25 Jangan

Hari ini, Adam menyerahkan diri kepada kepolisian dan Aksa tahu itu adalah keputusan paling tepat untuk mengamankan Adam. Keluarga Natalia atau lebih tepatnya keluarga Hardianto, diketahui adalah salah satu keluarga berpengaruh di Indonesia yang dapat dikatakan kebal hukum. Entah sudah beberapa kali kasus hukum, khususnya permainan uang yang harus dihadapi anggota keluarga mereka dan karena hal itu juga mereka dibebaskan. Itu sangat menyiksa.

Tidak, Aksa tidak mendapat perintah untuk mengusut mengenai keluarga Hardianto. Lagi pula, dia masih mau hidup normal, tidak mau menjadi salah satu orang yang akan dikejar pesuruh keluarga itu sebelum akhirnya dihilangkan dari dunia. Aksa masih ingin menikmati hidupnya, benar-benar secara normal. Usianya masih terlalu muda untuk hidup seperti ini, menjadi mata-mata untuk beberapa instansi negara yang memang membutuhkan keahliannya dalam menyelidiki.

Andai saja Aksa tidak terlahir jenius dan cekatan, mungkin dia tidak menjalani hidup seperti ini.

Jam sudah menunjukkan pukul satu siang saat Aksa selesai mandi. Pemuda itu tidak berniat berangkat ke kampus hari ini, toh dia memang sedang menyusun skripsi yang sebenarnya tak harus dia susun. Aksa sudah mendapat gelar profesor dua tahun lalu, longkap kelas adalah hobinya. Aksa terpaksa menyamar sebagai mahasiswa, mendapat tugas khusus untuk menyelidiki adanya keanehan pada kampus tempatnya sekarang menimba ilmu.

Tangan Aksa meraih ponsel yang dia letakkan di atas nakas di samping ranjang, Rissa belum menghubunginya.

Kamu selesai jam berapa? Aku jemput, aku gak kuliah.

Hanya hitungan detik, Rissa membalas pesan Aksa cepat.

Jam 2 aku selesai.

Aksa mengangguk-anggukkan kepala sebelum memasukkan ponselnya ke saku celana. Dengan santai, dia mengenakan jaket jeans dan kunci mobil, melangkah keluar dari apartemen untuk menjemput gadis yang sungguh-sungguh dia ingin jaga.

Meski semua berawal dari janji yang harus dia tepati.

Beberapa bulan lalu.

***

Helaan napas Aksara Gabriel Deandra terdengar  cukup jelas, membuat resah seorang laki-laki paruh baya yang duduk dengan tubuh sedikit bergetar, keringat mengalir di pelipis dan laki-laki itu mencoba mengatur pernapasannya dengan baik.

"Jadi, Anda hanya mendapat sepuluh miliar dari transaksi itu?"

Laki-laki itu mengangguk. "Sisanya diberikan kepada Ketua Partai. Tapi saya gak pernah tahu secara rinci berapa yang didapat."

Aksa mengangguk-anggukkan kepala, kemudian membaca kertas yang ada di pangkuannya, masih dengan wajah tenang. "Anda tahu berapa yang Ketua Partai Anda dapatkan?" Aksa kembali menghela napas, "Total permainan angka yang kalian buat untuk proyek bayangan yang sangat merugikan keuangan negara ini adalah dua triliun. Kalian kasih janji palsu ke rakyat, untuk pembangunan, tapi sebenarnya gak sebesar itu dana yang diperlukan dan lagi, ini menggunakan uang rakyat."

Laki-laki itu menundukkan kepala, memejamkan mata. "Saya tahu ini salah, saya gak akan menghindari konsekuensi hukum yang akan saya dapatkan, tapi saya mohon. Apa bisa kasus kasus ini dijalankan tanpa mengundang perhatian publik? Saya punya keluarga yang gak boleh tahu dan terlibat dalam kasus ini."

"Anda gak berpikir seperti itu saat menerima uang sepuluh miliar itu."

"Saya gak punya pilihan lain." Laki-laki itu menggelengkan kepala, masih tertunduk lesu. "Masuk ke dunia politik benar-benar menyusahkan. Saya tergiur banyak tawaran dan menghabiskan terlalu banyak uang untuk kampanye. Saya butuh uang untuk tetap menjalankan usaha yang saya miliki dan gaji sebagai politikus tidak mencukupi."

Aksa tersenyum tipis dan menggeleng. "Jangan beralasan. Anda tetap bersalah dan akan dihukum."

"Saya siap menerima hukuman, tapi saya mohon, berikan jaminan jika keluarga saya akan baik-baik saja. Terutama putri saya. Dia...dia berhak hidup bebas tanpa bayang-bayang kesalahan saya."

"Pak Alamsyah,"

"Saya mohon, jaga putri saya. Apa pun yang terjadi. Saya akan koperatif selama pemeriksaan." Laki-laki itu mengangkat wajah, menatap pemuda di hadapannya dengan lekat, matanya berkaca-kaca. "Saya gak mau dunia jahat ke dia. Dia berhak mendapat kebahagiaan. Dia baru mencoba kehidupan luar."

Satu alis pemuda itu terangkat. "Saya gak kenal dengan Anda, apalagi putri Anda."

"Saya mohon, pastikan keamanan putri saya." Seperti kelabakan, laki-laki itu meraih ponsel di sakunya, menunjukkan sebuah foto dari dalam dompetnya kepada Aksa. Selfie laki-laki itu dengan seorang gadis muda dan cantik, terlihat sangat bahagia dengan senyuman lebar memperlihatkan gigi-gigi putih bersihnya. "Clarissa Arsy Seran namanya. Panggilannya Rissa. Cantik, kan?" Laki-laki itu memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku, "Saya berdosa banyak kepada putri saya sejak menginjakkan kaki ke dunia politik. Dia dibully dan sempat berhenti melihat dunia luar selama beberapa tahun lamanya. Sekarang, dia baru ingin kembali mengenal dunia dan saya takut karena kasus ini kejadian yang sama terulang."

Aksa mengernyitkan dahi. "Itu konsekuensi yang Anda dapat dan Anda tahu sejak awal."

"Saya gak tahu harus minta tolong siapa lagi. Saya tahu, ponsel saya sudah disadap dan gerak-gerik saya sudah diawasi setahun belakangan. Saya gak bisa menghubungi orang-orang terdekat, meminta bantuan. Mereka akan mendapat masalah juga jika saya hubungi."

Senyuman tipis muncul di bibir Aksa. "Anda cukup cerdas."

"Tolong, saya mohon dengan sangat. Jaga putri saya, saya siap menghadapi hukuman apa pun, tapi biarkan putri saya menjalani kehidupan normalnya."

Mata Aksa memicing mendengar permohonan itu. "Anda gak kenal saya dan Anda mempercayakan saya untuk menjaga putri Anda?"

Mata laki-laki itu berkaca-kaca saat senyuman tulus muncul di bibirnya.

"Saya tahu saya bisa percaya kamu."

🌹🌹🌹

Clarissa Arsy Seran baru saja masuk ke dalam mobil dan senyuman lebar muncul di bibir Aksa saat melihat gadis itu. Terlihat cantik padahal hanya mengenakan sweater ungu kebesaran dan celana jeans. Make up yang Rissa kenakan juga sangat tipis, tidak berlebihan dan tidak menutupi wajah cantik naturalnya. Aksa suka.

"Kenapa gak kuliah?" tanya Rissa, menyadari tatapan Aksa kepadanya sejak dia masuk ke mobil.

Aksa nyengir kuda. "Ketiduran."

Rissa memutar bola matanya. "Kebiasaan. Begadang terus, sih."

Bibir Aksa mengerucut. "Ya, aku bisa tidur pulas tanpa begadang kalau tidur sama kamu doang. Makanya, nanti malam tidur bareng, ya?"

Tonjokan kecil mendarat di lengan Aksa. "Genit!"

Aksa terkekeh geli. "Tapi kamu senang, kan? Bangun tidur lihat aku." Pemuda itu mengedip dengan satu mata dan Rissa tertawa melihatnya.

"Gak usah kedap-kedip! Mata kamu udah sipit. Gak cocok."

Bibir Aksa kembali mengerucut. "Rasis banget kamu mentang-mentang matanya belo." Aksa mulai melajukan mobil meninggalkan area kampus.

"Dih, kamu aja yang over sensitive!" Rissa memberikan pembelaan.

Tangan Aksa menyalakan audio di mobilnya dan seperti sebuah takdir, lagu Maroon 5 yang pernah mereka nyanyikan bersama berputar. She will be loved dan keduanya bernyanyi bersama ketika bagian refrain tiba.

I don't mind spending everyday
Out on your corner in the pouring rain
Look for the girl with a broken smile
Ask her if she wants to stay a while
And she will be loved
And she will be loved

"Clarissa,"

Suara berat Aksa mengalihkan perhatian Rissa yang semula terfokus pada jalanan kota Jakarta di siang hari. Rissa menatap Aksa, sisi wajahnya yang tegas dan menarik. Aksa memang tampan, dari sisi mana pun. Rissa tak akan heran saat banyak gadis yang memandangnya iri tatkala bersama Aksa. Aksa memang setampan itu.

"Kamu sayang aku, kan?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Aksa, pemuda itu menoleh sekilas sebelum kembali fokus menatap jalan.

Rissa mengernyitkan dahi. "Kenapa nanya terus?"

"Karena aku butuh kepastian langsung dari kamu."

"Ya, aku udah bertahan selama ini sama kamu, itu belum cukup menjawab?" Rissa kembali bertanya.

Senyuman tipis muncul di bibir Aksa, sesaat kemudian pemuda itu menghela napas. "Jangan tinggalin aku, Sa."

Kini, Rissa yang menghela napas dan memandang Aksa gusar. "Kamu yang jangan pernah tinggalin aku, Sa."

Aksa terkekeh. "Gak akan, Sa. Aku janji."

"Janji ke aku, Sa. Bukan ke Papa."

Wajah Aksa mengeras, pemuda itu menahan napas dan tak berani menoleh saat suara Rissa kembali terdengar.

"Aku tahu semuanya."

🌹🌹🌹

Hati Rissa seakan tercabik-cabik hancur mendengar apa yang baru saja Ethan katakan kepadanya. Tentang seseorang yang beberapa bulan belakangan menjadi orang yang paling Rissa percaya, tapi nyatanya tidak seperti itu. Lagi dan lagi, Rissa dibohongi dengan landas melindungi.

"Aksa yang menyelidiki kasus Papa kamu dan dia turut andil menjadi alasan kenapa Papa kamu ada di penjara saat ini."

Mata Rissa sudah berkaca-kaca, dia ingin menangis dan berteriak kepada Ethan,m bahwa dia tidak percaya. Tapi bukti-bukti yang Ethan tunjukan kepadanya jelas menampar Rissa keras. Mulai dari foto, hingga berkas. Semua menunjukkan bahwa Ethan tidak berbohong.

"Aku tahu, pasti berat buat kamu. Please, pertimbangkan baik-baik. Aku siap jaga kamu, aku siap jadi rumah buat tempat kamu berteduh."

Rissa mengerjap, mendongakkan kepala berharap angin bisa menyapu air mata yang dalam waktu dekat jatuh di pipinya.

🌹🌹🌹

"Sejak...kapan?"

Rissa tersenyum tipis, "Sejak lama."

Aksa mengerjap, menahan napas. Pemuda itu memutuskan untuk mencari tepi jalan yang cukup sepi untuk menepikan mobil. Setelah menepikan mobil, Aksa menatap Rissa lekat dan kecemasan muncul di wajahnya, "Rissa, aku memang janji sama Papa kamu buat jaga kamu, tapi aku serius waktu bilang aku sayang kamu. Aku benar-benar sayang sama kamu dan aku janji, aku gak akan tinggalin kamu."

"Kenapa kamu gak pernah bilang ke aku tentang semua ini?"

Aksa memejamkan mata sekilas, merengkuh pundak Rissa. "Aku bingung bilangnya, aku nunggu waktu yang tepat dan maaf, akhirnya kamu tahu semua bukan dari mulutku."

Rissa menghela napas. "Aku kecewa sama kamu, Sa, awalnya." Gadis itu menundukkan mata sekilas, "Tapi setelah apa yang kita lalui bareng, aku jadi takut. Aku gak punya siapa-siapa lagi. Aku gak mau ngerasain kehilangan lagi."

"Kamu selalu punya aku, Sa."

Rissa menatap Aksa lekat dan tersenyum tipis. "Jangan tinggalin aku, Aksa."

"Gak akan. Aku sayang kamu."

"Aku juga."

Aksa menarik Rissa ke dalam dekapan hangatnya, Rissa balas mendekat Aksa erat, menyandarkan kepalanya di bahu Aksa yang mengelus lembut punggungnya penuh kasih, meski pun Aksa tak akan pernah melihat seringai tipis di bibir Rissa saat ini.

TAMAT

🌹

ITS FINALLY OVER!
Yaaayyy!!
Thank you yang udah baca Arasa dari awal sampai tamat. Mungkin gak seperti ekspektasi kalian, tapi yaudahlah yang penting kelar juga ini buku, hehe
Maaf kalo banyak kekurangannya huhu

Boleh komen kesan-kesan kalian selama baca Arasa🥲

Aku juga mau berterima kasih untuk kalian-kalian yang udah jadi pembaca pouringrain11 sejak awal aku publish cerita sampai sekarang. Kadang masih gak nyangka ada yang mau baca ketikan berantakanku🥲
Maaf beberapa tahun belakangan aku gak begitu aktif di Wattpad. Kehidupan di real life benar2 menyita waktu dan pikiran.
Semoga kalian yang masih ada dan baca pesan ini selalu diberi kebahagiaan dan kewarasan dalam menghadapi hidup ya😇

Cerita baru aku belum tahu sih, hehe.
Belum ada ide. Ada yang mau kasih ide? Haha, tapi jangan ditungguin yaa, takut kelamaan😅

Sekali lagi, terima kasih yang masih berkenan membaca buku-buku aku, i am so grateful🥰
See you sooner, di buku baruku yaa

Love,
A x

14 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top