03 Sahabat

Sejak Papa memutuskan untuk meninggalkan dunia bisnis dan fokus ke dunia politik, hidup Rissa jelas berubah. Sebelumnya, Papa hanya akan berlembur di kantor, namun tetap memiliki waktu untuk keluarga di hari Sabtu dan Minggu. Biasanya, keluarga mereka akan menghabiskan waktu di rumah melakukan hal-hal sederhana seperti menonton film di DVD atau membuat pesta Barbeque kecil-kecilan. Tapi menjadi politisi benar-benar lebih menyita waktu Papa, terlebih lagi saat dia bergabung dengan partai penuh kontroversi yang membuatnya ikut tersandung ke dalam banyak masalah. Kediaman mereka tak lagi aman, terkadang datang pemburu berita hanya untuk mewawancari hal tidak penting dan ujung-ujungnya membuat berita palsu yang membuat nilai Papa semakin negatif di hadapan khalayak banyak.

"Papa SMS Mama tadi. Katanya belum bisa pulang, masih menemani Ketua Partai buat survei di tiga kota lagi di Kalimantan."

Rissa menggembungkan pipi dan memeluk boneka Stitch hadiah ulangtahunnya yang ke-enam belas tahun dari sang Papa, tiga tahun lalu. "Papa gimana, sih, Ma? Dia ambil cuti di pekerjaan normalnya sebagai anggota DPR cuma buat nemenin Ketua Partai survei? Harusnya cuti dipergunakan buat santai, bukan malah kerja!"

Mama menghela napas dan duduk di samping sang puteri yang sudah mengenakan piyama berwarna merah muda, duduk di sofa ruang tamu dengan televisi yang tengah menampilkan tayangan komedi. "Ya, Mama bisa apa? Kamu tahu Papa kamu itu terlalu berambisi di politik. Dia bahkan lebih cinta politik daripada istrinya sendiri."

"Aku udah bete banget, lah, sama Papa. Dia janji mau ajak makan ke Puncak kalau OSPEK kelar. Sekarang, dia malah fokus sama dunia politik gak jelasnya. Bete!" Rissa menyembunyikan wajah di kepala boneka Stitch, benar-benar kecewa karena sang Papa seperti melupakan janjinya sendiri.

Mama menghela napas. "Besok Mama aja yang ajak kamu makan di Puncak. Kamu ajak teman-teman baru kamu juga gak apa-apa."

Rissa menggeleng. "Gak mau. Maunya sekeluarga sama Papa."

"Rissa, kamu tahu Papa kamu sesibuk apa. Bahkan jatah malam Jumat gak lagi penting di mata dia sampai Mama berpikir buat ikut arisan berondong saking kesalnya."

Rissa melotot. "Mama! Arisan berondong apa, sih?!"

Mama memasang wajah frustasi. "Mama kangen sentuhan Papa kamu, Rissa. Mama kangen. Pengen nangis, jadinya."

"Enggak! Jangan nangis! Oke, besok kita ke Puncak tanpa Papa!"

Mama mengangguk mendengar keputusan cepat yang dibuat Rissa sebelum menyeringai penuh kemenangan. Ah, dia hanya berniat menghibur puterinya, sekarang malah dia yang seperti butuh dihibur oleh Rissa.

🌹🌹🌹

Hari ini adalah hari pertama Clarissa Arsy Seran berstatus sebagai mahasiswi di Universitas Bina Nusantara. Beruntung, Rissa mengambil kelas yang sama dengan Andin sehingga, Rissa tak kesulitan untuk mencari teman. Bukan, bukan berarti Rissa berpuas hati hanya berteman dengan Andin tanpa memperluas pergaulannya. Tapi Rissa butuh waktu untuk berbaur dengan yang lain. Selama masa adaptasi itu, setidaknya Rissa punya Andin sebagai temannya.

Tiga hari OSPEK, Rissa dan para calon mahasiswa―yang kini telah menjadi mahasiswa―diwajibkan mengenakan seragam SMA. Tebak? Gara-gara hal tersebut, Rissa akhirnya bisa mengenakan seragam SMA lamanya mengingat Rissa hanya menempuh SMA formal selama kurang dari tiga bulan sebelum disekolahkan secara homeschooling. Selama OSPEK, Rissa bersyukur tak ada yang mengenalinya sebagai puteri dari politisi yang cukup terkenal di Indonesia karena jika dikenali apalagi oleh mereka yang kontra akan semua pendapat yang Papa Rissa kemukakan, Rissa tak tahu lagi bagaimana harus menghadapi kejadian seperti di SMA, atau bahkan lebih parah.

Hari ini, Rissa akhirnya, bisa mengenakan pakaian yang jauh lebih stylist setelah sebelumnya dia melihat-lihat bagaimana style para mahasiswi di Korea. Rissa mengenakan kemeja polos berwarna biru navy, lalu juga dengan rok rampel berwarna hitam pekat yang dibelikan sang Mama saat tengah berlibur dengan grup Istri Pejabat-nya ke Korea Selatan, sekitar lima bulan lalu. Mama membelikan banyak pakaian khas Korea Selatan dan Rissa suka. Bahkan Mama juga membelikan berbagai macam kosmetik dan parfum untuk Rissa meskipun, Rissa tidak begitu menyukai berias.

Rissa berangkat ke kampus bersama Pak Febri yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengabdikan diri sebagai supir pribadi keluarga Rissa. Sebenarnya, Papa sudah memfasilitasi Rissa sebuah mobil Honda Jazz yang bisa Rissa gunakan ke manapun dia mau, tapi sialnya, Rissa belum bisa mengendarai mobil. Pernah sekali belajar dan berakhiran membuat dirinya nyaris celaka karena menabrak pohon kelapa di depan kompleks, untung saja dia tidak menabrak orang. Mobil Toyota Rush kesayangan Mama, harus mendekam di bengkel selama beberapa saat sampai si montir angkat tangan dan mau tak mau membuat Mama menangis semalaman untuk mengikhlaskan kepergian sang Rush kesayangannya.

Menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam, Rissa meminta Pak Febri menghentikan mobil tak jauh dari pintu masuk meskipun, Pak Febri bersikeras mengantar hingga area parkir kampus. Tapi Rissa mencoba memberi pengertian. Kasihan Pak Febri jika harus memutar balik melewati area parkir kampus. Jadi, lebih baik Rissa diturunkan di tepi jalan, beberapa belas meter dari pintu masuk kampus sehingga, Pak Febri bisa lanjut mengendarai mobil kembali ke rumah.

Rissa yang baru saja hendak melangkah memasuki kampus, terlonjak begitu mendapati seseorang yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Rissa mengelus dada dan mengerucutkan bibir saat Andin menertawakan ekspresi terkejut Rissa.

"Ndin, gak usah ngagetin gitu, dong. Nanti kalau aku kena serangan jantung gimana?"

Andin berhenti tertawa. "Oh, iya, iya. Biasa. Penyakit orang kaya, kan, penyakit jantung gitu, ya?"

"Enggak ada hubungannya, ya, Ndin."

Andin terkekeh kecil sebelum akhirnya menarik lengan Rissa untuk melangkah berdampingan dengannya, seraya memperhatikan bagaimana penampilan Rissa yang nyatanya cukup menarik perhatian banyak mahasiswa. Oke, saat OSPEK kemarin, Rissa terlihat biasa saja dengan seragam putih abu-abu dan tak mengenakan make up sama sekali. Hari ini, dia terlihat jauh lebih cantik dengan sedikit make up sehingga tak terlihat pucat seperti kemarin.

"Lo beda banget dari kemarin, Ris. Gara-gara Aksa, ya? Lo naksir sama dia makanya, make over penampilan biar dia tertarik?"

Rissa menghentikan langkah kakinya, mata sipitnya melotot sebelum memukul pelan lengan Andin yang kembali terkekeh geli.

"Sumpah. Enggak. Aku gak suka sama senior sok kayak gitu. Enggak banget!"

"Terus kenapa sekarang penampilanya kayak begini? Kemarin padahal lo polos banget. Persis anak SMA kelas sepuluh." Andin menggoda Rissa yang pipinya mulai memerah.

Rissa menggeleng. "Ya, Tuhan. Kemarin, kan, masih pakai seragam putih abu-abu. Rasanya aneh kalau make up-an, tapi masih pakai seragam sekolah! Gak ada hubungannya sama senior!"

Andin terkekeh sambil lanjut melangkah, Rissa mengikuti hingga bisa sejajar lagi berjalan berdampingan dengan Andin. "Tapi senior yang kemarin alias si Ketua BEM, gosip yang beredar dia itu womanizer, Ris. Terus kayaknya, dia ngincar lo. Lo harus hati-hati, oke?"

"Womanizer?" Rissa bertanya bingung.

Andin mengangguk. "Iya, womanizer. Gimana jelasinnya, ya? Intinya, dia sejenis playboy gitu, tapi lebih parah. Kalau playboy, mainin perasaan cewek. Kalau womanizer gak cuma mainin perasaan cewek, tapi berani buat macam-macam sama cewek itu. Kalau udah puas, ditinggalin, deh."

"Dengan kata lain, penjahat kelamin?!" Rissa bertanya tak percaya.

Andin diam sejenak, berpikir sebelum mengangguk. "Singkatnya, sih, begitu. Makanya, kalau lo masih pengen segel lo cuma bisa dibuka sama suami lo kelak, lo jauhin dia. Bahaya. Dia, kan, suka yang polos-polos kayak lo."

"Oke, oke. Aku bakal hati-hati."

"Bagus. Itu baru teman gue. Yuk, ke kelas!"

Kedua cewek itu melanjutkan langkah mereka menuju ke kelas mereka yang berada di lantai tiga sambil mengobrol banyak tentang hal-hal tidak penting yang tak seharusnya dijadikan pokok pembicaraan.

🌹🌹🌹

Kelas demi kelas Rissa dan Andin ikuti dengan baik, hingga jam istirahat tiba dan kedua cewek itu bergegas menuju ke kantin untuk makan siang. Ingatkan Rissa jika mulai besok dia harus membawa bekal makan siang karena sesampainya di kantin, ada gerombolan senior yang duduk di depan pintu masuk dan menggoda semua cewek yang memasuki kantin. Beberapa cewek tampak tak peduli, tapi Rissa risih dengan perlakuan seperti itu.

"Gila. Mereka gak ada kerjaan lain selain godain cewek apa, ya? Seenggaknya nawarin buat traktir gitu. Jangan cuma siul-siul gak jelas pas cewek lewat."

Rissa terkekeh mendengar omelan Andin yang membawa nampan berisikan mie ayam milik mereka berdua. Lim dan Bernard nyatanya berbeda gedung dengan Rissa dan Andin, membingungkan memang bagaimana mereka bisa ikut OSPEK di gedung ini, tapi malah melaksanakan kegiatan perkuliahan di gedung lain, fakultas dan jurusan yang juga berbeda.

"Mungkin mereka gak ada duit buat traktir cewek. Mampunya godain doang." Rissa menimpali dan berhasil membuat Andin tertawa geli.

Tawa Andin terhenti begitu melihat pemandangan di hadapannya, alias di belakang punggung Rissa saat seseorang bertubuh jangkung dan tegap tiba-tiba berdiri di sana, memunggungi dan sontak membuat seisi kantin yang melihat menahan napas bersamaan dengan suara tanah liat kering yang pecah. Sontak, Rissa ikut berbalik menoleh dan tak kalah terkejut begitu mendapati si Ketua BEM berdiri di belakangnya, tengah menepuk kaus hitam yang dia kenakan yang ditempeli nasi goreng hangat beserta sambal yang sisanya sudah berserakan di lantai kantin. Rissa menutup mulut tak percaya. Sungguh, jika saja si Ketua BEM tidak ada, mungkin nasi goreng itu sudah jatuh di kepala Rissa karena memang mengarah padanya.

"Maaf, mas Aksa. Saya kepeleset tadi."

Tukang nasi goreng itu meraih tisu dan menyodorkan kepada Aksa yang mengangguk kecil dan meraih tisu tersebut untuk membersihkan nasi yang menempel, beserta sambal. Sepertinya sisa sambal tak akan hilang hanya dengan tisu.

"Lain kali hati-hati, ya, Pak. Terus kalau bisa, piring nasi goreng diganti yang bukan beling. Masih untung itu piring kena badan saya dan pecah di lantai. Kalau terbang ke kepala orang yang duduk di belakang saya gimana? Kasihan nanti amnesia atau paling parah meninggal karena pendarahan otak."

Rissa memutar bola mata mendengar ucapan Aksa tersebut. Sekarang, Rissa tak tahu apakah dia harus berterima kasih pada Aksa karena tanpa dia, mungkin saja ucapannya tadi menjadi kenyataan alias Rissa amnesia atau lebih parahnya meninggal karena pendarahan otak. Tapi caranya bicara benar-benar menyebalkan, seperti dia selalu benar.

Rissa memalingkan wajah dan memilih fokus memakan mie ayam pesanannya tanpa peduli kejadian yang terjadi di belakangnya. Rissa melirik sekilas Andin yang masih menatap pemandangan yang Rissa punggungi dengan mulut menganga selama beberapa saat sampai akhirnya, Rissa mendengar derap langkah kaki menjauh dan barulah Andin menutup mulut dan beralih menatap Rissa.

"Aduh, sumpah, deh. Pantes dia womanizer. Orang baik begitu. Cowok idaman banget. Gue gak apa-apa, deh, dijadiin bahan mainan dia."

Lama-kelamaan, Rissa risih sendiri mendengar ucapan Andin tentang si Ketua BEM yang Rissa tahu cukup tampan untuk membuat banyak cewek menahan napas hanya untuk melihatnya. Tapi tiba-tiba Rissa mengingat ucapan Pak Bagi yang mengatakan kalau tampang tidak menjamin masa depan yang cemerlang. Memang Aksa tampan, tapi Pak Bagi sendiri yang mengatakan jika cowok itu pemalas dan kurang bisa menghargai dosen.

Saat tengah menghabiskan mie ayamnya, ponsel Rissa berdering dan malas-malasan, Rissa meraih ponsel. Namun rasa malas Rissa hilang begitu mendapati nama yang tertera di layar ponsel, nama seseorang yang sudah hampir satu bulan belakangan tidak ditemuinya. Tanpa berkata apapun pada Andin yang tampak penasaran, Rissa mengangkat panggilan dari kontak yang dinamanya Ethan.

"Ethan!"

Kekehan terdengar dan Rissa tak dapat menyembunyikan senyuman penuh kebahagiaannya begitu berhasil mendengar suara Ethaniel Brawijaya, sahabat satu-satunya yang Rissa miliki sejak kecil. Cowok yang berusia dua tahun lebih tua dari Rissa dan sangat dapat Rissa andalkan untuk melindunginya. Cowok yang sudah sebulan belakangan bertolak ke Afrika Selatan, melakukan misi penyelamatan dunia, katanya. Padahal, Rissa tahu cowok itu hanya sedang menjadi relawan di bawah naungan UNICEF di sana.

"Kangen banget, ya, Sa, sama Ethan yang ganteng ini?"

Rissa terkekeh. "Enggak, lah, Than! Ngapain kangen sama setan kayak kamu!"

"Jahat dipanggil setan! Padahal, aku mati-matian ke pusat kota buat cari sinyal biar bisa hubungin kamu. Aku, kan, kangen."

"Aku emang ngangenin, sih, jadi wajar. Kalau kamu, mah, enggak. Hidup aku tenang tanpa kehadiran kamu."

Bercanda, sebenarnya. Rissa kesepian tanpa Ethan yang biasanya tiap malam duduk di balkon kamarnya yang berhadapan dengan kamar Rissa-permintaan langsung Ethan saat rumahnya sedang direnovasi agar bisa berdekatan dengan kamar Rissa-lalu, bertukar cerita sampai teriakan Mama Rissa terdengar dari kamar di samping kamar Rissa, meminta Rissa untuk tidur. Ah, Rissa rindu Ethan dan Ethan baru akan kembali setelah enam bulan berada di sana.

"Kamu udah mulai kuliah, ya, Sa? Gimana kampus baru kamu? Udah dapat berapa teman?"

"Ini aku di kampus sama teman baru aku. Namanya Andin. Nanti kalau kamu pulang, aku kenalin, ya." Andin mengernyitkan dahi mendengar Rissa menyebut namanya. Kini, Andin sangat penasaran dengan siapa Rissa bicara.

"Cantik, gak?"

Rissa mendengus. "Idih, langsung nanya begitu! Cantik, lah. Andin cantik banget." Rissa tersenyum ke Andin yang benar-benar terlihat penasaran.

"Cantik mana Andin sama kamu?"

Mata Rissa memicing. "Cantikan Andin, lah. Andin, tuh, cantik banget, Than. Makanya, cepat balik ke Indonesia biar bisa aku kenalin."

Tawa Ethan terdengar. "Nanti kalau aku kepincut sama Andin gimana?"

"Ya, emang kenapa? Cantik, kok. Baik, lagi anaknya."

Lagi, Ethan tertawa. "Oke, deh. Janji kenalin Andin kalau aku balik ke Jakarta, ya? By the way, maaf, nih. Aku gak bisa nelepon lama-lama. Udah mau balik ke desa. Sinyal pasti langsung hilang."

"Oh, ya, udah, Than. Kamu hati-hati di sana. Jangan lupa minum susu cokelat yang aku bekalin."

Ethan terkekeh. "Aku bagi-bagiin, loh, susunya. Anak-anak di sini pada suka. Kamu kirim lagi, ya, ke sini, boleh?"

"Boleh. Coba nanti aku tanya Papa cara kirim susu ke sana gimana. Kamu kirim alamatnya juga, ya?"

"Sip. Sampai ketemu secepatnya, ya, Sa. Jangan kangen!"

Rissa tertawa bersamaan dengan sambungan telepon yang terputus. Rissa menjauhkan ponsel dari telinganya dan Andin sudah memajukan wajah ke arah Rissa sambil bertanya melampiaskan semua rasa penasarannya.

"Ih, siapa, Ris? Lo punya pacar?"

Rissa menggeleng. "Bukan, bukan pacar. Dia tetangga aku, sahabat aku."

Mata Andin memicing, satu alisnya terangkat. "Yakin?"

Rissa merespon dengan anggukkan kepala.

Andin menarik diri, duduk tegak kembali di kursinya. "Tapi ngobrolnya berasa ngobrol sama pacar. Mana bahas kangen-kangenan lagi. Serius cuma sahabat?"

"Apaan, sih, Ndin? Ya, sahabat, lah! Emang salah ngobrol kayak tadi?"

Andin tersenyum menggoda. "Eh, tapi jarang, loh, cewek-cowok sahabatan terus ngomongnya aku-kamu. Biasanya, pasti salah satu ada yang jatuh cinta. Pasti lo, ya?"

Buru-buru, Rissa menggeleng. "Eng-enggak, lah! Orang cuma sahabatan!"

"Oh, jadi kamu di friendzone-in sama dia?"

"Ish, apaan, sih? Enggak!"

Andin terus-menerus menggoda Rissa yang sudah mulai memerah. Rissa benar-benar seperti anak kecil polos di mata Andin. Sangat kentara jika cewek ini belum terjamah cowok manapun, kecuali yang tadi dihubunginya.

( Ethan )

---

Kalau masih ada typo, kasih tau yaaakk
Sebelumnya, nama tokoh utama cewek cerita ini Jean dan kuganti jadi Rissa biar lebih mengarah ke visual hehe.
Maap kalo tambah ngaco, semoga menghibur yang #DiRumahAja 😌
Jangan lupa streaming album terbaru mas Junmyeon❤️

Terima kasih berkenan membaca😌

30 Maret 2020

reposted on: 16 July 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top