10. Rencana Selanjutnya, Awal Mula Perjalanan Panjang!
"Kau tampan, sayang kau kurang besar." ~ Lieke
¤¤¤
Sesampainya di penginapan party Furash memesan 2 kamar yang satunya akan ditempati bertiga oleh Giovanni, Raven serta Furash sementara kamar yang lain diperuntukkan khusus bagi Alvia.
Setelah mendapatkan kunci kamar mereka berempat pun naik ke lantai atas menuju bilik masing-masing.
Giovanni segera diturunkan Furash ke atas kasur kala memasuki kamar. Dia langsung merasa nyaman dan berkomentar bahwa ranjang penginapan ini jauh lebih empuk dari ranjangnya dulu di biara.
"Tentu saja tempat tidur di penginapan ini empuk dan nyaman untuk punggungmu. Aku tidak pernah salah kalau soal memilih tempat bermalam," ujar Furash berbangga diri.
"Tapi uang sewa per malamnya cukup mahal, tidak sesuai dana yang kita miliki," kata Raven ketus. Dia yang paling sensitif soal uang dalam rombongan.
"Ini jauh lebih baik daripada asal bermalam di penginapan antah berantah milik perampok. Apa kau tidak ingat kejadian dua minggu lalu?"
Raven memalingkan wajah mengingat pengalaman memalukan tersebut.
Pasalnya, karena ingin berhemat sebanyak mungkin Raven memaksa Furash dan Alvia bermalam di penginapan yang ada di tengah hutan. Dan ternyata, penginapan tersebut adalah milik kelompok bandit yang menjebak korbannya dengan modus penginapan.
"Kenapa Tuan masih mengungkit hal itu?" protes Raven menahan malu.
"Karena itu lucu. Aku masih suka tertawa jika mengingat bagaimana bandit-bandit itu berusaha meracuniku dengan bubuk gatal."
Raven tidak mengatakan hal apapun lagi. Dia sudah cukup menahan malu mengingat kejadian tersebut.
"Aku mau mandi."
Raven pun membawa baju gantinya dan keluar menuju ke pemandian penginapan.
***
Selepas membersihkan diri, berganti pakaian dan mengenyangkan perut, Giovanni dan rombongannya berkumpul di kamar yang ditempati bertiga untuk membahas nasibnya setelah ini.
Sebelum memikirkan langkah selanjutnya untuk Giovanni, Furash memintanya untuk menceritakan kembali kejadian terakhir yang Giovanni ingat sebelum tersadar di Rubanah.
"Ibumu menyuruhmu menemui pamanmu dan temannya sebelum dia ditelan oleh cahaya itu?" Furash agak penasaran pada bagian dari cerita Giovanni tersebut.
"Iya, Bunda memintaku menemui Paman Derek dan Pak Tua Michael. Bunda bilang mereka bisa menjelaskan semuanya tentangku. Kupikir ... itu juga termasuk anting ini." Giovanni mengeluarkan anting kristal pemberian Bunda.
Furash, Raven dan Alvia langsung merasa gemetar begitu melihat anting itu. Begitu Giovanni memasukkannya kembali ke saku baju, perasaan yang mereka rasakan menghilang.
Melupakan perasaan gentarnya barusan, Furash kembali menanyai Giovanni.
"Apa kau yakin kalau mereka masih hidup setelah iblis yang namanya Gagor itu mengeluarkan cahaya terangnya?"
Giovanni bereaksi cukup keras pada pertanyaan Furash, "Tentu saja aku yakin! Bunda kuat, aku yakin dia mengalahkan Gagor! Aku yakin dia dan semua penghuni desa masih hidup, jadi aku tidak perlu bertanya pada Paman Derek atau Pak Tua Michael!"
Raven memandang Furash dan mengisyaratkan padanya untuk menyudahi mengorek masa lalu Giovanni. Furash pun mengerti maksud tatapan Raven itu.
"Kalau begitu, kita harus menuju ke desa tempat tinggalmu untuk memastikan lebih jauh."
Furash mengambil peta dari dalam tas dan meminta Giovanni menunjukkan lokasi pasti Desa Roveena.
Setelah beberapa saat menghabiskan waktu untuk mengira dan menebak-nebak berdasarkan penuturan Giovanni yang kurang detail, akhirnya Furash pun berkesimpulan kalau lokasi Desa Roveena ada di barat laut padang pasir Scorche, kemungkinan berada di balik hutan rimba tak terjamah yang ada di seberang padang pasir tersebut.
Raven bergumam pelan begitu Furash menarik kesimpulan itu. Dia dan Alvia melirik satu sama lain sebelum keduanya saling berbisik.
"Bukankah di sana letak Desa Roveena dalam legenda yang Tuan Furash katakan?" tanya Alvia pelan.
"Iya, aku yakin Tuan Furash sedang berusaha menguak identitas Giovanni. Dia pasti akan menghubungkannya dengan kebenaran legenda itu," jawab Raven.
Furash menggaruk kepalanya karena bingung bagaimana Giovanni bisa berada begitu jauhnya di selatan.
Tidak logis bagi Giovanni untuk tiba-tiba ada di dalam rubanah di dekat daerah pesisir yang ada di seberang selatan padang pasir Scorche.
"Hmm, ini akan jadi perjalanan panjang untuk sampai ke desamu." Furash berdiri seraya berkacak pinggang. "Tapi, bukan party Raz Agul namanya kalau tidak berani berpetualang jauh!"
"Tunggu, kita akan menyebrangi padang pasir Scorche?" Alvia tak habis pikir Furash secara sepihak memutuskan.
Raven ikut mengatakan keberatannya, "Tapi, Tuan Furash. Akan butuh waktu lama untuk sampai ke sana. Belum lagi menyebrangi padang pasir Scorche. Untuk sampai ke El Murno saja kita mengambil jalan memutar dari pesisir timur."
"Lantas akan ke mana lagi kita setelah ini? Kalian bahkan belum memikirkannya, kan?"
"Bukan begitu, Tuan. Tapi, bagaimana rutenya? Biayanya? Dan resikonya!"
Alvia dan Raven keberatan karena alasan yang sama, bukan sebab mereka tidak memiliki tujuan lagi setelah El Murno. Tapi, Furash seolah tak melihat kerisauan mereka berdua.
"Ada banyak hal yang perlu kita pertimbangkan terlebih dahulu sebelum melintasi Scorche, Tuan." Raven melanjutkan.
Alvia sepaham dengan pemuda itu, "Iya, betul! Apalagi kalau sampai kita datang ke lokasi yang salah. Kita akan buang-buang waktu sesampainya di sana."
Furash masih berkacak pinggang memandangi dua anggota partynya dengan senyum kecut dan gelengan kepala yang sarat akan kekecewaan.
"Dengar, anak-anak. Perbedaan kita dengan gelandangan adalah kita bisa mendapat uang dari berburu monster. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan masalah pangan dan semacamnya selama masih bisa menemukan monster di sekitar kita."
"Tapi bukan itu masalahnya!" Emosi Raven agak melunjak.
"Lantas?" Sebelah alis Furash naik.
"Resikonya tak sepadan dengan kemungkinan hasil yang kita dapat!" balas Alvia ketus.
Perdebatan pun terjadi diantara mereka bertiga, Giovanni yang sedari tadi diam dibuat jadi merasa bersalah.
Dirinya menganggap telah terlalu membebani party Furash sejak Raven dan Alvia tadi keberatan pada keputusan pria tua itu untuk membantunya.
Giovanni menjadi berpikir untuk tidak lagi mengandalkan party Furash untuk membantunya. Dia merasa tak mau merepotkan mereka bertiga dan ingin pergi sendiri kembali ke desanya.
Saat Giovanni mengatakan hal ini, Furash dan partynya segera menolak mentah-mentah pemikiran tersebut.
"Kau bodoh atau apa? Dengan kakimu itu, kau bisa apa di luar sana?" kata Alvia.
"Apa kau punya uang untuk perjalananmu? Apa kau tahu jalannya?" Raven berdecak lidah heran.
"Kalau kau ingin mengembara sendirian setidaknya kau harus bisa sihir atau punya keahlian tertentu untuk bertahan hidup di alam liar. Apa kau menguasai salah satu keahlian itu?" Furash menatap Giovanni tajam.
Giovanni tidak bisa mengatakan kalau dia punya segala yang dibutuhkan untuk mengembara sendirian. Akhirnya, dia pun meminta maaf atas pemikiran pendeknya tersebut.
"Aku hanya tidak ingin kalian bertengkar karena diriku. Maaf telah membebani kalian bertiga." Giovanni merasa bersalah.
Furash dan anggota partynya malah tertawa yang membuat Giovanni mengerutkan dahi kebingungan.
"Kami berdebat itu biasa, tapi bukan berarti kami tak mau membantumu," ucap Raven.
"Ya, betul! Kami hanya berusaha mencari jalan terbaik untuk menolongmu." Alvia menyunggingkan lagi senyumannya.
Giovanni membalas senyum Alvia dengan ringis tipis yang kelihatan amat canggung.
"Kalian membuatku cemas saja," ucapnya.
Furash tertawa, "Begitulah kami menyelesaikan masalah."
Diskusi pun kembali berlanjut begitu suasana sedikit lebih cair.
Furash dan anggota-anggota partynya pada akhirnya dapat sepakat untuk membantu Giovanni tanpa memikirkan rute dan lokasi pasti Desa Roveena lebih dahulu, mereka akan mengurusnya nanti.
Selain itu, ada hal lain yang party Furash sepakat untuk diprioritaskan. Yaitu, kemampuan memanah Giovanni guna digunakannya mempertahankan diri selama dalam perjalanan.
"Aku yakin bisa mengasah kemampuan memanahku." Giovanni berkata dengan percaya diri.
"Itu bagus, kau juga harus mempelajari ilmu sihir. Meski hanya sedikit saja, aku yakin Alvia bisa membantumu," ujar Furash.
Raven pun berkata akan turut andil mengajari Giovanni sihir. Giovanni hanya dapat berharap bahwa nanti usaha mereka mengajarinya tidak akan sia-sia.
Ada satu hal lagi yang party Furash sepakat mereka putuskan, Giovanni harus bergabung dengan party mereka dan menjadi pemburu monster secara resmi.
Hal ini membuat Giovanni ragu. Tidak mudah baginya untuk memberanikan diri karena tingkat kepercayaan diri yang rendah. Tapi, berkat dorongan Furash dan yang lain Giovanni pun akhirnya setuju untuk mendaftar sebagai pemburu monster.
Tawa suka cita mewarnai akhir diskusi panjang mereka berempat.
Sementara itu di luar penginapan, ada di atas atap sebuah gedung di seberang jalan. Nampak seseorang memperhatikan Giovanni dan party Furash melalui kaca jendela kamar yang terbuka.
Orang itu kemudian segera menghilang ke udara ketika bulan tertutup oleh awan.
***
Keesokan hari, Furash membawa Giovanni ke gilda untuk mendaftar menjadi pemburu monster.
Petugas yang melayani pendaftaran sempat memperhatikan Giovanni dari ujung kaki hingga pucuk kepala sebelum menanyai Furash.
"Kau yakin mau mendaftarkan anak kecil ini sebagai pemburu monster? Kakinya bahkan hanya ada satu."
Furash menjawab dengan mantap, "Ya! Tentu saja."
"Apa orang tuanya tahu?"
Petugas itu melihat Giovanni sekali lagi, lalu kembali memandang Furash. Pria itu pun harus menjelaskan dengan rinci pada si Petugas tentang latar belakang Giovanni. Namun, petugas itu tetap menolak melayani pendaftaran Giovanni.
"Apa masalahnya? Kau tahu anak ini berada sangat jauh dari orang tuanya. Mungkin dia adalah budak yang kabur. Apakah aturan menjadi pemburu monster seketat itu?"
Si Petugas berdecak lidah. "Kau ... ya, ampun. Kalau kujelaskan padamu akan butuh waktu lama. Yang jelas, anak di bawah 16 tahun tak boleh mendaftar sebagai pemburu monster."
"Tapi, selalu ada pengecualian, kan? Anggota partyku juga ada yang seumuran dengannya."
Si Petugas melirik ke pojok gilda mengikuti arah telunjuk Furash. Dia melebarkan mata saat melihat Alvia.
"Siapapun yang membiarkannya mendaftar adalah orang tak bertanggung jawab," ujar si Petugas.
"Tapi, bukan berarti orang itu bodoh 'kan?" Furash diam-diam menaruh sekantung penuh shiling ke atas meja resepsionis.
Si Petugas kaget melihat suap yang Furash berikan. Dia memperhatikan ke sekitar dengan tatapan waspada. Setelah beberapa kali menoleh ke kanan dan kiri, dirinya pun tersenyum.
"Kau tahu caranya bermain."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top