"Waktu adalah persepsi salah makhluk hidup dalam melihat bagaimana dunia berjalan." ~ Argol
¤¤¤
Badai yang terjadi berakhir setelah dua minggu kemudian. Meski demikian, kerusakan yang diakibatkan oleh badai tersebut sudah terlanjur menyebabkan banyak kerugian untuk semua orang di Upper Land.
Di Roveena, mimpi buruk Derek menjadi kenyataan di mana lahan pertanian sebagian hancur akibat banjir. Sementara itu, bayi yang ditemukannya bersama Michael dan Bunda kemudian diputuskan untuk diasuh oleh pihak gereja.
Bayi tersebut diberi nama depan "Giovanni" sesuai tulisan di kertas yang ditemukan bersamanya dan nama belakangnya adalah "Almere" sesuai marga Bunda sebagai perwakilan gereja yang merawatnya. Itu sebab kemudian Bunda mengangkat sang Bayi sebagai anak saat telah berusia 1 tahun.
Sepuluh tahun pun dengan cepat berlalu, peristiwa penyerangan Naga Emoria di Kota Hellvenart kini menjadi sebuah sejarah kelam. Namun, mimpi buruk dan dampak yang disebabkannya masih menghantui seluruh penjuru Upper Land. Tingkat konsentrasi Mana bertambah semakin tinggi dan monster-monster menjadi semakin kuat dan ganas.
Tapi, terlepas semua kesulitan yang menerpa selama sepuluh tahun ini Desa Roveena masih dapat bertahan berkat kegigihan penduduk untuk hidup serta bantuan dari para pemburu monster yang perannya kembali menjadi krusial 10 tahun terakhir.
Alhasil, serangan monster ke Desa Roveena pun jadi sangat jarang terjadi bahkan sudah tidak ada lagi tahun ini.
"Giovanni!"
Bunda memanggil putranya tersebut dari atas loteng gereja. Anak itu tampak sedang mengurus bunga-bunga yang ditanam di halaman depan. Karena Bunda memanggil, Giovanni berhenti sejenak dan meletakkan gunting besar yang digenggamnya.
"Naik ke atas sebentar. Aku memerlukan bantuanmu di sini."
Giovanni lalu masuk dan naik ke loteng. Di sana, dia melihat Bunda sedang berbenah. Banyak kotak dan barang-barang lama yang sudah tidak digunakan lagi berserak berantakan di lantai.
"Gio, cepat bantu aku. Masukkan semua barang-barang ini ke kotak kardus dan letakkan di gudang," perintah Bunda yang langsung Giovanni jalankan.
Tidak lama kemudian, hanya sekitar beberapa menit saja, mereka berdua pun selesai membenahi semua barang di loteng ke dalam gudang.
Selepas itu, Giovanni hendak kembali melanjutkan mengurus bunga-bunga di depan gereja. Namun, tiba-tiba Bunda menghentikan dan menyuruhnya beristirahat sebentar. Bunda juga memberi anak itu segelas air putih dan sekeranjang penuh apel.
"Bagaimana dengan hafalanmu, apa kau sudah menghafal rapalan mantra yang kuajarkan kepadamu minggu lalu?" tanya Bunda seraya duduk di anak tangga depan serambi gereja.
"Sudah Bunda. Jujur saja, rapalan mantra yang itu tidak terlalu sulit kuingat," balas Giovanni.
"Oh, bagus! Itu artinya kita bisa melakukan tes sore ini!"
Senyum terulas di bibir Bunda, kebahagiaannya merekah mendengar ucapan Giovanni. Putranya tersebut selalu dapat memenuhi ekspektasi yang dia miliki.
"Sore ini?" Dahi Giovanni berkerut. Dia kelihatan tidak setuju. "Tapi aku memiliki janji bersama Lufette, kami akan memancing di sungai sore nanti!"
"Apa? Memancing?!"
"Iya, kami sudah berjanji sejak seminggu yang lalu. Gara-gara Bunda selalu mengajariku sihir kami tidak bisa bermain minggu ini!"
Bunda langsung bertolak pinggang merespon perkataan Giovanni. Ekspresi dan suasana hatinya berubah menjadi kesal.
"Kau sendiri yang setuju berlatih sihir, bukankah sudah kubilang akan ada banyak konsekuensinya?" ucap Bunda kemudian.
"Aku tahu! Aku tahu! Tapi di mana hak asasi dan jam pembelajaran yang manusiawi? Aku manusia Bunda, bukan golem atau ghoul yang bisa dipekerjakan tanpa istirahat!"
Argumen Giovanni selalu membawa-bawa persoalan hak asasi manusia, yang mana menurut Bunda hanya alasannya saja untuk bermalas-malasan. Bunda kemudian membalasnya dengan argumen lain yang berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban Giovanni sebagai seorang murid dan anak.
"Kau tidak kupekerjakan, tapi kulatih!" ujar Bunda.
Giovanni mendengus. "Terserah apa yang Bunda sebutkan. Lagipula, semua tes dan pembelajaran itu hanya membuang waktu!"
"Buang-buang waktu katamu?!" Urat di kepala Bunda langsung timbul ke permukaan.
Perdebatan pun tidak dapat dihindarkan. Jika sudah demikian, maka suasana gereja yang sepi dan sunyi seketika akan berubah menjadi ramai.
Tidak ada yang berani menengahi Giovanni dan Bunda kalau mereka sudah terlanjur adu mulut. Para biarawati yang mengabdi di gereja pun hanya bisa membiarkan karena takut nanti mereka sendiri yang jadi bulan-bulanan kalau berinisiatif melerai.
Dan untuk hari ini, perdebatan ibu dan anak itu berlangsung selama 3 jam. Itu rekor baru terlama untuk perdebatan mereka. Tapi, akhir dari cekcok ini masih diakhiri dengan hal yang sama seperti debat-debat mereka sebelum-sebelumnya.
Bunda adalah seorang pendeta yang berpengetahuan luas dalam berbagai bidang, adu mulut dengannya sama dengan memasukkan kepala ke dalam mulut harimau. Dan sayangnya, Giovanni adalah anak keras kepala yang tidak tahu marabahaya.
***
Bunda memperlihatkan sihir untuk pertama kalinya pada Giovanni ketika dia berumur 5 tahun dan anak itu langsung merasa tertarik. Karena itulah mengapa Bunda sangat gigih mengajarinya sihir sebab Giovanni sebenarnya memiliki semangat mempelajari sihir.
Tapi, meski mempunyai semangat, Giovanni bukanlah anak jenius dengan kemampuan spesial yang mampu menggunakan banyak mantra sekaligus sejak pertama kali diajari.
Giovanni butuh banyak kerja keras dan ketekunan untuk sekedar merapal satu mantra. Namun, walau begitu bukan berarti dia tidak hafal banyak rapalan mantra. Malahan, Giovanni hampir menghafal semua rapalan mantra tingkat dasar yang sudah diajarkan Bunda walau mantra itu bukan mantra sihir yang menjadi afinitas magisnya.
Bunda melihat kemampuan Giovanni untuk menghafal sebagai sesuatu yang hebat terlepas dari kekurangannya yang kesulitan merapalkan mantra. Tetapi, hal sebaliknya dirasakan Giovanni. Dia menjadi sedikit malas belajar sihir akhir-akhir ini karena frustasi selalu gagal merapalkan mantra. Lambat laun tanpa kemajuan, Giovanni pun mulai berpikir bahwa dirinya tidak memiliki bakat dalam sihir.
Selama setahun ini, anak itu hanya mampu menggunakan satu mantra saja. Sama sekali tidak bertambah sejak dua tahun yang lalu. Dan sore hari ini pun, Giovanni masih belum menunjukkan perkembangan.
"Mau ke mana kau?"
Bunda berseru pada Giovanni yang sudah berada cukup jauh darinya. Giovanni kembali gagal merapalkan mantra dalam tes kali ini. Dia sudah muak dan akhirnya merajuk pergi.
"Gio, mau ke mana kau? Hei!"
Bunda bergegas menyusul, dia meraih pundak Giovanni lalu membalikkan badannya. Rasa kesal di dalam hati Bunda seketika lenyap begitu melihat Giovanni berusaha sekuat mungkin menahan air mata.
"Gio ... aku tahu ini sulit bagimu. Tapi, percayalah kalau kau bisa melakukannya suatu saat nanti."
Perkataan itu sudah tidak bisa lagi menghibur Giovanni, dia telah berputus asa. Bunda pun sebenarnya tahu hal ini namun dirinya tidak ingin Giovanni menyerah apalagi setelah lima tahun ini dirinya belajar sihir dengan begitu tekun.
"Giovanni, kau mendengarkanku, kan?"
Bunda meletakkan tapaknya di pipi Giovanni. Dia menghapus butiran air mata Giovanni yang merembes keluar dengan ibu jarinya.
"Tapi ... apa yang membuatku bisa melakukannya? Aku hafal banyak mantra, tapi hanya mampu merapalkan sedikit saja. Apa aku memang seberbakat yang Bunda bilang?"
Perempuan paruh baya itu tersentak, dia menaikkan kacamatanya sedikit sambil menunduk. Kemudian, Bunda pun membalas pertanyaan Giovanni sambil tersenyum.
"Tidak salah kau hanya bisa merapalkan sedikit mantra, yang penting kau tekun dalam berlatih. Seorang pengguna sihir hebat tidak dilihat dari seberapa banyak mantra yang bisa digunakannya melainkan dari seberapa kuat dan efektif mantra yang dikuasainya."
"Seperti Bethrine?" Giovanni melirik Bunda.
"Tepat sekali." Bunda membalasnya sambil mengangguk.
Bethrine merupakan sosok legenda dalam kepercayaan yang Bunda anut. Dia adalah seorang Saint, atau pengguna sihir yang telah mencapai tingkat tertinggi, dan merupakan pemimpin sekaligus pendiri salah satu kuil suci yang ada di Upper Land.
Saint Bethrine dikatakan memiliki kekuatan sihir yang besar tapi hanya menguasai sedikit mantra. Namun, meski sedikit hampir semua mantra yang dikuasainya adalah mantra kuat dan mematikan.
Kisah Saint Bethrine ini selalu diceritakan Bunda pada Giovanni untuk memotivasinya belajar sihir. Awalnya itu memang berhasil, sampai Giovanni mulai berputus asa.
"Apa Bunda berpikir aku ini adalah seorang Saint Bethrine?"
"Kau adalah dirimu sendiri, Gio. Kau bisa menjadi kuat sepertinya. Aku yakin itu."
"Tapi, bagaimana kalau aku tidak ingin menjadi seperti Saint Bethrine?"
Legenda itu tidak pernah menjadi sosok panutan bagi Giovanni.
Bunda mulai berpikir kalau dia selama ini telah melakukan sebuah kesalahan dalam mengajari Giovanni. Bunda paham sekarang, dia pun tak ingin lagi memaksa.
Melepas sehela nafas, Bunda menyunggingkan senyum. Dia merapikan lengan baju Giovanni kemudian mengajaknya pergi.
"Ayo, Gio. Kita ke suatu tempat."
"Ke mana?" Giovanni heran sikap Bunda berubah.
"Ya, ke mana saja. Asalkan tidak di sini. Kau pun sudah bosan terus-terusan di sini, kan? Jadi, ayo pergi ke tempat yang lebih menyegarkan mata."
Raut lesu Giovanni langsung berubah, dia seketika tertawa dan kembali merasa bersemangat. Melihat putranya senang, Bunda pun turut berbahagia.
Mereka kemudian pergi menuju ke balik bukit yang ada di selatan desa. Mereka melewati sungai besar yang mengalir dari sana mengitari Roveena ke sisi barat, lalu sesampainya di balik bukit keduanya pun menuruni jalan setapak yang ada hingga sampai di sebuah tempat lapang.
Di sana, Giovanni terkesima dengan pemandangan hamparan padang rumput yang luas. Suasana senja yang indah membuat Giovanni melupakan sejenak masalahnya. Bunda pun ikut hanyut dalam suasana ini, sampai kemudian sesuatu menyadarkannya dari belakang.
Aura dingin dan gelap, menyeruak mencekik tengkuk Bunda. Tapi ketika dirinya menoleh ke belakang, Bunda tak menemukan seorang pun di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top