18 Keracunan
Butuh waktu 30 menit untuk Aksa membersihkan tubuh di kamar mandi sebelum kembali ke ruang makan di mana Rissa sudah menunggu dengan harap-harap cemas. Aksa menghela napas, rambutnya masih setengah basah karena hanya dia keringkan dengan handuk. Dia menarik kursi yang berhadapan dengan Rissa dan duduk di sana, meraih satu potong roti yang Rissa siapkan, sementara mata Rissa menatapnya ragu-ragu. Aksa menghabiskan satu potong roti, meminum setengah gelas susu dan melipat tangan di depan dada menatap Rissa yang benar-benar menunggunya selesai makan.
"Jadi, gimana?" tanya Aksa, memasang wajah serius.
Rissa menghela napas dan menggeleng. "Gimana maksudnya?"
Aksa memicingkan mata. "Tadi siapa? Ngapain pagi-pagi video call kamu? Ngomongnya sok lembut lagi. Gak suka aku."
"Itu...Ethan. Sahabat aku dari dulu." Rissa menghindari tatap mata langsung dengan Aksa.
Satu alis Aksa terangkat. "Yakin? Sahabat?"
Rissa mengangguk. "Iya. Kita udah temenan dari kecil. Tetanggaan." Akhirnya, Rissa memberanikan diri menatap Aksa, "Dia lagi di Afrika. Ada kegiatan. Dia cukup aktif jadi aktivis kemanusiaan."
"Ngapain dia video call kamu pagi-pagi? Sok kecakepan gitu lagi."
Gadis berponi rata itu menghela napas lagi. "Kan, di sana sinyal susah, Sa. Jadi jarang-jarang dia hubungin aku. Katanya, baru ada sinyal, makanya dia langsung video call. Udah lama banget kita gak ketemu dan cerita banyak."
Aksa mengangguk kecil, "Kamu suka sama dia?"
Rissa mengerjap. "Hah? Gimana?"
"Have you ever heard...gak ada yang namanya persahabatan murni antara cewek dan cowok? Salah satunya pasti ada perasaan lebih. Just tell me, kamu gak ada perasaan lebih sama cowok itu dan kamu murni temanan sama dia, itu gak apa-apa. Asal, jangan berlebihan."
Mata Rissa menyipit. "Hah?"
Aksa mendengus. "Hah, hah, hah, mulu! Ah, udahlah. Capek ngomong sama kamu. Udah sana siap-siap. Aku mau jalan-jalan, kamu wajib nemenin."
Rissa menghela napas. "Jalan-jalan sendiri ajalah, Sa. Gak usah ngajak-ngajak aku. Aku males."
Aksa menggeleng santai. "Aku gak ngajak, aku mewajibkan kamu ikut. Cepetan siap-siap."
"Mau ke mana emangnya?"
"Jalan-jalan."
Gadis berambut kecokelatan dengan poni rata yang jatuh di dahinya itu memutar bola matanya. "Jawaban yang sangat jelas." Rissa berujar, sarkasme.
"Cepetan sana mandi! Aku udah rapih gini!"
Rissa tak ada pilihan lain selain menuruti permintaan Aksa.
Butuh waktu tiga puluh menit penuh drama untuk Rissa bersiap. Aksa benar-benar menunggu gadis itu di depan kamar setelah mandi untuk bersiap, sesekali mengetuk pintu kamar Rissa, membuat Rissa jengkel bukan main. Ketika Rissa ke luar, Aksa hanya cengengesan memasang wajah tampan tanpa dosanya.
Tak lama kemudian, keduanya berangkat ke sebuah kafe yang terlihat cukup ramai di pagi hari ini. Rissa mengekori dari belakang ketika Aksa menyapa beberapa orang yang ada di kafe, bahkan beberapa di antaranya menghampiri Aksa. Aksa terlihat sangat akrab dengan orang-orang di kafe ini.
"Tumben bawa cewek, Bos. Cantik lagi. Siapa, nih?"
Rissa tertegun mendengar godaan tersebut, bersamaan dengan Aksa yang menoleh kepadanya, lalu tiba-tiba merangkul Rissa sambil berkata penuh kebanggaan. "Cewek gue, nih. Jangan macem-macem."
Tak tahu kenapa, menyenangkan untuk bisa mendengar suara Aksa yang mengakui Rissa sebagai kekasihnya. Rissa tak tahu kenapa, hanya saja, dia merasa sedikit lebih dihargai keberadaannya.
Aksa mengajak Rissa berkeliling kafe yang terlihat sangat luas dan memiliki kesan klasik dan modern cukup kental. Tempatnya juga sangat nyaman, aroma minuman dan makanan-makanan yang dibawakan oleh para pelayan menuju ke pelanggan juga sangat menggoda. Aksa memperkenalkan Rissa kepada banyak orang yang sepertinya dia kenal dengan baik sampai akhirnya, Aksa mengajak Rissa duduk di salah satu spot yang tersedia, memesan makanan di sana.
"Aku punya saham di kafe ini." Aksa buka suara, membuat Rissa melotot.
"Serius?"
Aksa terkekeh dan mengangguk. "Aku buat kafe ini bertiga sama teman dekatku sejak tiga tahun lalu. Aku pemilik 45 persen komposisi saham. Sisanya temanku. Tapi yang rajin ke sini, ya, aku doang, karena teman-temanku ada di luar negeri semua."
Rissa mengerjap. "Wow. Kamu udah mulai investasi sejak tiga tahun lalu? Itu berarti...dari awal kamu kuliah?"
Aksa mengangguk. "Iya. Pakai uang tabungan selama sekolah sama jual motor kesayangan dulu." Tidak sepenuhnya salah, meskipun ada dana bantuan dari pekerjaan lain yang pernah Aksa lakoni.
Gadis berambut lurus panjang itu menghela napas, bertopang dagu. "Terus, kamu ajak aku ke sini sengaja? Mau pamer gitu?"
Aksa terkekeh sebelum menganggukkan kepala lagi. "Iya, lah. Mau ngasih tahu kalau cowok di hadapan kamu sekarang, punya masa depan yang menjanjikan dan pintar mengelola keuangannya. Gak kayak cowok yang tadi pagi video call kamu. Mukanya kayak gembel lagi."
"Gembel?! Heh! Ethan ganteng tahu! Cuma, ya, tambah hitam aja karena di Afrika panas! Aslinya ganteng dia, Sa! Manis! Dulu, aku aja suka kesel tiap harus anterin surat cinta dari temen cewek aku ke dia!"
Si pemuda berambut hitam pekat itu memutar bola matanya. Aksa ikut bertopang dagu, menatap lekat Rissa, tiba-tiba saja tersenyum menggoda dan membuat Rissa sontak kelabakan.
"Gantengan dia atau aku?"
Rissa mengerjap. "Ya, gantengan...gantengan G-Dragon, sih." Rissa nyengir.
Aksa mengerucutkan bibir. "Aku gak masukin G-Dragon sebagai pilihan. Pilihannya itu cuma dua: aku atau dia?"
"Kenapa harus milih?"
"Karena kamu gak bisa suka sama keduanya."
Rissa memicingkan mata. "Emang aku suka kamu? Gak pernah bilang gitu."
"Gak perlu bilang, sih. Kan, dari sikap juga kelihatan." Aksa bertopang dagu, menatap lekat gadis cantik yang duduk berhadapan dengannya. Senyuman menggoda muncul di bibir merah muda tipisnya, "Lagian, aku sesempurna ini. Ya, masa kamu gak suka?"
Tawa Rissa pecah mendengar ucapan Aksa yang terdengar sangat narsis. "Pede banget, sih, Sa."
Aksa terkekeh. "Gak apa-apa, lah. Bukan pede, sih. Tapi kan nyatanya emang begitu."
Tak lama kemudian, makanan pesanan mereka datang dan disajikan di atas meja. Keduanya makan dalam hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. Selesai makan, Aksa memesan lagi makanan ringan yang dibilangnya akan menjadi teman mengobrol mereka.
"Gak apa-apa, ya, sesekali aku ajak kamu kencan begini? Gak usah ke mana-mana. Berdua aja. Makan, ngobrol, biarin waktu berlalu gitu aja." Aksa tiba-tiba berujar, mengambil satu potong kecil kentang goreng yang menjadi makanan ringan mereka.
Satu alis Rissa terangkat. "Ini kencan?"
Aksa mendengus. "Ya, iyalah. Apa lagi?"
Rissa tertawa kecil, ikut mengambil potongan kentang goreng tersebut, mengunyahnya. "Apaan begini doang."
"Ya, nanti kalau dapat inspirasi, lebih romantis dan intim daripada ini." Aksa menghela napas, "Lagian, kamu video callan sama cowok lain. Bikin aku kesal dan kehabisan ide buat ngatur kencan. Harusnya gak gini."
Rissa mendengus. "Terus aja dibahas. Terus aja diulang."
"Iya, enggak. Dah, ah. Lanjut di makan kentang gorengnya. Enak, loh. Kan, aku yang milih juru masak di sini."
Rissa tersenyum tipis, menuruti perkataan Aksa untuk lanjut memakan kentang goreng tersebut. Keduanya berbincang panjang lebar, lebih banyak berbagi pendapat mengenai hidup seperti apa yang mereka inginkan. Berbincang santai dengan tatap mata melekat ke satu sama lain, tak teralihkan.
Tepat pukul 3 sore, Aksa mengajak Rissa pergi dari restoran tersebut. Keduanya baru melangkah meninggalkan restoran saat mata Aksa menyipit menyadari ada sebuah kardus di kap mobilnya. Aksa melangkah cepat dan meraih kardus tersebut, Rissa mengikuti dari belakang dengan mata ikut menyipit.
Aksa membuka kardus tersebut dan belum sempat Rissa mengintip apa yang ada di dalam kardus, Aksa sudah menutupnya lagi dan melangkah membawa kardus itu, membuangnya ke bak sampah yang terletak tak jauh dari lokasi parkir. Rissa menunggu di samping mobil, menunggu Aksa yang melangkah ke arahnya dengan tatapan gusar. Namun, senyuman muncul di bibir Aksa saat matanya bertemu dengan mata Rissa.
"Orang iseng, Sa. Yuk, balik. Makan malam di apartemen aja, ya? Aku masakin oglio olio kesukaan kamu."
Aksa merangkul Rissa, membukakan pintu mobil untuk Rissa yang hanya menurut, tanpa diberi kesempatan bertanya lebih lanjut tentang isi kardus tersebut.
Setelah menutup sisi pintu mobil sebelah kiri, Aksa melangkah menuju ke sisi pintu mobil sebelah kanan tempatnya akan berkendara, senyumannya lenyap dan umpatan kecil muncul dari mulutnya.
"Sial."
Isi dari kardus itu adalah kertas bertuliskan nama lengkap Aksa, dengan bercak-bercak darah di sekelilingnya.
🌹🌹🌹
Sudah dua jam berlalu sejak Aksa mengajak Rissa kembali ke apartemen dan mereka benar-benar diam setelahnya, mengingatkan Rissa pada saat ban mobil Aksa disabotase oleh orang asing. Rissa menghela napas, Aksa bilang, dia akan mengetuk pintu kamar Rissa jika makanan sudah siap dan sampai detik ini, Aksa belum juga mengetuk pintu kamar Rissa.
Akhirnya, Rissa memutuskan untuk ke luar dari kamar dan lagi, dia menghela napas saat melihat kondisi apartemen yang sangat sepi. Rissa melangkah dan berhenti tepat di depan kamar Aksa, gadis itu memejamkan mata dan hendak mengetuk pintu kamar Aksa, namun pintu kamar itu terbuka.
Mata keduanya bertemu dan Aksa tersenyum kepada Rissa. "Hei. Udah lapar lagi? Lama nunggunya, ya?"
"Kamu abis ngapain?" Rissa langsung bertanya.
"Gak ngapa-ngapain, ketiduran."
"Jangan bohong."
Aksa mengernyitkan dahi. "Kok bohong? Enggak, kok."
"Kamu ada masalah apa, sih, Sa? Cerita. Jangan dipendam sendiri." Rissa menatap Aksa dengan cemas.
Aksa tersenyum, mengelus lembut belakang kepala Rissa. "Yuk, ke dapur. Kita masak, ya? Kamu bantuin aku masak juga." Rissa menghela napas dan mengangguk setuju, Aksa merangkul Rissa melangkah menuju ke dapur.
Baru tiba di dapur, ponsel Rissa berdering dan Aksa melepaskan rangkulannya, membiarkan Rissa mengangkat panggilan masuk yang entah dari siapa. Rissa duduk di kursi meja makan, menatap Aksa dengan mata menyipit, lalu berkata pelan, "Nomor asing."
Mata Aksa menyipit. "Loud speaker."
Rissa mengangguk, menuruti perintah Aksa dan mulai mengangkat panggilan dari nomor asing tersebut. Suara berat seorang pria terdengar, membuat dahi Rissa berkerut bingung.
"Selamat sore, dengan Saudari Clarissa Arsy Seran, putri dari Bapak Alamsyah Hadi Seran?"
Mendengar nama sang ayah disebut, Rissa menggigit bibir bawahnya. Dia menatap Aksa gugup, Aksa melangkah mendekat, menyentuh bahu gadis itu sebelum berkata kepada pria dengan nomor asing tersebut. "Ada apa, ya, Pak?"
"Saudari Clarissa Arsy Seran?"
Rissa menghela napas sebelum menjawab tergagu, "I--iya? Dengan saya sendiri, Pak."
"Saya petugas lapas Cipinang, ingin menginformasikan bahwa Bapak Alamsyah Hadi Seran baru saja dibawa ke rumah sakit dengan dugaan keracunan makanan."
Tubuh Rissa melemas seketika, bergetar, mendengar kabar buruk dari seseorang yang beberapa saat belakangan dia lupakan dan dia tahu membutuhkan support darinya. Gadis itu menggigit bibir bawah dan tak lama menangis, Aksa mengambil alih ponsel Rissa dengan mengatakan.
"Kami segera ke sana, Pak. Terima kasih informasinya. Selamat malam."
Aksa mengakhiri panggilan, meraih tubuh Rissa dan memeluknya erat. Aksa mengelus punggung gadis itu, lembut. "Udah, oke? Jangan nangis. Kamu siap-siap. Kita langsung berangkat ke sana."
Rissa menarik napas, sesenggukkan. "Gimana bisa aku lupa sama Papa selama ini? Aku ngerasa bodoh! Anak gak tahu diuntung!"
Aksa menggeleng. "Enggak, enggak. Cukup nyalahin dirinya sendiri, oke? Kamu siap-siap. Lima belas menit lagi kita berangkat." Aksa melepaskan pelukannya, merengkuh pundak Rissa dengan wajah terlanjur basah oleh air mata, "Jangan nangis, ah. Jelek."
"Papa," Suaranya parau, namun sesaat kemudian gadis itu menyeka air mata di pelupuk matanya dan berkata lemas, "Tunggu," sebelum melangkah cepat menuju ke kamarnya.
Mata Aksa mengikuti langkah Rissa sampai akhirnya gadis itu hilang dari pandangan. Pemuda bertubuh tinggi tegap itu meraih ponselnya, mengacak rambut hitam pekatnya yang mulai memanjang. Dihubunginya sebuah kontak, entah siapa dan raut wajah lembutnya perlahan menghilang, tergantikan dengan raut wajah penuh kemarahan.
"Lo butuh apa sebenarnya?!"
Pemuda itu bertanya penuh penekanan, tanpa berbasa-basi kepada seseorang yang baru saja mengangkat panggilan darinya.
---
21 Agustus 2020
reposted on: 25 July 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top