11 Proklamir

Pemandangan berbeda terlihat di apartment nomor 1204 pagi ini. Jika kemarin saat Rissa membuka mata dan dia mendapati Aksa yang tengah masak, pagi ini justru kebalikannya. Mata Aksa terbuka begitu mendengar suara dari arah dapur—Aksa masih tidur di sofa sampai kamar tamu selesai dibersihkan dan diperbaiki karena atap yang bocor. Begitu Aksa melangkah menuju ke dapur, Aksa sudah mendapati Rissa yang terlihat kebingungan sendiri dengan sesuatu yang tengah dia rebus.

"Aw!"

Aksa menahan tawa setengah mati melihat bagaimana kesulitannya Rissa untuk hanya merebus mie instan. Cewek itu mengibaskan tangannya yang sepertinya terkena cipratan air mendidih, lalu menyalakan keran di sampingnya dan mengguyur bekas cipratan air mendidih itu dengan air keran.

Perlahan, Aksa melangkah menghampiri Rissa dan membuat Rissa menoleh. "Lo ngapain pagi-pagi udah bikin ribut?"

Rissa mengerucutkan bibir. "Mau masak."

"Emang bisa?"

"Kan, udah lihat tutorial di YouTube." Rissa menjawab cepat.

Aksa melangkah menuju ke kompor gas dan mematikan kompor tersebut sebelum melangkah ke luar dari dapur sambil berkata cukup keras untuk dapat Rissa dengar, "Gak usah masak. Gue lagi mau sarapan di luar. Lo cepetan siap-siap."

Rissa menunjuk dirinya sendiri. "Aku juga?" Dia bertanya pada dirinya sendiri dan mulai melangkah mengejar Aksa yang sudah terlanjur masuk ke dalam kamar terlebih dahulu.

Hanya berselang lima menit, Aksa sudah ke luar kamar dengan hoodie berwarna abu-abu. Dia menatap Rissa dari bawah ke atas dan berkomentar, "Pakai jaket dan celana panjang. Ada gak?"

Rissa menghela napas dan baru sadar dia masih memakai celana tidur pendeknya. "Celana panjang ada, tapi jaket aku basah. Pakai kaus ini aja gak boleh emang? Bersih, kok."

Aksa memasang wajah risih. "Itu tembus pandang, Clarissa dan lo itu sadar gak sih pakai dalaman gelap di pakaian tembus pandang itu bukan ide yang bagus walaupun, iya body lo gak bagus-bagus amat, sih. Rata."

Buru-buru Rissa menutupi bagian dadanya dengan tangan, matanya melotot. Tanpa berkata apa-apa, dia berlari memasuki kamar, menutup kencang pintu membuat Aksa meringis. Sesaat kemudian cowok itu tertawa.

Aksa bersandar di dinding di samping pintu menunggu Rissa ke luar dari kamar. Selang beberapa menit, pintu terbuka dan Rissa sudah mengganti kausnya. Semula berwarna putih menerawang—Rissa mengenakan tanktop berwarna hitam sebagai dalaman. Sekarang, dia mengenakan kaus berwarna hitam. Rissa juga mengenakan celana tidurnya yang lain, yang panjang.

"Udahan?" tanya Aksa, tanpa peduli dengan pakaian yang Rissa kenakan.

Rissa mengangguk ragu. "Emang mau makan di mana? Gak jauh, kan?"

Aksa melirik jam yang tergantung di dinding sebelum tersenyum dan menjawab, "Enggak jauh, lah. Ini menu sarapan kesukaan gue."

"Nasi uduk? Lontong sayur?"

Aksa memutar tubuh Rissa dan mendorongnya untuk melangkan sambil berkata, "Udah gak usah banyak tanya. Cepetan. Sebelum makan siang."

🌹🌹🌹

Rissa menatap cowok yang tengah asyik makan di hadapannya dengan jengkel. Bagaimana tidak? Cowok bernama lengkap Aksara Gabriel Deandra itu memaksa Rissa ikut dengannya dengan pakaian ala kadar untuk makan di KFC, bukan di pinggir jalan seperti yang Rissa kira. Memang sudah mendekati waktu makan siang dan mereka baru sarapan karena sepanjang perjalanan mencari makan, keduanya berdebat ingin makan di mana meskipun, pada akhirnya Rissa kalah dan pasrah ikut dengan Aksa makan di tempat makan kesukaannya, KFC. Dia memesan salted egg dan sudah memakan potongan daging ketiganya.

"Iya, gue tahu gue ganteng. Tapi jangan sampai kegantengan gue ini membuat lo gak makan, Sa."

Rissa mendengus dan lanjut makan, tersadar dari lamunan tak berartinya. Sesekali dia menatap ke beberapa pengunjung KFC yang hilir mudik. Sebentar lagi akan masuk jam makan siang dan Rissa harap, dia bisa ke luar dari sini sebelum bertemu lebih banyak orang. Pasalnya, Rissa mengenakan pakaian yang kelewat santai yang terkadang dijadikannya pakaian tidur. Aksa, sih, sudah terlihat sangat rapih meskipun, dia mengaku belum mandi.

"Tunggu, ya? Gue mau pesan buat snack di apartemen."

Aksa bangkit dari bangku dan melangkah lagi menuju ke meja pemesanan. Rissa berhenti makan dan menatap punggung tegap cowok itu dengan heran. Jika dihitung-hitung, ini sudah kali ketiga Aksa mengantri sejak tiba di sini. Pertama, dia memesan makanan untuknya dan Rissa. Kedua, dia memesan lagi tambahan ayam untuknya. Sekarang, dia memesan ayam lagi untuk di rumah. Rissa baru tahh cowok itu suka sekali dengan ayam.

Selang beberapa menit, Aksa kembali dengan satu kantung plastik cukup besar yang Rissa ketahui berisikan banyak ayam goreng KFC. Cowok itu duduk kembali dan meletakkan plastik di atas meja lalu, beralih menatap Rissa yang memperhatikannya.

"Makannya cepetan. Pantes kurus. Lo makannya lama, sih." Aksa bertopang dagu seraya terkekeh melihat Rissa yang buru-buru lanjut makan.

Rissa menghabiskan satu suapan di mulutnya sebelum beralih lagi menatap Aksa. "Kamu suka banget ayam, ya? Banyak banget ini pesanan."

Aksa nyengir. "Gue sukanya ayam KFC doang. Kalau McDonald atau AW juga suka, sih. Tapi pokoknya, ayam KFC itu terbaik. Ada asin-asin—," Nada bicara Aksa melambat begitupun dengan perhatian cowok itu yang tiba-tiba saja teralihkan.

Tanpa berkata apapun, Aksa bangkit dan melangkah cepat menuju ke pintu ke luar gedung KFC. Rissa bingung, tapi akhirnya buru-buru dia menyusul Aksa sambil membawa kantung plastik berisikan ayam milik Aksa. Aksa melangkah sangat cepat, Rissa mencoba mengimbangi sambil memanggil nama cowok itu, tapi kejadian selanjutnya yang Rissa lihat membuat Rissa menahan napas dan menjatuhkan kantung plastik KFC tersebut.

"Lo ngapain mobil gue?!"

Aksa menarik kerah kemeja orang asing yang entah sedang apa berjongkok tepat di samping roda depan kanan mobil Mini Cooper Aksa. Si orang asing yang sepertinya berusia tiga puluh tahunan itu mulai pucat melihat bagaimana Aksa menatapnya.

"Ma—maaf, Mas. Lepasin. Saya cuma ngejalanin perintah."

"Perintah apaan?!"

Rissa terlonjak mendengar nada tinggi Aksa. Rissa meraih kembali kantung plastik berisikan menu KFC milik Aksa dan melangkah mendekat. Rissa tak tahu harus apa saat Aksa menyeret cowok itu kembali ke posisi awalnya, mendorong si cowok untuk berjongkok. Tangan Aksa masih menahan kerah kemeja si orang asing sementara, mata tajam Aksa menatap teliti ban mobilnya.

"Lo mau ngempesin ban mobil gue?"

Si cowok buru-buru menggeleng. "Eng—enggak, Mas. Saya cuma mau—," ucapan si cowok berhenti saat Aksa bangkit berdiri dan menarik kerah si cowok untuk berdiri. Sungguh, Aksa melakukannya tanpa beban.

"Jelasin di kantor polisi. Sebutin juga siapa yang suruh lo buat sabotase mobil gue."

Kali ini, Aksa yang terlonjak saat si orang asing lepas dan bukannya lari malah berlutut di hadapan Aksa, memegang erat kaki Aksa sambil berkata lirih, "Maaf, Mas. Saya terpaksa. Benar-benar terpaksa. Saya gak punya pilihan lain selain ini."

"Siapa yang suruh?" Aksa bertanya, sedikit menggerakkan kaki untuk menyingkirkan orang itu dari kakinya.

"Saya gak tahu, Mas. Cuma dikasih uang buat kempesin ban mobil ini. Maafin saya. Saya gak maksud."

Gigi Aksa begemertak dan tangannya sudah menarik kerah kemeja seseorang itu untuk dipaksanya berdiri, namun Rissa buru-buru menahan lengan Aksa sambil menarik menenangkan.

"Aksa, udah! Mas-nya kasihan, dia udah bilang, kan, dia cuma diperintah!"

Aksa menoleh dengan tatapan tajam. "Dia hampir buat kita celaka dengan ngempesin ban, Sa! Lo bayangin kalau kita udah jalan dan bermasalah di jalan? Gue gak ngerasa ada masalah sama orang saat ini, ya!"

"Maaf, Mas. Saya cuma diperintah, beneran." Si cowok berujar, memasang wajah memelas.

Mengingat Rissa merupakan mahasiswi psikologi meskipun, masih di semester awal, Rissa bisa menyimpulkan dari ekspresi wajah cowok itu jika dia jujur, dia panik dan dia khawatir karena ketahuan oleh Aksa.

Sebelum sempat Aksa memaki atau bahkan melakukan sesuatu yang Rissa hindari untuk tak terjadi, Rissa menarik lengan Aksa dan menyeret sekuat tenaga tubuh tegap Aksa. Tapi sialnya, Aksa malah menyentakkan tangan Rissa yang menarik lengannya sambil berkata dengan nada lebih tinggi dari biasanya.

"Lo diam dulu! Gue masih ada urusan sama orang ini!"

"Aksa, tapi—,"

"Siapa yang nyuruh lo?!" Aksa bertanya penuh ancaman kepada cowok yang sudah benar-benar terlihat pucat itu.

Cowok itu malah diam, menundukkan kepala. "Sa—saya gak kenal, Mas. Saya baru ketemu dan dia langsung kasih saya uang sebelum pergi."

"Lo pikir gue percaya sama ucapan lo?!"

Kali ini, Rissa menarik Aksa lebih kuat sambil berkata lebih kencang, "Aksa, udahan! Gak usah dimarahin terus orangnya! Kan, bisa dibicarain baik-baik! Dia udah jujur kalau cuma disuruh, bukan kemauan dia sendiri!"

Aksa menahan napas sebelum memejamkan mata, dia menghela napas dengan perlahan, lalu beralih menatap Rissa. "Sa, dia hampir celakain lo dan gue."

Rissa mengangguk kecil, nada suara Aksa sudah merendah. "Iya, aku tahu. Tapi please, jangan kasar. Gak harus kayak gini, kan. Mending dibicarain baik-baik dan—," Perhatian Rissa beralih kepada ban mobil Aksa yang sudah terlihat mengempis, "—kita cari bengkel terdekat buat nambal atau ganti ban mobil kamu."

Cowok itu tampak berpikir sejenak sebelum menghela napas dan mengangguk. "Gue ada ban serep."

"Ya, udah. Kita ganti ban mobil kamu aja, ya? Mas-nya bisa bantu, kan?" Rissa melirik cowok malang yang seakan benar-benar takut dengan amarah Aksa tadi. Cowok itu mengangguk kecil. Padahal, Aksa hanya marah melalui mulut, tapi dia sudah ciut.

Tapi Rissa tak akan heran jika amarah Aksa yang lebih dari amarah melalui mulut tadi akan lebih seram. Mungkin, Aksa bisa saja membunuh orang yang membuatnya marah atau bahkan orang sekitarnya.

🌹🌹🌹

"Maaf, ya?"

Rissa yang semula sibuk menatap ke kaca mobil, ke jalan kota Jakarta di Sabtu siang yang tak begitu ramai seperti biasa, beralih menatap si sumber suara. Siapa lagi kalau buka cowok berwajah tampan yang sejak tadi bungkam, atau lebih tepatnya sejak orang asing yang entah dibayar oleh siapa membantu Aksa memasang kembali ban baru. Ban mobil Aksa terkoyak, hingga ke dalam karena orang asing itu menusuknya dengan golok yang entah berasal dari mana. Untung saja, Rissa mengamankan golok itu ke petugas keamanan yang ada—Rissa masih punya hati untuk tidak melaporkan kejadian itu kepada si petugas keamanan yang sepertinya sedikit lengah.

"Maaf untuk apa?" Rissa bertanya polos dan dilihatnya, sedikit sudut bibir Aksa terangkat.

"Gue hampir hilang kesabaran tadi. Untung gue belum sempat makai kekerasan. Biasanya, gue suka gak pandang bulu buat mukul orang. Bisa-bisa, lo kena juga kalau gue udah kalap."

Rissa terkekeh. "Gak apa-apa, yang penting kamu tahu, kan, kalau cowok itu gak maksud? Dia cuma disuruh orang karena dia butuh uang."

"Gue baru sadar gue punya musuh sampai sebegitunya."

"Benar juga, ya? Siapa orang yang nyuruh orang buat ngempesin ban mobil kamu? Awalnya, aku pikir dia cuma mau ambil pentil mobil kamu. Itu berharga juga, kan?"

Aksa mengangguk. "Iya, tapi gak seberapa. Kalau mau nyuri komponen mobil, mending kaca spion, Sa." Aksa terkekeh dan menoleh sekilas ke arah Rissa.

Rissa ikut terkekeh. "Benar, sih."

Setelah percakapan singkat itu, keduanya mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Rissa dengan perhatiannya pada jalan di sisi kirinya dan Aksa dengan fokusnya mengendarai mobil sampai mobil memasuki area parkir gedung apartment Aksa.

"Sori, ya? Bukannya ngusir atau apapun pikiran buruk yang ada di pikiran lo, tapi hari ini gue mau bantu lo rapih-rapih buat pindahan ke kamar sebelah. Tapi kalau lo betah di kamar gue, gak apa-apa. Berarti gue yang pindah." Aksa mengatakan hal seperti itu sambil melepas sabuk pengaman yang dia kenakan.

Rissa menggeleng. "Enggak, enggak. Aku justru senang banget udah dikasih tinggal di apartment kamu yang luar biasa bersih. Gak kayak apartment cowok kebanyakan, hehe."

Aksa nyengir. "Gue jarang bersih-bersih sebenarnya. Tapi ya, hidup bersih itu keharusan." Aksa berujar seperti itu sebelum melangkah ke luar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Rissa. Keduanya melangkah bersama memasuki area apartment, menuju ke apartment tempat mereka tinggal.

Baru kali ini seorang Clarissa Arsy Seran membersihkan kamar tidurnya sendiri-bukan kamar tidur Rissa sebenarnya, tapi Aksara Gabriel Deandra memaksa Rissa mengatakan jika ini adalah kamarnya. Kamar ini berukuran sedikit lebih kecil dari kamar Aksa yang menjadi tempat Rissa tidur selama dua minggu belakangan. Rissa tak mengerti kenapa Aksa membutuhkan waktu ekstra hanya untuk membersihkan kamar tidur Rissa yang satu ini sampai akhirnya, Rissa paham.

Aksa mengubah kamar yang seharusnya polos ini benar-benar persis seperti kamar Rissa di rumahnya yang kini disegel. Yang membedakan hanyalah ukuran yang lebih kecil dan tanpa toilet. Tapi sungguh, ini luar biasa menurut Rissa. Aksa bisa tahu bagaimana kamar Rissa dulu, kamar tempatnya bersenang-senang dengan cara tersendiri.

"Aku masih bingung gimana bisa kamu tahu warna cat kamar aku, seprai dan selimut, bahkan sarung bantal. Terus warna lemari dan isi lemari yang benar-benar mirip. Karpet, lampu tidur dan hiasan langit-langit. Sumpah." Rissa menggeleng-gelengkan kepala takjub, tangannya terlipat di depan dada memperhatikan bagaimana rapih kamar tidurnya sekarang, setelah dia dan Aksa bersihkan selama hampir satu setengah jam.

Cowok yang memegang sapu itu nyengir kuda. "Gue itu terlahir buat ngedapatin apa yang gue mau. Gue mau lo nyaman di sini jadi, gue bawa kamar lo ke sini."

"Tapi gimana bisa−,"

"Gue dapatin apa yang gue mau, sekali lagi gue tekankan, Sa. Jadi, gak usah banyak tanya dan selamat menikmati kamar baru." Aksa sedikit membungkuk seperti seorang pelayan yang memberi hormat kepada atasan.

Rissa menghela napas. "Oke, aku gak bakal nanya lagi."

Aksa terkekeh, sepertinya Rissa sudah sangat paham jika Aksa bukan tipikal orang yang mudah mengubah pendiriannya. Saat Aksa mengatakan hal ini, maka akan sangat sulit mendebat dan mengubah pikirannya tersebut. Jadi, daripada menghabiskan waktu berdebat, Rissa mau tak mau mengakui jika dia pasti kalah berdebat dengan Aksa.

Rissa melangkah menuju ke koper berisikan pakaiannya yang sudah diletakkan di dalam kamar oleh Aksa. Aksa yang masih berdiri di dekat pintu memegang sapu bertanya, "Mau gue bantu rapihin pakaian lo gak?"

Gelengan kepala yang Aksa jawab. "Enggak, ah. Kalau rapihin pakaian doang, aku bisa. Lagian, koper aku berantakan. Aku gak mau kamu lihat seberapa berantakan koper aku ini."

"Gak mau ngasih lihat koper itu berantakan atau gak mau sampai gue tahu kalau lo masih pakai bra motif Hello Kity, celana dalam motif Hello Kity atau bahk−oke, gak jadi. Maaf." Aksa nyengir begitu mendapati tatapan tajam Rissa. "Itu kelihatan pas lo buka koper, Sa. Harusnya pakaian dalam lo pisah, jangan gabung di sana."

Rissa berbalik, menutupi penglihatan Aksa akan isi kopernya dengan punggung. "Udah sana. Aku bisa rapihin sendiri." Rissa berkata kesal, Aksa jamin cewek itu pasti tengah mengerucutkan bibir merah muda menggodanya.

Rissa itu cewek terlembut dan terpolos yang pernah Aksa temui. Benar-benar tidak seperti cewek kebanyakan yang pernah Aksa kenal. Lihat saja pakaian dalam dan piyama Rissa yang masih bermotifkan Hello Kity. Bahkan saat Aksa menerobos diam-diam kediaman Rissa yang lama untuk mengabadikan potret kamar Rissa, kamar itu benar-benar terlalu girly dengan pernak-pernik berwarna merah muda. Jangan lupakan poster besar boyband Korea, Big Bang yang terpajang di bagian belakang pintu lemari Rissa.

Duh, Rissa pasti seperti kebanyakan fangirl. Terlalu sibuk memikirkan oppa, sampai lupa jika ujung-ujungnya mereka menikah dengan orang Indonesia yang bukannya memiliki wajah mirip oppa malah memiliki wajag mirip opa.

"Sa, lo udah pernah pacaran?"

Rissa berhenti melakukan kegiatan. Cewek itu memutar bola matanya, sedikit kesal karena pertanyaan bodoh itu sepertinya sangat sering ditanyakan oleh orang seakan-akan tidak pernah berpacaran adalah sesuatu yang langka.

"Belum," Rissa menjawab pelan.

"Kalau gue tanya kenapa, mau jawab gak?" Aksa kembali bertanya.

Rissa menghela napas. "Gak tahu."

Selanjutnya, Rissa menahan napas begitu mendengar derap langkah kaki mendekat sampai akhirnya dia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pundaknya. Rissa kaku tak bergerak mendengar jelas deru napas seseorang yang kini berdiri tepat di belakangnya.

"Jadi pacar gue mau gak?"

Hening dengan posisi masing-masing sampai Rissa tersadar sebelum dengan tergugu menjawab, "A−apaan, sih? Kamu ngigo, ya? I−ish, ngapain di sini? Udah sana per−,"

Tangan Rissa bergerak asal ingin mendorong Aksa untuk menjauh, tapi cowok itu sudah meraih tangannya dan memaksa Rissa untuk bertatap wajah langsung dengannya. Jantung Rissa bergerak tak karuan melihat bagaimana seriusnya wajah Aksa saat ini.

"Gue nanya serius dan gue butuh kepastian. Sekarang."

Rissa menatap Aksa cemas. "Aksa, ta−tapi−,"

Tangan Aksa melepas tangan Rissa dan cowok itu menghela napas. "Jadi lo nolak gue? Dari jawaban lo yang belum kelar, gue menyimpulkan lo sedang berpikir keras alasan buat nolak gue."

Cepat-cepat Rissa menggelengkan kepala. "Eng−bu−bukan begitu! La−lagian kenapa kamu nanya begitu? A−aku bingung harus jawab apa!"

Satu alis Aksa terangkat. "Kok bingung?"

"Aku−," Rissa menahan napas sebelum menunduk menyembunyikan wajah memerah menahan malunya, "Aku, kan, belum pernah pacaran. Aku−aku gak ngerti beginian."

Aksa terkekeh geli. "Tapi lo mau coba buat pacaran gak?"

Rissa memejamkan mata sekilas dan mengangkat sedikit wajahnya. "Ma−mau, ta−tapi−," Rissa menahan napas saat Aksa meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Rissa, seakan mengisyaratkan Rissa untuk diam sementara, cowok itu tersenyum manis yang membuat Rissa tak tahu harus apa.

Setelah Rissa diam, Aksa perlahan menurunkan jari telunjuknya dan masih mempertahankan senyuman bodoh itu.

"Mulai hari ini, kita pacaran."

Aksa memproklamirkan pernyataan itu dengan senyuman bangga ketika Rissa ingin terbang menembus langit ketujuh, rasanya.

🌹🌹🌹

Terima kasih masih berkenan membaca :)
Happy Birthday, Byun Baekhyun🥳

06 Mei 2020
reposted on: 21 July 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top