10 Gosip

Baru saja Rissa memasuki kelas, dia sudah disambut heboh oleh Andin yang menarik lengannya ke meja tanpa peduli tatapan heran teman-teman sekelas mereka. Andin menunjukan tabletnya yang tengah memperlihatkan fotonya dan Aksa yang pada hari Sabtu kemarin berbelanja bulanan di sebuah supermarket. Rissa meraih tablet tersebut dan masih menatap tak percaya fotonya dan Aksa.

"Apaan ini?" Rissa bertanya bingung.

Andin menghela napas. "Lo kepergok belanja bulanan sama Kak Aksa, njir! Jadian kalian berdua? Mana berangkat ke kampus bareng mulu lagi! Kok lo gak cerita sama gue?!"

Rissa meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Andin sambil melotot, mengisyaratkan agar Andin diam karena faktanya suara Andin terdengar sangat indah di telinga siapapun yang mendengar. Teman-teman sekelas mereka mulai melirik, meskipun saat ketahuan mereka akan berpura-pura tidak peduli.

"Ini apaan, sih? Aku baru tahu ada paparazzi di kampus ini? Berasa selebriti."

Rissa meletakkan kembali tablet Andin di atas meja dan beralih ke mejanya. Rissa meletakkan tasnya di atas meja ketika Andin masih menatap Rissa penasaran.

"Sumpah, Rissa. Lo pacaran, ya, sama Kak Aksa?"

Rissa menggeleng. "Enggak, Ndin. Sumpah, deh. Enggak."

"Tapi kalian sering banget kepergok bareng. Hm, mencurigakan."

"Gak pacaran, Ndin. Kalau ada apa-apa, aku pasti cerita sama kamu. Apalagi kamu, kan, juga kenal sama Aksa."

Andin melotot. "Tadi lo panggil dia apa?"

Rissa mengernyit, menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Bingung, sungguh. "Hah? Gimana, deh, maksudnya?"

"Lo panggil dia Aksa, njir! Tanpa embel-embel, Kak! Wah, beneran, ya? Selamat, Ris! Kalau sekarang belum jadian, berarti secepatnya!"

Rissa bingung saat Andin meraih tangannya dan mengayunkan penuh semangat, ditambah tatapan para penghuni kelas yang kentara jelas berhasil menguping percakapan Andin dan Rissa, dengan kesimpulan yang sama seperti Andin.

Aksa dan Rissa memiliki hubungan spesial, meskipun memang iya.

🌹🌹🌹

"Lo jadian sama Rissa gak ngomong-ngomong, najis. Teman macam apa lo?"

Aksa memutar bola matanya mendengar Norman yang untuk kesekian kalinya berbicara seperti itu, padahal Aksa baru sampai di ruangan dan ingin beristirahat. Well, salahkan dirinya sendiri yang sok memarkirkan mobil di fakultas tempat Rissa belajar sementara, fakultasnya sendiri berjarak cukup jauh dari sana. Ah, tapi tak apalah. Aksa mengalah untuk seorang cewek seperti Rissa.

Sampai Aksa duduk di kursinya, Norman masih mengikuti sambil menepuk bahu Aksa berkata, "Gila. Lo sama Rissa masuk Lambe Binus gara-gara kepergok belanja bulanan bareng. Duh, udah kayak suami istri aja. So sweet."

Memang terlalu kreatif sekaligus tak punya bahan, mahasiswa-mahasiswa kampus mereka sangat update berita terbaru kampus di sebuah akun instagram bernamakan Lambe Binus. Sejenis Lambe Turah dengan hengpon jadulnya yang ada di manapun meliput gosip teranyar selebritas Tanah Air, Lambe Binus dengan kamera ponsel canggihnya juga sangat hobi menyebar gosip teranyar tentang para mahasiswa Binus, apalagi mahasiswa yang cukup populer, seperti Aksa contohnya. Tapi Aksa sudah sangat biasa dengan semua gosip tentangnya.

"Berisik lo! Gue mau tidur bentar. Bangunin kalau dosen udah dateng." Aksa melipat tangan di atas meja sebelum menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan tersebut.

Norman menghela napas lalu, menatap sekeliling memastikan tidak ada siapapun yang peduli akan keberadaannya di kelas Aksa mengingat Norman memiliki mata kuliah yang berbeda saat ini.

"Lo ke Golden sekitar Jumat malam atau Sabtu dini hari kemarin?"

Pertanyaan Norman membuat Aksa sedikit mengangkat wajahnya dari lipatan tangan. Norman tahu jelas apa pekerjaan Aksa, yang membuat cowok itu terlihat kaya padahal, dia hanyalah mahasiswa perantauan.

"Kenapa?"

Norman menghela napas. "Lo udah baca berita belum? Emang fotonya gak jelas, tapi klien lo malam itu siapa lo ingat gak?"

Aksa mengangkat wajah sekilas, meletakkan dagu di lipatan tangannya. "Gue gak tahu namanya. Katanya, sih, anak pengusaha terkenal. Hardianto kalau gak salah."

Norman mengangguk. "Namanya Natalia. Dia aktris dan gue akui, cantik banget."

"Maybe? Tapi gue gak tertarik." Aksa kembali menyembunyikan wajahnya di lipatan tangannya yang berada di atas meja.

Norman menepuk punggung Norman. "Lo ketahuan minum Starbucks sama dia, pinter."

"Gak peduli."

Mata Norman mengernyit. "Anjir. Lo tahu apa artinya? Gak cuma masuk Lambe Kampus, lo berhasil masuk Lambe Turah juga. Bentar lagi lo populer dan banyak produk pakai lo buat endorse."

Aksa mengabaikan Norman dan Norman mendengus. "Lo ngikutin gosip-gosip selebritas gak, sih? Padahal, si Jasmine itu topik ngobrolnya cuma gosip selebritas." Norman bertanya kesal.

Cowok dengan wajah yang bersembunyi di lipatan tangan tersebut menggeleng tanpa merubah posisi. "Gak peduli."

Norman menjitak kepala Aksa gemas, Aksa mengangkat kepala mengaduh kesakitan. "Anjir, lo ngapa pakai kekerasan, sih? Kan, bisa diomongin baik-baik!"

"Lo paham maksud gue gak, sih, tadi?"

Aksa menggeleng dengan bibir mengerucut bak balita. "Gak tahu. Kepala gue sakit, idih."

"Makanya, otak dipakai. Jangan tampang doang yang cakep otak gak ada."

Mata Aksa melotot. "IPK gue di atas lo ke mana-mana, ya, Kunyuk."

"Heh! IPK gak menjamin apapun! Ah, udahlah. Kenapa jadi bahas IPK, sih?"

"Soalnya, lo secara gak langsung ngatain gue bego!"

Buru-buru Norman menggeleng. "Bukan itu maksud gue, Aksara. Maksud gue, coba lo buka mata dan lihat dunia lain selain dunia yang lo gemari. Kayak dunia selebritas Indonesia gitu. Banyak pelajaran yang bisa lo ambil."

"Lo mau gue nimbrung di setiap obrolannya Jasmine, gitu?"

Norman memutar bola mata dan mendengus kesal karena sepertinya percuma dia memaksa Aksa mengerti dunia yang bahkan dia sendiri tak peduli. Norman menghela napas sebelum menjelaskan, "Si Natalia itu punya pacar pengusaha yang namanya Adam Januartanto. Mereka pacaran lama, tapi menurut kabar, Adam itu kayak terobsesi gitu sama Natalia."

"Terus?"

Norman rasanya ingin memukul Aksa dan tampang tanpa ekspresinya yang menyebalkan. "Lo juga harus tahu kalau si Adam itu rada-rada sableng. Dia posesif banget dan benar-benar kayak terobsesi sama Natalia. Udah banyak cowok yang dikabarkan dekat sama Natalia, terus berakhir bonyok, masuk rumah sakit dan yang paling parah, ya, mati."

"Tapi dia masih keliaran begitu aja di sekeliling cewek itu?"

Norman mengangguk. "Gue gak paham, sih. Yang jelas, dia kaya. Dia pengusaha dan dia kebal hukum. Setiap persidangan atas kasus kekerasannya, dia selalu dinyatakan gak bersalah."

Aksa diam sejenak sebelum menghela napas. "Jadi, gue harus sedikit lebih hati-hati lain kali? Itu juga kali pertama gue melayani klien di luar kelab. Biasanya, ya, lo tahu sendiri."

"Lo harus banget, ya, terus kerja yang ngebahayain diri lo kayak gini? Oke, duitnya emang banyak. Seimbang sama masalah yang lo hadapin." Norman berujar pelan, melipat tangan di depan dada menatap sahabat dekatnya tersebut.

Aksa tersenyum tipis. "Ah, sebenarnya tanpa kerja juga duit jajan gue ngalir, Man." Aksa menarik napas, menghelanya perlahan, "Tapi gue mau buktiin ke bokap gue, gue bisa hidup dengan pilihan gue sendiri, tanpa harus selalu nurut sama dia."

Norman menatap sahabatnya itu dalam hening, sadar jika dia hampir saja membahas sesuatu yang tak seharusnya di bahas karena akan mengubah mood seorang Aksara Gabriel Deandra.

Tentang latar belakang dan keluarganya.

🌹🌹🌹

Kehadiran seorang cowok yang bahkan Rissa dan Andin kenal saat keduanya baru saja hendak melangkah meninggalkan kelas sukses membuat keduanya menatap satu sama lain dengan bingung. Cowok yang baru saja datang sepertinya masih satu angkatan dengan Rissa dan Andin−masih berusia delapan belas tahun alias satu tahun di bawah Rissa yang terlambat satu tahun. Dia tidak tinggi alias pendek, mungkin sama dengan tinggi Rissa dan memiliki kulit sawo matang seperti habis berjemur di gurun Sahara.

"Lo Clarissa, ya?"

Rissa mengangguk kecil, masih memasang wajah tak mengerti. Sama halnya dengan Andin, namun Andin jauh lebih berani untuk melangkah lebih dekat dengan si cowok asing sambil bertanya, "Kenapa lo nanyain teman gue?"

Si cowok mengernyit dan mundur menampilkan wajah ketakutan melihat bagaimana menyeramkannya wajah Andin. Tergagap, cowok itu menjawab, "Eng−enggak. Gue cu−cuma disuruh Ka−Kak Aksa buat ke sini. Jemput yang namanya Cla−Clarissa."

Rissa dan Andin saling tatap sebelum keduanya menatap si cowok tersebut.

"Kenapa lo yang jemput Rissa? Maksudnya gimana, dah? Lo disuruh nganterin Rissa pulang sama Kak Aksa?" Andin berkacak pinggang.

Cowok itu menggelengkan kepala. "Bu−bukan begitu. Tapi disuruh jemput Rissa buat ketemu Kak Aksa, soalnya Kak Aksa lagi main basket di lapangan belakang fakultas Ekonomi sama teman-temannya."

Rissa mengernyitkan dahi bingung. "Hah? Ngapain jemput aku?"

Cowok itu beralih menatap Rissa dan tatapannya sedikit menenang daripada saat dia menatap Andin tadi. "Iya. Dia cuma ngomong begitu."

"Terus lo kenapa mau disuruh-suruh sama Kak Aksa? Bilang, dia sendiri, loh, yang pas OSPEK bilang gak boleh ada senioritas di kampus ini." Andin melipat tangan di depan dada dan membuat perhatian si cowok beralih kepadanya.

Si cowok menghela napas dan menggeleng. "Gak tahu. Kalian tanya Kak Aksa aja sendiri. Gue cuma niat ngebantu karena kebetulan baru ketemu cewek gue di fakultas ini."

"Ya, udah sampaiin ke Kak Aksa kalau jadi cowok jangan kayak banci! Kalau ngajakin bareng, dia nyamperin ke sini bukan Rissa yang lo antar ke sana!"

Mata si cowok pendek itu mengerjap beberapa kali mendapat semprotan dari Andin yang sepertinya belum akan berhenti jika saja Rissa tidak melingkarkan lengannya di lengan Andin sambil berkata ke si cowok, "Makasih, ya, informasinya. Biar aku sendiri aja yang ke sana."

"Hah? Ngapain lo ke sana sendirian? Idih, itu cowok harusnya jemput lo di sini kalau niat buat pedekate. Gak gentle banget masa lo yang nyamperin dia?!"

Rissa sudah menarik Andin untuk melangkah pergi, namun mulut Andin belum berhenti memprotes. Setelah cukup jauh melangkah, Rissa menghentikan langkah dan menarik lengannya yang semula melingkar di lengan Andin.

"Kamu pulang duluan aja, Ndin. Aku ada urusan sama Ak−eh, maksudnya Kak Aksa."

Andin memicingkan mata. "Tuh, kan. Lo pacaran sama Kak Aksa dan masih gak mau ngaku?"

Rissa memutar bola matanya. "Enggak, Ndin. Sumpah, deh. Enggak pacaran."

"Terus punya urusan apa lo sama Kak Aksa?" Andin bertanya penasaran. Wajahnya terlihat sangat serius menanyakan hal demikian.

Melihat bagaimana Rissa berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Andin, Andin memutuskan untuk menarik kesimpulan sendiri. Dia merangkul Rissa melangkah sambil berkata penuh semangat, "Gue temenin, Ris! Lo semangatin pangeran Aksa lo dan gue mau semangatin pangeran Norman gue."

Rissa mengernyit heran, tapi akhirnya memutuskan untuk pasrah dan sedikit bersyukur karena Andin mau menemaninya menunggu Aksa bermain basket.

Letak lapangan basket yang dimaksud cowok tadi sebenarnya tak begitu jauh dari fakultas Rissa. Tepatnya di dalam gedung sisi kiri gedung fakultas Rissa. Kebetulan, gedung fakultas Ekonomi memang pemisah fakultas tempat Rissa berada dan fakultas tempat Aksa berada.

Lapangan basket fakultas Ekonomi hanya ramai oleh decitan sepatu dengan lapangan dan juga suara pantulan bola. Rissa dan Andin melangkah mencari tempat duduk nyaman meskipun, sebagian besar tempat duduk kosong. Yang bermain di lapangan dan yang Rissa serta Andin kenal hanyalah Aksa dan gangnya, termasuk Norman. Di bangku penonton terdepan, ada Jasmine dan dua mahasiswi yang memang selalu bersamanya yang menonton, sesekali menjerit atau bertepuk tangan saat ada yang memasukkan bola ke dalam ring. Seisi lapangan tidak begitu memperhatikan kehadiran Rissa dan Andin di bangku teratas penonton.

"Buat informasi lo, katanya, cewek BEM yang namanya Jasmine itu naksir berat sama Kak Aksa. Dia ngintilin Kak Aksa ke manapun, tapi sama Kak Aksa gak begitu diladenin. Kasihan."

Rissa terkekeh kecil mendengar cerita Andin tersebut sebelum mulai fokus lagi pada pertandingan di lapangan basket, namun sialnya, baru beberapa detik para pemain sudah membubarkan diri.

Termasuk Aksa yang menerima langsung meraih tas setelah menerima handuk dan Pocari Sweat dari Jasmine−cewek itu hanya memberikan handuk dan minuman untuk Aksa. Keduanya berbincang singkat sebelum akhirnya, kepala Aksa beralih dan matanya menangkap keberadaan Rissa. Rissa terkejut sendiri karena saat Aksa menoleh, Jasmine juga menoleh dan memberinya tatapan tak suka.

"Itu Kak Jasmine ngelihat akunya kenapa kayak gitu, ya?"

Andin terkekeh mendengar pertanyaan Rissa tersebut. "Iyalah. Lo ngerebut cowok yang mati-matian dia perjuangin, Ris!"

Perhatian Rissa tak sepenuhnya tertuju kepada ucapan Andin saat melihat Aksa menaiki deretan tangga bangku penumpang sebelum berhenti tepat di samping Rissa dan Andin. Aksa tersenyum sekilas kepada Andin sambil berkata santai, "Lo kalau ke sini lagi, sediain minuman buat Norman. Kasihan gak ada yang kasih minum."

Andin mangut-mangut semangat. "Kak Norman sukanya apa, Kak?"

Aksa bertopang dagu, berpikir. "Dia suka minuman apa pun asal lo ikhlas ngasihnya."

"Pasti ikhlas, lah, Kak!"

Aksa terkekeh, lalu beralih pada Rissa yang masih diam memperhatikannya. "Balik, yuk, Ris."

Rissa terkesiap. Oke. Baru kali ini Aksa memanggilnya 'Ris'. Biasanya, dia memanggil Rissa dengan sebutan 'Sa' selama berada di rumah.

"Tunggu, tunggu. Kalau kalian balik bareng, gue balik bareng siapa, dong?"

Perhatian Aksa teralihkan pada Andin lagi. Aksa berbalik dan bersiul sambil menggerakkan tangan kepada seseorang yang masih berada di lapangan. Andin menahan napas, Norman adalah orang yang Aksa panggil. Norman melangkah cepat menghampiri mereka.

"Dikira gue burung kali harus disiulin biar datang." Norman menggerutu sesampainya di dekat mereka.

Aksa terkekeh kecil. "Bro, lo bawa motor, kan?"

Norman mengangguk. "Iyalah. Lo mau tukeran? Lo bawa motor, gue bawa Mini Cooper lo? Boleh banget, Sa." Norman nyengir, menaik-turunkan alisnya.

"Kapan-kapan ajalah. Ini lo antar Andin dulu bisa gak? Masa tega lo biarin cewek pulang sendirian?"

Norman menoleh menatap Andin yang tiba-tiba membeku sebelum beralih lagi menatap Aksa. "Boleh, boleh. Tapi gue ganti baju dulu. Lo tunggu di parkiran fakultas Teknik aja, Ndin. Gak lama, kok."

"Ya, udah. Lo sama si Norman, Ndin. Gue sama Rissa balik duluan, ya?"

Aksa berpamitan dan hanya dibalas senyuman tipis oleh Andin sementara, Norman tanpa tahu malu berkata, "Ingat, Bro! Pe-nga-man!"

Aksa mendengus atas godaan Norman, lalu memberi isyarat agar Rissa mengikutinya. Keduanya melangkah meninggalkan lapangan fakultas Ekonomi, menuju ke mobil yang Aksa parkirkan di halaman parkir fakultas Psikologi.

"Sori, ya, lama. Tiap hari Senin emang jadwal gue main basket sama anak-anak." Aksa berkata, mencairkan kesunyian antara dia dan Rissa yang melangkah menuju ke halaman parkir.

Rissa mengangguk. "Gak apa-apa. Tapi kamu ngapain ngutus orang buat jemput aku dan antar ke sana, sih? Kan, malu!"

Aksa tersenyum menggoda. "Kan, gue takut lo nyasar. Makanya, gue minta tolong ke mahasiswa baru itu buat jemput dan antar lo ke gue."

"Tapi mending aku tunggu di perpustakaan gedung aku? Ujung-ujungnya, kan, ke halaman parkir fakultas Psikologi."

Aksa menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tak terlalu gatal meskipun, tubuhnya penuh keringat. Salahkan juga kaus hitam yang dia kenakan, menyerap panas. "Iya juga, sih. Eh, tapi lo gak bakal dapat kesempatan lihat gue main basket kalau malah diam di perpustakaan."

Rissa terkekeh dan mengangguk. "Iya, sih. Kamu jago juga, ya, main basket. Kapan-kapan ajarin aku, ya? Aku payah banget, deh, kalau olahraga."

"Pantes selalu kelihatan loyo."

"Ish, apaan, sih?!

Bibir Rissa mengerucut. Tangannya memukul lengan Aksa, tapi Aksa malah tertawa. "Tuh, kan. Mukul aja gak berasa sama sekali. Berasa gak dipukul."

"Nyebelin!"

Sisa perjalanan mereka habiskan dengan bercanda tawa atau lebih tepatnya Aksa yang terus menggoda Rissa hingga membuat cewek cantik itu kesal.

🌹🌹🌹

Hello gaes!!
Yang menjalankan ibadah puasa, semoga kuat yaa puasanya sampai akhir!
Yang masih harus #DiRumahAja karena Corona, toss! Semangat buat kita semua, haha!

I wanna say thank you untuk yang masih berkenan baca cerita ini. Btw, cerita ini sebelumnya pernah kupublish tahun 2018, terus karena satu dan lain hal akhirny, unpub. Aku udah stock sampe chapter belasan dan lagi coba ngembangin cerita wkwk, semoga gak kehabisan ide. Aamiin.

Selamat membaca! Semoga berkenan :)
Also, Happy Bornday buat Jongdae's baby🥳

30 April 2020
reposted on: 21 July 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top