19 Rumah Sakit
Bersyukur. Satu kata yang mencerminkan bagaimana perasaan Rissa saat ini, mengetahui sang Papa mulai membaik tidak seperti kemarin. Sungguh, Rissa tak habis pikir, bagaimana sang Papa bisa keracunan makanan seperti itu. Maksudnya, sudah beberapa bulan Papa berada di lapas dan baru kali ini Papa mengalami keracunan makanan, padahal menu yang disajikan juga sama seperti yang lain.
"Kami mencoba mencari tahu lebih lanjut mengenai kenapa Bapak Alamsyah bisa mengalami keracunan. Dari hasil lab terhadap darah Bapak Alamsyah didapat hasil terdapat racun asetat yang mungkin berada di makanan Bapak Alamsyah." Salah seorang polisi yang sedari semalam menemani di ruangan rawat Alamsyah, berujar tegas setelah membaca pesan masuk di ponselnya.
Rissa menghela napas. "Siapa yang racunin Papa, Pak? Gimana bisa lolos dari pengawasan?"
"Hal itu masih diselidiki, Mbak. Secepatnya akan kami beritahu."
"Terima kasih banyak, Pak." Rissa sedikit membungkukkan tubuh kepada polisi paruh baya yang menemaninya semalam suntuk menjaga sang Papa.
"Sama-sama, Mbak. Saya izin ke luar sebentar, mengangkat panggilan lain."
Rissa mengangguk dan polisi itu meninggalkan ruang rawat Papa Rissa, meninggalkan Rissa yang Kembali menatap sang Papa dengan sendu. Semalaman, Rissa tidak bisa tidur, menangisi cemas kondisi sang Papa meskipun, dokter bilang, Papa-nya akan baik-baik saja. Tetap saja. Rissa merasa bersalah. Seharusnya, dia bisa lebih sering memeriksa kondisi Papa, tidak bertemu Papa dala kondisi seperti ini.
Saking mencemaskan kondisi Papa, Rissa bahkan melupakan satu hal penting. Aksa. Sial. Rissa bisa melupakan Aksa yang mengantarnya ke rumah sakit dan ikut menangkannya sedari semalam.
Gadis berambut panjang itu meraih ponsel di atas nakas kecil di samping ranjang sang Papa. Jarinya bermain di atas layer ponsel, mencari kontak Aksa dan mulai menghubungi Aksa. Rissa menghela napas. Nomor Aksa tidak aktif dan Rissa tak tahu ke mana perginya Aksa.
Rissa memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat kepada Aksa.
Sa, kamu di mana? Udah makan belum? Maaf, aku terlalu fokus sama Papa jadi lupa kamu. Kabarin aku secepatnya, ya.
Setelah mengirimkan pesan tersebut, Rissa hendak meletakkan Kembali ponselnya di atas nakas, namun ponselnya berdering. Gadis itu buru-buru menatap layer ponsel dan dia menghela napas mendapati ada nama Ethan di sana. Beberapa bulan belakangan, nama kontak yang sering muncul di ponsel Rissa hanya Aksa, jadi ya, tak perlu ditanya siapa yang sedari tadi ditunggunya.
"Halo, Than?"
"Rissa, shareloc kamu lagi di mana."
Rissa mengerjap. "Hah?"
"Shareloc sekarang."
Lagi, mengerjap. "Kenapa, Than? Kamu di Jakarta?"
"Aku ke rumah kamu dan aku gak tahu, ya, harus komentar apa. Rissa, kamu gak kasih tahu apa pun tentang apa yang terjadi!"
Rissa mengerjapkan mata, dadanya terasa sesak sendiri mendengar Ethan berbicara dengan nada tinggi padanya. Rissa sudah menduga, hari ini pasti datang. Saat Ethan mengetahui fakta buruk tentang yang terjadi pada keluarga Rissa selama dia berada di Afrika. Rissa hanya tak mau Ethan cemas. Pemuda itu pasti memiliki sangat banyak masalah yang harus dia hadapi selama masa relawannya.
"Than, bukannya aku gak mau kasih tahu, cuma gak semudah itu kasih tahu kamu." Suara Rissa terdengar seperti cicitan, tapi tak meredakan amarah Ethan.
"Kita udah lama dekat, loh, Ris! Kenapa kamu ngerahasiain hal sebesar ini dari aku?! Aku gak tahu kalau kamu melewati masa sesulit ini! Sendiri juga! Kalau tahu begini, aku bisa ngajuin pulang ke Indonesia lebih awal buat bantu kamu, nemani kamu!"
Rissa menarik napas, menghelanya perlahan dan di saat bersamaan, perhatiannya teralihkan saat melihat sosok yang dicarinya saat membuka mata tadi, melangkah ke luar dari elevator membawa sebuah kantung dan melangkah menghampirinya.
"Than, aku hubungi lagi nanti. Aku ada urusan. Dah."
Seperti seseorang yang kepergok berselingkuh, Rissa mengakhiri panggilan dan mematikan ponselnya dengan cepat sebelum memasukkannya ke saku celana. Senyuman gadis itu mengembang begitu seorang Aksara Gabriel Deandra berhenti di hadapannya.
"Siapa yang telepon?" tanya Aksa, satu alisnya terangkat.
Rissa tersenyum canggung. "Ethan."
"Ngapain?"
"Dia di Jakarta sekarang. Marah karena aku gak cerita tentang kasus Papa dan kondisi keluargaku sekarang."
Aksa yang biasanya banyak bertanya hanya menghela napas dan mengangguk. Tangan kanannya bergerak mengelus kepala Rissa, sementara tangan kirinya menyodorkan kantung plastik yang dia bawa sambil berkata, "Kamu sarapan dulu, ya? Aku beliin nasi uduk. Kamu makan di kantin aja, biar aku yang gantian jaga Papa kamu."
Tangan Rissa meraih kantung plastik tersebut. "Kamu dari mana? Kenapa gak bisa ditelepon? Muka kamu capek banget."
Tak disangka, Aksa tersenyum lebar. Pemuda itu melakukan gerakan perenggangan otot tubuh sebelum berkata, "Duh, jadi senang gini pagi-pagi dapat perhatian khusus dari pacar."
Rissa memutar bola matanya. "Aku nanya serius! Jangan bercanda!"
Aksa terkekeh dan menurunkan tangannya. Tangannya gemas mencubit pipi Rissa sebelum melepaskannya dan menjawab, "Ada urusan penting mendadak. HPku low batt. Ini aku mau charge . Kamu bawa charger, kan?" Aksa menunjukkan ponselnya yang mati kepada Rissa.
Rissa mengangguk. "Ada di dalam tas. Ambil aja."
"Ya, udah. Kamu sarapan dulu sana. Habisin, ya? Ini enak banget nasi uduknya. Kesukaan aku." Aksa menaik turunkan alisnya, tersenyum menggoda.
Lagi, Rissa mengangguk dan tersenyum kecil. "Kalau ada apa-apa, telepon aku, ya? Aku usahain makan gak lama."
"Jangan cepat-cepat juga, nanti keselek."
"Iya, ya. Ya, udahlah. Aku sarapan dulu. Kamu udah sarapan?"
Aksa mengangguk. "Udah, Sayang. Sana sarapan. Makan yang banyak, ya, biar rada berisi itu badan. Udah kayak tengkorak hidup."
Bibir Rissa mengerucutkan bibir dan memutar tubuhnya, melangkah menuju kantin untuk memakan nasi uduk yang Aksa bawakan.
Aksa menatap punggung gadis itu sebelum hilang dari pandangan, masuk ke dalam elevator. Pemuda itu tak bisa menghilangkan senyuman di bibirnya, kemudian berbalik dan melangkah memasuki ruang rawat Alamsyah Seran yang masih terbaring tak sadarkan diri.
🌹🌹🌹
Rissa tak dapat menyelesaikan makannya dengan tenang saat dia kembali menyalakan ponsel dan ada puluhan panggilan tak terjawab dari Ethan. Di saat bersamaan dia baru menyalakan ponselnya, Ethan sudah kembali menghubunginya dan Rissa tahu, dia tak akan bisa terus menghindari Ethan seperti ini.
"Kamu di mana?" Ethan langsung bertanya, tanpa berbasa-basi. Namun dari nada bicaranya, pemuda itu sudah sedikit melembut, tidak setinggi tadi.
Rissa menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "rumah sakit."
"Hah? Kenapa?! Kamu gak apa-apa?!"
"Papa masuk rumah sakit."
"Rumah sakit mana? Shareloc. Aku ke sana."
Rissa memejamkan mata. Dia tak mau Ethan melihatnya dalam kondisi terpuruk seperti ini. "Gak usah, Than. Aku gak apa-apa. Papa juga udah membaik. Tinggal tunggu sadar dari efek biusnya."
"Kamu sama siapa di sana? Aku ke sana. Aku temani kamu."
Lagi, Rissa menggelengkan kepala. Dia benar-benar tak mau Ethan melihatnya seperti ini. Rasanya, Rissa sangat merindukan sahabat baiknya itu, tapi sangat egois membiarkan Ethan ikut memikirkan kondisi keluarganya. Rissa sudah sangat merepotkan Ethan sedari dulu.
"Aku...udah sama pacarku di sini, Than. Tenang aja."
"Pacar? Maksudnya, cowok yang kemarin? Rissa, kamu gak bisa pacaran sama orang sembarangan! Kamu belum kenal dia! Aku baru tinggal kamu enam bulan dan kamu jalin hubungan dengan orang yang baru paling lama enam bulan kamu kenal?!" Ethan terdengar seperti bicara dengan satu helaan napas.
Rissa mengerjap. "Dia cowok baik-baik, aku percaya."
"Gak ada cowok baik yang ada di tempat ceweknya pagi-pagi, pakai piyama, Rissa. Dia udah ngapain kamu? Ya, Tuhan, Rissa. Gak seharusnya aku ambil enam bulan relawan itu."
Rissa menundukkan kepala. "Gak apa, Than. Aku gak bisa selamanya berketergantungan sama kamu. Aku berhak punya pilihanku sendiri, begitu pun kamu. Semua bukan salah kamu, oke?"
"Aku ke sana. Shareloc, Clarissa."
"Gak usah, Than. Aku bisa urus masalah keluargaku sendiri."
"Aku mau ketemu kamu!" Lagi, suara Ethan meninggi.
Rissa menghela napas. "Oke, aku shareloc. Udah dulu, ya? Hubungin aku kalau udah sampai."
"Oke, Rissa."
Panggilan berakhir dan Rissa beranjak dari kursinya, melangkah kembali ke ruangan Alamsyah yang terletak di lantai 3 gedung rumah sakit. Begitu Rissa sampai di ruangan, senyumannya merekah melihat sang Papa sudah tersadar dan tengah mendapat penanganan dari tim medis.
"Papa!" Rissa berhambur mendekat, memeluk sang Papa yang masih terbaring setelah tim media mengizinkannya untuk mendekat.
Alamsyah balas memeluk erat putrinya. "Maafin Papa, Rissa. Papa menyusahkan kamu. Papa menghancurkan keluarga kita. Papa buat kamu menderita seperti ini." Alamsyah menangis tersedu-sedu dan sukses membuat Rissa ikut menangis mendengarnya.
Rissa menggeleng. "Enggak, sampai kapan pun, Rissa akan tetap bangga sama Papa. Rissa gak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi Rissa tahu, Papa adalah Papa terbaik yang Rissa punya."
Pelukan mereka terlepas, Alamsyah merengkuh pundak Rissa dan mengelus pipi putri kesayangannya itu. "Kamu kurusan. Papa kangen banget sama kamu. Papa gak tahu bagaimana kabar kamu di luar sana."
"Rissa sehat, Pa. Rissa diet, hehe, makanya kurusan. Rissa baik-baik aja, Papa gak usah cemasin Rissa. Papa jaga kesehatan Papa. Jangan stress-stress. Maaf Rissa gak bisa bantu Papa apa pun."
Alamsyah tersenyum simpul. "Papa akan baik-baik aja selama Rissa bisa memastikan diri Rissa baik-baik aja. Papa gak tahu kamu tinggal di mana? Bagaimana kampus kamu? Apa kamu kesulitan karena kasus Papa? Bagaimana kamu makan? Mama benar-benar pergi tanpa kabar? Rissa, kamu pasti kesusahan di luar sana."
Obrolan penuh kerinduan orangtua dan anak itu terjadi dan tim medis sudah cukup paham untuk meninggalkan keduanya, supaya lebih punya banyak waktu bersama.
Sementara di luar ruangan, Aksa menunggu di kursi tunggu dengan kepala tertunduk dan senyuman tipis di bibirnya. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Rissa memasuki ruangan sang Papa dan belum juga ke luar, Aksa memilih untuk menunggu dan tidak menganggu momen ayah dan anak tersebut. Tadi selama dia berada di ruangan Alamsyah, Aksa yang menghubungi tim medis untuk datang saat Alamsyah menunjukkan ciri-ciri siuman. Aksa tidak menunggu di dalam, dia memilih untuk ke luar dan dia tidak menghalangi sedikit pun langkah Rissa saat hendak memasuki ruangan. Setidaknya, Aksa tahu Rissa pasti sangat bahagia bisa kembali bertemu dengan sang Papa yang baik-baik saja.
"Alamsyah Hadi Seran. Saya mau ke ruangannya."
Perhatian Aksa teralihkan saat mendengar suara keras tersebut. Aksa menoleh dan pemuda yang sepertinya seusia dengannya, berkulit tanned dan nampak sangat tidak asing tengah bertanya kepada seorang perawat yang baru ke luar dari salah satu ruangan.
Selesai bertanya, pemuda itu berbalik dan langkahnya yang semula tergesa-gesa melambat, saat dengan cepat dia mengenali pemuda berkulit putih pucat yang duduk di depan ruangan yang hendak dia tuju. Pemuda yang juga tengah menatapnya teramat tajam.
"Lo?!"
Ah, sepertinya Aksa mulai mengenali pemuda yang mengganggu paginya dan Rissa, kemarin.
---
New Chapter!
Maaf kalo ngaco, yaa. Hope you like this!
Karena udah mulai new chapter, kalo lanjutnya rada lama maafin yaa. Mood nulis udah gak sebaik dulu, semoga masih enak buat dibaca.
Thank you & stay safe all! :)
26 July 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top