31. Mengusik Dia Yang Terlelap

"Aku diajari oleh kebodohan, dibesarkan oleh kebutaan dan dewasa menjadi kegagalan." ~ Kai Anno Haertzer.

¤¤¤

"Jadi, ini lawanku, seorang bocah? Apa yang mereka pikirkan?"

Si pria bongsor berambut bingung terhadap keputusan pihak lawannya memilih Giovanni. Tapi, dirinya enggan memusingkan hal ini lebih lama.

"Hmph, tidak masalah. Karena aku ... Rozaim, akan bertarung dengan siapapun yang menjadi lawanku!"

Pria bernama Rozaim itu meraung kencang diikuti oleh sorakan para pemburu di sekitarnya. Mereka semua terlalu mabuk sehingga tak bisa menggunakan akal pikiran dengan baik yang berakibat keberadaan Giovanni di sini.

Dalam benaknya, Giovanni merasa sangat sial. Dia tidak tahu harus bagaimana. Misalkan bertarungpun, dirinya tidak akan mampu menang bahkan memberi perlawanan.

Hanya dari menilai fisik pria itu, Giovanni tahu kalau Rozaim lebih kuat dari kebanyakan para pemburu di sana. Pria itu bisa dengan mudah melawan 10 sampai 15 orang sekaligus, apalagi Giovanni yang hanyalah seorang anak kecil.

"Ini tidak masuk akal. Bagaimana ini? Di mana Tuan Furash? Kenapa dia tidak datang setelah ada keributan sebesar ini? Apa dia tidak cemas aku pergi ke mana? Apa yang bisa kulakukan untuk melawan pria ini tanpa busurku?!"

Giovanni tidak menduga akan mengalami kejadian seperti ini saat jalan-jalan jadi dirinya tak berpikir membawa senjata apapun.

"Bersiaplah anak kecil!" Rozaim melangkah maju.

"A–apa?! Tunggu dulu!"

Rozaim mendekat dan mengayunkan tinjunya mengabaikan pekikan Giovanni. Melihat kepalan sebesar buah semangka datang kepadanya, Giovanni secara cepat mengelak dengan berguling ke kanan.

Tinju Rozaim yang hanya mengenai angin melaju lurus menghantam lantai marmer gilda. Giovanni melihat sebuah lubang besar menganga karena pukulan pria itu.

"Cepat juga kau, bocah!" Rozaim mengangkat tinjunya. "Akan kujuluki kau 'Kutu'!"

Rozaim langsung kembali melesat. Kali ini, kecepatan pukulan Rozaim meningkat lebih dari sebelumnya tapi tumpuan kaki pria itu goyah karena dia tiba-tiba merasa pusing. Itu membuat Giovanni mampu kembali menghindari serangan Rozaim meski nyaris saja terkena pukulannya.

Dalam momentum yang tercipta setelah mengelak, Giovanni melihat sisi kanan bawah Rozaim terbuka. Dia bisa membalas serangannya pada titik itu, tetapi Giovanni ragu mampu menyakiti Rozaim.

Sampai sesaat kemudian, Giovanni teringat pada pengalaman-pengalamannya selama ini. Dia seketika berpikir, kalau saat ini adalah keadaan hidup atau mati.

Giovannipun langsung membuang keraguannya dan mengepalkan tangan. Sambil mengalirkan Mana dalam jumlah banyak, dirinya lalu melesatkan tinju ke bagian liver Rozaim. Sayang, itu tampak tidak berakibat apapun padanya.

"Itu tidak terasa sedi—"

Secara tak terduga, Rozaim tiba-tiba membelalak karena merasakan nyeri di area tubuhnya yang Giovanni pukul. Rasa sakitnya memang tak seberapa, namun rasa heran muncul di benak Rozaim. Oleh sebab itu diapun bertanya.

"Bagaimana kau melakukannya? Mengalirkan Mana ke bagian tubuh memang dapat memperkuat fisikmu, tapi bagaimana bisa rasa sakitnya baru terasa beberapa saat kemudian?"

Giovanni sendiri tidak mengerti kenapa dirinya bisa melakukan hal tadi.

"Aku tidak tahu! Aku hanya memukul, itu saja!" seru Giovanni.

"Tidak tahu? Jangan membual! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku!"

Rozaim menganggap Giovanni sedang mempermainkannya.

"Apa itu sihir? Jawab aku, bocah! Jangan mengira aku akan mengampunimu hanya karena kau seorang anak kecil!"

"Tapi, sungguh, aku tidak tahu apapun!" Giovanni tetap bersikukuh.

Lagi-lagi amarah Rozaim terpantik setelah mendengar jawaban Giovanni. Pria bongsor itupum mengangkat kedua tangannya tinggi ke udara dan menjatuhkannya kepada Giovanni. Beruntung, gerakan Rozaim lambat sehingga Giovanni mampu sekali lagi mengelak.

Hal yang mengejutkan terjadi setelahnya. Seseorang tiba-tiba saja meloncat tinggi dari balik kerumunan ke tengah tempat Giovanni dan Rozaim berduel.

Dia berputar secara elegan di udara sebelum mendarat, lalu bersamaan dengan itu menghujamkan kakinya ke pipi Rozaim sehingga menyebabkan pria bongsor itu terkapar dalam sekali serang.

Semua orang kaget melihat Rozaim tumbang, akan tetapi mereka lebih kaget lagi ketika mengetahui siapa identitas orang yang menendangnya.

Meski dalam keadaan mabuk dan dengan kesadaran yang berkurang, mereka masih bisa mengenali siapa sosok pria berambut cepak itu. Semua pemburu terhenyap dan gentar melihatnya, kecuali Giovanni yang bingung karena tak mengenali siapa dia.

"Wah, wah. Kalian berani berpesta tanpaku, ya?" Pria itu menyeringai.

***

Berhubung Giovanni dan Furash pergi, Raven bersama Alvia melihat ini sebagai kesempatan emas untuk memulai penyelidikan mereka terhadap anting kristal Giovanni.

Sebelumnya, mereka sudah mengamati gerak-gerik Giovanni selama perjalanan. Keduanya memperhatikan kebiasaan Giovanni dari mulai menaruh barang, pakaian yang sering dipakai hingga cara makan.

Hasilnya adalah, mereka mengetahui kalau Giovanni selalu menaruh barang-barangnya secara rapi di satu tempat. Juga, keduanya mengetahui jika Giovanni senang memakai baju putih serta jas coklat usang pemberian Furash yang ukurannya jelas kebesaran. Giovanni menganggap pemberian Furash tersebut adalah hal spesial.

Bahkan sesudah peristiwa di jembatan roh hutan, Giovanni masih gemar memakai jaket dan baju putihnya itu meski sebelumnya telah ternoda banyak darah.

Tapi beberapa hari belakangan dan sekarang ini, Giovanni sudah tidak mengenakan pakaian favoritnya tersebut. Di sinilah Giovanni teledor. Sebab, dia juga biasa menyimpan anting kristal pemberian Bunda di jas coklat usang itu dan Alvia beserta Raven mengetahuinya.

Keduanya menggeledah barang-barang Giovanni untuk mencari anting kristal itu. Mereka melakukannya dengan hati-hati, menjaga agar Ceanta yang sedang tertidur nyenyak tidak terbangun karena mendengar keributan.

"Ketemu!" sahut Alvia lirih.

Dia menarik keluar jaket coklat Giovanni dari dalam sebuah bingkisan, jaket tersebut tampak masih sedikit bernodakan darah yang telah kering. Alvia segera merogoh saku jaket itu.

"Raven, ini dia antingnya."

Suara Alvia bergetar saat dia menarik keluar anting kristal Giovanni. Perasaan hatinya dan Raven memburuk begitu melihat anting itu dari jarak yang sangat dekat.

Keduanya langsung merasa was-was, perasaan cemas secara misterius menerpa. Walau terdapat tekanan berat untuk memperhatikan anting kristal itu, namun Alvia dan Raven mencoba untuk bertahan lebih lama.

"Biar aku menggenggamnya," ujar Raven.

Alvia sempat ragu untuk memberikan anting tersebut, tetapi kemudian melakukannya.

Keputusan itu terbukti membawa petaka. Beberapa saat kemudian, sebuah tiupan angin keluar dari anting kristal itu dan menghempaskan Alvia serta Raven ke pojok ruangan.

Ceanta terbangun karena mendengar suara gaduh. Dia mengernyitkan dahi melihat keadaan kamar berantakan dengan Alvia dan Raven telah berada di pojok kamar sedang meringis kesakitan.

"Apa yang terjadi?" tanya Ceanta.

Alvia segera berdiri menyadari Ceanta terbangun, begitupun dengan Raven yang langsung memegangi kepalanya karena terbentur tembok.

"T–tidak apa-apa," ujar Alvia. Dia melirik Raven dan memberi pemuda itu sebuah kode melalui kedipan mata. Kemudian, dirinya kembali bicara pada Ceanta, "Kami hanya sedikit bertengkar."

Ceanta memperhatikan Raven sejenak sebelum membalas perkataan Alvia. "Kenapa?"

"Itu bukan urusanmu. Jangan ikut campur." Alvia segera beranjak meninggalkan kamar.

Melihat sikapnya, Ceanta hanya bertambah bingung. Dia mencoba mencaritahu alasan pertengkaran mereka dengan bertanya kepada Raven namun dia pun memilih bungkam.

"Bukan masalah penting bagimu. Alvia dan aku memang sering seperti ini karena beda pendapat," ujar Raven seraya membenahi semula barang-barang Giovanni serta anggota party lain yang ikut berantakan karena terhempas angin tadi. Untuk sesaat, pemuda itu terlihat menghela nafas.

"Tapi, kalau sampai seperti tadi apa tidak apa-apa?"

"Maksudmu?" Raven menoleh kepada Ceanta.

"Kita bisa membicarakannya bersama Tuan Furash. Mungkin dia bisa memberi saran."

Mendengar perkataan Ceanta, Raven menyunggingkan senyum kecil. "Tidak perlu, nanti malam kami akan kembali akrab 'kok. Jangan bilang apapun pada Tuan Furash atau Giovanni, paham?"

Ceanta mengangguk kecil. Dari perkataan Raven, dirinya bisa menyimpulkan kalau pemuda itu tak mau urusannya dengan Alvia dicampuri orang lain.

Raven berhenti berbenah ketika dia hendak mengambil anting kristal Giovanni. Dengan kejadian barusan, dia menjadi semakin takut untuk berinteraksi dengan anting tersebut.

Itu menambah keyakinannya bahwa anting itu adalah sebuah benda terkutuk yang akan membawa petaka bagi siapapun yang berada di dekatnya.

Semua ini berdasarkan sebuah buku yang dijadikan rujukan bagi Raven dan Alvia untuk menyelidiki tentang anting kristal Giovanni. Buku tersebut bernama "Magyo" yang memuat banyak jurnal tentang artefak magis.

Pada salah satu halaman, Alvia dan Raven menemukan satu artefak yang memiliki kemiripan bentuk dengan anting kristal Giovanni. Dampak yang bisa ditimbulkan pun mirip. Ini menguatkan dugaan Raven dan Alvia kalau anting itu serta Giovanni sendiri merupakan petaka bagi kelompok mereka.

Raven berpikir untuk segera menyingkirkan anting itu, tetapi memegangnya saja sekarang dia tidak mampu. Firasatnya langsung berkata buruk, sangat buruk. Tidak ada hal positif apapun.

Cepat atau lambat, Raven merasa harus memperingatkan Furash soal bahaya yang mengintai mereka.

"Terpujilah Sang Agung, semoga berkatMu ada bersamaku," gumam Raven sebelum memberanikan diri untuk memungut anting kristal Giovanni dan menempatkannya kembali ke tempat semula.

Selepas itu, Raven keluar kamar dan menuju ke lantai bawah penginapan. Ceanta yang ditinggal sendiri memutuskan untuk kembali tidur. Okopu yang ikut terbangun karena keributan tadi tampak memperhatikan Raven pergi.

Tiba di lantai bawah, Raven mencari-cari keberadaan Alvia di sekitar penginapan. Namun, dia tak menemukan gadis itu sehingga pergi keluar.

"Di mana dia?"

Raven akhirnya menghabiskan waktu berkeliling kota untuk mencari Alvia. Selang beberapa menit, diapun menemukan keberadaan gadis itu di sebuah taman. Alvia tampak tengah berdiri di depan sebuah patung seorang perempuan bergaun merah.

Patung tersebut merupakan patung seorang dewi bernama Cereztia, salah satu dari 7 dewa-dewi yang ditugaskan Sang Agung menciptakan dunia dan adalah dewi yang diutamakan kedudukannya oleh aliran Aphracia.

"Aku mencarimu ke mana-mana. Ternyata kau ada di sini."

Alvia menoleh kepada Raven sesaat lalu kembali menghadap ke patung dewi Cereztia.

"Aku hanya sedang menenangkan diri. Anting kristal itu membuatku takut."

Raven bisa melihat tangan Alvia yang gemetar. Sejujurnya, jika dia diizinkan untuk menyentuh gadis itu maka Raven akan memegangi tangannya. Alvia sudah seperti menjadi adiknya sendiri.

"Anting itu, lalu legenda yang Tuan Furash ceritakan pada kita, aku rasa adalah sebuah kenyataan," ucap Alvia.

"Aku juga merasa begitu, Alvia." Raven mendekat ke depan patung dewi Cereztia. "Aku juga merasa begitu."

Keduanya menatap mata patung sang dewi yang diukir begitu detail, gestur serta ekspresinya tampak jelas. Raut wajah Alvia dan Raven terlihat sangat cemas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top