Chapter 8

Aku duduk membelakangi Shura agar dia dapat mengobati luka di punggungku.

"Kau beruntung! Lukamu tidak terlalu dalam dan cakar Wendigo tidak beracun," ucapnya saat mengamati lukaku.

"Beruntung?" desisku tak percaya dengan menggigit bibir bawahku untuk menahan rasa sakit saat alkohol menyentuh dagingku yang terbuka.

Dia membalasku dengan sebuah dengusan.

"Apa yang akan kau lakukan dengan jantung-jantung Wendigo itu?" aku bertanya. Melirik kain hitam bersulam benang perak yang sekarang tergelelak di atas dashboard.

"Membakarnya menjadi debu, lalu membuangnya ke laut." Dia berhenti membersihkan lukaku sejenak untuk mengambil kapas baru yang dibasahi alkohol.

"Memangnya itu harus? Aww ... pelan-pelan itu sakit, tau!" teriakku saat ia menyentuh lukaku cukup keras.

"Maaf aku tak sengaja. Dan ya, itu harus kalau kau tak ingin Wendigo itu bangkit lagi dengan penuh dendam untuk membunuhmu." Aku meringis tapi kali ini bukan karena sakit tapi ngeri membayangkan kalau harus melawan Wendigo lagi.

"Sudah beres. Aku akan keluar agar kau bisa ganti baju." Dia membuka pintu dan meninggalkanku, bersandar pada pintu mobil dan membelakangiku.

Aku buru-buru melepas kaosku yang sudah robek dan ternoda darah lalu berganti memakai kemeja lengan panjang berwarna biru.

"Apa Ken belum datang?" tanyaku ikut keluar dari dalam mobil.

"Seharusnya sebentar lagi sampai."

Saat Shura selesai mengucapkan kalimatnya, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan kami.

"Masuk!" ucap Ken. Membuka pintu penumpang bagian depan.

Aku melompat dengan seringai di wajahku dan duduk di kursi. "Kau gila? Jaguar XJ Sentinel?"

Ken mengedipkan satu matanya padaku untuk menggodaku. "Demi keamanan."

Aku tertawa. Memangnya ada orang yang ingin menembaknya, apa?

"Aku akan pindahkan barang-barang dulu," kata Shura.

Aku hendak berdiri untuk membantu Shura, tapi Ken menarik pergelangan tanganku. "Dia bisa melakukannya sendiri."

"Tapi koperku juga ada di sana," protesku.

"Kurasa Aleks tak akan keberatan memindahkan kopermu sekalian," balas Ken.

"Jangan seperti itu!" Ia masih tetap menahanku.

"Aku memang seperti itu," jawabnya acuh dan mengedikan bahu.

Aku hanya bisa mendengus dan kembali duduk serta berusaha menatap Ken dengan berang. Tapi itu malah membuatnya tertawa geli. Setelah semua barang sudah masuk ke bagasi, Shura duduk di belakang dan Ken mulai memacu mobilnya.

"Apa kalian tidak tahu, ada serangan Wendigo di sini?" kata Shura.

"Kami tahu," jawab Ken sinis.

"Kalau begitu kenapa kalian tidak mengirim tim pemburu?" balas Shura.

"Kita kekurangan pemburu. Kau sendiri juga tahu itu."

Kemudian hening.

Aku benci situasi ini. Berada di antara Ken dan Shura seperti berada di antara api dan ea. Sama-sama menyiksa jadi kuabaikan mereka dan tidur.

***

Aku terbangun karena guncangan di tubuhku. "Nyx, kita sudah sampai," ucap Ken.

Aku menguap sambil merenggangkan tubuhku dan mengerjapkan mata melihat berkas-berkas sinar matahari yang mulai muncul.

"Selamat datang di IUIS," ujar Ken saat mobil kami berhenti tepat di depan pintu gerbang.

Meski aku sudah sering melihat bangunan Universitas ini di televisi atau internet, aku tetap saja ternganga saat melihatnya secara langsung. Sebuah bangunan gedung berpilar putih yang dikelilingi pagar batu setinggi 2,5 merer. Kedua sisi pagar membentuk lubang setengah lingkaran, seperti terowongan untuk mengalirkan sungai Illinois. Ya. Kompleks ini dibelah oleh sungai Illinois.

Kemudian penjaga gerbang yang sepertinya berumur 50 tahunan itu membukakan gerbang dan mengangguk hormat pada Ken.

"Kau sepertinya diperlakukan seperti raja," ucapku. Aku mengamati penjaga gerbang itu.

"Kau tak akan tahu seperti apa sebenarnya aku diperlakukan," balas Ken. Bibirnya mencetak senyum getir.
Saat aku memasuki kompleks IUIS aku tak dapat menahan mataku untuk tidak jelalatan. Tepat di depan gedung utama terdapat air mancur dari batu pualam yang di puncaknya bertengger patung burung gagak berwarna hitam dengan mata dari kristal hitam yang berkilau. Di kedua sisi gedung utama terdapat gedung-gedung lain, jika gedung utama disangga oleh pilar bergaya ionic yang ramping nan tinggi, dua gedung di kanan kiri gedung utama ditopang oleh pilar doric yang besar dan rendah. Selain gedung-gedung yang bergaya Yunani klasik yang menakjubkan, taman di kompleks ini tak kalah menakjubkan dengan rumput hijau yang terpangkas rapi dan pagar tanaman dari semak Holly yang membatasi jalan setapak. Ada pohon-pohon rindang yang di bawahnya terdapat bangku taman dari besi yang bercat putih, serta petak-petak bunga warna-warni yang dikelilingi kupu-kupu. Menurutku Universitas ini sangat mempesona.

Begitu aku keluar dari dalam mobil, aroma bunga Gardenia langsung menyeruak ke dalam rongga hidungku.

"Kau bisa mengantar Nyx, kan?" Shura bertanya pada Ken dengan nada datar dan dibalas dengan satu anggukan singkat oleh Ken.

"Apa kau selalu sedingin itu padanya?" tanyaku saat Shura sudah pergi cukup jauh.

"Ya," jawabnya sambil menengok arloji di pergelangan tangannya. "Masih cukup pagi tapi aku ada urusan dengan ayahku. Jadi langsung kuantar ke ruangan siswa baru berkumpul, ya?"

Aku mengedikkan bahu tak peduli dan berujar, "Memangnya aku punya pilihan lain?"

"Ada," jawabnya dengan seringai jail yang membuatku mengagkat alis penuh tanya. "Jika kau mau bersenang-senang denganku di kamar, aku bisa batalkan pertemuanku."

Aku mendengus kesal dan memukul lengannya. "Jangan bercanda! Lagi pula terakhir kali kuingat kau bahkan tak berani menciumku."

Kini giliran dia yang mendengus kesal kepadaku. "Itukan dulu. Kenapa kau mengungkitnya? Mungkin sekarang aku sudah berubah!"

"Aku meragukannya," ejeku. Dia memutar bola matanya.

Kami sampai di depan pintu ganda gedung utama dan Ken mendorongnya hingga terbuka. Koridor gedung itu benar-benar luas, bahkan jika ada lima orang super gemuk yang berjalan di sini dalam satu baris mereka tak perlu berdesakan. Dinding di koridor itu dihiasi foto-foto tua, beberapa berwarna hitam putih yang menampilkan potret lelaki berjenggot atau wanita dengan pakaian abad pertengahan. Mataku tak sengaja menanggkap sebuah lukisan tua seorang wanita bertubuh kurus dengan banyak kerutan di wajannya yang termakan usia. Rambut hitamnya telah banyak yang berubah menjadi putih. Ia mengenakan gaun berwarna biru malam dengan renda yang menjumbai dibagian dada dan pergelangan tangannya.

"Kenapa kau menatap lukisan itu?" Ken menjentikkan jarinya di depan mataku.

"Entahlah. Dia siapa?" Aku menunjuk foto itu dengan daguku.

"Dia penyihir. Namanya Marry Laveau." Ken ikut mengamati lukisan itu.

"Penyihir? Jadi penyihir itu benar-benar ada? Apakah ada penyihir di sini?" Aku langsung menghujani Ken dengan pertanyaan.

"Mereka sudah punah." Pernyataan itu entah bagaimana membuatku tidak nyaman.

"Bagaimana bisa?" Ken menoleh ke arahku dan mengerucutkan bibirnya.

"Kau tahu tentang Witch Hunt?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Ya. Perburuan penyihir?"

"Tepat," ucap Ken. Dia menjentikan jari dan kembali berjalan di koridor jadi aku mengikutinya.

"Jadi," aku berjalan di sampingnya, "mereka benar-benar membunuh penyihir waktu itu? Kukira itu hanya akibat paranoid orang-orang zaman dulu."

"Tidak semuanya penyihir. Tentu saja. Ada beberapa manusia yang terbunuh waktu itu. Malah mungkin lebih banyak manusia dari pada penyihir."

Aku mengerutkan dahi. "Kalau begitu penyihir tidak punah, kan?"

Dia tertawa singkat dan menepuk dahinya. "Aku lupa mengatakan kalau yang punah itu penyihir yang memiliki kekuatan."

Jawaban itu malah membatku makin bingung.

"Maksudmu?" tanyaku.

"Tidak semua penyihir terlahir dengan memiliki kekuatan. Tapi setiap orang yang memiliki darah penyihir yang mengalir di nadinya dapat membangkitkan kekuatan mereka, dengan ritual tertentu. Dan yang kumaksud punah adalah penyihir yang memiliki kekuatan. Kalau keturunan penyihir tentu masih bertahan hingga kini."

Ada banyak pertanyaan di kepalaku yang berkaitan dengan topik seputar penyihir ini. Tapi Ken sudah harus memisahkan diri saat kami tiba di ujung koridor yang mengarah ke aula besar.

"Kau tinggal berjalan lurus ke arah sana hingga menemui pintu ganda kayu tanpa ukiran." Dia menunjuk ke arah koridor yang ada di sebelah kananku.

"Dan kau akan ke?" tanyaku. Dia menunjuk dengan ibu jarinya ke arah aula.

"Aku harus menghadiri rapat untuk menentukan siapa mentor tiap tim." Ia kemudian melambai meninggalkanku.

Aku berjalan ke arah yang dia tunjuk hingga akhirnya aku menemukan pintu yang dia maksud. Aku mendorong pintu itu terbuka dengan suara decitan yang cukup keras. Saat pintu itu terbuka, semua mata orang yang ada di dalam ruangan itu menatapku.

Ini sungguh menjengkelkan! Apakah mereka harus menatapku seperti itu?

Aku melangkah masuk berusaha mengabaikan tatapan mereka. Berjalan ke salah satu bangku panjang di sisi kiri dan duduk di paling ujung dekat dengan gadis berambut pirang jerami bermata kelabu.

"Kau tahu? Menurutku tahun ini kita akan direpotkan oleh anak-anak yang tidak berasal dari keluarga pemburu," ucap anak perempuan berambut pirang dan bermata biru. Dari nada suaranya yang sepertinya sengaja dimelengkingkan. Aku tahu dia berusaha menyindir. Beberapa anak ada yang bergumam setuju sementara yang lain hanya diam.

Dan aku tak dapat menahan untuk tidak memutar bola mataku dan mencuatkan ujung bibirku membentuk seringai.

"Kau menyeringai padaku?" Gadis berambut pirang itu kini berdiri dan menunjuk ke arahku.

Aku menengok ke kanan dan ke kiri berpura-pura mencari orang lain.

"Kau bicara padaku pirang?" Aku menunjuk dadaku pura-pura terkejut. Dia mendengus jijik dan berjalan ke arahku.

"Biar kutebak! Kau pendatang baru, kan?" ucapnya dengan nada merendahkan.

"Lalu?" tanyaku tak acuh.

"Lalu?" Ia mengulang pertanyaanku seakan itu pertanyaan terbodoh di dunia. "Kau seharusnya lebih sopan!"Dia mendorong bahuku dengan telunjuknya.

Oke. Ini sudah diluar batas. Memangnya siapa dia?

"Jangan menyentuhku!" Aku berdiri dan mendorongnya cukup keras.

"Kau berani?" Dia berteriak dan mengayunkan tinjunya ke arahku tapi aku berhasil berkelit ke samping jadi tinjunya hanya menghantam udara kosong.

"Cukup Calista!" ucap gadis berambut merah api sementara lelaki yang duduk di sampingnya malah tersenyum dan menonton dengan antusias.

"Jangan ikut campur Elizabeth!" balas si pirang.

"Biarkan! Ini pertunjukan yang seru." Aku tak sengaja mendengar ucapan lelaki yang duduk di dekat gadis yang dipanggil Elizabeth tadi. Tapi sepertinya Elizabeth tidak mempedulikan lelaki itu.

Dan dengan tak terduga karena aku sibuk mengamati dua orang itu. Tinju si pirang sudah menghantam rahang bawahku. Benturan itu membuatku limbung tapi si gadis yang tadi duduk di sampingku, sudah berdiri dan menangkapku agar tidak jatuh.

"Kubilang Cukup, Calista!" teriak Elizabeth sambil berjalan ke arah si pirang dan menariknya mundur.

Aku ingin balas memukulnya tapi gadis yang menahanku malah menarikku untuk duduk. "Jangan mencari masalah!" bisiknya.

"Aku benci gadis berambut pirang!" dengusku. Lalu gadis itu tertawa.

"Aku juga berambut pirang." Aku menoleh memandangnya dan ikut tertawa bersamanya.

***

Beberapa saat yang lalu, seorang lelaki yang berusia pertengahan 30 tahunan menjemput kami dan membawa kami menuju aula. Dia memperkenalkan diri sebagai Prof. Hugo Scott yang mengajar mata pelajaran Teoritis Monster. Entah apa maksudnya itu, aku tidak tahu. Dan sekarang kami duduk di bangku yang sudah disiapkan di aula, menunggu giliran nama kami dipanggil dan masuk ke dalam ruangan yang ada di ujung aula untuk dites.

Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan di dalam ruangan itu karena anak yang sudah masuk ke sana langsung diarahkan ke ruangan lain. Itu membuatku gugup. Telapak tanganku basah karena keringat dan yang membuat lebih buruk, semua orang yang duduk di sini juga diam membisu sepertiku. Hingga akhirnya namaku dipanggil setelah orang kelima yang masuk ke sana keluar.

"Miss. Ashley Nyx!" Aku buru-buru berdiri dan berjalan ke ruangan itu. Membuka pintu lalu masuk.

Apa yang kulihat sama sekali lain dengan apa yang kubayangkan. Kupikir aku akan melihat ruangan untuk gulat. Ayolah, bukankah kalian juga berlikir begitu? Jika kau bersekolah untuk beradu pukul dengan monster, apa yang akan kalian pikirkan tentang tesnya? Tapi ruangan itu sama sekali tak mengandung unsur kekerasan. Alih-alih kekerasan, ruangan itu terlihat seperti kantor kepala sekolah dengan rak-rak penuh buku dan arsip yang tersusun menurut abjad. Di seberang ruangan terdapat meja dan kursi putar, dan di sanalah seorang wanita berusia 50 tahunan duduk.

"Silakan duduk!" ucap wanita itu menunjuk kursi di depannya. Aku buru-buru menutup pintu dan duduk di kursi yang ditunjuknya.

Wanita itu memiliki rambut hitam yang diselingi beberapa uban. Ia menggelung rambutnya ke atas membentuk sanggul. Mata coklat tajam di balik kaca mata berbingkai perseginya terus mengawasiku. Dia memiliki hidung yang mancung sera tulang pipi yang tajam.

"Bagaimana kalau kita mulai dengan saling memperkenalkan diri?" Aku mengangguk menyetujui. "Alberta Russel. Staf Konselor di Universitas ini." Ia mengulurkan tangannya padaku.

Aku menatapnya selama beberapa saat sebelum akhirnya balas menjabatnya dan memperkenalkan diri, "Nyx Ashley. Siswa baru."

Dia mengakhiri jabatan kami dan membuat catatan di klip yang tergeletak di atas meja di depannya. Aku meliriknya penasaran. Ingin tahu apa yang dia tulis, hingga ia kembali mendongak dan menatapku.

"Jadi Miss Ashley. Apa yang membuatmu memilih untuk meneruskan pendidikanmu ke IUIS?" tanyanya dengan tersenyum meski aku merasa kalau itu hanya senyum palsu.

"Em ...," aku berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "karena ingin memburu monster dan agar bisa melindungi diri. Selain itu aku juga ingin lebih dekat dengan ...." Aku langsung menutup mulutku dan menunduk. Dia lagi-lagi mengangguk dan membuat catatan di klipnya.

"Mari kita bermain berandai-andai Miss Ashley!" Aku mengangkat pandanganku dan menatap mata coklat di balik kaca matanya. "Bayangkan kalau kau bisa memiliki semua yang kau inginkan di dunia ini. Kekayaan, kekuasaan, cinta, semuanya apapun itu...," dia diam memberiku jeda untuk membayangkan semua itu lalu melanjutkan, "tapi, kau harus mengorbankan satu hal berharga dalam hidupmu untuk mendapatkan semua itu. Apa yang akan kau korbankan Miss Ashley?"

"Apakah ini semacam tes psikologis?" tanyaku sebelum menjawab pertanyaannya.

"Bisa dibilang semacam itu. Tes ini tidak akan mempengaruhi apapun, ini dilakukan untuk mempermudah kami membagi tim yang sesuai."

Aku mengangguk mengerti dan memutar otakku, meski seharusnya aku menjawab secara spontan karena ini tes psikologoiskan?

"Menurutku pertanyaan anda sama sekali tidak masuk akal," ucapku. Dia menyipitkan matanya memandangku.
Kukira dia akan berteriak dan membentakku setelah mendengar ucapanku tapi ia malah tersenyum tipis, senyum yang menurutku asli bukan dibuat-buat seperti tadi.

"Kenapa kau berpikir begitu Miss. Ashley?"

Aku menghela napas sesaat dan membalas ucapannya, "Anda bilang saya bisa memiliki semua yang saya inginkan?" Dia menggangguk membenarkan. "Tapi saya harus mengorbankan satu hal yang berharga dalam hidup saya. Yang berarti saya akan kehilangan satu hal yang saya inginkan. Jadi intinya, saya tidak bisa mendapatkan semua yang saya inginkan. Bukankah begitu Mrs. Russel?"

Dia menganguk-angguk dan membuat catatan di klipnya sambil tersenyum. "Sangat teliti dan berpikir panjang. Itu bagus. Tapi sebagai pemburu terlalu banyak berpikir bisa mengakibatkan kematian. Jadi menurutku kau akan lebih cocok jika bekerja di balik meja sebagai penyusun strategi."

Aku tak tahu harus menanggapi komentarnya seperti apa, jadi aku hanya mengetuk-ngetukkan jariku di atas meja dan menunggunya melanjutkan ucapannya.

"Yang terakhir Miss. Ashley. Masih berandai-andai." Aku kembali memperhatikannya dengan serius. "Kau memiliki seseorang yang begitu kau percayai hingga suatu hari, seseorang itu mencoba membunuhmu dengan alasan memperbaiki dunia. Namun nyatanya dia malah membawa dunia ini ke kegelapan dan kau adalah satu-satunya orang yang dapat menghentikannya dengan cara membunuhnya. Apa yang akan kau pilih? Menyelamatka seseorang itu atau menyelamatkan dunia? Gelap atau terang? Hitam atau putih?"

Tanpa berpikir terlebih dahulu, aku menjawab pertanyaan itu secara refleks, "Abu-abu," jawabku singkat dan Mrs. Russel mengamatiku dengan tajam sekarang.

"Abu-abu? Jadi?" ucapnya penuh penekanan yang membuatku merasa terintimidasi di bawah tatapannya.

"Aku tak bisa memilih. Setahuku dunia memiliki banyak pilihan, dunia memiliki banyak jalan dan jika aku memang benar berada di posisi itu, kurasa aku akan memilih jalanku sendiri yang tak mengorbankan siapa pun." jawabku.

Wanita berusia 50 tahunan itu kini tersenyum puas meski di matanya aku dapat melihat banyak keraguan. "Sangat optimis tapi juga munafik. Itu bukan kombinasi yang bagus Miss. Ashley!" balasnya. Ia kembali menulis di klipnya.

Aku terkejut setengah mati mendengar pendapatnya. Tidak. Bukan terkejut tapi kesal. Munafik? Hanya dia yang pernah mengataiku seperti ini.

"Kau boleh keluar, Miss Ashley!"

Tanpa diminta dua kali aku segera berdiri. Membungkuk hormat kemudian keluar dari ruangan itu.

***

A/N:

Hai....

Nyx balik lagi...

Di bab ini sangat datar gak ada kejutannya. Bener gak?

Tapi di bab ini banyak terselip informasi.

Yah udah gitu aja. Ketemu lagi hari Jum'at!!!

- Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top