Chapter 7
Aku duduk di bangku meja makan dan memainkan sarapanku dengan garpu, sementara pikiranku melayang ke tempat lain.
Nanti sore aku akan berangkat menuju Illinois dan Dad tidak akan mengantarku, karena kemarin Shura menelepon dan menawariku untuk berangkat bersama. Mom sempat tidak setuju, tapi berket bujukan Dad akhirnya Mom menyetujuinya.
Jujur saja, aku sangat gugup. Memang aku sangat ingin menjadi pemburu. Tapi tetap saja, aku masih takut jika harus melawan monster, mengingat kejadian penyerangan monster-monster yang lalu aku selalu saja hampir mati.
Semenjak pertemuanku dengan Havmand di Grand Canyon waktu itu, aku jadi sering bermimpi buruk yang selalu berakhir dengan kematianku di tangan orang bertopeng hitam. Entah dengan cara ditikam, dicekik, dipukul, bahkan hingga dibakar hidup-hidup.
Untungnya itu semua mimpi normal dimana aku dalam mimpi itu tidak menjadi penonton. Tidak seperti mimpiku tentang orang berjubah itu.
Tiba-tiba Mom memukul punggung tanganku dengan sendoknya.
"Aww, sakit Mom," teriakku.
"Berhentilah memainkan omeletmu dan cepat makan!" bentak Mom yang kubalas dengan chibiran tanpa suara.
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan?" tanya Dad, saat aku menyuapkan satu sendok penuh omelet ke mulutku.
"Tidak ada Dad," jawabku sambil menelan omelet di mulutku.
"Kau gugup karena ini pertama kalinya kau tidak tinggal bersama ibumu?"
Aku mengangguk. Karena aku tak akan bisa bilang kalau aku takut melawan monster, kan?
"Semua akan baik-baik saja. Saat pertama selalu menjadi saat yang paling buruk tapi nanti kau juga akan terbiasa," ucap Dad.
"Ya, kuharap juga begitu, Dad." Aku kembali meneruskan makanku.
***
Pesawatku baru saja mendarat di Bandara Greater Peoria Illinois. Sekarang aku berjalan menuju parkiran, sambil menyeret tas koperku yang beratnya bukan main. Sementara Shura hanya menenteng tas ranselnya yang ringan dan pedangnya yang dibungkus kain hitam.
Aku penasaran bagaimana pedang itu bisa melewati detektor logam. Aku akan mencari tahu itu nanti.
"Tak Bisakah kau membantuku?" Dia melirikku sambil tersenyum mengejek.
"Itu bagus untuk melatih otot tanganmu," balasnya dan aku hanya bisa mendengus dan terus menyeret koperku sampai parkiran.
"Kau meninggalkan mobilmu di sini?" kataku sambil memasukkan koperku ke dalam bagasi yang penuh dengan banyak buntalan kain berbentuk panjang.
Entah apa yang ada di dalamnya. Hanya Tuhan dan Shura yang tahu kurasa.
"Ya. Aku sering bolak-balik ke Illinois. Akan sangat merepotkan kalau harus naik Taxi atau menunggu dijemput." Dia memasukkan pedangnya ke bagasi lalu menutupnya. "Ayo!" ajaknya untuk masuk ke dalam mobil.
"Kau tahu tidak?" ucapku saat duduk di kursi penumpang samping pengemudi.
"Apa?" balasnya sambil menghidupkan mesin mobil, yang ajaibnya langsung menyala.
"Aku terkesan dengan selera mobilmu," sendirku.
Bayangkan! sebuah Minivan berwarna hijau norak dengan cat yang sudah mengelupas di beberapa bagian, tambahkan suaranya yang meraung seakan berkata 'Tolong aku sudah tak sanggup berjalan' selera yang menarik bukan?
"Jika kau ingin meninggalkan mobil di parkiran bandara. Kusarankan untuk jangan meninggalkan Ferrari!" balasnya dan ia mulai menginjak pedal gas.
"Berapa lama sampai ke IUIS?" tanyaku setelah hening beberapa saat.
"Sekitar empat jam kalau kecepatan kita seperti ini. Kenapa? kau bosan?"
"Tidak. Aku justru menikmatinya, sudah lamakan aku tidak berdua denganmu?" godaku dan dia menggelengkan kepalanya tak percaya. Meski begitu aku dapat melihatnya menahan senyum. "Bagaimana sistem mengajar di sekolah pemburu? Kau belum pernah cerita," tanyaku.
"Tidak ada yang khusus. Pagi hingga siang kalian Belajar seperti kuliah pada umumnya, mempelajari International Studies. Baru setelah itu mulai pelajaran pemburu baik teori maupun praktik," jawabnya.
"Praktik? Contohnya seperti apa?" lanjutku ingin tahu.
"Seperti adu pukul dengan siswa lain," jawabnya sambil menyeringai dan aku mengernyit, membayangkan diriku babak belur.
"Kau tidak akan membiarkan mereka memukuliku, kan?" Aku memasang wajah membujuk yang membuatnya tertawa.
"Aku mungkin juga akan memukulimu, Nyx," jawabnya sambil mengangkat satu alis.
"Kalau begitu aku akan minta tolong Ken saja," balasku yang membuatnya langsung menatapku dengan wajah tak percaya.
"Apa maksudmu?"
Aku tersenyum puas melihat reaksinya.
"Dia bilang dia menyukaiku," pancingku.
Tapi ia hanya mengerutkan dahi.
"Oh," ucapnya masih terus menatapku tanpa memperhatikan jalan.
Hanya Oh?
Padahal aku berharap dia akan marah karena cemburu atau sejenisnya. Apa aku terlalu percaya diri?
Kemudian tiba-tiba ada truk dari arah depan yang melaju ke arah kami.
"Shura awas! ada ...." Sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku. Shura sudah membanting setir pengemudi yang membuat mobil kami menabrak sebatang pohon.
"Aw!" teriakku saat kepalaku terbentur dashboard.
"Kau baik-baik saja?" tanya Shura sambil menangkap pipiku dengan kedua tangannya.
"Ya. Kurasa tidak berdarah," ucapku sambil mengelus dahiku yang terbentur.
Ia melepaskanku dan mencoba menyalakan mesin mobil lagi. Sayangnya kali ini mesin itu hanya merang sekali kemudian mati.
"Kabar baiknya kita berdua selamat. Kabar buruknya ...."
"Mobil kita mati," lanjutku dan dia mengangguk. "Menurutku itu kabar baik juga."
"Apa maksudmu?" tanyanya bingung.
"Ah, kau pura-pura tak mengerti!" Dia menatapku semakin bingung. Hingga dia akhirnya terbelalak saat mengerti maksudku.
"Berhentilah bercanda dan cari solusinya, Nyx!" Aku tertawa melihatnya.
"Ayolah! Jangan terlalu serius. Coba kau telepon temanmu dan minta mereka menjemputmu!" balasku.
Ia mengeluarkan ponselnya dan menelpon.
"Tidak ada jawaban," ucapnya setelah mencoba beberapa kali. Jadi aku mengeluarkan ponselku dan menelepon.
Dering pertama, dering kedua tak ada jawaban, hingga akhirnya dering keempat.
"Halo!" jawab suara dari ujung telepon.
"Ken, maaf mengganggu malam-malam begini, tapi aku butuh bantuanmu," jawabku.
"Nyx? Ada masalah apa?" Suaranya terdengar begitu khawatir.
"Begini, mobilku mogok di tengah jalan. Jadi kalau kau tak keberatan, bisakah kau menjemputku?" ucapku sambil melirik Shura yang ekspresinya tak bisa ditebak.
"Baiklah. Kau ada di mana?"
Aku tak tahu dimana tepatnya aku berada jadi aku bertanya pada Shura, "Shura, dimana tepatnya kita saat ini?"
Tapi sebelum Shura menjawab Ken sudah kembali beritanya, "Kau bersama Aleks? Berikan teleponmu padanya!" ucapnya gusar.
"Kenapa?"
"Berikan saja!" perintahnya
Aku mengulurkan ponselku pada Shura. "Ken ingin bicara denganmu."
Dia menerimanya dan menjelaskan lokasi kami berada, kemudian tiba-tiba wajahnya berkerut dan ia berteriak, "Aku bukan pria seperti itu, Ken! Dan apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"
Shura langsung mengembalikan ponselku.
"Apa yang kau katakan padanya, Ken?" aku bertanya penuh selidik.
"Tidak ada. Jaga dirimu! Aku akan segera kesana," balasnya. Sambungan kami terputus.
Aku ingin bertanya pada Shura tentang apa yang dikatakan Ken. Tapi melihat ekspresinya yang sepertinya akan meledak membuatku berpikir kalau itu bukan ide yang bagus.
"Berapa lama Ken akan sampai ke sini?" tanyaku saat Shura sudah terlihat lebih tenang.
"Dua atau tiga jam mungkin."
"Ayo kita jalan-jalan di sekitar sini! Aku bosan. Cari Cafe mungkin?" ajakku.
"Baiklah." Ia keluar dari mobil dan aku mengikutinya.
"Kau merasa aneh tidak?" ucapku saat kami menelusuri jalanan kota itu.
"Ya, terlalu sepi," jawabnya sambil mengamati rumah-rumah yang berjajar di pinggir jalan. Semua pintunya tertutup dan hanya lampu terasnya yang menyala.
"Apa menurutmu ini kota hantu? aku benar-benar merinding saat ini," ucapku sambil memeluk diriku sendiri.
"Itu karena kau kedinginan. Seharusnya kau memakai jaket!"
"Kalau menurutmu begitu, seharusnya kau meminjamiku jaketmu." Aku menarik lengan jaket yang dia pakai.
"Tidak mau! Nanti aku yang kedinginan," jawabnya sambil berusaha melepaskan tanganku yang menarik jaketnya.
"Oh, lihat! Ada Cafe yang masih buka," ucapku sambil menunjuk Cafe itu dan berhenti menarik jaketnya. "Ayo!" ajakku menariknya ke sana.
"Kau mau pesan apa?" tanyaku saat pelayan Cafe itu datang ke meja kami.
"Kopi Americano saja."
"Dua kopi Americano panas," ucapku pada pelayan itu.
"Baik. ada lagi?" tanya pelayan itu.
"Sudah itu saja," jawabku kemudian dia pergi. "Aku penasaran dengan kota ini," ujarku sambil mengedarkan pandanganku ke penjuru Cafe.
Hanya ada kami dan tiga pengunjung lain yang berpakaian aneh, duduk di bangku paling pojok.
"Kau bisa bertanya pada pelayan itu," saran Shura.
"Aku juga berpikir begitu," balasku setuju.
Tak lama kemudian, pelayan wanita berambut merah itu datang membawa pesanan kami.
"Apakah kau sibuk? Bisakah kau menemani kami sebentar?" Aku menunjuk bangku kosong yang ada di meja kami.
"Baiklah." Ia duduk dan menyilangkan kakinya. "Apa yang ingin kalian ketahui?"
Aku terkesan. Dia sangat tanggap atau mungkin karena ini memang sering terjadi?
"Apa yang terjadi dengan kota ini? Kesannya sangat sepi, seperti kota mati?" tanyaku lalu menyesap kopiku.
"Orang-orang yang di sana juga menanyakan hal yang sama." Ia menunjuk tiga orang pria berpakaian aneh di pojok ruangan.
"Jadi?" lanjutku.
"Ada rumor yang beredar, kalau ada monster yang berkeliaran di malam hari."
"Kenapa kalian berpikir begitu?"
Ia kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan seakan ingin membuat ucapannya dramatis. "Kami berpikir begitu bukan tanpa alasan." Aku menaikkan alisku tanda agar dia melanjutkan ceritanya. "Ada dua belas kasus pembunuhan yang terjadi di kota ini selama tiga bulan terakhir. Dan semuanya ditemukan dalam kondisi yang sama," dia diam sejenak lalu melanjutkan dengan suara berbisik, "mayat mereka ditemukan dalam kondisi hancur. Daging yang tercabik-cabik. Organ dalam hilang dan isi perut dikeluarkan." Ia kemudian mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan sebuah foto kepadaku.
Saat aku melihat foto itu, cairan asam yang ada di lambungku naik sampai ke kerongkongan.
Foto itu menampilkan sesosok mayat lelaki, dengan rambut hitam cepak yang sudah ditumbuhi sedikit uban. Wajahnya hancur seperti dicabik binatang buas bercakar tajam. Rongga dadanya robek dan memperlihatkan jantung, hati, dan paru-paru yang hilang. Perutnya menganga dan unsusnya ditarik keluar. Selain itu beberapa daging di bagian paha dan lengannya hilang seperti dicabut dengan taring yang sangat tajam, hingga tulangnya terlihat.
"Seburuk itu?" tanyaku dengan tangan menutup mulut.
"Ya." Pelayan wanita itu mengambil ponselnya dari tanganku.
"Boleh aku melihatnya?" ucap Shura yang akhirnya bergabung dengan pembicaraan kami.
Pelayan itu mengangguk dan memberikan ponselnya.
Ekspresi Shura tetap datar saat melihat foto itu, seakan itu hanya sebuah foto pemandangan alam biasa.
"Jadi apa kalian melaporkan kejadian ini ke kantor Polisi?" tanya Shura saat mengembalikan ponsel Itu.
"Sudah. Tapi Polisi tak menemukan petunjuk apapun."
"Aneh. Seharusnya kabar ini sudah sampai ke telinga kami," gumam Shura dengan dahi berkerut.
"Apa maksudmu? Kau pemburu monster juga, ya?" tanya pelayan wanita itu tertarik, yang membuat Shura jadi salah tingkah.
"Kau bilang ini ulah monster. Seperti apa monsternya itu?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatiannya.
"Ah, ya. Ada beberapa orang yang mengaku pernah melihatnya. Mereka bilang monster itu bertubuh kurus hingga tulang iganya terlihat. Kepala tanpa rambut dan gigi serta kuku yang tajam. Warna matanya merah menyala tanpa pupil dan monster itu tidak memiliki bibir. Ada juga yang bilang kalau poster tubuh mereka seperti Werewolf, maksudku tulang punggung yang melengkung membuat mereka terlihat bungkuk."
Aku hanya bisa mengerutkan dahi berpikir. Belum pernah aku mendengar atau membaca deskripsi monster yang seperti itu.
"Wendigo," ujar Shura tiba-tiba.
"Apa?" tanyaku berpaling menatap wajah Shura.
"Monster itu Wendigo," jawabnya.
"Aha, kalian benar-benar pemburu monster, ya? Tapi penampilan kalian tidak aneh seperti mereka," ucap pelayan wanita itu yang memandangi kami kemudian tiga orang pria aneh di sudut ruangan.
Aku mengerti kenapa dia bicara begitu. Tiga orang pria itu benar-benar gila.
Salah satu dari mereka memakai kalung dari bawang putih. Dan yang lain memakai kalung berbandul salib sebesar pasak. Dan yang ketiga memang tidak memakai kalung, tapi menggantung di ikat pinggangnya ada sebuah botol labu yang sepertinya berasal dari Tiongkok. Mereka bertiga juga menggunakan jubah dari kain satin hitam dengan sulaman benang emas membentuk pola bintang lima sudut yang sangat kontras dengan warna kainnya. Jubah itu terikat di leher mereka.
"Ayo!" ajak Shura yang sudah berdiri.
"Kalian belum menjawab pertanyaanku," ucap pelayan wanita itu.
"Mungkin lain kali kami akan menjawabnya," balas Shura lalu langsung berjalan ke arah pintu keluar.
"Maaf atas sikapnya, ya? Dia memang orangnya seperti itu, aku permisi!" ucapku lalu berlari kecil menyusul Shura.
***
"Masuklah dan kunci pintu mobilnya!" ucap Shura singkat.
"Kau mau ke mana?" Dia tidak menjawab dan langsung berjalan ke arah belakang mobil dan membuka bagasinya. "Jangan bilang kau akan membunuh monster itu sendirian!" bentakku tapi ia tak menggubrisku dan malah sibuk membuka buntalan kain di bagasi.
Yang ternyata isinya pisau sepanjang lengan, pistol, senapan, dan senjata lainnya.
"Shura! Aku bicara padamu!" teriakku sambil menyentak pundaknya agar menghadap ke arahku.
"Dengar! Aku tak ingin kau terluka. Jadi masuklah kedalam dan kunci pintunya! Aku akan kembali sebentar lagi." Dia menyentuh pundakku mencoba meyakinkanku.
"Aku ikut!" bantahku dan aku menepis tangannya yang ada di pundakku.
"Kenapa kau begitu keras kepala? Kau bisa mati!" bentaknya dan jemarinya yang panjang menyisir rambutnya ke belakang dengan jengkel.
"Anggap saja akan lebih aman jika aku ikut denganmu! Bagaimana kalau monster itu kemari? Apa menurutmu mereka tak bisa membobol mobil ini?"
"Terserah! Bawa ini kalau begitu!" Dia menyerahkan belati dari perak dengan mata pisau bergerigi sepanjang lengan dan kantong kain hitam bersulam benang perak membentuk huruf yang tak kumengerti ke arahku.
Lalu menyelipkan beberapa belati perak pendek ke sakunya, dua pistol yang sepertinya berisi peluru perak, dan pedang yang selama ini selalu dibawanya dipanggul di punggungnya.
"Aku juga mau pistol seperti itu!" ucapku menunjuk pistolnya.
Ayolah! Pistol pasti jauh lebih baik dari belati ini, kan?
"Aku tak punya banyak peluru perak. Lagi pula, kau tidak tahu cara menggunakan pistol." Dia menutup bagasi dan berjalan menuju jalanan kota yang tetap sepi.
"Bagaimana caramu menemukan mereka?" tanyaku.
Sejujurnya, aku berharap dia akan bilang tidak tahu. Aku sungguh berharap tidak perlu bertemu dengan Si Wndigo ini. Tapi harapanku itu musnah.
"Bukan kita yang menemukan mereka, tapi mereka yang menemukan kita," jawabnya dan dia menarik pedangnya dari sarungnya.
Aku mengikuti tindakannya dengan menghunus belatiku ke depan. Tak lama kemudian aku tahu seperti apa Wendigo itu, dan saat melihatnya aku berharap aku mendengarkan Shura dan tinggal di mobil.
Dua sosok Wendigo muncul dari kegelapan gang antara dua rumah di jalanan. Mereka benar-benar persis seperti yang dideskripsikan pelayan wanita itu. Mata merah menyala, kuku berbentuk cakar tajam, gigi runcing tanpa bibir, dan badan yang membungkuk.
Gerakan mereka sangat gesit tidak seperti Goblin yang menyerangku waktu itu, dalam hitungan detik mereka sudah sangat dekat dengan kami. Satu dari mereka mengayunkan cakarnya ke wajah Shura tapi ia segera menebas pergelangan tangan Wendigo itu hingga terpotong dan jatuh ke tanah menjadi debu. Tanpa membuang waktu, Shura mengayunkan pedangnya lagi ke arah jantung Wndigo itu lalu merobek rongga dadanya yang mengeluarkan darah kehitaman.
Aku tidak tahu seberapa tajam dan keras pedang milik Shura tapi pedang itu dapat memotong tulang rusuk Wndigo itu tanpa hambatan sedikit pun. Lalu Shura menarik jantung Wendigo itu keluar dari tubuhnya yang membuat monster itu berubah menjadi debu.
"Buka kantung kain yang kuberikan tadi!" perintah Shura.
"Apa?" tanyaku panik karena Wendigo yang satunya bergerak kearahku dan berniat menancapkan cakar panjangnya ke leherku.
Untungnya aku sempat menghindar. Shura langsung berdiri di depanku dan menghunus pedangnya dengan tangan kiri, karena tangan kanannya memegang jantung wendigo yang telah dicabutnya tadi.
"Kantung, Nyx. Kantung bersulam benang perak tadi!" perintah Shura mendesak sembari menangkis serangan Wendigo itu.
Aku baru ingat sekarang kantung kain itu kesulipkan di sakuku, aku buru-buru mengeluarkannya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku setelah membukanya.
"Masukkan ini!" ucapnya sambil menyodorkan jantung Wendigo itu ke tanganku. Refleks aku menjerit dan menjatuhkannya ke tanah.
Kalian pasti juga akan melakukan hal yang sama jika jadi aku. Jantung itu berwarna merah gelap dengan urat kehitaman yang masih berdenyut dengan ritme stabil saat ku genggam.
"Tidak!" teriak Shura sambil berusaha meraih jantung itu lagi. Tapi ia dihalangi oleh Wendigo lainnya yang membuatnya harus terlibat pertarungan lagi.
Beberapa detik kemudian aku mengerti kenapa ia tak ingin jantung itu jatuh. Itu karena debu Wendigo tadi kembali mewujud. Tidak terlalu cepat tapi juga tidak lambat. Dimulai dari kaki dan naik ke bagian tubuh atas.
"Nyx, masukan jantung itu ke kantung sebelum Wendigo itu mewujud kembali!" teriaknya disela-sela dentingan pedang dan cakar Wendigo.
Aku buru-buru memungut jantung itu dengan dua jariku dan kumasukkan ke dalam kantung, seketika Wendigo yang sudah hampir mewujud itu melebur kembali menjadi debu. wendigo yang satu ini sepertinya memberikan perlawanan yang cukup sengit pada Shura, tapi akhirnya Shura berhasil merobek rongga dadanya. Dan di saat itu pula aku menjerit dengan sangat keras.
Punggungku dirobek oleh tiga cakar tajam dan aku merasakan darah yang hangat mengucur dari luka itu. Aku berbalik untuk melihat pelakunya. Sesosok Wendigo lain dengan ukuran yang lebih kecil berdiri dibelakangku. Dia bersiap untuk mengayunkan cakarnya lagi ke arahku, tapi aku menunduk ke depan dan dengan sekuat tenaga menghujamkan belatiku ke rongga dadanya. Wendigo itu sudah akan mencakarku lagi kalau Shura tidak segera menembakkan pistolnya ke arah lengan Wendigo itu.
Wendigo itu meraung dan aku mengiris rongga dadanya. Merasakan hambatan saat belatiku bertemu dengan tulang rusuknya, tapi aku tetap menekannya hingga aku dapat melihat jantung berurat kehitaman berdetak di dalamnya. Tanpa pikir panjang aku menarik jantung itu keluar dan dia berubah menjadi debu.
Aku terduduk lemas di tanah menahan perih di punggungku dan mengatur nafas dengan tangan menggenggam jantung itu. Shura berjalan menghampiriku dan memungut kantung kain yang tadi kujatuhkan lalu memasukkan jantung Wendigo yang tadi dilawannya.
"Tidak buruk untuk seseorang yang belum pernah berlatih berburu sama sekali." Dia duduk di sampingku dan menyerahkan kantung itu padaku.
Aku menerimanya dan segera memasukkan jantung berdenyut itu. Aku ingin tertawa lega, tapi aku malah menangis lagi. Ini benar-benar payah. Aku selalu menangis setelah bertemu monster jadi aku buru-buru memalingkan mukaku.
"Jangan melihatku!" bentakku saat tangannya menyentuh pipiku agar menatapnya.
"Baiklah. Kalau sudah selesai cepat berdiri! Ayo kembali ke mobil kau harus membersihkan lukamu!" Ia kemudian berdiri. Menepuk celananya untuk membersihkan debu yang menempel.
Aku ingin mengusap air mataku tapi tanganku berlumuran darah kehitaman. Dan aku menatapnya tak percaya. Aku membunuh monster itu. Benar-benar aku.
"Ini." Shura mengulurkan saputangan yang sudah penuh dengan noda darah kepadaku. Aku menerimanya dan membersihkan tanganku dalam diam lalu berdiri.
"Ayo! Kurasa punggungku benar-benar terasa nyeri." Kami kemudian menuju mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
***
A/N:
Hallo!!!
Nyx balik lagi!
Sesuai janji.
Kayaknya sama sekali gak tegang ya? Tolong dimaklumi karena aku gak jago bikin adegan action yang oke.
Ketemu lagi hari Jum'at!!!
- Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top