan lepaskan anak panahmu!"

Giovanni melakukan sesuai perintah Furash. Tali busur pun dia lepaskan, anak panahnya melesat begitu kencang ke arah salah satu apel akan tetapi tembakannya melesat dan justru mengenai seekor tupai yang kebetulan lewat di belakangnya.

Furash tidak kecewa dengan percobaan pertama Giovanni, dia malah memujinya sebab berhasil mengenai seekor tupai. Meski tak bisa dipungkiri kalau itu adalah sebuah keberuntungan.

"Yaaaah ... percobaan yang bagus. Terus berlatihlah sampai kau mengenai apel-apel itu," ucap Furash selanjutnya sebelum berpaling. "Aku pergi dulu."

Giovanni menjadi bertambah semangat setelah mendapat pujian dari Furash. Dirinya pun kembali menarik tali busurnya, dan menghabiskan waktunya selama beberapa saat untuk berlatih.

***

Alvia dan Raven memperhatikan Giovanni dari kejauhan. Mereka mengamati dengan seksama tanpa terlewat satu detik pun.

"Apa kau merasa aneh dengan anak itu?" Alvia bertanya.

"Sedikit, apa menurutmu yang aneh dengannya?" Raven balik bertanya.

"Keberadaannya di sini. Tidak mungkin ada manusia yang sanggup bertahan hidup di dalam rubanah apalagi dengan kaki yang terpotong."

Raven melirik ke arah tas berisi persediaan obat-obatan, dia mendecih mengetahui kini hanya tersisa beberapa botol ramuan. Sisanya, sudah dihabiskan untuk mengobati luka Giovanni.

"Latar belakangnya juga aneh, aku merasa kalau anak itu seperti bukan manusia saja." Alvia melanjutkan perkataannya.

"Aku pun belum pernah mendengar tentang monster bernama Gagor atau pun desa tempatnya berasal," timpal Raven. "Tapi, aku yakin kau juga merasa kalau hal paling janggal darinya adalah pada ...."

Raven dan Alvia sama-sama menaruh rasa curiga pada anting kristal Giovanni. Ada banyak hal yang mendasari mereka merasa demikian.

"Kita harus mewaspadai apabila anak itu menggunakan antingnya." Raven memperingatkan Alvia.

Furash kebetulan berada tak berada jauh dari mereka dan mendengar pembicaraan keduanya. Dia pun melangkah ke dekat Raven dan Alvia lalu bergabung dalam pembicaraan.

"Kalau kalian mau tahu, Gagor adalah nama iblis dalam sebuah kitab kuno yang saat ini keberadaannya sudah hilang. Sekedar memberitahu saja," papar pria tua itu.

"Oh, ya? Lalu, apakah yang sesosok iblis kuno lakukan di desa antah berantah sehingga berakhir membuat seorang anak berada di sebuah rubanah?" Raven berkata dengan nada sarkas. Alvia kemudian turut terkekeh bersamanya.

"Aku tidak tahu itu, aku pun sedikit ragu pada ceritanya tentang Gagor." Furash menoleh ke belakang pada Giovanni. "Tapi, kalau soal desa yang disebutkannya aku tahu tentang hal itu."

Pernyataan Furash membuat Alvia dan Raven tertohok, keduanya segera mendekati pria itu yang kemudian beranjak duduk di sebuah batu berlumut.

Alvia dan Raven pun meminta Furash untuk memberitahu mereka tentang apa yang diketahuinya.

Pria tua itu tertawa sebentar sebelum melanjutkan, "Baiklah ... akan kukatakan pada kalian tentang legenda ini."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top