24. Berburu Anggrek Hitam

"Berputus asa dan menyalahkan orang-orang di sekitarmu atas ketidakberdayaanmu adalah hal yang menyedihkan. Itu semakin membuktikan bahwa kau memang tidak berguna." ~ Putri Jovanna De Kozia.

¤¤¤

Saat Giovanni keluar bersama Salem dari tempat persembunyiannya, mereka langsung berada di dasar jurang tempat Giovanni jatuh.

Puing-puing ngarai masih berlumur oleh darah Lumiloth-Lumiloth yang ikut jatuh saat jembatan runtuh. Ini menandakan kalau Giovanni belum terlalu lama berada di tempat persembunyian Salem.

Kabut menyelimuti berbagai sudut, Giovanni tak bisa melihat lebih dari jarak 9 meter. Obor yang dibawanya pun tak banyak membantu. Hanya Salem yang mampu melihat seperti biasa di dalam gelap dan pekatnya keadaan berkabut ini.

Kucing itu menuntun Giovanni menyusuri jurang dan akhirnya tiba di sebuah gunungan batu. Mereka memutuskan untuk mendakinya. Giovanni mendapat kesusahan saat mendaki ke atas, tetapi pada akhirnya dia berhasil sampai ke puncak gunungan batu menyusul Salem yang terlebih dahulu sampai.

"Di bawah sana adalah tempat bahan terakhir yang kita cari tumbuh, Anggrek Hitam Salem!" Salem menunjukkan pada Giovanni sebuah area yang melandai jauh ke bawah tanah di sisi lain gunungan batu.

Giovanni menoleh ke arah kucing hitam itu. Dia berpikir kalau Salem mengada-ada dengan menyebut jenis tanaman yang mereka cari memakai namanya sendiri. Namun, Salem mengatakan kalau dia benar-benar serius dengan perkataannya.

"Sudah, jangan pikirkan nama anggrek itu. Bersiaplah untuk turun ke bawah sana. Berhati-hatilah karena mungkin ada monster yang tak senang dengan kehadiranmu."

"Lalu, bagaimana denganmu?"

"Aku harus kembali ke tempat persembunyian. Aku harus menjaga api tungkunya tetap sedang agar ramuannya tidak terlalu didih," ujar Salem seraya berpaling.

"T–tunggu, tapi bagaimana aku akan melindungi diri? Aku tidak lihai menggunakan sihir, busurku juga sudah hilang entah kemana," kata Giovanni.

Sebelum Salem dapat memberikan solusi, tiba-tiba mereka berdua mendengar kerihan dari jauh. Giovanni segera menoleh ke arah suara itu, dia mengenalinya.

"Okopu!" seru Giovanni.

Begitu mendengar suaranya, sesosok makhluk kecil langsung melesat dari balik kabut menghampiri Giovanni dan memeluknya erat.

"Okopu!" sahut Giovanni riang. "Aku senang kau selamat!"

"Tuan ... Tuan! Aku ... takut ... b–bagaimana ... dengan ... Nona?"

Okopu bertanya dengan air mata berderaian. Kera itu enggan mengendurkan dekapannya pada Giovanni sedikitpun.

"Ceanta berada di tempat yang aman. Salemlah yang menyelamatkan kami."

Giovanni hendak memperkenalkan Salem kepada Okopu. Namun, Salem menolak untuk diperkenalkan pada kera itu. Dia menganggap bahwa derajat mereka jauh berbeda.

Sebagai Wisdom Beast, Salem merasa kalau dia memiliki kedudukan setara dengan manusia. Memperkenalkannya dengan monster sekelas Okopu hanya akan membuatnya merasa terhina.

"Cukup, sudahi saja obrolan tak penting ini. Kita tak memiliki banyak waktu. Jika ramuanku terlalu lama berada di tungku, bisa-bisa khasiat yang ada di dalamnya akan lenyap. Kalian berdua cepat masuk ke bawah sana!"

Giovanni masih merasa ragu, alasannya tetap sama, bagaimana dia akan melindungi diri tanpa senjata? Di tengah kebingungan itu, Okopu tiba-tiba berubah menjadi pisau dapur kecil.

"Apa ... ini ... cukup?" tanya Okopu.

Jelas Giovanni tak berpikir bahwa sebuah pisau dapur akan menjadi senjata yang tepat digunakan untuk melindungi diri terhadap monster.

"Apa-apaan itu?" Salem berdecak kesal lalu menendang Okopu hingga jatuh.

"H–hei, jangan sembarangan menendang Okopu!" Giovanni tak terima.

Namun, Salem tak kelihatan peduli pada protesnya. Kucing itu mengabaikan Giovanni dan berlanjut merapalkan sebuah mantra.

Sebuah retakan pun muncul di ruang yang ada di antara Giovanni dan Salem. Dari retakan itu, tiba-tiba saja keluar sebuah busur.

"Itu busurku!" seru Giovanni memungutnya. "Aku kira sudah hancur."

Salem menaikkan batang hidung. "Berterima kasihlah padaku karena menemukannya dan bersyukurlah bahan pembuat busurmu itu adalah kayu magis berketahanan tinggi."

Selain mempunyai durabilitasnya yang baik, karena kayu bahan pembuatannya juga, busur itu mampu memaksimalkan Giovanni dalam menembakkan anak panah hingga ke batas konsentrasi Mana tertinggi yang bisa dia keluarkan.

"Baiklah, sekarang sebaiknya kau cepat-cepat pergi ke bawah sana. Temukan anggrek hitam itu, kau ingat kan ciri-ciri apa yang kukatakan padamu?" Salem melompar turun dari puncak gunungan batu.

Giovanni membalas, "Aku mengingatnya."

"Bagus! Seharusnya, untuk memetik beberapa anggrek itu tidak butuh waktu lebih dari 30 menit. Kembalilah secepat yang kau bisa. Sampai jumpa."

Salem segera menghilang dari pandangan Giovanni. Melihat kucing itu pergi, Giovanni langsung menengok ke sisi lain gunungan batu.

Giovanni sadar betul terhadap bahaya yang menanti di bawah sana. Okopu di sampingnya pun merasakan ada banyak ancaman bagi mereka berdua.

"Di sana pasti ada monster-monster kuat. Tapi ...." Giovanni menggenggam kencang busurnya. "Tidak ada cara lain, kan?"

Okopu semakin erat mendekap Giovanni. Ekor Okopu yang berbulu lebat menyelimuti lehernya, secara tak sadar kera itu membantu Giovanni merasa sedikit lebih tenang.

"Baiklah, ayo lakukan ini!" ujar Giovanni sebelum beranjak turun.

***

Berada di sisi lain jurang, Furash bersama Raven dan Alvia berusaha mencari-cari keberadaan Giovanni serta Ceanta. Mereka memeriksa di tempat reruntuhan jurang, puing-puing jembatan dan mayat-mayat Lumiloth berada. Tetapi, pencarian ketiganya sampai sekarang masih belum membuahkan hasil.

"Sial, sampai kapan kita akan terus mencari?" gerutu Raven. "Aku kesulitan melihat dengan semua kabut-kabut ini!"

"Sebaiknya kita turun, jika terus terbang tidak mungkin bagi kita menemukan Giovanni dan Ceanta," kata Alvia.

"Tapi, di bawah sana ...."

Alvia memotong omongan Raven, "Oh, ayolah, kita baru saja berhadapan dengan matriak Lumiloth dan menang. Aku siap untuk bertarung dengan yang lebih kuat lagi!"

Keduanya telah merasa sangat letih dan kelaparan, mereka tak mau memperdebatkan sesuatu lagi dalam kondisi mereka sekarang. Raven pun menuruti perkataan Alvia untuk mendaratkan burung bayangannya ke dasar jurang.

Kabut yang berada di dasar jurang terhempas oleh kepakan sayap burung bayangan Raven ketika dia mendarat. Keadaan di sekitar menjadi lebih jelas untuk sesaat, tetapi setelah itu kembali seperti semula.

"Di mana Tuan Furash?" tanya Alvia.

"Baru sekarang kau bertanya. Kenapa tidak dari tadi?"

"Jangan menyalahkanku! Dia yang bergerak terlalu cepat. Padahal aku sudah fokus, tapi aku tetap tidak bisa melacak Mananya."

Raven mulai merasakan hal janggal. Ketika Alvia menyebut bahwa dia tidak bisa mendeteksi Mana Furash, Raven menyadari kalau dia pun tak mampu merasakan Mana Alvia. Padahal, Alvia sejak tadi sengaja mengalirkan Mananya terus ke tubuh Raven untuk memulihkan luka pemuda itu.

"Itu, tidak seharusnya terjadi 'kan?"

"Apa maksudmu?"

"Apa kau bisa merasakan Mana milikku?" Raven mengulurkan tangan dan mulai mengalirkan Mana.

Alvia memutar bola matanya. Dia meletakkan telapak tangan di atas tangan Raven. "Tentu saja aku bisa. Memang apa yang kau—"

Alvia seketika terbelalak menyadari kalau dirinya tak mampu merasakan Mana Raven.

Padahal, sebagai seorang pengguna sihir seharusnya Alvia bisa merasakan Mana seseorang dari jarak sedekat ini. Terlebih lagi, dia dan Raven berkontak secara langsung sebab Alvia harus menyentuh pemuda itu untuk mengalirkan Mana kepadanya–perbuatan ini tidak dilarang jika dilakukan dengan tujuan medis.

"Apa yang terjadi?" Raven memicingkan mata, dia memperhatikan ke sekeliling.

Pemuda itu mulai memikirkan alasan di balik kejanggalan yang menimpanya dan Alvia. Diantara semua kecurigaannya, yang paling besar adalah terhadap kabut di sekitar mereka.

"Semenjak kita turun, kita tidak bisa merasakan Mana satu sama lain. Apa mungkin, kabut-kabut di bawah sini penyebabnya?"

"Tapi, bagaimana bisa? Ini hanya kabut biasa kan?" balas Alvia.

Raven menampik ucapan gadis itu, "Bukan, bukan murni karena kabutnya. Kita berdua masih bisa merasakan Mana satu sama lain sebelum turun. Padahal, jumlah kabut yang di sekitar kita relatif sama."

Pemuda itu berjongkok dan meletakkan telapak tangan di atas tanah. Raven kemudian merapalkan sebuah mantra.

"Shadow Manipulate: Sense Of Dark, Shadow Creation: Grasp Of Zaquure."

Beberapa tangan bayangan tiba-tiba bangkit menggeliat dari bawah kaki Raven. Menyaksikan bagaimana proses tangan-tangan bayangan Raven bangkit selalu berhasil membuat Alvia bergidik ngeri sekaligus jijik.

Tangan bayangannya itu lantas menjulur ke sejumlah arah dan menyatu dengan kegelapan yang menyelimuti dasar jurang di sekitarnya.

"Apa yang akan kau lakukan dengan semua ... itu?" ucap Alvia dengan penekanan di kata terakhir.

"Sense Of Dark membuatku bisa mendeteksi pergerakan apapun yang menyentuh bayangan yang terhubung dengan tangan-tangan Zaquure."

"B–begitu ... aku mengerti. Berhubung kita tidak bisa merasakan Mana kupikir trikmu akan berguna." Apapun tujuan Raven dengan tangan-tangan bayangannya, Alvia tidak bisa menyingkirkan rasa jijik pada mereka.

Keduanya lantas berniat melanjutkan pencarian melalui jalur darat, Raven pun sudah memanggil kembali burung bayangannya. Akan tetapi, ketika mereka hendak beranjak tiba-tiba Raven merasakan sesuatu bergerak melalui bayangannya.

"Monster!" duga Raven, Alvia segera bersiaga dengan tongkat sihirnya.

Mata Raven yang sebelumnya menyorot tajam tiba-tiba mendelik ketika dirinya merasakan lebih banyak pergerakan. Pemuda itu bahkan sampai menganga dan tertegun diam.

Alvia baru membelalakkan mata beberapa saat kemudian ketika melihat monster-monster yang Raven rasakan perlahan menampakkan diri satu per satu dari balik kabut.

"I–itu ... bukankah itu-!"

Dengan keringat dingin deras mengguyur dahinya Raven membalas Alvia, "Musuh kita."

Tepat di hadapan mereka berdua datang sekawanan makhluk berkaki dua, bertubuh kurus dengan mulut tanpa bibir dan gigi tajam yang menganga. Kepala mereka lonjong ke belakang, pada tulang punggung mereka mencuat duri-duri tajam sementara mereka merah gelap. Makhluk-makhluk itu adalah, Ghoul.

Ghoul merupakan jenis monster yang mendiami tempat gelap dan memiliki makanan utama yaitu daging manusia terutama yang masih hidup. Mereka biasa muncul di pekuburan atau di tempat sepi yang minim pencahayaan. Semakin sedikit sumber penerangan di sekitar mereka, maka semakin bertambah pula kekuatan ghoul. Apalagi, bila mereka berhasil mengonsumsi daging manusia.

Berada di tempat berkabut seperti saat ini adalah situasi paling tidak ideal yang Raven dan Alvia bisa bayangkan ketika menemui ghoul.

"Kalau begini maka aku harus kembali bertarung dengan serius!" Raven menarik keluar pedangnya. Dia membuka tas dan mengambil beberapa buah bola kecil lalu melemparkannya ke udara.

Bola-bola itu kemudian meledak dan berubah menjadi berbagai macam senjata tajam. Tangan-tangan bayangan Raven langsung menggapainya.

Para ghoul menggeram menyaksikan Raven kini telag siap untuk bertarung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top