41. Sesuatu Di Dalam Kegelapan
"Dapatkah kita mendahului takdir?" ~ Ethan
¤¤¤
Dengan Alvia di pundaknya, Furash memasuki rubanah Mugworth. Dia telah menutup mulut gadis itu menggunakan kain sehingga Alvia hanya mampu menggeram dan memberontak meminta Furash melepaskannya. Sudah jelas, bahwa usaha Alvia sia-sia.
Di dalam rubanah, lingkungannya adalah gua panjang berliku yang memiliki banyak percabangan di sepanjang lorongnya. Keadaan lembab, diameter lorong yang tidak luas, bebatuan terjal dan dinding kasar adalah salah satu alasan mengapa rubanah Mugworth cukup sulit ditaklukkan. Tempat yang buruk bagi penderita phobia ruang sempit.
Monster-monster bertipe antropoda acap kali menyergap pemburu yang sedang melakukan conquering dari balik celah bebatuan dan dengan begitu banyak area untuk ditelusuri, rubanah Mugworth dapat membuat para pemburu menyerah sebelum menaklukkan dungeon master atau tewas di tengah jalan. Namun, sampai saat ini Furash menelusuri lorong rubanah Mugworth, tak satu pun monster muncul menyerangnya.
Perjalanan yang damai membuat Alvia merasa bingung sekaligus cemas. Firasatnya buruk.
Sementara itu, jauh di pintu masuk rubanah, Giovanni beserta anggota party yang lain ditambah Astria telah datang.
Giovanni langsung merasakan kekhawatiran begitu berada di dalam rubanah. Suasana yang gelap, keadaan yang lembab, dan dengung angin yang berhembus entah dari mana membuat kesan seolah ada sesuatu tengah mengawasinya.
"Bagus, sekarang di mana pria tua itu dan Alvia?" Raven berujar ketus.
"Mungkin mereka mendahului kita." Ceanta mendekati pemuda itu.
"Oh, ya, kau mungkin benar. Tidak biasanya mereka bergegas seperti ini, ada apa? Aneh."
Raven merasakan ada hal yang tidak beres sama seperti Giovanni.
"Hmm, bisa saja kita yang datang lebih dulu," celetuk Astria.
"Tidak mungkin, mereka berdua berangkat lebih awal. Seharusnya mereka sudah sampai," sangkal Raven.
"Apa mereka tidak bilang mau menunggu? Aku pikir pemburu yang berani masuk ke sini tidak akan seceroboh itu dengan meninggalkan anggota partynya."
"Kalau kau berpikir Tuan Furash akan melakukan itu maka kau salah besar. Dia tidak akan berpikir untuk menerobos masuk ke dalam sana hanya bersama Alvia. Tuan Furash pasti tahu kalau rubanah ini dipenuhi oleh monster laba-laba dan semut yang dapat muncul dari mana saja."
Raven melangkah lebih jauh ke dalam gua. Beberapa meter kemudian dia berjongkok dan meletakkan satu tangan di atas tanah.
"Mereka membutuhkanku untuk mendeteksi monster-monster yang bersembunyi. Itu rencana biasanya."
"Oh, bagaimana jika mereka ingin memulai penaklukan ini dengan hal baru? Jujur, aku tidak masalah kalau mereka mendahului kita. Kita tak perlu bersusah payah melawan monster."
"Tidak, ada yang aneh. Kau sama sekali tidak menyadarinya."
Astria mengernyitkan dahi. Ekspresi Raven yang berubah cemas menyebabkan gadis itu bertanya-tanya.
"Apa yang kau bicarakan?"
Giovanni tiba-tiba menimpalinya, "Astria, keadaan rubanah ini ... sangat mencekam. Tapi, aku merasa kalau bahaya yang mengintai kita bukan dari monster-monster di sini, melainkan sesuatu yang lain ...."
"Aku tidak mengerti, bukankah suasana seperti ini sudah biasa di dalam rubanah?"
"Tidak, ini hal yang tidak biasa. Memangnya, apa kau belum pernah masuk ke rubanah sebelumnya?" Raven menampik.
Astria bergeleng kepala. Pengakuannya itu direspon Raven dengan seringaian kecil yang mana sangat tidak disukai oleh Astria.
"Biar kutunjukkan padamu kekuatanku, agar kau menyadari kejanggalan di sini."
Siapapun yang mendengar nada bicara Raven, dia akan merasa bahwa pemuda itu tengah membual. Astria tidak berbeda. Setelah merasa diremehkan atas ketidaktahuannya dengan suasana rubanah, dia hanya berharap kalau upaya Raven untuk menyombongkan diri gagal dengan menyedihkan.
Namun, hanya dengan mengharapkan kegagalan Raven saja, telah membuat Astria memastikan diri untuk merasa lebih jengkel lagi kepadanya.
"Shadow Manipulate: Sense Of Dark."
"Sihir bayangan?" Astria terkejut.
Raven membagi sensor indra perabanya dengan kegelapan yang berada di sekitarnya. Otomatis, dia mampu merasakan apapun yang ada dalam jangkauan mantranya.
"Shadow Manipulate: Sense Distribute."
Astria tiba-tiba merasa tubuhnya ada di mana-mana, seolah kulitnya merentang ke seluruh penjuru gua. Seketika saja, rangsangan dari berbagai macam hal yang dirasakannya melampaui kemampuan otak Astria untuk menerima segala macam informasi secara bersamaan. Gadis itu menjerit kala kepalanya terasa sakit.
"Apa yang kau lakukan?!" Astria jatuh tersungkur.
"Aku membagi indra perabaku dengan kegelapan di sekitar kita, lalu aku mendistribusikan semua yang kurasakan hanya kepadamu melalui bayangan kita," jawab Raven menyeringai.
"H–hentikan! Argh! Kau membuat kepalaku sakit! Tolong, hentikan!"
"Kenapa? Padahal aku membantumu memahami situasi yang ada."
"Cukup, ini sudah cukup! Hentikan, kumohon!" pinta Astria tak berdaya.
Puas bagi Raven menyaksikan gadis itu merengek kesakitan. Itu membuatnya memilih untuk membiarkan Astria tersiksa sedikit lebih lama.
Giovanni, yang terkejut dengan perlakuan kasar Raven pada Astria, langsung mendekati gadis itu dan tanpa segan meneriaki Raven agar menghentikan mantranya.
"Kau bisa membunuhnya! Hentikan sekarang, Raven! Kenapa kau melakukan ini?!"
Suara Giovanni meminta kepadanya tak lebih dari sekedar bunyi mengganggu yang membuat Raven mendecih. Namun, setelah itu dia menuruti permintaan Giovanni.
Rasa sakit yang Astria rasakan menggeliat di dalam kepalanya pun hilang, tetapi nyeri hebat masih membuatnya meringis kesakitan. Ceanta dengan cepat bertindak untuk meredakan sakit kepala gadis itu.
"Apa kau gila? Apa yang sudah kau lakukan tadi mungkin saja membunuhku!" pekik Astria, marah.
"Reaksimu berlebihan, dasar lemah."
"Apa?!" ucapan Raven membuat pitam Astria naik lebih tinggi. "Kau pikir hanya karena kau memiliki sihir langka, kau bisa berbuat seenaknya? Dengan menyiksaku, apa yang berusaha kau tunjukkan? Atau hanya itu yang bisa kau lakukan dengan sihirmu?"
Mata Raven membelalak, telinganya terbakar mendengar perkataan Astria. Semua yang barusan keluar dari mulut gadis itu begitu keras mencaci maki harga diri Raven.
"Beraninya kau menghina sihirku. Aku cuma membuatmu paham keadaan gua yang aneh ini, seharusnya kau berterima kasih kepadaku! Lalu, soal kemampuan sihirku, kau kurang ajar telah menganggap sihir bayanganku sebagai sesuatu sehina metode penyiksaan. Kalau aku mau, aku bisa mencincang tubuhmu lalu menjahitnya kembali sebelum memotongnya lagi dan lagi!"
Giovanni tercekat, dia tak menyangka kata-kata frontal itu Raven ucapkan begitu saja tanpa pikir panjang. Khawatir akan perasaan Astria, dirinya menoleh pada gadis itu. Namun, Giovanni malah mendapati Astria sedang bergumam sendiri tanpa menghiraukan perkataan Raven.
"Kau tidak apa-apa?"
Astria melirik Giovanni, lantas menengok kepadanya. "Aku baik-baik saja."
Ceanta di sebelah Astria tersenyum, meskipun gadia itu tak berterima kasih sedikitpun walau telah dirinya pulihkan.
"Aku takut Raven menyakiti perasaanmu .... ah, apa yang kupikirkan? Itu sudah jelas." Giovanni memukul dahinya beberapa kali sebelum kembali menatap Astria. "Umm, aku hanya ingin meminta maaf padamu atas nama Raven. Dia tidak biasanya sekasar ini."
"Tidak perlu minta maaf, akulah yang bodoh karena terlalu lengah."
"Begitu, rupanya. Tapi, apa kau masih ingin bergabung dengan kami? Aku bisa bicara dengan Raven untuk memperlakukanmu lebih baik, tapi kalau kau ingin pergi itu tidak apa-apa."
Penghinaan Raven telah melukai harga diri Astria, dipersilahkan untuk pergi begitu saja oleh Giovanni malah membuatnya merasa lebih direndahkan. Lagipula, Astria masih memiliki tugas yang harus diselesaikan. Dia sudah sangat dekat dengan Alvia, mundur bukan pilihan.
"Giovanni, terima kasih, aku benar-benar tersanjung kau sangat peduli padaku. Tapi, kalau kau berpikir aku akan berpaling keluar, maka kau telah salah menilaiku," ujar Astria.
"Ah, aku tidak bermaksud untuk—"
"Hei, tidak apa-apa. Berhentilah bersikap seperti itu." Astria menarik keluar pedangnya. "Kau tidak melakukan kesalahan apapun, jadi berhentilah memohon maaf. Aku akan memaksa Raven mengatakannya sendiri."
Melangkah melewati Giovanni, gadis bermata hijau itu menyusul Raven yang telah terlebih dahulu memasuki gua lebih dalam.
Menyaksikan bagaimana Astria bangkit membangunkan semangat di dalam benak Giovanni, sebuah hal positif di tengah kecemasan yang disebabkan oleh keadaan aneh rubanah.
Ceanta mendekati Giovanni, lalu pelan-pelan menyentuh bahunya.
"Kita juga harus segera mengikuti mereka."
Sebuah anggukan dan senyum optimis menjadi balasan Giovanni atas perkataan Ceanta. Keduanya pun bergegas menyusul dua rekan mereka yang telah berada jauh di depan.
Menit demi menit berlalu. Jam pun berganti. Perjalanan keempat anak muda itu terasa sepi. Sama sekali tak ada perbincangan, sebab mereka terlalu berwaspada. Fokus keempatnya dihabiskan pada ancaman dan bahaya yang bisa saja muncul di sebelah mereka. Namun, tak selamanya disiplin itu dapat terjaga. Keinginan untuk bicara pun menggoda. Astria adalah yang pertama jatuh pada hasutannya.
"Hei, apa kalian merasa kalau ini membosankan?"
Ceanta menjadi yang kedua tergoda untuk bicara dan membalas Astria, "Rubanah seharusnya dipenuhi oleh monster. Tapi, sejak kita masuk hingga berjalan sedalam ini tak ada seekor pun monster yang menyerang."
Raven menggeram pelan mendengar percakapan keduanya, sementara Giovanni tetap menjaga kewaspadaannya.
"Aku berani bertaruh perjalanan kita masih jauh untuk sampai di ruangan dungeon master. Ini mengecewakan," keluh Astria.
Monolog-monolog berkumandang beberapa kali dari bibir Astria usai keluhan pertamanya, Ceanta sesekali ikut menimpali. Akibat ocehan mereka, Giovanni merasa ketegangan yang ada sedikit menurun. Namun, tidak demikian dengan apa yang Raven rasakan. Pemuda itu justru terganggu dan kesal pada Astria serta Ceanta sebab mereka mengusik fokusnya untuk terus mengaktifkan mantra Sense Of Dark.
Raven butuh konsentrasi tinggi untuk mempertahankan mantra tersebut, belum lagi melakukannya dalam waktu yang cukup lama. Ini menghabiskan banyak mana dan memberikan beban berat bagi tubuhnya. Karena ini pula Raven enggan menghabiskan lebih banyak tenaga untuk mengomel. Dia tak mau memelototi dua gadia banyak omong di belakangnya dan pingsan sekejap setelah itu juga.
Namun, yang ironis adalah, Raven terbelalak ketika dia mendeteksi sesuatu berada di depannya.
"Giovanni, tembakkan anak panahmu, terangi lorongnya!"
Tanpa pikir panjang, Giovanni mematuhi perintah Raven. Anak panahnya yang bercahaya pun melesat menyusuri lorong gelap di depan mereka. Lalu, tiba-tiba saja dari belakang menyusul bola api yang memberikan penerangan lebih baik dari anak panah Giovanni.
Berkat kombinasi penerangan anak panah Giovanni dan bola api Astria, kegelapan yang menyelimuti lorong gua untuk beberapa saat sirna. Dalam momen singkat itu, Giovanni, Astria dan Ceanta dibuat mengecilkan pupil. Perut ketiganya ombang-ambing tak karuan kala mereka menyaksikan mayat-mayat monster bertumpuk menutup separuh lorong gua.
Terkejut bukan main, keinginan Giovanni untuk muntah tiba-tiba jadi kenyataan saat merasa kakinya terjerat oleh sesuatu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top