44. Kesempatan Dalam Kesempitan

"Dualitas selalu ada dalam kehidupan. Untuk berusaha melenyapkannya, itu adalah hal gila." ~ Emoria.

¤¤¤

Langkah kaki-langkah kaki keempatnya melaju cepat di atas permukaan lantai gua yang lembab, sesekali menapak kubangan dangkal dan menciptakan bunyi ciprat air yang renyah. Menyusul mereka di belakang, suara-suara geram serta raung monster terdengar semakin dekat. Tidak hanya satu, melainkan lebih dari yang dapat dihitung dengan jari di kedua tangan.

Giovannj berlari paling depan menerangi jalan, Raven tepat ada di belakangnya memandu arah, lalu ada Ceanta, dan Astria berada paling buntut–menjadi pengawas sekaligus tameng grup dari kejaran kawanan monster yang memburu mereka.

"Ini tidak masuk akal, monster-monster itu seperti tahu kita akan pergi ke mana!" ujar Giovanni

"Mereka monster semut, mereka punya kerja sama yang baik. Apalagi, kita berada di dalam sarang mereka. Monster-monster itu tahu persis rute yang ada di gua ini," balas Astria.

Usai mengatasi blokade monster kumbang sebelumnya, mereka berempat dibuat kaget ketika monster-monster semut bermunculan dari dinding gua di sekitar mereka. Jumlahnya yang terlalu banyak pun memaksa Giovanni dan yang lain melarikan diri semakin dalam ke gua. Sialnya, di sepanjang jalan, monster-monster semut muncul menembus dinding gua untuk menyergap mereka.

Akibat sergapan yang datang dari berbagai arah ini, mereka berempat pun berlari tanpa arah menjauh dari jalan yang seharusnya mereka lalui untuk menyusul Furash dan Alvia. Raven mampu merasakan keberadaan keduanya semakin jauh.

"Kita tidak bisa terus berlari seperti ini, jika lorong yang kita susuri ini berujung pada jalan buntu, kita akan mati!" kata Astria sambil menoleh ke belakang, kedua matanya terbelalak melihat sekilas bayangan samar muncul di dinding gua.

"Aku tahu itu!" balas Raven ketus.

Giovanni dan kelompoknya mungkin berlari sekencang yang mereka mampu, diperkuat dengan mana ke kaki, itu membuat lari keempatnya seperti hembusan angin kencang di saat memasuki musim hujan. Namun, monster-monster semut dengan empat kaki mereka tak mengalami kesulitan berarti untuk menyusul.

Terwaspadakan oleh suara rayapan monster-monster yang semakin dekat, Astria pun menoleh ke belakang sekali lagi. Dia bisa menyaksikan beberapa moncong tajam mendesis dan berusaha mengapitnya dari balik samar-samar kegelapan. Ini membuat Astria panik, dan membuatnya langsung meneriaki semua orang di depan untuk semakin cepat berlari.

"Mereka ada di belakangku!"

Ceanta spontan melirik ke belakang karena teriakannya. Ketika melihat monster-monster semut itu tepat berada di belakang Astria, dia tiba-tiba melihat kilat menyambar dari kegelapan. Bersamaan dengan itu, sekelebat sosok besar bersisik perak dengan gigi tajam muncul menyalang tajam tepat ke matanya. Menyaksikan kemunculan sosok itu, Ceanta tiba-tiba melesat kencang menyalip Giovanni dan Raven.

Giovanni untuk sesaat terkejut dengan kecepatan Ceanta. Namun, dia lebih mencemaskannya. "Hei, jangan mendahului kami seperti itu!"

"Aku tidak mau dimakan semut-semut itu, Giovanni-re!"

"Ceanta!"

Sia-sia, Giovanni tidak bisa mencegah gadis succubus itu lenyap ke dalam kegelapan di depannya.

Khawatir sesuatu terjadi pada Ceanta, Giovanni lantas menambah kecepatannya mengabaikan  Raven dan Astria yang membuat mereka kalang kabut karena cahaya penerang mereka menjauh.

"Anak itu!" geram Raven. Dirinya dan Astria juga menambah konsentrasi mana ke kaki mereka untuk menyusul Giovanni.

Keempatnya saling susul dalam kecepatan tinggi. Keadaan gua yang gelap seolah mereka lupakan sejenak. Ceanta yang panik luar biasa berlari dengan sembrono, dia memilih lorong secara acak di setiap persimpangan gua yang dilewatinya. Giovanni yang mengejar cukup kesulitan mengendalikan kecepatan larinya, sehingga beberapa kali menabrak dan tergores dinding gua ketika berbelok. Sedangkan Raven dan Astria tanpa masalah besar melewati lorong gua yang penuh tikungan tajam dan bebatuan besar di tengah lorong dengan kelincahan memukau.

Namun, terlepas perbedaan pengalaman yang ada antara Giovanni, Raven dan Astria, mereka akhirnya mampu menyusul Ceanta.

Menyalip si gadis succubus, Astria meletakkan tangannya di depan dada Ceanta. Tindakan Astria ini membuat Ceanta terkejut dan malah membuatnya semakin panik. Namun, sebelum sempat kembali berakselerasi, Raven terlebih dahulu menggenggam tubuh Ceanta dengan tangan bayangannya dan mengangkat gadis itu.

"Apa yang kau lakukan?!" Raven meneriaki Ceanta, menambah syoknya dan membuatnya menangis.

"A–aku takut! Ada sesuatu yang sangat besar di belakang kita dan dia jauh lebih mengerikan dari semut-semut itu!"

Kesaksian Ceanta membuat nafas yang lain sesak. Raven langsung mengerling ke belakang, begitu pula dengan Astria dan Giovanni. Monster-monster semut yang mengejar mereka telah datang. Giovanni lalu menembakkan anak panahnya pada kawanan monster semut tersebut dan meledakkan beberapa dari mereka.

"Ayo, kita harus pergi!" ujar Giovanni, dia menarik Ceanta berdiri kemudian berlari. Astria langsung mengikuti mereka.

Raven yang masih gusar dengan monster yang Ceanta lihat, memutuskan menunggu sedikit lebih lama sebelum menyusul yang lain. Namun, setelah memerhatikan kawanan monster semut itu dan tidak menemukan adanya monster yang Ceanta lihat, dirinya segera melesat pergi.

Pengajaran masih belum selesai, semakin jauh keempat anak itu masuk ke dalam gua, monster yang memburu mereka bertambah banyak. Sergapan demi sergapan mengejutkan Giovanni serta kelompoknya, tetapi mereka masih dinaungi keberuntungan dan mampu meloloskan diri. Sampai saat kemudian, mereka kelelahan karena terus menerus menggunakan mana dalam konsentrasi tinggi.

Dalam keadaan sempoyongan, keempat anak itu berlari menuju ke sebuah lorong yang berdiameter cukup luas. Meskipun rasa pegal di kaki dan lutut anak-anak itu seakan hendak copot, mereka memaksa sekuat tenaga, memeras sedikit energi yang tersisa dalam tubuh mereka untuk tetap berlari.

Mati kelelahan jauh lebih baik daripada dicabik-cabik monster, begitu yang Giovanni pikirkan.

"Aku tidak percaya kita berlari sejauh ini. Ada di mana kita sekarang?" tanya Astria pada Raven, wajahnya tampak pucat.

"Kalau aku tahu aku sudah memberitahu kalian," jawab Raven ketus.

Ada di depan mereka berdua, Giovanni menggendong Ceanta yang sudah tidak kuat lagi berlari. Dirinya hampir pingsan dan terus meracau tentang monster yang dilihatnya beberapa saat lalu. Kondisi Ceanta ini menebar lebih banyak kekhawatiran dalam hati Giovanni.

Perlahan, laju lari keempat anak itu semakin pelan. Kaki mereka mulai menyerah. Giovanni bahkan kehilangan kekuatan di salah satu kakinya dan membuatnya tersungkur. Di saat bersamaan, Raven menghentikan langkahnya lalu menyandarkan punggung ke dinding gua dengan nafas terengah-engah.

Astria yang berada paling belakang jadi satu-satunya yang masih bisa berdiri. Namun, dia sudah terlalu letih untuk sekedar mengangkat pedangnya. Jika monster-monster semut itu datang, maka tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk bertahan.

Ketika monster-monster yang mengejar keempat anak itu akhirnya berhasil menyusul, Astria hanya bisa mengkertakkan gigi. Kekecewaan dan amarah dalam hatinya mengalahkan ketakutannya akan kematian. Dia merasa gagal menyelesaikan misi yang pamannya berikan.

Giovanni dan Raven tampak bersiap menerima takdir mereka sebentar lagi. Ceanta di pangkuan Giovanni memegang lengan anak itu dengan kuat. Namun, dia tidak bermaksud memberi rasa nyaman pada Giovanni di saat-saat terakhir mereka.

Ceanta justru berniat memberitahu Giovanni untuk mengambil sigil-sigil yang ada di tasnya.

"Giovanni-re ... di tasku ... ambil sigilnya ...."

Mendengar itu, Giovanni tanpa pikir panjang merogoh tas Ceanta. Dengan lima buah sigil ledakan buatan Raven, dia lalu merangkak secepat mungkin ke belakang.

"Berlindung, Astria!" seru Giovanni, sembari mengaktifkan kelima sigil di tangannya. Bau kertas terbakar pun menguar ke udara.

"Apa yang kau lakukan?"

Astria melotot melihat lima sigil di pegangan Giovanni menyala. Menyadari apa yang akan terjadi, Astria pun menjauh dari Giovanni dan meringkuk sambil melindungi kepalanya. Tepat saat monster-monster semut muncul, salah sigil-sigil di tangan Giovanni berbinar. Dia pun segera melemparkan sigil-sigil tersebut lalu segera merangkak mundur.

Ketika ledakan terjadi, beberapa monster yang paling dekat dengan radiusnya meraung kencang. Anggota tubuh mereka berterbangan ke sekeliling lorong gua. Ledakan yang cukup besar itu pun turut mengguncang bebatuan di atas lorong sehingga membuatnya berjatuhan.

"Kenapa ledakannya sebesar ini?!" seru Giovanni. Dia tidak tahu kalau sigil yang diambilnya memiliki daya ledak tinggi.

Raven langsung berpikir cepat melihat kalau gua akan segera runtuh. Dia pun mengumpulkan sisa mana yang dimilikinya untuk merapal mantra Grasp Of Zaquure lalu menarik Giovanni, Astria dan Ceanta ke dekatnya. Dengan tangan bayangannya juga, Raven menyeret mereka menjauh dari lorong gua yang runtuh. Naas, Raven tidak cukup cepat untuk melarikan diri mereka.

Sadar dalam situasi mereka saat ini tidak akan ada seorang pun yang selamat, Raven tanpa terduga membuat keputusan berat. Dia melemparkan Giovanni dan yang lain jauh ke depannya. Astria menyebut nama pemuda itu dengan kencang menyaksikan Raven melakukannya.

"Jangan peduli padaku sekarang, bodoh. Bukankah beberapa saat yang lalu kau membenciku?!"

"Raven!"

Menggunakan tangan bayangannya, Raven menopang dinding gua. Namun, itu tidak cukup untuk mencegah bebatuan yang runtuh. Jadi, Raven pun memaksimalkan penggunaan mananya, membuat semua tangan bayangan miliknya membesar. Dia kemudian menumbuhkan sejumlah tentakel dari tangan bayangannya dan menusukannya ke atap hingga lantai gua lalu mengubahnya lagi menjadi pilar-pilar bayangan.

Guncangan perlahan berhenti, bebatuan yang jatuh semakin sedikit. Beberapa saat kemudian, semuanya kembali sunyi.

"Raven," rintih Giovanni. Darah mengalir deras dari luka di pelipis kirinya.

Giovanni tidak melihat Raven di manapun, hanya ada pilar-pilar bayangannya mencuat di antara bebatuan. Sementara itu, Ceanta tergeletak tak bergerak di sebelah Astria yang perlahan bangkit berdiri.

"Ada-ada saja. Aku sama sekali tidak peduli padamu," gumam Astria seraya melirik ke arah bebatuan di belakangnya.

Gadis itu berlumuran darah dari kepala hingga kakinya. Dia menderita luka cukup parah di dahi dan lengan sebelah kanan. Astria juga merasa nyeri di rusuk kiri atasnya.

Gadis itu lalu melihat ke arah Giovanni. Astria memerhatikannya sebentar sebelum mendekat. Dia lantas membopong Giovanni meninggalkan Ceanta dan Raven yang terjebak di bawah bebatuan.

"Bagaimana dengan Ceanta? Ughh ... dan Raven. Kita perlu menyelamatkan mereka dulu," ucap Giovanni.

"Kita tidak bisa melakukannya sendiri, kita harus menemui ketua partymu lebih dulu." Astria mengernyitkan dahi. "Itu pun ... kalau kita bisa menemukan mereka dan bertahan hidup."

"Tapi, Ceanta ...."

Astria menggelengkan kepalanya pada Giovanni. Seketika, dada anak itu terasa sesak, kedua matanya berair.

"Tidak, tidak mungkin dia ...."

Giovanni menggigit bibirnya sendiri, dia tak mengeluarkan suara apapun tetapi air matanya berderaian. Astria sama sekali tak mempedulikan duka yang Giovanni rasakan. Sebab, sekarang adalah kesempatan dalam kesempitan baginya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top