22. Darah Dan Air Mata

"Kita adalah personifikasi kemunafikan." ~ Raos.

¤¤¤

Di dasar jurang, reruntuhan batu jatuh bergelimpangan. Aliran sungai kecil yang ada di sana terbendung oleh banyaknya pepuingan. Sementara berada di antara bebatuan itu adalah Giovanni yang tak bergerak sedikit pun.

Tubuhnya luka berat, kaki kanannya hancur. Kedua lengan serta telapak tangannya patah dan remuk tertimpa batu. Darahnya meleleh dari mulut, telinga, hidung dan luka yang ada.

Rasa sakit menjalar dari seluruh tubuh, mencengkram setiap jaringan otot yang ada. Nyeri yang luar biasa disertai kucuran darah dari luka-luka terbuka di tubuhnya membuat Giovanni terkapar tak berdaya.

Kesadaran Giovanni masih terjaga, namun pelan-pelan menghilang. Dia berusaha sekuat mungkin terus membuka mata meski tubuhnya tak lagi dapat bergerak.

"Tidak ... aku tidak mau ... aku tidak mau mati!"

Giovanni kalut, rasa takut akan kematian membuatnya panik. Kegugupan yang tidak pernah dia rasakan membelenggu relung dada, menambah kengerian yang dibawa oleh maut yang saat ini sudah merangkul bahunya.

Air mata mengalir turun dari pipi Giovanni, lalu menyatu dengan darah yang bersimbah dari luka di leher.

Kejadian mengejutkan yang menimpanya beberapa saat lalu seakan meruntuhkan harapan Giovanni. Dia tidak akan menerima apabila kematian sungguh datang, sebab dirinya masih belum bertemu kembali dengan Bunda.

Namun, seberapa besar tekadnya itu tak sanggup membendung malaikat maut datang. Ujung jari-jari Giovanni yang mulai terasa dingin mengawali lenyapnya nyawa dari tubuhnya. Rasa sakit masih dia rasakan dan kedinginan itu menambah penderitaan Giovanni.

Setiap tetes darah yang mengalir meninggalkan tubuhnya menandakan Giovanni semakin dekat kepada kematian. Tatapannya perlahan-lahan berubah samar, pandangannya kosong. Kedua bola mata Giovanni memucat dan memudar.

"Tidak ... jangan ...."

Dengan sisa kekuatannya Giovanni hanya mampu sedikit melebarkan kelopak mata. Dia merasa begitu lemah. Usaha mempertahankan kesadaran yang sia-sia membuat Giovanni mulai berputus asa.

Bukan berarti dengan itu Giovanni menerima ajal, malah sebaliknya.

Keputus asaan yang merengkuh, mengobarkan amarah dan dendam dalam lubuk hati Giovanni. Kebencian tumbuh dalam diri anak itu terhadap takdirnya. Karena ini, aura gelap muncul dari darah Giovanni yang telah tumpah dan meraba sekujur tubuhnya.

Sisa Mana di tubuh Giovanni merespon perubahan aura yang terjadi. Cahaya biru keluar dari tubuhnya, menghalau aura gelap tersebut.

Terjadi konflik antara sisi positif dan negatif Giovanni. Kebencian dan dendamnya bertempur dengan kepolosan dan kenaifan miliknya. Mereka memperebutkan satu tempat untuk mengisi kekosongan dalam hati Giovanni yang ada karena keputus asaannya.

"Mono Sigil Medica: Regenerate!"

Samar-samar, suara seorang gadis bergaung di telinga Giovanni. Penglihatannya yang telah buram membuatnya hanya mampu menoleh ke asal suara itu, tanpa dapat melihat sosok gadis yang ada di sebelahnya.

Namun, Giovanni akan selalu dapat mengenali suara tersebut dalam kondisi apapun.

"Ceanta?"

"Bertahanlah, kumohon! Kumohon bertahanlah, Giovanni-re!" tangis Ceanta sesenggukan.

Gadis itu terjatuh bersama Giovanni, dia hampir tewas tertimbun di antara reruntuhan namun berhasil menghalau reruntuhan-reruntuhan itu memakai mantra pelindung yang dia gunakan dengan kekuatan penuh.

Ceanta masih terluka karena dia memang tak terlalu baik menggunakan sihir selain sihir medis.

Akibat usaha menyelamatkan diri itu pun Ceanta kehilangan sebagian besar Mana. Untuk sanggup berdiri saja sekarang Ceanta telah sangat memaksakan diri, apalagi untuk merapal mantra. Tetapi, demi menyelamatkan Giovanni dia tidak akan ragu untuk melakukan sebuah pengorbanan.

"Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Giovanni lemah.

"Aku berusaha menolongmu. Tapi, aku malah ikut terjatuh dan menguras habis Manaku untuk menyelamatkan diri dari reruntuhan."

"Lalu ini? Kau sedang menyembuhkanku? Itu berbahaya ... hentikan!"

Ceanta menggelengkan kepala, derai rambut putihnya bergeming mengikuti. Dia meneruskan memulihkan Giovanni tanpa peduli kalau Mananya sebentar lagi akan habis.

"Kumohon, Ceanta. Berhenti memulihkanku ...."

Tubuh gadis itu mulai membiru. Giovanni yang pandangannya perlahan kembali jelas menjadi panik.

"Kau bisa mati jika melakukannya, berhenti menggunakan sihirmu!" Dengan tangan yang masih patah Giovanni mencoba meraih lengan Ceanta.

Kekhawatiran Giovanni terukir jelas dalam gurat wajahnya, air matanya kembali berderai namun kali ini dia tujukan tangis itu untuk si gadis succubus.

Ceanta merasakan pusing di kepalanya semakin kuat, nafasnya menjadi tersendat-sendat. Namun, dia mengabaikan kondisinya tersebut. Giovanni pun tak dapat berbuat banyak.

Giovanni hanya bisa menyaksikan Ceanta terus memaksakan diri, kata-katanya sama sekali tak membuat gadis itu berhenti. Hal yang dikhawatirkan Giovanni pun terjadi saat Ceanta tiba-tiba memuntahkan darah.

"Tidak! Kumohon berhentilah!"

Gadis itu enggan menuruti keinginan Giovanni. "Tuan Furash, Alvia dan Raven ... pasti akan datang menyelatkan kita. Tenang saja ...."

Ceanta yang telah sangat lemas terus menggunakan sihir penyembuhan hingga tubuhnya benar-benar membiru. Dirinya pun ambruk ke sebelah Giovanni setelah kembali muntah darah dan langsung dalam keadaan sekarat.

"Setidaknya ... aku membalas budi padamu, Giovanni-re."

Mata Ceanta terkatup tapi senyumnya kekal, tubuhnya yang membiru itu kemudian berubah samar. Giovanni mendelik menyaksikan, lidahnya kelu tanpa dapat berucap.

Di saat bersamaan, sesosok makhluk hitam dengan dua mata hijau bersinar muncul di atas sebuah batu di dekat mereka berdua. Kilauan matanya perlahan redup lalu menampilkan dua buah pupil berbentuk oval.

Makhluk itu memperhatikan bagaimana Giovanni amat terpukul dengan keadaan Ceanta dan segera menunjukkan ekspresi jijik terhadapnya.

"Dasar manusia, selalu saja terbelenggu oleh perasaan."

Makhluk itu menghela nafas kemudian meloncat turun untuk mendekati Giovanni. Keempat tapak kakinya yang kecil mendarat tanpa suara. Giovanni tidak menyadari kehadiran makhluk itu sampai jarak diantara mereka hanya terpaut beberapa meter. Kehadiran makhluk itu hanya mengundang amarah Giovanni.

"Siapa kau?!" sentaknya.

Makhluk itu menyeringai lalu memanjangkan cakar-cakar dari sela jari-jemari kaki. Mata makhluk itu lantas bercahaya saat aura gelap menguar dari sekujur tubuhnya.

***

Darah membanjiri sisi tebing dan hutan di sekitar ngarai. Daging dan tulang dari suatu makhluk berukuran tubuh besar nampak berserak di berbagai tempat. Tengkoraknya yang masih berlumur darah tergeletak dalam kondisi pecah di dekat sebuah kawah yang terisi oleh onggokan daging dan isi perut.

Beberapa saat yang lalu, onggokan itu adalah matriak Lumiloth.

Di tepi kawah tersebut, Furash duduk dalam keadaan berlumuran darah. Kedua tangannya gemetar, rambut serta pakaiannya berwarna merah. Bau amis menguar kuat darinya.

"Sial," gumam pria itu. "Ini semua karenaku mereka jatuh ke jurang!"

Furash mendelik dan menoleh ke arah ngarai. Sementara itu, Alvia tengah bersama Raven untuk memulihkan pemuda itu karena terluka sehabis bertarung dengan matriak Lumiloth tadi.

"Aku akan pergi untuk menyelamatkan mereka!" seru Furash lalu berdiri.

"Kau gila? Tidak ada yang tahu seberapa dalam jurang itu!" sahut Alvia.

Mendengar ucapannya, Furash langsung memberikan tatapan tajam. Pandangan pria itu dingin, kebengisan terkias jelas dalam sorot matanya. Alvia pun merasa gemetar mendapat tatapan itu.

Darah yang melumuri tubuh Furash menjadi saksi akan kebrutalannya ketika murka. Amarahnya tak terbendung saat mengetahui Giovanni dan Ceanta jatuh ke jurang.

Dia tidak menyalahkan siapapun selain dirinya sendiri karena mereka berdua jatuh. Namun, matriak Lumiloth itu adalah makhluk malang yang menjadi sasaran pelampiasan amarah dan kekecewaan Furash.

"Kalian berdua juga harus ikut ke bawah jurang. Aku tidak mau tahu, terutama kau Alvia. Ceanta sudah menyelamatkanmu jadi kau harus membalasnya."

Nada bicara datar Furash membuat Alvia yang biasanya berani menentang sesuatu yang tak disetujuinya menjadi terdiam. Raven pun enggan berkomentar apalagi mendebat Furash di saat seperti ini.

Tanpa menunggu lebih lama, Furash berjalan ke tepi ngarai. Dia berlutut di sana kemudian menyingsing lengan baju.

"Engkau yang agung lagi maha pemberi, penguasa segala langit dan bumi. Hamba bersimpuh dalam pedih peri, menanti akan kasihMu yang suci. Hamba mohonkan pada Engkau, turunkan berkah ilahi pada hambaMu yang hina ini. O Tuhan yang agung, tuntunlah hamba dalam parit penuh dosa lagi gelap gulita ini. All Seeing Eyes!"

Kedua iris mata Furash berubah warna menjadi biru. Muncul beberapa pola geometri di masing-masing matanya yang di dalamnya kemudian muncul lingkaran-lingkaran sihir berisi pola-pola Rune rumit.

Dengan itu, Furash memperluas jarak dan menajamkan pandangannya. Sihir yang dia gunakan juga membuatnya mampu melihat lebih jelas aliran Mana seseorang.

Furash langsung terjun ke dalam jurang sesaat kemudian, tanpa peduli kabut yang menutupi dasarnya atau seberapa dalam jurang tersebut.

Di belakang, Alvia dan Raven hanya bisa menghela nafas mereka. Keduanya tak memiliki pilihan selain mengikuti Furash ke bawah jurang.

"Bisakah kau menyingkir dulu, aku akan menggunakan sihirku," kata Raven pada Alvia.

"Tapi, kau masih terluka."

"Tidak apa-apa, kau harusnya lebih mencemaskan dirimu sendiri. Terima kasih sudah menyembuhkanku."

Senyuman Raven memperjelas perintahnya pada Alvia. Namun, gadis itu tak mampu mengabaikan kekhawatirannya.

Setelah Alvia mengambil jarak, Raven langsung bersila. Dia menegakkan punggung, menghela beberapa nafas seraya memejamkan mata dan memfokuskan diri.

Pemuda itu merapalkan mantra dengan suara yang amat lirih, hampir tak ada yang dapat mendengarnya kecuali Raven sendiri.

Butuh waktu agak lama bagi Raven untuk menyelesaikan rapalan mantranya yang cukup panjang itu, sekitar 30 detik. Selain karena bait-bait rapalan yang ada cukup panjang, juga karena Raven menggunakan metode perapalan secara utuh.

Metode perapalan secara utuh ini disebut dengan Full Recitement. Sementara itu, ada metode perapalan lain yang membuat penggunanya mampu menyingkat rapalan sehingga mempercepat proses pengaktifan mantra. Metode ini namanya adalah Cutting.

Meski lebih cepat, tapi untuk mengompensasi proses percepatan ini metode Cutting akan mengurangi kekuatan serta keefektifan suatu mantra.

Raven tidak mau mantra yang digunakannya menjadi lebih lemah dari yang seharusnya. Terutama, karena dia akan memakai mantra itu untuk turun ke bawah jurang yang dalamnya tidak dia ketahui.

Dia harus bersiap sebaik mungkin untuk kemungkinan terburuk.

Dari bawah tempat Raven bersila kemudian muncul seekor burung bayangan berukuran besar. Burung itu begitu patuh dengannya, bahkan sampai menundukkan kepala begitu rendah.

"Ayo, kita naik." Raven mengajak Alvia.

Mereka pun naik ke punggung burung bayangan, lantas burung itu mengepakkan sayapnya dan terbang ke bawah jurang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top