42. Maju Kena Mundur Kena
"Ini adalah sesuatu yang menggetarkan jiwaku." ~ Cereztia.
¤¤¤
Kaki Giovanni terangkat saat tali yang menjerat kakinya menarik Giovanni ke langit gua. Dia menutup mulut tepat ketika terangkat, mencoba menahan muntah yang hampir saja keluar.
"Giovanni!" Ceanta memekik. Berbeda reaksi dengan si gadis succubus, Raven dan Astria langsung memasang kuda-kuda bertarung dengan Astria yang secara spontan berbalik badan mengawasi sisi belakang mereka bertiga.
"Tenanglah! Aku akan mencari cara menurunkanmu, Giovanni-re!" seru Ceanta.
"Tidak ... jangan cemaskan aku ... perhatikan ke sekelilingmu," balas Giovanni dengan nada lemas.
"Abaikan Giovanni untuk sekarang, kita punya masalah kita sendiri di sini."
Tiba-tiba menimpali, Raven membuat Ceanta dengan berat hati mengalihkan perhatiannya dari Giovanni. Dia kemudian merogoh tas selempang yang dibawanya dan mengambil beberapa bola kertas sigil.
"Apa yang kau deteksi di depan kita, Raven-re?"
"Ini bukan waktu yang baik untuk menanyakan itu!"
Ketus balasan Raven, Ceanta dibuat memasang muka murung sebab merasa sedikit tersinggung olehnya. Namun, sehentak suara logam berbenturan membuatnya kaget dan secepat kilat menoleh ke belakang.
Ceanta saksikan percikan api berhamburan dari depan Astria, memberi penerangan paling minim dalam gelapnya lorong gua. Sesaat kemudian, Ceanta kembali berbalik badan ketika mendengar Raven menggeram sebab menahan terjangan sesosok makhluk berukuran besar.
"Monster!" teriak Raven.
"Mereka ada di mana-mana!" timpal Astria.
Desis dan suara langkah kaki berdatangan menggema semakin dekat ke arah mereka bertiga.
Astria berusaha keras menahan terkaman serta tebasan dari monster-monster di hadapannya dalam pencahayaan minim, situasi yang kurang menguntungkan ini membuatnya mengayunkan pedang secara membabi buta. Akibatnya, sebanding dengan serangan yang berhasil didaratkan, Astria pun menderita banyak luka di tubuhnya.
"Mereka terus berdatangan, aku tidak bisa merapal mantra!" jerit Astria semakin terdesak.
"Kau berharap aku menolongmu? Maaf, aku terlalu sibuk dengan monster apapun yang berusaha menggepengkan kita ini!" balas Raven, sama-sama kuwalahan.
Ceanta berpikir kalau sigil-sigil dalam genggamannya tidak akan berarti apapun jika dia gunakan karena keadaan yang gelap. Malah, sigil ledakan itu akan berbuah malapetaka jika dia gunakan sekarang. Namun, bukan berarti Ceanta tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Mono Sigil Medica: Revitalista!"
Mengarahkan kedua tangannya ke Astria, Ceanta menembakkan sinar hijau pada gadis itu. Untuk beberapa saat, tubuh Astria berbinar dan menerangi sekelilingnya.
"Sihir penyembuhan ini ...."
Bukannya memanfaatkan kesempatan untuk melakukan serangan terarah pada monster-monster yang menyerangnya, Astria justru tertegun melihat sihir Ceanta. Teledor, seekor monster melihat kewaspadaan Astria menurun dan segera mengayunkan sabit di tungkainya ke leher Astria Akan tetapi, sebelum serangan tersebut sampai, kubah mana muncul menyelubungi Astria dan membuat sang monster terpental.
"Apa yang kau lakukan? Jangan melamun!"
"Ah! Maaf!"
Tersentak oleh teriakan Ceanta, fokus Astria pulih dalam sekejap, dan tanpa pikir panjang lagi dia merapalkan sebuah mantra ke pedangnya.
Bilah pedang Astria pun menyala merah, kobaran api muncul dari pangkalnya dan dengan cepat merambat naik. Menyadari apa yang dirinya akan lakukan, Ceanta langsung melenyapkan kubah pelindung miliknya di sekitar Astria.
Monster-monster yang melihat sang gadis ksatria kehilangan perlindungan, bereaksi cepat dengan menyerbu secara serempak. Namun, Astria langsung menyambut mereka dengan satu tebasan kencang. Sekuat tenaga Astria mengayunkan pedangnya dan melepaskan gelombang api horizontal yang memotong semua monster di hadapannya.
Monster-monster itu meraung keras dalam lahapan api yang membakar mereka, sebelum sesaat kemudian berjatuhan dalam kondisi tubuh gosong. Tak satu pun mampu bertahan hidup dari tebasan api Astria.
"Hampir saja," bisik Astria menghela nafas. Kemudian, dia mendongak dan melakukan tebasan apinya ke tali yang menjerat Giovanni. Tetapi, kali ini, dia melakukannya dengan intensitas api kecil. Giovanni pun jatuh cukup keras ke lantai gua. Beruntung, dia tak menderita cedera apapun dan dapat kembali berdiri lantas memungut busurnya yang terjatuh.
"Maaf, aku tidak menduga ada jebakan."
Ucapan Giovanni tak mendapat respon apapun dari Astria, gadis itu langsung mendekati Raven. Ceanta bersikap lebih ramah dengan memperingatkan Giovanni untuk lebih berhati-hati. Namun, dia sadar kalau tidak ada waktu untuk basa-basi dan segera mengikuti Astria, membiarkan Ceanta yang menggerutu mengekorinya.
Menyadari kedatangan mereka bertiga, Raven menyambut dengan wajah cemberut.
"Apa yang kalian lakukan di belakang sana? Kenapa lama sekali?"
"Setelah kau bersikap kasar padaku, begini reaksimu saat aku mau menolongmu?" Dengan berat hati Astria bersiap melakukan tebasan apinya.
"Hei, masalahku lebih besar di sini!"
Kedua sudut bibir Astria saling tarik satu sama lain, menciptakan seukir senyum sinis di wajah gadis manis bergaris rahang tegas itu.
"Setelah ini, aku akan membuatmu menyesal telah merendahkanku," ujar Astria.
Raven merasa telinganya gatal dengan perkataan Astria tersebut. Sumpah seseorang untuk membalas dendam terlalu akrab bagi Raven sampai-sampai itu mengganggunya.
"Bisakah kalian berhenti bertengkar? Kita habisi dulu monster ini, baru setelah itu kalian bisa berkelahi."
"Kau mulai berani bicara, ya?" Alih-alih marah, Raven justru tersenyum kecil.
Menarik tali busurnya, Giovanni memunculkan sebuah anak panah. Dia meningkatkan intensitas mana yang mengalir ke busurnya dan membuat anak panah tersebut membesar. Cahaya yang berbinar dari anak panah itu bertambah terang, seiring dengan munculnya lapisan miasma mana tipis di sekitarnya.
"Jangan terlalu besar memasukkan energi dalam serangan kalian. Monster ini berada cukup dekat dengan kita, sekitar 5 meter. Daripada menyerang menggunakan satu serangan berkekuatan penuh, aku mau kalian menyerang dengan serangan lemah tapi secara terus menerus. Paham?"
"Ya, kami paham itu!" sahut Giovanni.
"Bisakah kau diam, aku tahu apa yang harus dilakukan," gerutu Astria.
"Bagus. Kalau begitu, serang dia sekarang!"
Giovanni melepaskan tali busurnya, anak panahnya melesat dalam kecepatan tinggi dan meledak saat mengenai monster yang Raven tahan. Pijaran cahaya yang muncul ketika ledakan terjadi mengungkap wujud monster itu untuk sesaat pada Giovanni dan kelompoknya—seekor kumbang, dengan taring di rahangnya yang tajam dan duri di sekujur tubuhnya, berbeda dengan kawanan monster semut yang dihadapi Astria dan Ceanta.
Menyusul serangan Giovanni, Astria juga melakukan tebasannya dan membakar monster kumbang itu. Kemudian, dia mengulanginya lagi. Giovanni pun menembakkan anak panahnya berkali-kali tanpa henti.
Raungan monster kumbang itu bergema ke seluruh penjuru lorong gua. Rubanah yang gelap dan sepi seketika berubah mencekam. Getaran dari serangan Astria dan Giovanni yang bertubi-tubi, serta residu mana mereka yang lepas ke udara pun mengirim pesan akan keberadaan manusia lain kepada beberapa pengunjung yang baru saja memasuki rubanah.
"Saudari Salire, kau mendengar itu kan?" Seorang biarawati menyeru.
"Ya, tetapi itu bisa jadi menunjukkan kita ke arah di mana para pencuri itu berada," ujar Salire, lalu melanjutkan. "Mereka pasti kesulitan menghadapi monster-monster yang ada. Kita akan segera menyusul dan mengalahkan mereka. Jadi, bersiaplah!"
Semua biarawati anggota kelompok Salire mengangguk. Mereka percaya diri kalau mereka dapat merebut kembali sigil biara yang dicuri. Namun, di balik ekspresi tenang dan yakin itu, terdapat rasa cemas yang dikubur dalam-dalam. Salire dan cleric lain dalam kelompoknya pandai menyembunyikan perasaan cemas itu, terkecuali Millia.
"S-saudari, a-aku takut. Apa kita akan baik-baik saja?"
Salire menoleh pada Millia. Biarawati berkacamata itu tidak bisa menahan diri untuk menghela nafas melihat saudari penakutnya tersebut gemetaran.
"Lihat, Saudariku. Tugasmu hanya untuk menyembuhkan kami jika ada yang terluka. Kau tidak perlu bertarung, jadi tenang saja. Kami tidak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu, karena tanpamu, kami akan mati," timpal Salire sambil tersenyum.
"ltu tidak membuatku merasa lebih tenang."
Salire hanya terkekeh menanggapi balasan spontan Millia yang tentu saja tak mendapat reaksi positif dari sang junior.
"Hei, aku menyemangatimu, lho? Ini caraku agar kau lebih percaya diri dan mengurangi keteganganmu. Masa kau tidak termakan ucapan penyemangatku?"
"Aku tidak suka itu. Aku lebih senang kalau kau mengalihkan ketakutanku ke hal lain, seperti isu politik atau konflik antara biara kita dan pemerintah Mugworth!"
Salire langsung menaikkan kedua alis, Millia membuatnya mengerutkan dahi dan memegang dagu sambil menatap ke bawah.
Tidak bisa dipungkiri, kalau hubungan antara biara Aphracia Mugworth tidak baik dengan pemerintahnya. Isu yang tersebar adalah karena sebagian besar pemangku jabatan di Mugworth adalah penganut ajaran unifae dan semua orang tahu mereka tidak pernah akur dengan penganut aliran aphracia.
Pemerintah dan biara unifae Mugworth tidak suka dengan pengaruh biara aphracia di kota mereka yang mulai mendapatkan lebih banyak penganut.
"Saudariku, kau mungkin benar. Api konspirasi selalu menyala di mana-mana untuk menjatuhkan Aphracia. Itu dapat kupahami, tapi ... itu bukan hal tepat untuk mengalihkan ketakutanmu dari monster. Kau malah akan lengah jika memikirkannya, dan dengan begitu monster akan lebih mudah memakanmu!"
"Hentikan, hentikan, hentikan! Berhentilah menakutiku dengan menyebut monster!"
"Eh? Aku tidak bermaksud menakutimu, lho? Kenapa kau pikir aku mau membuat moral anggota timku turun?"
Millia tak sadar membungkuk sedikit, tatapan kesalnya menguarkan atmosfer menyedihkan yang dianggap Salire sebagai sebuah bentuk kelalaian seorang cleric ketika bertugas. Namun, dirinya tak bisa berbuat apa-apa soal sikap Millia tersebut, bahkan setelah ratusan kali teguran dan hukuman sejak pertama kali juniornya itu bergabung dengannya. Karena itu, Salire selalu heran terhadap keputusan katedral pusat meluluskan Millia sebagai cleric, terlepas kemampuan sihir medisnya yang memang melampaui semua rekan seangkatannya di biara.
Bahkan, sebenarnya, dengan resiliensinya yang rendah terhadap tekanan dan bahaya di tengah pertempuran, Millia seharusnya tidak memenuhi syarat untuk dilatih sebagai cleric.
Sementara ketua kelompoknya meledek anggota termuda mereka, anggota kelompok Salire yang lain berpencar memeriksa sekitaran mulut gua. Mereka juga memasang sigil pelindung di lorong masuk utama untuk berjaga-jaga jika ada monster menerjang keluar, meski umumnya monster mulai muncul pada jarak minimal 1 kilometer dari pintu masuk rubanah.
Setelah berkeliling selama 15 menit, cleric-cleric itu tidak menemukan bahaya apapun dan memastikan kalau area pintu masuk rubanah aman. Namun, ketika mereka memutuskan kembali berkumpul, seseorang berteriak lantang menggetarkan gua.
"Jadi, ternyata inilah yang menyangkut di tenggorokanku!"
Salire dan saudari-saudarinya dibuat tersentak oleh suara itu. Serentak mereka menoleh ke arah suara berasal dan mendapati seorang pria menggenggam dua bilah pedang besar di tangannya. Dia memandang para cleric itu dengan tatapan buas, matanya berbinar merah, bak harimau yang sedang kelaparan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top