Chapter 2

Mom mulai mengomeliku sejak kami masuk ke dalam mobil. "Apa-apaan ini Nyx?" tanya Mom dengan penuh amarah.

"Mom, aku tak melakukan apapun," jawabku.

Tapi bagian lain dari diriku meneriakiku, 'KAU BERCIUMAN DENGAN PRIA YANG ENAM TAHUN LEBIH TUA DARIMU!'

"Oh ya? Lalu kenapa kau sampai pingsan?" Tatapan mata Mom yang garang membuatku menggeliat di kursi dan menggigit bibirku tapi aku tetap bungkam. "Apa kau minum terlalu banyak?"

"Tidak. Mom tau aku tidak suka minum," jawabku cepat.

"Kalau begitu jelaskan!"

Aku benci kalimat itu keluar dari mulut Mom. Kalau Mom sudah meminta penjelasan mustahil bisa menghindar.

Ayolah Nyx! Pikirkan kebohongan yang masuk akal!

Aku tidak bisa mengatakan pada Mom kalau aku baru saja digigit Vampire, kan?

"Aku sedang berjalan pulang dari cafe lalu tiba-tiba ada berandal yang menggangguku. Kebetulan Shura lewat dan menolongku. Terjadi baku hantam dan salah satu tinju Si berandal mengenai kepalaku, jadi aku pingsan," ucapku semeyakinkan yang aku bisa.

Mom masih terus menatapku, mencari tanda-tanda kebohongan dariku. Dan aku tahu Mom ahli dalam hal itu jadi aku berusaha mengatur ekspresiku agar terlihat tak bersalah.

"Dia seharusnya mengantarmu pulang," ucap Mom akhirnya.

Bagaimana Shura bisa mengantarku pulang dalam kondisi seperti itu?

"Entahlah, mungkin dia panik," belaku.

"Kau berubah sejak bertemu dengannya," gerutu Mom.

"Itu tidak benar, Mom," balasku meski aku sendiri tidak yakin dengan perkataanku.

"Tentu saja itu benar." Kemudian hening.

Kalau dipikir-pikir Mom memang benar, aku berubah sejak bertemu Shura. Aku bertemu dengannya musim panas tahun lalu, saat aku pergi ke karnaval bersama Mom dan Dad. Aku sedang melihat-lihat suvenir waktu itu, saat aku mendengar suara geraman yang sangat mengerikan. Alih-alih menjauhi suara geraman itu, aku malah mencari suber suara itu. Dan di sanalah aku pertama kali melihatnya. Seorang pria yang sudah kepayahan dan dipojokkan sesosok monster. Pedangnya tergeletak beberapa meter darinya tak berguna.

Saat itu kukuira aku berhalusinasi lagi, tapi kemudian monster itu mengangkat pentuangannya dan akan mengayunkannya ke arah pria itu. Refleks aku berlari ke arah mereka dan mengambil batu yang cukup besar untuk kulemparkan ke kepala monster itu. Meski pun lemparanku tepat sasaran, monster itu sepertinya tidak merasakan sakit sedikit pun, tapi hal itu cukup untuk membuatnya jengkel dan mengubah targetnya.

Monster itu berjalan dengan langkah lebar ke arahku dengan pentungan yang siap diayunkan. Tinggi monster itu sekitar tiga meter dengan kepala yang besar dan ditumbuhi sedikit rambut, lengan panjang berotot serta tubuh yang kekar dan kulit berwarna kehijauan yang menjijikkan. Saat itu aku yakin pasti bakal mati. Tapi tiba-tiba monster itu menjerit kesakitan dan aku melihat pedang yang menembus perutnya dan membelah tubuh monster itu, lalu tanpa aba-aba monster itu berubah menjadi debu.

Pria itu berdiri di sana, masih memegangi pedangnya dan tersenyum ramah padaku meski pun pakaiannya ternoda darah dan robek di beberapa bagian.

"kurasa aku berhutang padamu," ucapnya seakan apa yang baru saja terjadi adalah hal yang sudah biasa.

"Barusan itu apa?" tanyaku gemetar.

"Kau tidak tahu? Apakah kau bukan pemburu?" dia balas bertanya padaku.

"Pemburu?" tanyaku bingung.

"Oh, aku mengerti seorang indigo pasti. Yang tadi itu Ogre," jawabnya santai seakan Ogre adalah sejenis hewan yang biasa kau temui di sebuah karnaval.

"Ogre?" tanyaku tepat di saat Mom muncul dan mulai memanggilku.

"Nyx! Apa yang kau lakukan? Ayo pergi!" teriak Mom.

Pria itu mengeluarkan kartu namanya dan menyerahkannya padaku. "Telepon aku, aku akan mentraktirmu."

Aku menerimanya dan menggangguk lalu meninggalkannya sendirian.

Sejak saat itu aku sering bertemu dengannya membahas tentang monster yang pernah kulihat. Senang rasanya mengetahui kalau aku tidak gila atau setidaknya tahu kalau ada orang lain yang sepertiku.

"Dad akan pulang besok," ucap Mom, membuyarkan lamunanku.

"Benarkah? Sedikit lebih awal dari biasanya," ucapku heran. Karena biasanya Dad baru pulang di akhir musim panas.

"Ya, tapi itu bagus, kan?" Mom mematikan mesin mobilnya.

"Tentu." Aku meluncur keluar dari mobil dan berjalan ke arah beranda rumah.

Dan saat aku akan menaiki tangga ke kamarku, Mom memanggilku, "Nyx?"

Aku berbalik dan menghadap Mom. "Ya Mom?"

"Tentang ucapan Mom tadi, Mom minta maaf. Kau tahu Mom tidak bermaksud menyalahkanmu atau apapun. Mom hanya khawatir padamu."

Begitulah Mom selalu meledak di awal tapi pada akhirnya dia akan menyesali tindakannya.

"Aku tahu Mom," balasku dan aku tersenyum.

"Kau tahukan kalau Mom menyayangimu lebih dari apapun di dunia ini?" ucap Mom. Lalu dia memelukku. Pelukan yang selalu membuatku merasa nyaman.

"Aku tahu itu, Mom," gumamku dalam pelukannya.

"Tidurlah!" Mom akhirnya melepaskanku.

"Selamat malam, Mom."

"Selamat malam, Honey." Mom mendaratkan satu kecupan di keningku.

Lagi-lagi aku merasa seperti anak umur sembilan tahun yang payah.

***

Aku berbaring di ranjangku tapi tiap kali aku menutup mata yang kuingat hanyalah, bagaimana rasanya saat bibir Shura menekan bibirku atau bagaimana napasnya yang hangat dan suaranya yang berat tapi lembut. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku memikirkan hal semacam itu tapi kejadian ciuman itu benar-benar membuat pikiranku semakin kacau. Dan jika aku mengingat ciuman itu aku juga akan mengingat kalau dia ingin melupakannya. Bukankah itu berarti dia tak menginginkanku?

Oh Tuhan! Pemikiran itu benar-benar membuatku gila.

Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan memikirkan kepulangan Dad besok tapi tetap saja Shura yang muncul di otakku.

Nyx kau harus melupakannya!

Tapi aku tak bisa!

Kau tetap harus melupakannya!

Bagaimana caranya?

Mana aku tahu? Akukan juga kau!

Aku bahkan mulai bicara dengan diriku sendiri, kurasa ini akan membuatku benar-benar gila.

Aku kembali menutup mataku mencoba mengabaikan wajah Shura yang terus menerus muncul dan perlahan terlelap ke dalam mimpiku.

***

Aku sedang duduk di pantai berpasir putih dengan ombak yang berkilau oranye karena diterpa cahaya matahari terbenam. Dad duduk di sampingku mengumandangkan lagu berbahasa Prancis yang tak kumengerti, lalu Dad berhenti bernyani dan mengajukan sebuah pertanyaan yang paling tidak mungkin dia tanyakan, "Apakah putri Dad sudah punya pacar?" seketika rona merah menjalari pipiku.

"Kenapa?" Dad memandangku dan tangannya mengacak-acak rambutku.

"Kaukan sudah besar." Ini topik yang sulit untuk dibicarakan dengan Dad, karena biasanya Mom yang mengungkit masalah ini. Jadi aku hanya diam. "Dad rasa kau menyukai seseorang pria," ucapan Dad barusan sukses membuatku terkejut.

"Dad tahu?" tanyaku gugup.

"Tentu saja, Kaukan putri Dad."

Tapi sebelum aku sempat membalas ucapan Dad, pandanganku mengabur dan saat pandanganku kembali jernih aku sudah berada di tempat yang sama sekali lain. Aku sedang berdiri di tengah-tengah pekuburan dan tidak jauh dari tempatku berdiri terdapat sebuah altar dari batu yang dinaungi sebuah pohon besar, di setiap sudut altar terdapat obor yang menyala dan aku merasakan ketertarikan aneh yang membuatku ingin mendekat ke altar itu. Awalnya aku tak mengenali wanita yang berlutut di tengah-tengah altar itu, hingga aku sudah cukup dekat dan dapat melihat semuanya dengan jelas. Tapi ketika aku melihatnya aku tak mengerti dengan apa yang kulihat. Wanita itu memiliki rambut hitam pekat yang berantakan dengan bola mata berwarna hazel yang dibanjiri air mata. Wanita itu adalah aku.

Aku mencoba melangkah mendekati diriku. Oke itu terdengar konyol. Tapi sepertinya dia tak dapat melihatku. Aku melihat bekas sayatan di pergelangan tangan kanannya dan kedua kaki yang terantai. Dan saat aku memperhatikan dengan lebih jeli, ia sepertinya berlutut di sebuah pusat pentagram yang dilukis dengan darahnya sendiri. Fakta bahwa darah itu mungkin dilukis dengan darahku benar-benar membuatku bergidik ngeri.

Aku tak mendengar langkah kaki di belakangku tapi tiba-tiba seseorang berjalan dari arah belakangku dan menembus diriku seakan-akan aku hanyalah bayangan yang tak padat. Orang itu mengenakan jubah berwarna hitam yang terlalu besar untuk tubuhnya yang terbilang kecil, sehingga ujung jubahnya terseret di atas tanah. Aku tak dapat melihat wajahnya karena tudung kepalanya jatuh sampai ke hidungnya dan hanya memperlihatkan bibirnya yang penuh dan merah. Orang berjubah itu juga membawa belati dan botol yang berisi cairan entah apa.

Orang itu menghampiri diriku yang berada di altar, kemudian ia menuangkan isi dari botol itu membentuk pola lingkaran yang menghubungkan tiap sudut pentagram. Setelah selesai dengan cairan itu, ia mengambil salah satu obor yang ada di sudut altar dan melangkah ke dalam lingkaran yang telah ia buat.

Aku baru menyadari kalau aku sama sekali tidak dapat mendengar apapun ketika orang berjubah itu mengangkat obornya dan sepertinya meneriakkan sesuatu tapi tak ada yang keluar dari mulutnya. Kemudian ia menyulut cairan yang tadi dituangkannya, seketika cairan itu terbakar dan membentuk pola lingkaran yang mengurung diriku yang ada di altar dan orang berjubah itu. Wajahku yang ada di sana di sinari nyala api dan aku dapat melihat diriku yang begitu lemah dan ketakutan.

Kalian tahu? Ini benar-benar pemandangan yang tak ingin kulihat.

Seakan belum cukup mengerikan, orang berjubah itu mengeluarkan belatinya dan mengarahkannya ke langit seakan ia menantang Tuhan. Aku dapat melihat keanehan dari belati itu, bilah dari belati itu berwarna hitam legam dengan bagian pangkal yang lebih hitam lagi. Selain itu, belati itu seakan diselimuti bayangan atau justru menguarkan bayangan, aku tak dapat memastikannya.

Aku merasakan sesuatu yang aneh, semacam insting yang menyuruhku untuk menjauhi belati itu. Kejadian berikutnya benar-benar membuatku menjerit. Orang berjubah itu menghujamkan belatinya ke arah diriku yang ada di altar. Tapi sebelum belati itu benar-benar menikamku, pandanganku menjadi gelap dan aku tersentak bangun dari mimpi itu. Tubuhku dibanjiri keringat dingin dan napasku terengah-engah.

Aku bersyukur mendapati diriku masih berbaring di ranjang kamarku. Mataku dibutakan cahaya yang menyilaukan, karena tirai jendelaku yang sepertinya sudah dibuka oleh Mom. Dan matahari juga sudah tinggi di cakrawala. Aku bangkit dan duduk di tepi ranjang, memikirkan mimpi yang baru saja kualami. Mimpi itu benar-benar aneh dan terasa nyata, seakan itu bukan hanya sekedar mimpi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top