28. Padang Bergunduk Dan Memori Perang
"Hati dan tindakanku sama sekali tak berkabut. Semua itu adalah bagian dari keadilan!" ~ Funny Valentine.
¤¤¤
Saat Salem selesai, Giovanni dan Ceanta tiba-tiba saja telah berada di suatu tempat. Kejadian teleportasi tersebut seolah berlangsung begitu saja.
"Di mana kita?" Ceanta mendekati Giovanni.
Keadaan di tempat mereka sekarang berada begitu gelap dan dingin, angin berhembus pelan namun membekukan tulang.
Giovanni pun merapalkan Fire Orb untuk menerangi keadaan dan menghangatkan dirinya serta Ceanta.
"Entahlah, kucing itu bisa mengirim kita ke mana saja yang dia mau." Giovanni menoleh ke sekeliling, dia tak melihat apapun selain kegelapan.
Ceanta mengarahkan telapak tangannya ke api di tangan Giovanni. Dia mengambil nafas dalam sembari memejamkan mata. Gaun putih sebetis berlengan panjangnya nampak sedikit berayun diterpa angin.
"Kita harus mencari Tuan Furash dan yang lain." Ceanta membuka mata dan tersenyum.
Giovanni bisa melihat sedikit rasa cemas di balik senyuman itu. Sebaliknya, Giovanni yang memasang wajah khawatir merasa sedikit lega.
"Tapi, kita tidak tahu di mana Tuan Furash dan yang lain. Kita sendiri juga tidak tahu ada di mana sekarang." Giovanni mengerutkan dahi memandang ke bawah.
"Ah, soal itu, Giovanni-re, kita mungkin bisa mengandalkan kemampuanku." Ceanta menunjuk ke arah mata kirinya.
Seketika Giovanni mendelik. "Bukankah mata kirimu itu untuk ...."
Ceanta mengangguk-angguk mengiyakan ucapan Giovanni sebelum dirinya selesai bicara.
"Aku ingat kalau aku memiliki kemampuan ini. Aku juga ingat kalau ini adalah kemampuan yang sangat penting bagi seorang succubus. Akan kutunjukkan padamu!"
"Tapi, bukan itu yang aku ...." Giovanni tidak tahu harus bagaimana mengutarakan isi hatinya. "Ah, sudahlah."
Ceanta menarik nafas panjang untuk berkonsentrasi. Sekitar sepuluh detik kemudian, lapisan-lapisan cahaya warna-warni berbentuk segi enam muncul di depan mata kirinya.
Penglihatan Ceanta seketika berubah menjadi merah, biru, kuning dan hijau.
Saat mengaktifkan kemampuan mata kirinya ini, Ceanta dapat mendeteksi suhu panas makhluk di sekitarnya.
Selain itu, dirinya pun dapat mengetahui seberapa besar hawa nafsu makhluk yang berada dalam jarak pandangnya–terutama manusia. Namun, dengan usia mental Ceanta saat ini, kemampuannya yang ini belum muncul.
"Eh, tunggu ... apa itu?"
Ceanta tiba-tiba mengernyitkan dahi. Dia merasa aneh karena sesuatu yang dilihatnya.
"Ada apa, Ceanta?" Giovanni penasaran.
"Anu ... aku mendeteksi ada beberapa sosok mirip manusia," jawab Ceanta sambil menuding ke arah kanannya.
"Seberapa jauh?" tanya Giovanni lagi.
"Jaraknya sangat dekat dengan kita."
Mendengar itu, Giovanni segera berniat untuk memeriksa sosok-sosok itu. Namun, Ceanta menghalaunya pergi.
"Bagaimana kalau yang kulihat itu adalah orang jahat?" Raut cemas Ceanta terlihat jelas.
Giovanni tahu betul kalau dia harus waspada. Tetapi, ada alasan yang mendesaknya.
"Aku mau makan," ucapnya datar.
"Huh?" Ceanta hanya menelengkan kepala.
Giovanni memang belum makan apapun lagi sejak rombongannya terakhir kali beristirahat, tepatnya sebelum mereka tiba di jembatan akar roh hutan Ertamesia.
"Mungkin mereka bisa membagi sedikit makanan jika mereka dermawan."
"Bagaimana kalau tidak?"
"Ya, apa boleh buat." Giovanni mengeratkan pegangan pada busurnya.
Melihat gestur Giovanni tersebut, Ceanta pun seketika paham. Giovanni sendiri tak berharap kalau tiga sosok yang dilihat Ceanta akan menerima kedatangannya dengan baik.
"Baiklah kalau begitu. Tapi, aku harus ikut denganmu!" ucap Ceanta dengan nada memaksa.
Giovanni tersenyum kecut. "Ya, siapa juga yang mau meninggalkanmu di sini sendirian?"
Dengan anak panah yang senantiasa teracung, Giovanni mendekati ketiga orang itu dengan Ceanta dan Okopu mengekor di belakang. Dia sudah siap menghadapi kemungkinan terburuk jika yang ditemuinya nanti menolak kehadiran mereka.
Giovanni mengendap-endap mendekati salah satu sosok itu. Dia tampak berbaring memunggungi Giovanni, sementara yang lain tertelungkup dan tampak tertidur.
Akan tetapi, Giovanni merasa familiar pada sosok yang memunggunginya tersebut. Giovanni merasa mengenali rambut dan pakaian yang dia kenakan.
Karena penasaran, Giovanni pun beranjak lebih dekat lagi dan mengarahkan api di tangannya ke wajah sosok itu. Betapa kagetnya dia melihat siapa sosok itu sebenarnya.
"R–Raven?"
***
Rasa cemas, kekhawatiran, perasaan sedih dan gugup seketika hilang dari benaknya ketika dapat kembali berkumpul bersama Furash serta anggota party yang lain.
Reaksi ketiganya saat menyadari Giovanni dan Ceanta telah kembali pun beragam. Furash merasa amat menyesal karena tidak bisa melindungi mereka berdua, sementara Alvia enggan mengakui kalau dirinya senang melihat keduanya lagi, dan Raven seperti biasa tak peduli.
Ketiganya tak mengatakan pada Giovanni kalau mereka sempat turun ke dasar jurang untuk mencarinya dan Ceanta. Mereka seolah-olah tak mengingatnya. Tapi, yang pasti Furash dan yang lain sama-sama kaget melihat kaki Giovanni kembali utuh.
Giovanni pun menceritakan bagaimana itu bisa terjadi berkat pertolongan Salem yang merupakan seekor wisdom beast. Furash dan yang lain nampak kebingungan mendengarnya.
Mereka sulit mempercayai apa yang Giovanni ceritakan karena menganggap wisdom beast hanya sebuah legenda semata.
Hal ini membuat Giovanni cukup kesal. Ceanta pun turun tangan untuk menjelaskan. Gadis itu menyebut kalau Giovanni berhalusinasi selama berada di dasar jurang karena benturan di kepala. Sehingga, sebagian yang dilihatnya tidaklah nyata, dan kakinya yang kembali utuh adalah karena Ceanta.
Furash dan yang lain malah lebih menerima cerita Ceanta itu. Ketiganya juga jadi terkagum-kagum pada kemampuan gadis succubus itu. Tentunya, Alvia tak membiarkan rasa kagumnya tersebut terlihat oleh anggota party yang lain.
Meski awalnya sempat kesal karena Ceanta menyembunyikan fakta yang sebenarnya, namun Giovanni kemudian memahami maksud gadis itu yang tidak ingin menimbulkan kebingungan di dalam party mereka. Giovanni pun tetap diam dan melupakan protesnya.
***
Keesokan hari, rombongan melanjutkan perjalanan. Tidak lupa, sebelum berangkat mereka menikmati sarapan berupa roti keras yang disimpan oleh Furash sebagai cadangan makanan. Bekal utama mereka sebelumnya telah raib dalam pertarungan melawan matriak Lumiloth.
Bisa ditebak kalau ada banyak protes dilayangkan oleh 'awak kapal' pada 'nahkoda' mereka. Beruntung, itu tidak terlalu lama dipermasalahkan.
Justru, perkara lain muncul ketika rombongan telah melanjutkan perjalanan, yaitu karena Alvia menolak berterima kasih dan meminta maaf pada Ceanta.
Padahal, Ceanta sudah menolong Alvia. Sementara gadis itu sendiri telah bersikap buruk pada Ceanta selama ini.
Alvia tidak memiliki alasan pasti atas penolakannya tersebut. Namun, semua orang berpendapat kalau Alvia terlalu angkuh untuk melakukannya, bahkan Raven sendiri mengakui hal itu.
Meski demikian, Ceanta sama sekali tidak merasa tersinggung. Malah, Ceanta memaklumi sikap Alvia yang tidak tahu diri itu.
Beberapa hari pun berselang, perjalanan menuju Kota Mugworth tinggal setengah jalan. Rombongan Giovanni telah melewati Vile Valley dan kini tiba di sebuah padang rumput yang tanahnya bergunduk.
Meski kondisi wilayahnya lapang, namun matahari tak begitu terik bersinar karena awan tebal selalu menanungi party Raz Agul.
Giovanni tak bosan-bosannya melihat pemandangan hijau yang luas membentang ke ujung cakrawala. Sesekali, dia bisa menyaksikan kawanan monster herbivora atau domba-domba liar berlarian di kejauhan.
Rombongan pun memutuskan beristirahat sebentar di bawah sebuah pohon apel yang tumbuh sendirian di padang rumput bergunduk tersebut. Furash mengatakan, kalau pohon apel itu adalah satu-satunya pohon yang tersisa di sana.
"Dulu padang ini adalah sebuah hutan. Gundukan-gundukan tanah yang ada merupakan buktinya. Tapi, sekitar 35 tahun lalu peperangan menghancurkan tempat ini."
"Apa yang Tuan maksud adalah perang lima penjuru?" Raven.
Furash mengulas senyum kecil, kemudian lanjut bercerita pada Giovanni dan yang lain. Mereka mendengarkan dengan seksama, tanpa sedikitpun ingin melewatkan satu detail kecil apapun.
Perang Lima Penjuru adalah perang paling mematikan dalam sejarah manusia. Perang ini bermula dari ambisi Kerajaan Kozia untuk menjadi kerajaan besar dengan menginvasi kerajaan kecil di wilayah yang ada di sekitarnya. Penaklukan ini akhirnya menarik perhatian kerajaan-kerajan besar seperti Kekaisaran Karura di Eastern Land dan Kekaisaran Abadjan di Western Land.
Respon mereka untuk menghalau penaklukan Kerajaan Kozia awalnya bersifat preventif dengan menawarkan kerja sama. Namun, setelah serangkaian negosiasi yang gagal serta sikap penguasa Kerajaan Kozia yang sangat arogan waktu itu, peperangan pun tidak dapat terhindarkan.
Perang lima penjuru ini berlangsung lebih dari 8 tahun, mengakibatkan jutaan kematian, serta kerugian tak terhitung bagi pihak-pihak yang terlibat.
Perang baru berhenti ketika terjadi kudeta di Kerajaan Kozia dan pemerintahan yang baru berhasil meyakinkan kerajaan-kerajaan lain untuk menyudahi peperangan.
"Itu terdengar tidak masuk akal," celetuk Raven menyela cerita Furash. "Mereka setuju untuk berdamai begitu saja setelah apa yang kerajaan kita perbuat?"
Furash membalas, "Jangan salah, waktu itu Kozia masih merupakan kerajaan terkuat terlepas ketidakstabilan politik yang menerpa. Lagipula, pihak lawan juga melihat kalau tidak ada gunanya melanjutkan peperangan karena tujuan mereka untuk berperang sebenarnya, yaitu Raja Reich, mati di tiang gantungan."
Furash merogoh saku, dia mengambil sebuah liontin berbentuk hati yang nampak telah usang dan penuh dengan goresan.
"Karura, Abadjan, Archforg, Cartae dan Lamona kehilangan banyak sumber daya akibat perang yang berkepanjangan. Selain itu, segala upaya untuk menjatuhkan Kozia dari dalam pun gagal, dan Raja Reiss sebagai pengganti Raja Reich sanggup menstabilkan keadaan dengan cepat dibantu oleh High Council. Pasukan aliansi tidak punya pilihan, pihak gereja dari berbagai aliran di luar Kozia juga ikut andil dalam meyakinkan mereka untuk berdamai."
"Daripada berdamai itu lebih seperti meyakinkan musuh untuk menyerah secara halus. Kozia adalah pemenangnya." Alvia duduk di sebelah Furash.
"Tergantung dari sudut pandang mana kau melihatnya. Bagiku, tidak ada pemenang dalam perang. Semua pihak menderita, tidak ada yang diuntungkan selain individu-individu tertentu."
Sorot mata Furash menyiratkan banyak pilu dan kesedihan. Senyum pahitnya seakan menertawakan betapa konyolnya perang lima penjuru yang didasari oleh rasa tamak. Sebagai saksi hidup, luka dari penderitaan semasa perang tersebut tidak akan pernah bisa sembuh di hati Furash.
Sementara itu, Giovanni merasa tertarik untuk mendengarkan lebih banyak sejarah tentang perang lima penjuru.
Dia merasa kagum dan bingung di saat bersamaan, sebab Bunda tak pernah memberitahunya tentang perang lima penjuru maupun ambisi Kozia melakukan penaklukan. Hal ini mengundang sedikit rasa penasaran dalam benak Giovanni.
Dia pun meminta Furash untuk menceritakan lebih banyak kejadian-kejadian saat perang lima penjuru terjadi. Meski awalnya sempat merasa terguncang karena mengingat memori semasa perang, namun Furash akhirnya bersedia kembali bercerita.
Beberapa saat mereka habiskan di bawah pohon apel itu untuk mendengarkan cerita Furash.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top