16 Bucin

Pagi ini, setidaknya Rissa mendapati Aksa yang kembali pada sikap awalnya, tidak seperti kemarin yang benar-benar kurang bersahabat. Aksa bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan untuknya dan Rissa yang entah apa. Rissa masih mengenakan piyama saat melangkah memasuki dapur, duduk di kursi meja makan, bertopang dagu menatap Aksa yang masih sibuk dengan masakannya.

"Selamat pagi, Sugar. Tidur nyenyak gak?" Aksa bertanya, tanpa menoleh.

Rissa mengangguk, senyuman tipis muncul di bibirnya melihat bagaimana Aksa memasak. Benar-benar terlihat keren bak koki profesional. "Lumayan, sih. Kamu masak apa?"

"Cream soup."

"Apa ada yang bisa kubantu?" tanya Rissa, meski pun dia hanya berbasa-basi. Rissa membantu di dapur sama saja menyusahkan Aksa.

Aksa terkekeh. "Kamu bantu habisin aja, oke?"

Rissa mangut-mangut, beranjak dari meja melangkah menuju ke lemari es. "Kamu mau minum apa? Biar aku bantu buatin."

"Kopi aja. Gulanya cukup satu sendok teh, ya, Sa."

"Oke, siap!"

Rissa menyajikan secangkir kopi permintaan Aksa tersebut, sementara untuknya sendiri, Rissa memilih membuat teh manis hangat. Rasanya terlalu aneh jika sehabis makan cream soup, Rissa meminum susu. Padahal, biasanya Rissa minum susu tiap hendak berangkat ke kampus.

Hanya selang beberapa menit, cream soup buatan Aksa sudah terhidang di atas meja. Aromanya sangat menggoda dan Rissa memang patut mengacungi jempol kepiawaian Aksa dalam memasak. Bahkan Rissa yakin, Aksa bisa membuka rumah makan jika dia mau. Ditambah, wajahnya tampan. Cocok untuk dijadikan subjek pemasaran.

"Di makan, Sa. Jangan malah ngelihatin aku."

Rissa tersentak mendengar suara tersebut, bibirnya mengerucut sementara, Aksa terkekeh seraya memakan menu sarapan miliknya. Rissa menghela napas, mulai meraih sendok, "Aku lagi mikir, kayaknya kamu cocok buat buka rumah makan. Masakan kamu enak terus."

"Boleh, sih. Tapi kamu jadi manajernya, ya? Biar kita sama-sama terus."

Rissa memutar bola matanya. "Selalu ada celah buat ngegombal." Gadis itu memasukkan satu sendok cream soup ke dalam mulut, menghabiskannya cepat sebelum berkomentar, "Sa, demi! Ini enak banget! Gak bohong! Enak pake banget!"

Aksa terkekeh geli mendengar komentar Rissa. "Iya, makasih. Habisin, ya? Besok aku masakin lagi menu lain yang lebih enak."

Bibir Rissa mengerucut. "Ajarin aku masak, dong. Masa kamu mulu yang masak?"

"Terakhir kamu ke dapur, dapur aku kayak kapal pecah."

"Makanya, ajarin!"

"Iya, nanti. Cepetan makannya! Habis itu mandi, siap-siap. Aku ada kelas jam sembilan."

Rissa melirik ke jam yang menggantung, menunjukkan pukul setengah delapan kurang sepuluh menit. Itu berarti, Rissa punya setengah jam waktu untuk bersiap setelah sarapan. Rissa juga ada kelas pagi pukul sembilan dan dia tak mau terlambat.

"Aku juga ada kelas jam sembilan. Selesai jam tigaan kayaknya. Kalau kamu selesai duluan, tinggal aja, Sa. Aku balik naik Gojek." Rissa berujar dan membuat Aksa mengangkat satu alisnya.

"Gak boleh. Kamu bareng aku aja, tetap aku tungguin."

Rissa menghela napas. "Nanti kamu nunggu kelamaan."

"Ya, gak apa-apa. Daripada kamu boncengan sama abang Gojek. Mending sama aku. Lagian, aku ada rapat BEM, Sa. Jadi, ya, sedikit terlambat pulangnya."

Rissa mengangguk kecil. "Aku baru inget kamu ketua BEM. Padahal, kamu gak begitu aktif."

Aksa terkekeh mendengar ucapan Rissa. "Aku gak aktif aja seterkenal ini, Sa. Bayangin kalau aku aktif. Gak bakal aku ada waktu sama kamu."

"Bodo amat, Sa."

Pagi ini, seperti pagi-pagi biasa yang akhir-akhir ini mereka lalui. Selalu dengan canda tawa dan obrolan manis.

🌹🌹🌹

Norman menatap sahabatnya dengan mata memicing sebelum beralih duduk di kursi yang berhadapan dengan Aksa. Aksa hanya menundukkan kepala setelah menceritakan tentang kehadirannya di rumah duka mendiang Natalia dan beberapa kejadian buruk yang dialaminya semenjak mengenal Natalia.

"Lo harus hati-hati, Sa. Firasat gue buruk, gue takut si Adam ini beneran psikopat dan bakal ngejar-ngejar lo buat balas dendam atas kematian Natalia."

Aksa menghela napas dan mengangguk. "Gue tahu, Man. Makanya, gue bingung. Gue menyesal udah mengenal Natalia dan terlibat dalam masalahnya dan si Adam-Adam itu."

"Gue udah cari informasi tentang Natalia dan Adam. Seperti yang pernah gue ceritain, mereka pacaran dan tinggal bersama. Keluarganya Natalia gak setuju dan Natalia memilih pergi dari keluarganya cuma buat bareng si Adam ini. Si Adam ini latar belakangnya seorang pengusaha, tapi hampir semua bidang usaha yang dia jalani gak berjalan begitu baik. Hidupnya disokong dari orangtua."

Mata Aksa terpejam sekilas, dia mengangguk. "Gue udah tahu tentang itu dan kayaknya, Adam punya banyak jaringan untuk melakukan apapun, makanya hidupnya tenang. Dia aman, banyak backingan." Aksa beralih menatap Norman, "Orangtuanya juga cukup berpengaruh buat ngehapus semua kejahatan yang dilakuin anaknya. Yang gue dengar, dia memang pernah jadi seorang pembunuh cuma karena korbannya ini ngegodain Natalia."

"Istilah jaman sekarangnya, ya, bucin."

Satu alias Aksa terangkat. "Bucin?"

Norman terkekeh, "Budak cinta, Bro. Istilah anak muda jaman sekarang," Norman tersenyum miring sebelum lanjut berkata, "Kayak lo gak, sih, Sa, latar belakangnya si Adam? Bedanya, lo belum se-bucin si Adam."

Aksa tertawa kecil, lalu meraih kembali ponselnya. Aksa menatap layar ponselnya sesaat dan menghela napas. By the way, rapat BEM sudah selesai kurang lebih setengah jam yang lalu, membahas tentang program kerja yang akan mereka realisasikan dalam waktu dekat. Sebuah acara musik, mengundang musisi Indie. Aksa menunjuk Jasmine sebagai Ketua Panitia karena sejujurnya, Aksa malas mengurusi acara-acara seperti ini. Jika disuruh memilih, Aksa lebih baik menjadi penonton daripada menjadi panitia.

Selesainya rapat BEM, Aksa sudah menghubungi Rissa untuk menemuinya di ruang BEM, tapi sampai sekarang, Rissa belum datang meskipun, tanda ceklis di pesan yang Aksa kirimkan via WhatsApp sudah berubah menjadi dua centang biru.

"Rissa belum balas pesan gue. Udah tiga puluh menit berlalu." Aksa mengerucutkan bibir, jarinya menscroll layar ponselnya.

Norman memutar bola matanya. "Baru diomongin, sekarang lo bertingkah bak bucin."

Aksa terkekeh geli mendengar omelan Norman. "Bukan bucin, cuma mencemaskan keadaan pujaan hati."

Norman mendengus. "Jadian beneran lo sama si Rissa?"

Pria jangkung dengan hidung mancung bak perosotan itu mengangguk. "Iya, dong."

"Kok mau dia sama lo?"

"Lah, salah. Harusnya lo bilang, mana mungkin dia gak mau sama lo? Gitu." Aksa menjawab santai, masih memainkan ibu jarinya di layar ponsel. Memperhatikan foto profil WhatsApp yang dipasang oleh Rissa. Manis, pikirnya. Sepertinya foto lama karena di foto tersebut, rambut Rissa masih hitam tidak berwarna kecokelatan seperti saat OSPEK hingga sekarang.

Perhatian Aksa dan Norman yang semula sibuk dengan ponsel masing-masing teralihkan oleh suara ketukan pintu. Keduanya beranjak dari kursi, apalagi Aksa yang sangat bersemangat membuka pintu. Pemuda itu tersenyum lebar begitu menyadari semangat membuka pintunya tak sia-sia.

"Akhirnya, sampai juga."

Aksa menyambut Rissa, mempersilahkan gadis itu memasuki ruangan BEM. Norman tersenyum, melambaikan tangan kepada Rissa yang menyapanya ramah.

"Lama banget, sih? Aku udah WA dari kapan tahu gak dibalas." Aksa berkomentar, mendorong lembut punggung Rissa dan memintanya duduk di kursi yang tadi dia duduki.

Rissa menghela napas. "Pas aku mau balas, lowbatt. Pinjam charger, Sa. Numpang nge-charge bentar." Rissa menunjukkan ponselnya yang mati.

Aksa menjulurkan tangannya, "Sini, aku charge."

Rissa menyerahkan ponselnya dan Aksa bergerak menuju ke nakas kecil yang dekat dengan steeker di mana sebuah charger terpasang. Sepertinya charger milik Aksa, karena Rissa menghafal warnanya. Setelah menyolok ujung charger pada ponsel Rissa, Aksa melangkah kembali duduk di tepi meja yang berdekatan dengan kursi yang Rissa duduki.

"Kok, lama banget?" Aksa bertanya, seperti menginterogasi.

Mata mereka bertemu dan Rissa menghela napas. "Ada kuis dadakan. BT aku. Mana banyak yang ngasal."

Tangan Aksa menjulur, mengelus puncak kepala Rissa. "Gak apa-apalah. Nilai bukan segalanya. Yang penting, kamu udah usaha maksimal."

"Ya, tapi tetap aja aku BT."

"Siapa dosennya? Sini, biar aku hadapin. Siapa yang berani bikin BT Clarissa, harus berhadapan dengan Aksa!"

"Jijik, Sa!"

Aksa menoleh dan tersenyum lebar begitu sadar dia tidak hanya berdua dengan Rissa di ruangan BEM ini. Norman bangkit berdiri dari kursinya, menatap kesal Aksa dan Rissa. "Berasa obat nyamuk beneran gue di sini. Gue duluan, dah. Mau bantuin anak-anak lain persiapan. Lo jangan berduaan di sini. Bahaya." Norman menepuk pundak Aksa saat melewati Aksa, lalu dia tersenyum kepada Rissa, "Ris, kalau Aksa macam-macam, teriak aja yang kenceng. Gue ke ruangan yang di sebelah, kok. Anak-anak BEM kumpul di sana."

Rissa nyengir dan mengangguk. Norman melangkah meninggalkan ruangan BEM, meninggalkan dua sejoli itu. Rissa beralih menatap Aksa yang nyatanya tengah menatap gadis itu dengan senyuman di bibir. "Kenapa ngelihatin kayak gitu?"

Aksa nyengir dan menggeleng. "Gak apa-apa. Pengin aja."

"Nge-charge lima belas menit, terus kita balik, ya?"

Aksa mengangguk. "Siap."

Rissa tak mengerti apa yang salah dengan otak seorang Aksara Gabriel Deandra. Pemuda itu tak berhenti menatapnya dengan senyuman bodoh di bibir tipis merah mudanya.

Lima belas menit yang sunyi berlalu hingga akhirnya, Aksa dan Rissa melangkah meninggalkan ruang BEM, menuju ke mobil Aksa yang memiliki tempat parkir khusus. Di perjalanan menuju mobil, keduanya berpapasan dengan Jasmine yang memicingkan mata kepada Rissa, lalu tersenyum lebar kepada Aksa.

"Sa, proposal bisa diselesaiin besok. Lo ada waktu gak malam ini buat bantu koreksi? Anak-anak mau kumpul di kafe biasa."

Aksa menghela napas. "Jas, kan, gue udah serahin ke lo. Lo ajalah yang ngurus. Gue percaya, kok, sama lo." Rissa tersentak saat Aksa melingkarkan lengannya pada leher Rissa, sementara ekspresi wajah Jasmine tak dapat dijelaskan, "Gue mau pacaran dulu, Jas. Maaf, ya? Kita duluan. See you tomorrow."

Aksa menuntun Rissa untuk melangkah menjauh dari Jasmine, Jasmine menatap kepergian keduanya dengan tatapan tak percaya. Setelah sampai di dekat parkir mobil, Aksa baru melepaskan rangkulannya pada Rissa yang sedari tadi diam saja.

"Sori, sori. Kalau gak begitu, nanti Jasmine gak percaya. Aku udah terlanjur bilang ke BEM kalau kita pacaran." Aksa nyengir, membukakan pintu mobil untuk Rissa yang tercengang mendengar pengakuan Aksa.

Rissa masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, menunggu Aksa juga masuk sebelum berkomentar dengan tangan terlipat di depan dada. "Sa, kita kan gak pacaran! Kamu kenapa, sih? Ngaku pacaran ke semua orang, biar apa? Males banget! Pantes seharian ini semuanya natap aku gak jelas!"

Aksa menghela napas. "Kan, kita pacaran sejak beberapa hari lalu." Bibirnya mengerucut, ke bawah.

"Aku gak pernah bilang iya! Kamu menyimpulkan sendiri!"

Aksa menggembungkan pipi. "Lagian, kamu kelamaan mikir. Ya, udah aku simpulin sendiri." Pemuda itu menarik napas, lalu menghelanya kembali, "Jadinya gimana? Kita pacaran atau enggak."

Rissa memicingkan mata, lalu beralih menatap lurus ke depan. "Terserah kamu ajalah! Males aku!"

"Oke, terserah aku. Berarti kita pacaran beneran."

"Ish!"

Aksa terkekeh dan mengabaikan Rissa yang merajuk. Pemuda jangkung itu mulai menyalakan mobil Mini Coopernya dan melajukan meninggalkan area parkir kampus. Setelah beberapa menit diam-diaman, Aksa menjadi orang pertama yang membuka percakapan kembali.

"Sa, kamu selalu bisa cerita ke aku kalau ada orang yang ganggu kamu. Biar aku yang selesaiin."

Rissa menoleh. "Selesaiin gimana?"

Aksa mengedikkan bahu. "Ya, entah. Lihat aja nanti."

Rissa menghela napas, menundukkan kepala. Ekspresi kesalnya tadi berubah menjadi sendu. "Sa, aku kangen Papa-Mama."

Suaranya terdengar lemah dan Aksa menepikan mobil mendengar suara tersebut. Aksa menoleh dan menatap gadis berponi rata tersebut dengan lembut. "Hei, udah, ya? Jangan ingat-ingat hal yang bikin kamu sedih. Kan, ada aku. Kamu gak sendiri."

Rissa mengangkat wajah, matanya bertemu dengan mata Aksa. "Semalam aku mimpi ketemu keduanya. Mimpi keluarga kita balik normal. Ternyata, cuma mimpi."

"Sa--,"

Perhatian dua sejoli itu sontak teralihkan ketika suara keras terdengar, begitu menoleh didapati sebuah batu berukuran cukup besar mengenai kaca mobil Aksa, berasal dari pengendara motor yang mengajukan jari tengah kepada mereka sebelum melaju secepat mungkin menjauh.

"Bajingan!"

Aksa mengumpat dan berniat untuk ke luar dari mobil, namun Rissa menarik tangannya untuk bertahan di tempat. Rissa menggeleng, wajahnya pucat ketakutan. "Sa, jangan ke luar. Ayo, pergi. Jalanin mobil kamu. Aku...aku takut orang iseng itu masih ada dan bakal celakain kamu. Pergi dari sini, Sa." Suara Rissa terdengar pelan, memohon.

Aksa diam dan perlahan, Rissa melepaskan gangannya dari lengan Aksa. Pemuda itu kembali duduk di jok pengemudi dan mulai melajukan mobil. Batu yang semula ada di bagian depan mobil Aksa terjatuh akibat goncangan mobil Aksa.

Rissa tak mampu berkata apa pun. Aksa mengendarai mobil seperti orang gila dan raut wajah Aksa sudah menjelaskan seberapa kesal dan marah pemuda itu saat ini.

Sungguh, Rissa tak habis pikir kenapa banyak kejadian seperti ini terjadi pada mereka? Mulai dari seseorang yang dibayar untuk mengempeskan ban mobil Aksa, seseorang yang menyerempet Aksa dan sekarang...pelemparan batu? Ralat, bukan terjadi pada mereka, tapi jelas-jelas pada Aksa. Sekarang, Rissa curiga, Aksa mengalami kejadian lain di luar yang Rissa ketahui.

"Sa, kamu yakin...kamu gak berbuat sesuatu yang salah, kan?" Rissa bertanya, ragu-ragu melirik ke Aksa yang masih fokus pada jalan.

Wajah Aksa datar, menyeramkan. Tatapannya dingin dan sulit ditebak apa yang ada di pikirannya. Bahkan sampai mobil Aksa tiba di halaman parkir apartemen dan sampai mereka tiba di apartemen 1204, Aksa tak menjawab pertanyaan Rissa. Jangankan pertanyaan, tak ada sepatah dua patah kata yang ke luar dari mulut pemuda itu.

---

Selamat membaca!
Semoga suka dan gak ngebosenin, hehe.
Terima kasih masih berkenan :)

05 Juni 2020
reposted on: 23 July 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top