Chapter 4

Kami sudah selesai makan dan mengobrol di ruang depan tapi tiba-tiba Mom mengajukan ide yang sangat gila.

"Apakah Mr. Muller sudah pernah ke Georgia sebelumnya?" tanya Mom.

"Belum. Ini pertama kalinya."

"Kalau begitu kenapa tidak pergi jalan-jalan dengan Nyx? Itu pasti akan menyenangkan," ucap Mom.

Aku langsung tersedak saat meminum tehku dan memelototi Mom. "Apa?"

"Tidak masalah Nyx. Jika kau tidak mau," ucap Ken saat melihat ekspresiku.

"Tidak. Bukan begitu maksudku."

Dari mana Mom bisa dapat ide segila ini?

"Tentu saja Nyx tidak keberatan. Lagi pula kau sedang tidak ada urusan, kan?" tambah Dad.

"Ya. Pasti akan menyenangkan," jawabku dengan senyum setengah hati.

***

"Kau tak perlu memaksakan diri seharusnya," ucap Ken saat aku duduk di kursi di sampingnya.

"Aku tidak memaksakan diri," elaku.

"Baiklah kalau begitu. Jadi mau kemana?" ucapnya sambil menghidupkan mesin.

"Terserah, aku ikut saja," jawabku canggung.

"Kau terlihat tidak nyaman."

Apakah dia harus menanyakan itu?

"Itu bukan pertanyaan," balasku

"Memang. Kau keberatan tidak jika kita ke Georgia aquarium?"

"Kau ingin melihat ikan?" tanyaku geli dan sedikit terkikik.

"Sudah kuduga kau akan tertawa," ucapnya dengan dahi berkerut.

"Maaf, tapi itu sedikit aneh."

"Kau akan terkejut jika tahu seberapa anehnya aku," ucapnya.

"Benarkah?"

"Ya." Lalu ia mulai menjalankan mobilnya.

Ternyata ini tidak terlalu buruk. Ken orang yang sangat menyenangkan dan dia punya banyak lelucon untuk membuatku tertawa hingga perutku sakit dan mataku berair.

"Jadi bagaimana kau bisa mengenal Aleks?" tanyanya dengan alis bertautan.

"Ceritanya melibatkan pedang, Ogre, dan lemparan batu." Dia hanya mengangkat alisnya. "Apakah kau memburu monster juga?" aku balik bertanya.

"Dulunya aku juga memburu monster, tapi tiga tahun ini aku sudah tidak melakukannya," jawabnya.

"Kenapa?"

"Aku yakin kau tidak akan suka mendengar alasannya." Wajahnya benar-benar diliputi keraguan dan sepertinya dia tidak ingin membahasnya.

Jadi aku merubah topik. "Kenapa kau ingin melihat ikan?"

"Kau benar-benar ingin tahu?" balasnya dengan senyum geli di bibirnya.

Dia benar-benar manis saat tersenyum.

"Sebenarnya sedikit konyol, dulu waktu kecil aku sering pergi memancing dengan ayahku. Bisa dibilang itu satu-satunya waktu yang kami habiskan bersama. Sekarang kami semakin jarang bertemu." Saat dia menceritakannya aku dapat merasakan rasa kecewanya terhadap ayahnya.

"Jadi melihat ikan untuk mengenang waktu bersama ayahmu?"

"Yah, semacam itu," jawabnya.

"Lalu bagaimana dengan ibumu?"

Aku tidak tahu kenapa tapi aku sangat penasaran dengan hidupnya, seakan dia punya begitu banyak rahasia.

"Kau berniat mengintrogasiku, ya?" balasnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Oh Tuhan. Ini terlalu dekat.

"Kau lupa menghembuskan napas," ucapnya.

Aku buru-buru menghembuskan napasku. Sial. Ini biasanya hanya terjadi jika aku terlalu dekat dengan Shura. Bagaimana bisa? Pria ini memberikan efek yang sama?

"Kau sedang menyetir seharusnya kau memperhatikan jalan," ucapku berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Kau tahu? Kau memang sangat manis," ucapnya. Lalu ia kembali menegakkan tubuhnya.

Aku sungguh bersyukur karena dia sudah menjauh. Karena aku yakin pipiku pasti merah seperti tomat saat ini.

"Kau menggodaku, ya?" gerutuku dan dia terkekeh.

"Tidak Aku mengatakan yang sebenarnya," bantahnya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," tuntutku.

Dia mengerutkan dahinya seakan berpikir. "Bagaimana kalau kita main jawab tiga pertanyaan apa saja," ucapnya.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

Dia mengedikkan bahunya. "Karena aku juga ingin menanyakan sesuatu padamu dan aku ingin kau menjawab Jujur."

Aku menimbang-nimbang penawarannya sesaat. "Oke. Akukan tidak punya rahasia apapun,"

Ya kecuali tentang Shura.

"Ledies first, kalau begitu," ucapnya mempersilahkan.

"Apa yang terjadi dengan ibumu?" tanyaku.

"Kau seharusnya menanyakan sesuatu yang lebih sulit untuk kujawab," balasnya.

"Sudahlah, jawab saja!"

"Baiklah ... baiklah ...," lalu ia melanjutkan, "ibuku meninggal saat menjalankan suatu misi. Aku masih 6 tahun waktu itu," jawabnya. Namun dia tidak terlihat sedih atau terluka malah sepertinya terkesan bangga.

"Maaf," ucapku menyesal.

"Ayolah, jangan minta maaf. Bagiku dia ibu terbaik. Ayahku dulu sering bercerita tentang ibuku, dia bilang ibuku adalah seorang pemburu yang hebat. Bahkan ia pernah melawan seekor Chimaera seorang diri," ucapnya.

"Maksudmu Chimaera yang berkepala singa, ekornya berupa ular naga, dan di punggungnya mencuat kepala kambing, serta bernafas api itu?" tanyaku tak percaya.

"Ya, yang itu. Lagi pula aku juga tidak kenal Chimaera yang lain."

"Wow! Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia bisa melakukannya," ucapku takjub. Sementara dia hanya terkekeh.

"Lanjut!" perintahnya.

"Apakah kau dan Aleks bermusuhan? Kalau iya, aku ingin tahu alasannya?" tanyaku. Karena aku benar-benar penasaran dengan hubungan mereka.

Dia tidak terkejut mendengar pertanyaanku, mungkin dia sudah menduga kalau aku akan menanyakan hal ini.

"Aku akan jawab nanti, setelah kita pulang dari Georgia aquarium," ucapnya.

"Mana bisa begitu!" protesku tapi ia malah tersenyum.

"Tenang. Aku tidak akan kabur, aku hanya tidak ingin merusak suasana," jawabnya.

"Bersumpahlah!" tentangku.

Dia melirik ke arahku. "Kau tidak percaya padaku?"

"Aku baru mengenalmu beberapa jam yang lalu, ingat?" dia hanya menggelengkan kepalanya.

"Aku bersumpah demi Sungai Styx. Kalau aku akan menjawab pertanyaan kedua Nyx, setelah pulang dari Georgia aquarium."

Saat ia mengucapkannya aku meledak tertawa. "Demi sungai Styx?" ucapku geli.

"Kenapa? Itu sumpah paling keramat bagi orang Yunani, tahu?" ucapnya sok berlagak serius.

"Oke, aku percaya padamu," ucapku masih terkikik. "Pertanyaan terakhir. Kenapa tahun ini kalian merekrut anak-anak yang tidak berasal dari keluarga pemburu? Bukankah biasanya yang masuk ke sana hanya keturunan keluarga pemburu?" Kali ini ia terlihat terkejut mendengar pertanyaanku.

"Aku tidak menyangka kau akan menanyakan hal ini," ucapnya. "Sebenarnya ini informasi rahasia, jadi jangan beritahu orang lain!" Aku mengangguk tanda mengerti. "Sebenarnya ini dimulai sejak enam bulan yang lalu."

"Apa yang terjadi?"

Dia menghela nafas dan lanjut bercerita, "Kami tidak tahu pasti apa yang terjadi. Yang jelas enam bulan yang lalu monster-monster yang sudah tidak pernah terlihat mulai muncul kembali dan banyak monster yang berada di daerah pemukiman menyebabkan kekacauan." Mukanya diliputi rasa prihatin saat menjelaskan semua itu. "Kau tahu berita tentang banyaknya orang yang menghilang di Seattle?" tanyanya padaku.

"Ya. Polisi menduga itu ulah organisasi sesat yang menyuruh anggotanya untuk pergi meninggalkan keluarganya." jawabku.

"Ya, itu dugaan polisi. Tapi kami tahu dengan pasti kalau itu ulah Pooka."

Aku mengernyitkan dahi mendengar informasi ini. "Kalau kalian tahu dengan pasti, kalau itu ulah Pooka. Kenapa kalian tidak membunuh mereka?" tanyaku bingung.

"Nah, itu masalahnya. Saat ini Kami sedang kekurangan pemburu karena banyaknya monster yang muncul dan banyaknya pemburu yang gugur," ucapnya sedih. "Oke aku sudah jawab semuanya sekarang giliranku," ucapnya tiba-tiba kembali bersemangat.

"Baiklah. ayo mulai!"

"Aku hanya ingin kamu jawab ya atau tidak. Ingat hanya ya atau tidak. Tidak ada jawaban yang lainnya," jelasnya padaku.

Aku mengangguk mengerti, meski perasaanku tidak enak.

"Pertanyaan pertama. Apa kau menyukai Aleks? Jawab ya atau tidak?" Mukaku langsung merah padam.

Bagaimana dia bisa menanyakan hal semacam itu?

"Pertanyaan macam Apa itu?" Suaraku naik satu oktaf saat mengucapkannya.

"Aku sudah menjawab semua Pertanyaanmu kecuali yang nomor dua, akan kujawab nanti. Sekarang jawab! Ya atau tidak?"

"Aku tidak mau! Ini tidak adil!" ucapku merajuk.

"Hai, ingat kesepakatannya? Tiga pertanyaan apa saja dan jawab dengan jujur. Sekarang jawab dan jangan jadi pengecut."

Oh yang benar saja? Aku jadi pengecut hanya karena tak menjawab pertanyaannya? Ini akan sangat memalukan.

"Ya. Aku menyukainya tapi...."

sebelum aku menyelesaikannya dia sudah memotong ucapanku. "Tidak perlu ada tapi. Cukup ya atau tidak!" Ia melanjutkan tanpa ada perubahan ekspresi sedikitpun di wajahnya. "Dia pernah menciummu?"

Bagaimana dia bisa tahu itu? aku sudah berusaha untuk melupakannya, tapi dia malah membuat memori itu kembali segar di ingatanku.

"Ya," ucapku sangat pelan.

"Oke. Pertanyaan terakhir. Ada kemungkinan untuk merubah perasaanmu padanya?"

"Tidak. Kurasa tidak untuk saat ini," ucapku dengan kepala tertunduk.

Kemudian Hening. Hening yang sangat lama.

"Kau marah?" tanyanya memecah keheningan.

"Tidak. Kenapa aku harus marah?" Aku menoleh padanya saat ia sedang menatapku jadi pandangan kami bertemu. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku keluar jendela.

"Jangan memalingkan wajahmu dariku," ucapnya sambil menyentuh daguku dan membuatku kembali menatapnya.

Aku melihat matanya yang penuh keputusasaan. Sama seperti sorot mata Shura setelah menciumku.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku sambil menyentuhkan jemariku ke pipinya, lalu tangannya menangkap tanganku untuk terus menyentuh pipinya.

"Ya, kurasa aku baik-baik saja." Ia melepaskan tanganku.

Aku tidak mengerti. Seharusnya aku marah padanya atau setidaknya kesal tapi bukan itu yang kurasakan saat ini aku tidak tahu pasti apa yang kurasakan. Aku hanya tidak ingin melihatnya sedih. Benarkah hanya itu?

***

"Sepertinya kau salah memilih waktu untuk berkunjung ke mari," ucapku saat melihat antrian di depan pintu masuk.

"Ya, ini libur musim panas. Pantas saja sangat ramai." la menggandeng tanganku dan menarikku untuk membeli tiket.

"Kau tidak perlu menggandengku seperti ini." Aku menarik tanganku tapi ia malah mengeratkan genggamannya.

"Aku takut kalau kau hilang. Nanti apa yang harus kukatakan pada Ibumu?" Ia terkekeh dan menuju ke pintu masuk.

"Ini membuat kita terlihat seperti sepasang kekasih," gerutuku. Dia tak menggubris ucapanku dan malah mengayun-ayunkan tangan kami yang bergandengan seperti anak kecil.

Sejujurnya aku merasa nyaman saat dia menggandeng tanganku, jadi kucoba untuk tidak mempedulikan pikiran orang lain dan menikmatinya.

Saat pertama kali masuk ekspresi Ken sungguh sangat lucu. Bayangkan. Dia mendongakkan kepalanya dengan mata terbeliak dan mulut ternganga hampir 10 detik penuh, bahkan saat aku melihatnya aku tak bisa menahan tawa.

"Hei. Apakah semenakjubkan itu?" tanyaku.

Aku yakin aku tidak separah itu saat pertama kali kemari.

"Hm?" ucapnya.

"Sudahlah! Lupakan saja! Ayo!" Aku menarik tangannya untuk mendekat ke panel kaca.

"Oh, lihat itu!" ucapnya sambil menunjuk ikan berwarna kuning dengan garis hitam dan putih. Sirip punggungnya berwarna biru. "Marine Angelfish. Bukankah ia terlihat cantik?" Dia benar-benar terlihat seperti anak kecil yang sangat antusias saat menunjuk ikan itu.

"Ya, kurasa itu memang cantik," jawabku ikut mengamati ikan yang dia maksud.

"Dia masuk ke ordo Perciformes dan keluarga Pomocanthidae. Mereka banyak ditemukan di terumbu karang dekat daerah tropis, seperti Samudra Pasifik barat, Atlantik, dan Hindia. Coba lihat yang itu!" Aku hanya diam karena aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia katakan.

Lalu aku melihat ke arah yang ia tunjuk. "Itu Marine Angelfish juga?" tanyaku.

"Bukan. Itu Butterfly fish, mirip dengan Angelfish tapi lebih kecil. Mereka sama-sama masuk ordo Perciformes," ucapnya dengan semangat. Lalu ia menatapku dengan alis terangkat. "Apakah aku terlalu banyak bicara?"

"Ya. Kau sepertinya tahu banyak tentang ikan."

"Mungkin karena hobi divingku. Aku sering melihat ikan-ikan yang cantik dan aku jadi ingin tahu lebih banyak," jawabnya.

Kami menelusuri terowongan aquarium itu, sesekali ia menunjuk ikan dan menyebutkan nama dan ordonya padaku. Lalu aku hanya mengangguk tanpa berkomentar karena tak tahu apapun tentang ikan.

"Aku tahu ikan apa yang itu," ucapku saat ikan yang memiliki sirip lebar dan mulut di bagian bawahnya melintas diatas kami. "Itu ikan Pari, kan?"

"Lebih tepatnya ikan Pari Manta. Ia memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih besar dan ciri khasnya adalah sepasang tanduk di dekat mulutnya." jelasnya padaku. "Aku pernah menyelam dengan ikan itu saat jalan-jalan ke Bali, Indonesia."

"Kau tidak takut dimakan?" tanyaku terkejut dan dia meledak tertawa.

"Ikan Pari itu pemakan Plankton bukan manusia. Apa kau tidak pernah dengar itu?"

Oh yang benar saja? Dia menertawakanku?

"Akukan bukan penggila ikan sepertimu," balasku lalu meninggalkannya dan duduk dengan muka cemberut.

Tak lama kemudian ia menghampiriku. "Ayolah jangan marah!" ucapnya. Masih dengan menahan tawa dan dia duduk disampingku. Aku langsung memalingkan wajahku darinya. "Kau benar-benar marah ya?" Aku tetap tak menjawab dan dia ikut terdiam bersamaku.

"Kurasa aku benar-benar menyukaimu, Nyx," ucapnya barusan sontak membuatku langsung menatapnya.

"Apa?" tanyaku dengan bingung.

"Aku menyukaimu," ucapnya sekali lagi tapi aku hanya terdiam menatapnya

"Aku ... aku ...," aku tergagap tak tahu harus berkata apa.

"Tidak usah bingung begitu. Akukan tidak tanya apa kau suka padaku. Aku hanya ingin kau tahu apa yang kurasakan."

Apakah dia orang yang sama dengan orang yang bertanya apakah aku menyukai Shura? Kalau iya bagaimana dia bisa mengatakan kalau dia suka padaku?

"Aku tahu apa yang kau pikirkan," ucapnya membuatku kembali dari lamunanku.

"Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana." Aku mengalihkan pandanganku kemanapun asal jangan menatapnya.

"Bersikap seperti biasa, toh ucapanku tak akan mempengaruhi hidupmu," jawabnya santai.

"Tentu saja berpengaruh. Sekarang aku jadi merasa tidak enak padamu. Maksudku kau tahu kalau aku suka pada Aleks. pasti itu mengganggumu, kan?" debatku tanpa menatap matanya.

Kemudian jarinya menyentuh Daguku dan membuatku menatapnya. Ekspresinya sama sekali tak seperti yang kubayangkan. Ia terlihat yakin.

"Sudah kubilang jangan memalingkan wajahmu dariku. Aku tahu kau suka pada Aleks tapi aku juga tahu kalau kau suka padaku."

"Tidak. Itu tidak benar," sangkalku.

Tidak mungkin aku menyukai dua pria di saat yang bersamaan.

"Jangan menyangkalnya," ucapnya singkat.

"Mana mungkin aku menyukaimu? Aku bahkan baru mengenalmu beberapa jam yang lalu."

Tapi bagian diriku yang lain mengucapkan yang sebaliknya.

Kau menyukainya bukankah kau merasa nyaman saat bersamanya?

"Tidak masalah kalau kau belum mau mengakuinya sekarang. Nanti pada akhirnya kau juga akan menyadarinya." Ia berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.

Aku menatapnya beberapa detik terlebih dahulu sebelum akhirnya menyambut uluran tangan itu. Tangannya masih terasa hangat dan nyaman. Benarkah aku menyukai pria ini? Tidak. itu tidak mungkin.

"Ayo pergi! Kita minum kopi bersama dan aku akan lunasi hutangku," ajaknya.

***

Aku menyeruput capucinoku. Kemudian kuletakkan kembali di atas meja dan mulai mengamatinya, menilai bagaimana ekspresinya saat ini. Wajahnya berkerut dengan alis yang saling bertautan dan bibirnya dikatupkan rapat membentuk satu garis lurus.

"Jadi?" mulaiku. "Apa kau membencinya?"

Dia menggeliat di kursinya, meletakkan kedua tangannya diatas meja dan mulai mengatur napas. "Mungkin tidak tepat jika menyebutnya benci, lebih tepatnya mungkin kecewa atau menyesal telah mempercayainya."

Aku mengangkat alisku dan menopang daguku dengan kedua tangan. "Kecewa? Karena apa?"

Dia terlihat berpikir mungkin menimbang sejauh mana harus memberitahuku. "Dulu kami menyukai wanita yang sama, namanya Elena Gray." Ia kembali terdiam menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Dia seorang gadis yang cantik, dengan rambut hitam sepertimu dan bisa dibilang kalian sangat mirip hanya saja bola matanya berwarna coklat gelap. Dia juga murah senyum dan baik hati."

Aku mulai tidak suka dengan arah pembicaraan ini dan tanpa sadar aku sudah menahan napas.

"Kami dulunya bersahabat. Aku dan Aleks, jadi aku mengalah dan membiarkan dia yang memiliki Elena. Karena Elena juga punya perasaan yang sama pada Alex." Dia mengambil jeda sesaat untuk meminum vanilla lattenya.

"Lalu?" tanyaku.

"Aleks dan Elena, mereka satu angkatan. Kejadian itu terjadi saat misi pertama mereka setelah lulus dari sekolah pemburu."

"Apa yang terjadi?" desakku.

"Tim mereka mendapat tugas untuk memburu Hydra yang mengamuk di Ocala, Florida. Mereka masih sangat kurang berpengalaman waktu itu. Empat orang berangkat dalam misi itu tapi hanya satu orang yang berhasil kembali." Ken terdiam dan menatap vanilla lattenya.

"Kau kecewa karena Aleks tak bisa melindungi Elena?" Ia mendongakkan kepalanya untuk melihatku.

"Dia sudah berjanji padaku untuk menjaganya." Dia mendesah. "Aku percaya kalau Aleks dapat menjaga Elena, karena dia murid terbaik," lanjutnya.

"Apakah kau berpikir semuanya akan berubah jika kau yang ada di posisi Aleks?" tanyaku dan dia berpura-pura sibuk mengaduk minumannya.

"Tidak, hanya saja Elena mati karena melindungi Aleks," ucapnya getir.

"Maksudmu?" tanyaku bingung.

"Kau tahu kan Hydra adalah monster berbentuk naga dengan banyak kepala, yang jika kau potong kepalanya maka akan tumbuh dua kepala baru? Dia juga memiliki napas api dan darah beracun."

"Ya. Aku pernah dengar."

"Dua teman satu tim mereka sudah tewas terkena napas api Hydra. Tapi Elena dan Aleks berhasil membakar leher yang dipotong itu sehingga tidak tumbuh kembali. Seperti dalam cerita Herakles. Hanya tinggal satu kepala dan si Hydra menyemburkan api ke arah Aleks, namun Elena mendorong Aleks sehingga dia yang terbakar."

Kami terdiam. Tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Ini menjelaskan kenapa Shura tak bisa menerimaku, dia masih terjebak dalam kisah masa lalunya dan mungkin tak akan pernah dapat keluar.

"Aku tahu itu bukan salah Alex, tapi tetap saja karena dia Elena tewas," ucap Ken.

Aku membuka mulutku untuk membela Shura tapi aku kembali menutupnya, tak yakin harus mengatakan apa.

"Aku sudah melunasi hutangku. Tak ada orang lain yang tahu tentang kisah ini. Yang mereka tahu hanyalah Aleks satu-satunya orang yang selamat dalam misi itu dan Sajak kematian Elena, Aleks mulai menutup diri. Jadi jangan ceritakan ini pada siapa pun. "

"Kurasa ini sudah cukup. Ayo kita pergi!" ajakku. Karena aku ingin segera berada di kamarku dan menangis tanpa ada seorang pun yang dapat melihatku.

***

A/N:

Yay! update lagi.

Gi mana...,menurut kalian? Makin gajekah? Kuharap tidak.

Konfliknya masih datar banget ya? Abis ini ada action-nya dikit. Cuma dikit dan mungkin gak bikin tegang. Karena aku payah nulis adegan perkelahian.

Oh ya tolong kasih tau kalo ada typo ya :)

Oke. Udah gitu aja,

- Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top