34. Sampah Yang Menghalangi Jalan
"Penggembala buta hanya dapat mendengar embikan domba-dombanya yang sedang dimangsa oleh serigala." ~ Raja Reiss.
¤¤¤
Antonio bicara sepanjang jalan tentang masa lalunya pada ketiga anak itu. Dia mengatakan begitu banyak pengalamannya sebagai saudagar keliling yang diawalinya sejak berumur 8 tahun mengikuti jejak sang ayah.
Dimulai dari Kerajaan Kozia, Antonio berkelana melalui rute pesisir mengelilingi Upper Land. Setelah 10 tahun, barulah dia berkelana ke benua lainnya yaitu Eastern Land. Dia menghabiskan waktu 10 tahun lagi sebelum kembali ke Upper Land dan setelah beristirahat untuk melakukan pernikahan, dia pergi berkelana lagi ke Western Land. Sekarang, pria tua itu kembali ke Upper Land dan memutuskan satu dekade terakhir untuk fokus berdagang di Kozia dan sekitarnya saja.
"Kalau begitu apa Kakek pernah melewati sebuah desa yang bernama Roveena?" Giovanni tanpa pikir panjang bertanya setelah Antonio memberitahunya kalau dia pernah mengunjungi banyak tempat di Kozia.
"Desa Roveena? Hmm, biar kuingat sebentar ... uhh kurasa aku pernah datang ke desa itu beberapa puluh tahun yang lalu." Antonio menengadahkan kepala, satu tangannya menggaruk dagu.
"Sungguh?" Wajah Giovanni berseri-seri. "Aku berasal dari sana, Kek!"
"Oh, ya?" Kedua alis Antonioa terangkat. "Roveena ada sangat jauh dari sini. Kupikir desa itu sudah hancur karena perang 35 tahun yang lalu."
"Tidak, Kek. Desa Roveena masih ada. Mungkin peperangan tidak sampai ke sana karena letaknya yang terpencil."
Antonio sedikit mengernyit mendengar pernyataan Giovanni, tetapi dia akhirnya berpikir kalau apa yang Giovanni katakan mungkin benar karena Desa Roveena sendiri memang berada di wilayah terisolir dekat hutan belantara.
Mereka berdua lalu berbincang-bincang tentang Desa Roveena selama beberapa saat. Sementara itu, Raven tampak diam dan sedikit gusar di saat keduanya membicarakan desa tersebut.
"Ada apa, Raven-re?" tanya Ceanta yang menyadari kegusaran Raven.
"Bukan apa-apa." Raven memalingkan wajah, tak ingin Ceanta membaca mimik mukanya lebih jauh.
Tanpa keempatnya sadari, karena terlalu asyik berbincang, mereka hampir sampai di tempat yang Antonio tuju yaitu alun-alun Kota Mugworth.
Antonio menyebut kalau dia menyukai tempat nyaman dan indah untuk memulai transaksi dan alun-alun Mugworth adalah tempat yang cocok untuk itu.
Alun-alun Kota Mugworth berbentuk persegi dengan setiap sudut yang ditanami oleh pohon apel hijau. Di tengah alun-alun dibangun air mancur yang bersebelahan dengan patung Dewi Cereztia. Empat jalur paving dibangun dari empat sisi alun-alun yang semuanya menuju ke air mancur tersebut.
Giovanni sudah merasa terkesima bahkan sebelum menginjakkan kaki ke alun-alun Kota Mugworth. Jadi, dia meminta rombongan untuk mempercepat langkah mereka. Tetapi, tiba-tiba dari sebuah gang di depan mereka, muncul seseorang berkapal plontos yang bersepatu boots tinggi. Pria itu langsung menghadang rombongan Giovanni.
"Apa yang kau inginkan? Cepat menyingkir, kami tidak punya urusan denganmu!" balas Raven ketus.
Si pria berboots mendesis menanggapi sikap Raven. "Ayayayay, dasar bocah tidak sopan. Tidakkah kau lihat siapa aku? Apa kalian tidak mengenaliku?"
Pria itu membusungkan dada, menunjukkan sebuah pin yang tersemat di dada kirinya. Pada pin itu tertulis sebuah kata yaitu "Keep". Antonio segera mengenali identitas si pria dari tulisan pada pinnya tersebut.
"Ah, maaf-maaf, Tuan Pemilik Lahan. Maafkan kami semua karena tidak mengenalimu," ujar Antonio.
Pria itu mendecih, "Apa-apaan?! Siapa yang tidak mengenaliku di kota ini? Akulah pemilik lahan alun-alun sekaligus penjaganya. Siapapun yang mau masuk harus membayar padaku terlebih dulu!"
Giovanni mengernyitkan dahi. Dia berbisik pada Raven kalau pria itu jelas merupakan seorang tukang palak.
"Tuan Furash bilang kalau Mugworth memang dipenuhi oleh tukang palak, apalagi di area wisatanya," balas Raven pelan.
"Dia pasti sedang mabuk," timpal Giovanni melihat mata pria itu yang sedikit merah.
Antonio tentu tahu hal tersebut, namun dirinya tidak mau terlibat masalah dengan si tukang palak. Di saat yang sama dia pun tak mau dipalak begitu saja untuk sekedar masuk ke alun-alun.
"Kalian semua diam saja di sini," kata Raven pada Giovanni dan yang lain.
Pemuda itu berjalan mendekati si tukang palak. Kemudian, tanpa peduli pada tatapan pria botak itu yang memandangnya rendah, Raven menarik kerah baju pria itu turun. Si tukang palak pun terbelalak kaget.
"Kau pikir aku takut pada gertakanmu? Aku bisa membuatmu babak belur jika kau tidak pergi," ancam Raven dengan nada pelan.
"A–apa kau bilang?! Beraninya kau, bocah!"
Si tukang palak melepaskan cengkraman Raven. Dia lalu mengambil sebilah pisau dan mengayunkannya pada pemuda itu. Raven memiringkan tubuh untuk menghindar kemudian membalas serangannya dengan menendang ke wajah si tukang palak.
Pria itu terpental ke arah Ceanta dan Giovanni. Dia memegangi wajahnya yang memerah terkena tulang kering Raven.
"Apa mau kubuat kau pingsan?" Raven mendekat dengan aura intimidasi yang kuat.
Mental si tukang palak jatuh, tapi dirinya tak mau melepas mangsanya begitu saja. Si tukang palak kemudian bangun, lalu membekap mulut Ceanta dan mengancamnya dengan pisau.
"Mendekatlah jika kalian ingin gadis ini mati! Kalau kalian mau dia selamat, maka berikan uang kalian padaku!"
Raven menghela nafas. Dia menarik pedang yang selalu dia bawa ke manapun dan mulai merapalkan mantra.
"Hei, hei! Apa yang kau lakukan? Apa kau tidak lihat situasi kalian? Bergerak seinci saja dan aku akan mengiris lebar tenggorokan gadis ini!" ucap si tukang palak.
Giovanni menggeram, "Jangan apa-apakan Ceanta!"
"Kalau kau tak mau dia mati, maka beri aku uang!" sahut si tukang palak sesegera mungkin.
Pisaunya menempel erat ke leher Ceanta, gadis itu bisa merasakan dingin logam pipih tersebut mengancam nyawanya.
Melihat itu, Giovanni dan Antonio sepakat untuk memberi si tukang palak uang. Namun, Raven menolak keras keputusan mereka. Hal inipun mengakibatkan si tukang palak kesal. Di saat bersamaan, Ceanta mengalirkan Mana ke bagian leher dan perlahan memperkeras kulitnya.
'Semoga ini berhasil!'
Sesudah itu Ceanta tiba-tiba memukul selangkangan pria itu sekuat tenaganya.
"Akh! Bocah keparat!"
Si tukang palak secara reflek menarik pisaunya, Giovanni mendelik melihat itu. Dirinya sempat heran karena tak ada darah keluar dari leher Ceanta. Namun, Giovanni tidak berdiam diri begitu lama dan menyadari apa yang telah Ceanta lakukan. Memanfaatkan situasi, Giovanni pun mengumpulkan Mana di tangannya. Kemudian, dia berlari ke arah si tukang palak dan memukulnya sekuat tenaga.
Awalnya, pukulan Giovanni tidak memberi efek apapun. Tetapi, sesaat kemudian, si tukang palak terhempas ke tanah dan melepaskan Ceanta.
"Kau tidak apa-apa?" Giovanni memeriksa keadaan Ceanta.
"Aku baik-baik saja. Beruntung aku melapisi leherku dengan Mana."
Hati Giovanni terasa lega mendengar itu.
Si tukang palak perlahan berdiri dengan tubuh gemetar. Dia tidak menyangka kalau pukulan Giovanni akan sekuat itu. Namun, dia lebih tidak menyangka lagi kalau pisaunya tak mampu mengiris leher Ceanta.
"Sialan, aku seharusnya juga melapisi pisauku dulu dengan Mana," gumam pria itu.
Dia merasa terhina oleh Giovanni, wajahnya sampai memerah karena menahan amarah. Tapi sesaat kemudian, dirinya tersenyum.
"Hmph, tidak kusangka bocah-bocah seperti kalian cukup kuat. Tapi, bersiaplah karena aku baru saja se—"
Sebuah batu tiba-tiba menghantam wajah si tukang palak. Kepalanya terdorong beberapa centi ke belakang sementara batu itu hancur. Dia jatuh dengan luka di kepala dan seketika kehilangan kesadaran.
"Tuan Mamphis, sebaiknya kita pergi sekarang," ujar Raven seraya menyimpan kembali pedangnya.
"A–ah, iya, tentu saja. Aku sedang menunggu kalian selesai dengan orang itu," balas Antonio. Dia merasa kikuk sekarang sehabis menyaksikan drama yang barusan terjadi.
Mereka berempat lalu meninggalkan si tukang palak yang pingsan begitu saja. Orang-orang di sekitar yang menyaksikan kejadian itu juga mengabaikannya dan melanjutkan perjalanan mereka. Sebuah akhir mengenaskan seorang tukang palak.
***
Beberapa waktu ini, gilda Mugworth sering mendapat masalah. Dari komplain masyarakat hingga ke permasalahan internal yang benar-benar secara harfiah terjadi di dalam gedung gilda. Semuanya menerpa secara bersamaan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir.
Anehnya, itu tidak disebabkan oleh kinerja pegawai gilda yang buruk ataupun krisis keuangan. Melainkan, karena kelakuan pemburu monster yang singgah di gilda Mugworth sendiri.
Selama ini, Shaon selaku pimpinan gilda telah mengurus gilda Mugworth dengan baik. Pemasukan dan pengeluaran gilda seimbang, gaji karyawan lancar, biaya kompensasi misi tidak pernah diprotes para pemburu karena pengurus gilda selalu menerima informasi tentang kenaikan maupun penurunan nilai tukar inti Mana monster, dan pastinya pelayanan gilda terhadap masyarakat atas permintaan pemberantasan monster mereka adalah yang terbaik di masa kepemimpinan Shaon.
Hanya satu kekurangan masa kepemimpinan Shaon–yang kiranya bukan jadi masalah baginya saja melainkan semua pimpinan gilda sebelumnya–yaitu perilaku para pemburu monster di wilayah sekitar Mugworth. Namun, itu tidak menjadi masalah serius hingga 6 bulan yang lalu saat jumlah kunjungan pemburu ke Mugworth meningkat.
Saat ini, pria berambut klimis itu tengah berada di ruangannya ditemani oleh tumpukan kertas yang menggunung di atas meja kerjanya.
"Tuan Shaon?" Seorang perempuan bertelinga agak runcing mengetuk pintu ruangan.
"Masuklah."
Perempuan itupun masuk ke dalam membawa sesuatu. Di tangannya, adalah beberapa lembar surat yang tersegel rapi.
"Ini laporan hasil penjualan inti Mana bulan ini, Tuan." Perempuan itu memberikan surat-surat tersebut.
Shaon membukanya satu per satu lalu membacanya dengan cepat. Meski demikian, dirinya selalu dapat mengerti isi surat sepanjang apapun isi surat tersebut.
"Kerja bagus. Dengan ini hubungan kemitraan kita bersama kongsi-kongsi dagang itu semakin erat. Inti Mana dari wilayah Mugworth memang tidak pernah mengecewakan."
"Itu benar, Tuan. Oh, ya, ada satu surat lagi dari mitra dagang kita, yaitu Rumah Tempa Kars Agung." Perempuan berkuping agak runcing itu memberi Shaon sepucuk surat lagi.
"Rumah Tempa Kars Agung? Keluarga produsen peralatan magis itu, ya?"
Shaon menerima surat tersebut. Dia mengangkat kedua alis kala membaca isinya sekaligus tersenyum lebar.
"Mereka berniat menghadiahi kita beberapa paket peralatan magis kelas menengah? Itu seperti berkah."
"Aku juga senang mengetahuinya, Tuan." Si perempuan bertelinga agak runcing tersenyum.
Di tengah berita bahagia itu, tiba-tiba saja pintu ruangan tertutup dengan keras. Shaon dan si perempuan bertelinga agak runcing kaget karena itu. Jendela-jendela yang ada di ruangan Shaon pun tiba-tiba saja terselimuti oleh kain hitam.
Ketika sedang kebingungan dengan apa yang terjadi, Shaon dan karyawatinya dikejutkan oleh suara hantaman keras dari atas atap gilda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top