01 OSPEK
Dilahirkan sebagai putri dari seorang politisi tersohor di Indonesia jelas bukan suatu hal yang Clarissa Arsy Seran inginkan. Ayah Rissa―panggilan akrab gadis itu―Alamsyah Hadi Seran yang terkenal sebagai salah satu politisi yang lantang menyuarakan pendapat. Alamsyah bergabung dalam salah satu partai politik yang terkenal dengan kontroversi, partai itu juga yang membuat Alamsyah ikut terkenal sebagai seorang politisi yang penuh kontroversi. Semua pendapatnya mengundang perhatian publik, banyak yang pro dan tak sedikit yang kontra. Hal itu membuat Rissa jelas-jelas ikut merasakan imbas dari sang Ayah.
Ketenaran sang Ayah mulai terasa sejak Rissa masuk SMA. Awalnya, semua berjalan normal sampai Rissa mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari siswa lain yang mengenalinya sebagai puteri dari politisi yang sekarang juga menjabat sebagai anggota DPR Republik Indonesia itu. Anggota DPR pastinya bertanggungjawab atas disahkannya sebuah peraturan yang merugikan kaum menengah atas. Saat itu, Rissa tak tahu apa-apa, sungguh. Bertemu dengan sang Ayah saja sangat jarang, tiba-tiba Rissa dikunci di kamar mandi dan disiram dari atas dengan air comberan hingga mengalami trauma untuk pergi ke sekolah lagi. Setelahnya, keluarga Rissa memutuskan untuk melanjutkan pendidikan secara homeschooling. Dia tak memiliki banyak teman. Hanya ada satu orang, tetangganya sejak lama yang bernama Ethaniel August Wijaya―panggilannya Ethan meskipun, tak jarang Rissa memanggilnya Setan.
Hari ini adalah hari bersejarah untuk Rissa mengingat hari ini akan menjadi hari pertama Rissa memulai pendidikan lagi secara formal. Rissa memang terlambat satu tahun untuk memulai kuliah. Sekarang usianya sembilan belas tahun saat harus memulai kegiatannya sebagai mahasiswi di Universitas Bina Nusantara yang cukup terkenal akan kualitasnya. Rissa mengambil jurusan Psikologi, berdasarkan dari pengalaman yang dia dapat dulu. Rissa ingin menguatkan siapapun yang memiliki masalah dengan sekitar, termasuk dengan diri sendiri seperti yang pernah dia rasakan.
"Rissa, ingat, ya? Sampai di sana, minta temani Pak Febri ke ruang tata usaha untuk minta petunjuk apa aja yang harus kamu laksanain di hari pertama. Mama dan Papa udah bilang ke dekan supaya kamu gak ikut OSPEK dan tetek bengeknya."
Rissa mendengus. "Loh, kenapa, Ma? Bukannya wajib ikut OSPEK?"
Mama menggeleng. "Enggak, Sayang. Enggak wajib. Mama gak mau kamu dijadiin bahan mainan sama para senior. Mama gak mau kejadian kayak di SMA dulu terulang."
"Ma, gimana Rissa bisa berubah jadi lebih baik kalau Rissa gak beraniin diri ngehadapin dunia luar? Udah cukup tiga tahun belakangan Rissa ada di rumah dalam perlindungan banyak orang. Rissa udah besar. Rissa bisa jaga diri Rissa sendiri."
Mama masih memberi Rissa tatapan khawatir. "Sa, Papa kamu udah bicara sama dekan yang kebetulan temannya. Kamu gak harus ikut OSPEK. Kamu datang hari ini cuma buat isi KRS dan lihat-lihat kampus. Setelah itu, kamu pulang dan istirahat."
Rissa memicingkan mata. "Terus kapan aku dapat teman barunya, Ma, kalau cuma begitu di kampus?"
"Nanti setelah belajar normal kamu juga bisa kenalan sama teman baru kamu, Sa." Mama memberi pengertian seraya melangkah mendekati Rissa yang tengah mengaca, menatap pantulan wajahnya di cermin yang baru selesai dipolesi dengan make up. Sangat tipis, bahkan tak terlihat mengenakan make up. "Bibir kamu kering. Pakai lipstick, lah. Warna yang terang. Kayak punya Mama." Mama memainkan bibirnya yang terpoles lipstick merah menyala.
Rissa memutar bola matanya. "Ma, aku mau belajar di kampus, bukan mau jadi pusat perhatian dengan lipstick kayak gitu."
Merasa tersindir dengan ucapan sang puteri, Mama mengernyitkan dahi. "Hei, jangan salah. Kamu pasti bakal kaget lihat mahasiswi-mahasiswi di kampus kamu itu pakai lipstick yang warnanya sama persis dengan yang Mama pakai. Nanti lama-lama kamu juga pakai."
"Amit-amit."
"Heh! Kok, begitu?!"
Rissa terkekeh geli mendengar omelan sang Mama. Cewek cantik bertubuh proporsional itu meraih tas selempang hitam yang sudah dipesannya jauh-jauh dari Korea. Rissa mengenakan tas itu lalu, meraih tangan sang Mama, mengecup punggung tangan kasar itu dengan lembut sebelum berkata, "Ma, doain Rissa, ya? Rissa mau tetap ikut OSPEK. Rissa janji, hal kayak di SMA gak akan terjadi lagi. Kalaupun terjadi lagi, Mama, kan, tahu Rissa gak ngehabisin waktu tiga tahun belajar di rumah secara cuma-cuma, kan? Rissa udah nyiapin mental buat ngehadapin dunia luar. Rissa kuat."
Mama seperti ingin menangis mendengar ucapan sang puteri tersebut. Bagaimana tidak? Dia tahu Rissa menghadapi hari-hari berat saat dunia tahu dia adalah puteri dari politisi yang terkenal akan mulut tajamnya dalam mengkritik pemerintah. Jika Mama sudah sangat terbiasa akan hal itu dan bahkan mendapat teman dari hal seperti itu, Rissa malah kebalikannya. Pergaulan Rissa jadi terganggu, beberapa orang yang jelas-jelas memusuhi Alamsyah justru ikut menghasut orang lain untuk memusuhi Rissa yang tak tahu apa-apa. Jadi, tak heran, kan, jika Mama sangat mencemaskan keadaan Rissa di kampus nanti?
"Kamu hati-hati. Kalau ada yang jahat sama kamu, cepat telepon Mama biar Mama kasih pelajaran ke orang itu."
Rissa mengangguk. "Siap, Ma. Pasti aku lapor ke Mama." Mama sebenarnya tahu, Rissa mana mungkin melaporkan semua tindakan buruk yang pernah orang lain lakukan padanya. Mama heran, bagaimana mungkin dia memiliki puteri berhati malaikat ketika dia dan sang suami bahkan sangat jauh dari kata itu.
"Rissa berangkat, ya? Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Benar-benar sulit untuk tidak mencemaskan keadaan Rissa saat dia tak berada dalam pengawasan.
( Rissa )
🌹🌹🌹
"Duh, kemarin, kan, gue udah buat kepanitiaan buat OSPEK. Lo kenapa pada nyamperin gue ke rumah buat pergi ke kampus, sih? Gak guna."
Para anggota BEM dan Senat Universitas Bina Nusantara menatap takjub sekaligus heran kepada seorang cowok jangkung berwajah tampan yang baru saja sampai di antara kerumunan panitia OSPEK tahun ini. Cowok itu menguap masih menjadi perhatian beberapa mahasiswa yang tampak sudah sangat siap mengenakan almameter dan tanda pengenal mereka untuk memulai kegiatan OSPEK.
"Lo jadi ketua BEM yang berguna dikit apa, Sa. Jangan seenaknya begini."
Ah, Jasmine si Sekretaris BEM mulai berkoar, mengerucutkan bibir menatap si cowok baru datang yang masih terlihat jelas mengantuk.
Nama cowok itu Aksara Gabriel Deandra yang baru dua bulan lalu dilantik menjadi Ketua BEM Universitas Bina Nusantara. Jangan tanya bagaimana bisa Aksa menjadi Ketua BEM. Cowok yang mengambil jurusan Arsitektur itu bahkan tidak mendaftarkan diri sama sekali sebagai calon Ketua BEM ketika namanya dipanggil Pembina BEM untuk melakukan wawancara kepeminatan. Aksa tahu, teman-temannya pasti tengah menjahilinya jadi, dia memutuskan untuk asal menjawab apa yang ditanyakan Pembina BEM. Namun bukannya gagal menjadi calon Ketua BEM, keesokan harinya malah diumumkan Aksa menjadi salah satu kandidat Ketua BEM.
Semuanya tambah menakjubkan saat Aksa mendapatkan suara terbanyak begitu semua juga melihat bagaimana malas-malasannya Aksa dikala masa kampanye datang. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Mau tak mau, Aksa menerima takdir jika dia adalah Ketua BEM saat ini, meskipun ini bukan keinginannya.
"Sa, almet lo mana?"
Aksa mendengus. "Gak bawa."
Si Ketua Senat yang bertanya kepada Aksa mengernyitkan dahi mendengar jawaban sangat singkat dari sang Ketua BEM. Rafael Adiputera menggelengkan kepala, benar-benar heran bagaimana cowok yang terlihat hidup-segan-mati-tak-mau ini memasang wajah tak peduli yang meminta untuk ditonjok. Rafael tak tahu apa yang ada di otak para mahasiswa atau mahasiswi yang memilih Aksa menjadi Ketua BEM. Tak ada progres berarti yang dilakukan oleh Aksa untuk keberlangsungan organisasi, sungguh.
"Lo gimana, sih? Lo yang bikin aturan kepanitiaan OSPEK, lo sendiri yang gak laksanain."
Rafael melipat tangan di depan dada, menggeleng-gelengkan kepala menatap cowok yang dua tahun lebih muda darinya tersebut. Cowok yang juga tetangganya di apartment. Cowok yang sama-sama perantauan sepertinya.
Aksa memicingkan mata, ikut melipat tangan di depan dada. "Rafael yang terhormat, gue yang buat aturan, emang salah kalau gue juga yang langgar? Gue gak ada di struktur kepanitiaan, tapi apapun yang terjadi, gue sadar jabatan gue sebagai Ketua BEM jadi, gue akan bertanggungjawab atas keberlangsungan kegiatan."
Rafael berdecak. "Cari almet lo. Gue gak mau lo ikut ngawasin OSPEK tanpa nunjukin identitas lo sebagai Ketua BEM."
Satu alis Aksa terangkat. "Lo siapa suruh-suruh gue? By the way, bukannya jelas apa yang disampaikan Bu Mira kemarin? BEM dan Senat itu sejajar. BEM lembaga eksekutif dan Senat legislatif. Lo sadar posisi lo, kan?"
"Gue gak ngajak lo ribut, ya, Sa." Rafael memicingkan mata menatap juniornya tersebut.
Aksa menyeringai. "Gue pun enggak, Rafael. By the way, lo urus tim lo. Gue urus tim gue. See you later?"
Setelahnya, Aksa berbalik dan menghampiri rekan-rekannya di Badan Eksekutif Mahasiswa yang tengah bersiap-siap untuk memulai kegiatan pertama mereka dalam pelaksanaan OSPEK. Namanya juga Aksa. Memangnya, dia akan menuruti Rafael untuk mengenakan almameter dan sebagainya? Jangan harap. Aksa paling anti diperintah oleh seseorang yang kurang menghormatinya dan kurang dihormatinya, seperti Rafael.
Masih dengan gaya santai nan cueknya, Aksa mengumpulkan timnya untuk melakukan pengarahan. "Ingat, ya. Kita jadi panitia untuk membantu para junior lebih mudah beradaptasi dengan kampus. Jadi, jangan gunakan kesempatan ini buat ngelakuin hal yang gak benar. Selama apa yang kalian lakuin positif dan gak merugikan siapa pun, silahkan. Tapi semua harus tetap berpacu pada aturan."
Aksa menatap satu per satu wajah anggotanya sebelum lanjut mengarahkan, "Gue akan ngawasin semua gerak-gerik kalian. Gue juga gak akan segan buat ngasih sangsi ke siapapun dari kalian yang ngelakuin hal yang gak seharusnya. Jadi, gue mohon kalian jaga nama baik BEM. Cukup gue yang suka bikin malu BEM, kalian jangan."
Para anggota BEM terkekeh geli mendengar ucapan Aksa. Aksa baru saja mempermalukan dirinya sendiri di hadapan anggotanya. Tapi itu yang membuat anggota BEM menghormati Aksa. Secuek apapun Aksa dia tetap bertanggungjawab atas jabatan yang dia miliki. Dia tak ragu pasang badan untuk melindungi anggotanya. Bahkan tak jarang melibatkan diri dalam masalah karena membela anggotanya.
"Dengan ini, gue menyatakan Kepanitiaan OSPEK 2015, resmi dimulai. Selamat bekerja."
Dengan kalimat sederhana itu, para anggota BEM mulai melangkah menuju ke lapangan tempat di mana para junior sudah dibariskan dengan rapih oleh para anggota Senat. Di ruangan BEM, hanya tinggal Aksa seorang yang memutuskan untuk tidur sesaat sebelum akhirnya, bergabung untuk memeriksa kerja tiap anggota. Well, dia begadang semalaman hanya untuk menonton laga El Classico. Jadi, jangan heran kenapa Aksa sangat mengantuk pagi ini.
( Aksa )
🌹🌹🌹
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang saat Rissa melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Baiklah, Rissa masih sangat kuat dan bersemangat mengikuti permainan yang dilakukan selama OSPEK berlangsung. Rissa dimasukan ke dalam kelompok beranggotakan empat orang, yaitu: Rissa sendiri, seorang cewek berambut keriting yang mengaku bernama Andin, seorang cowok berambut cepak bernama Bernard dan seorang cowok lain dengan wajah Chinese bernama Lim. Untungnya, kelompok Rissa beranggotakan orang-orang yang mau diajak bekerjasama dan tampak tak peduli dengan latar belakang masing-masing.
"Ngumpulin daun keringnya dijeda dulu! Kalian boleh istirahat lima belas menit sebelum kembali ke sini!"
Rissa dan ketiga teman barunya buru-buru bangkit berdiri, bersama-sama melangkah menuju ke kantin untuk makan siang setelah suara senior bernama Jasmine itu menggema cukup keras di sekeliling lapangan. Ah, di mata Rissa, Jasmine itu sangat keren. Dia terlihat tegas dan galak, membuat semua cowok menatapnya kagum atau bahkan takut akan sosoknya. Tipikal cewek yang sangat berwibawa dan dihormati.
"Rissa, lo ngantri makanan, ya? Biar gue sama Bernard cari tempat duduk dan si Lim antri minuman. Nanti kalau udah dapat tempat duduk, Bernard ke lo buat bantu bawain makanan." Andin memberi intruksi sesampainya mereka di kantin yang terlihat ramai.
Rissa mengangkat ibu jari dan mengangguk. "Siap. Nasi goreng semua, kan, biar gak ribet?"
Andin mengangguk. "Iya, Rissa. Bilang sambelnya misah, ya? Kerupuknya juga."
"Oke, siap! Aku antri dulu, ya?"
Andin mengangkat ibu jari sebelum melangkah menarik lengan Bernard mencari kursi kosong untuk mereka duduk. Rissa buru-buru mengantri ke stand penjual nasi goreng yang memang cukup ramai. Sepertinya, nasi goreng itu cukup enak, peminatnya lebih banyak. Lim mengantri minuman di stand samping nasi goreng.
Lima menit berlalu dan Rissa yang baru hendak mencapai barisan paling depan untuk memesan makanan terpaksa menahan napas begitu seorang senior yang tak asing di mata Rissa―sepertinya salah satu panitia OSPEK―tiba-tiba menyelak antrian Rissa dan tanpa merasa malu atau bersalah sedikitpun langsung memesan nasi goreng lima porsi, untuknya dan temannya. Rissa menatap senior itu ingin memprotes, tapi Rissa tak mempunyai nyali besar sampai suara seseorang membuat perhatian Rissa dan si senior itu berpaling.
"Norman."
Satu tangan bertengger di pundak si senior yang kini memasang cengiran malu, sekaligus memelas meminta ampun kepada seseorang yang tadi memanggil namanya. Senior yang dipanggil Norman itu menunduk sambil berkata membujuk, "Ampun, Pak Ketua. Khilaf gue. Habis laper banget."
"Gue juga laper, Man. Tapi bukan berarti, kita bisa nyelak antrian. Bukannya tadi gue udah bilang buat jaga nama baik BEM?"
Norman mangut-mangut. "Maaf, Pak Ketua. Oke. Gue antri di belakang, deh, ya. Janji, gak bakal nyelak antrian lagi. Sumpah."
Rissa nyaris tertawa melihat bagaimana senior bernama Norman itu terlihat sangat ketakutan dan tunduk pada cowok jangkung yang dipanggilnya Pak Ketua tersebut, tapi si cowok jangkung malah melirik Rissa dan sukses membuat Rissa buru-buru mengalihkan pandangan kembali ke si penjual nasi goreng yang tengah menatap kedua cowok tersebut. Rissa menggelengkan kepala dan mencoba fokus memesan sambil mengingat jika waktunya tak banyak untuk makan siang.
"Bu, empat―,"
"Lima. Sama gue."
Rissa tercengang dan menoleh―sedikit menengadah―mendapati cowok jangkung yang tadi mengusir senior bernama Norman itu, sudah berdiri di sampingnya. Ikut menatap sang penjual nasi goreng dengan santai. Cowok itu menyadari tatapan Rissa dan mengernyitkan dahi saat mata mereka bertabrakan.
"Kenapa? Gue, kan, gak nyelak antrian. Gue nitip mesan sekalian sama lo."
Rissa terkesiap selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk menurut. Rissa mengangguk kecil dan mengulang perkataan si cowok jangkung yang entah siapa dan bagaimana bisa berdiri di sampingnya saat ini.
"Na―nasi goreng. Lima porsi, ya, Bu. Sambalnya pisah, kerupuknya juga."
"Jangan dipisah, dong. Nanti kangen."
"Hah?"
Sontak, Rissa bertanya demikian begitu mendengar kembali suara si cowok jangkung di sampingnya. Cowok itu terkekeh sekilas melihat bagaimana wajah Rissa. "Bercanda, bercanda. Muka lo lucu banget, sih. Minta dicubit."
Rissa menundukkan kepala mendengar ucapan tersebut. Entah kenapa jantungnya berdebar tak karuan. Oke. Apa cowok jangkung yang jika boleh jujur Rissa akui tampan ini baru saja menggodanya?
Beruntung, tak lama kemudian si penjual nasi goreng memanggil Rissa dengan sebutan neng geulis dan menyodorkan dua nampan yang masing-masing berisikan dua porsi nasi goreng beserta sambal dan kerupuk kepada Rissa. Rissa panik sesaat begitu hendak mencoba membawa dua nampan itu sekaligus dan salah satu di antaranya nyaris terjatuh jika saja si cowok jangkung tak membantu Rissa menangkap nampan tersebut.
"Mau gue bantu bawain?" tanyanya dan untung saja tiba-tiba Bernard datang menghampiri Rissa.
"Rissa, sori. Tadi susah banget cari tempat duduk." Perhatian Bernard yang semula terarah pada Rissa, teralihkan ke cowok jangkung yang membawa nampan tersebut.
Rissa tersadar dari lamunannya sesaat sebelum meraih nampan yang satunya sambil menyodorkan nampan itu kepada Bernard, "Bern, kamu bawa yang ini, ya."
Bernard mengangguk kecil dan menurut sedangkan, Rissa ragu-ragu mengambil alih nampan yang ada di tangan si cowok jangkung. Duh, Rissa tak tahu apa yang terjadi pada jantungnya saat ini. Berdebar kencang tak karuan saat tangannya nyaris menyentuh tangan si cowok jangkung yang membantunya menangkap nampan berisikan nasi goreng yang hampir jatuh tersebut.
"Lain kali, jangan mau diselak, ya? By the way, makasih juga udah mau gue titipin. Sampai ketemu secepatnya?"
Rissa tambah membeku saat cowok itu mengedipkan satu mata sebelum berbalik dan melangkah meninggalkan Rissa di depan stand nasi goreng tersebut dengan tangan memegang nampan nasi goreng yang harus segera dia dan teman-teman satu timnya makan.
----
Hola?
Hehe, sebelumnya aku pernah post cerita ini. Tapi karena satu dan lain hal, aku unpublish. Hari ini, aku cek satu per satu work yg masih dalam bentuk draft di akunku dan setelah dibaca satu per satu, kayaknya cerita ini sedikit lebih berstruktur dan bisa kulanjut.
Alur masih sama, ada editan dikit. Nama tokoh utama cewek kuganti. Kalau masih ada typo, boleh diinpo hehe
Semoga suka dan menghibur kalian yang #DiRumahAja 🤗
Suka gak? Lanjut atau enggak nih? Hehe
Terima kasih berkenan membaca😌
25 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top