Chapter 19

Saat aku sadar, bau antiseptik khas ruang kesehatan memenuhi rongga hidungku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali hingga dapat melihat siluet orang-orang yang mengelilingi ranjangku.

"Dia sudah sadar," bisik suara yang kukenali sebagai suara Brant.

"Nyx, kau bisa mendengar kami?" Kali ini suara EVe.

Aku mencoba menjawab tapi yang keluar dari mulutku malah suara erangan.

"Istirahatlah, kau butuh itu!" bisik Mera di dekat telingaku.

Kemudian gorden yang membatasi bilikku tersingkap terbuka, Mrs. Laurens masuk dan mengusap dahiku. "Tidak demam, artinya tidak ada infeksi. Itu bagus," gumamnya. "Jadi, apa yang kau rasakan sekarang?"

Aku berpikir sejenak. Tidak ada. Aku sama sekali tidak merasakan apapun.

"Entah. Tidak ada kurasa," jawabku. Dan sekarang itu membuatku takut.

Bukankah luka bakar parah malah tidak akan terasa karena sarafnya ikut terbakar? Aku bergidik memikirkan itu.

"Apa luka saya sangat parah?" bisikku.

"Ya. Kau beruntung Masou menahan semburan api itu. Tapi tetap saja bagian kanan tubuhmu melepuh parah. Aku sudah memberimu obat penghilang rasa sakit. Kuharap dosisnya cukup," jawab Mrs. Laurens.

"Jadi tidak sampai membakar sarafku, kan?" Dia tertawa ringan.

"Tidak. Tidak separah itu," jawab Mrs. Laurens lalu ia membantuku duduk. "Minumlah!" Mrs. Laurens memberikan segelas cairan berwarna coklat seperti susu padaku. Tapi ketika cairan itu sampai di lidahku, rasanya sungguh menjijikkan.

Bagaimana aku bisa menjelaskan rasanya? Rasanya seperti campuran pupuk kompos, lada, dan kotoran telinga.

Jangan bertanya bagaimana aku bisa tahu rasa-rasa itu! Karena aku tak mau membahasnya!

"euh ... apa ini?"Aku mengernyit jijik.

"Obat. Tidak seampuh salep peri memang tapi cukup membantu untuk membuat lukamu cepat kering," jawabnya dan memaksaku untuk menghabiskan sisa cairan itu.

Ya, cairan. Aku tidak sudi menyebutnya obat.

"Sebaiknya kalian membiarkan Nyx istirahat," ucap Mrs. Laurens dan dia pergi membawa gelas yang sudah kosong itu.

"Kurasa Mrs. Laurens benar," ucap EVe. "Kami sebaiknya pergi dan membiarkanmu istirahat dengan baik." Lalu dia berbalik.

"Cepat sembuh. Kau terlihat payah saat ini," ujar Brant dan ia mengikuti EVe.

Saat Mera akan menyusul mereka aku menahan pergelangan tangannya. "Aku ingin bicara sebentar."

"Kau butuh istirahat. Kita bisa bicara saat kau sembuh," balasnya. Aku menggeleng.

"Hanya sebentar," bujukku.

"Ada apa?" desahnya.

"Dimana Senior Aleks? Apa dia tidak menjengukku?"

Mera menatapku serius. "Banyak hal yang terjadi, Nyx. Dia sedang sibuk mengurusi hal lain saat ini."

Aku mendesah tak dapat menyembunyikan ekspresi kecewa dari wajahku. "Hal penting seperti apa?" Mera langsung berubah gelisah. "Mera? Apa yang terjadi?"

Dia menghela napasnya terlihat enggan menjawabku. "Pedang Bayangan hilang.

Tidak. Itu tidak mungkin. Tunggu. Tentu saja itu mungkin.

Kemudian otakku memutar mimpi itu. Hydra. Orang berjubah. Pembobolan.

"Hydra itu hanya pengalih perhatian?" gumamku.

Mera mengangguk terlihat sangat sedih atau merasa bersalah? Entahlah. Yang jelas ia terlihat murung.

"Mera?" ucapku.

"Ya?"

"Aku takut," bisikku. Dia menepuk bahuku.
"Jangan khawatir, kau akan baik-baik saja." Aku menggeleng.

Dia tidak mengerti.

"Aku akan mati."

"Apa yang kau bicarakan?" tanyanya bingung.

Cerita?

Tidak?

Cerita?

Tidak?

Persetan! Aku tidak bisa menahan ini sendiri lagi.

"Aku bermimpi tentang kejadian ini beberapa hari yang lalu." Dia masih belum mengerti. "Serangan Hydra ini. Perlawananku bersama Calista. Pembobolan ruang penyimpanan senjata. Aku sudah melihatnya di mimpiku."

"Maksudmu, kau mendapat ramalan mimpi?" dia bertanya dengan terkejut.

"Ramalan mimpi, visi, atau entah apalah namanya. Aku tidak tahu. Yang jelas ini bukan pertama kalinya mimpiku jadi kenyataan. Percobaan pembobolan ruang penyimpanan senjata yang pertama, aku juga memimpikannya," ucapku. Aku mencengkram pergelangan tangannya makin erat.

"Mungkin itu kebetulan," ucapnya. Meski dia sendiri terlihat ragu.

"Dua kali berturut-turut? Itu tidak mungkin kebetulan," bantahku.

"Yah memang. Tapi setidaknya semuanya sudah lewat dan kau baik-baik saja. Maksudku cukup baik dan masih hidup."

Belum Mera. Belum semuanya.

"Masih ada satu mimpi yang belum terjadi," gumamku.

"Maksudmu?"

"Aku tidak yakin. Di mimpi itu aku melihat diriku sendiri berlutut di sebuah altar batu, di pusat pentagram yang dilukis dengan darah dan dikelilingi lingkaran api. Ada orang berjubah yang mencoba menikamku dengan Pedang Bayangan." Aku memejamkan mataku. "Aku akan mati."

Mera menarik tangannya dari genggamanku. Aku membuka mata dan melihatnya gemetar dengan wajah pucat.

"Mungkin yang satu itu hanya mimpi," ucapnya seperti memohon padaku untuk membenarkan ucapannya.

Aku menggeleng. "Ada Havmand yang memberitahuku kalau aku akan menanggung kutukan Pedang Cahaya dan Bayangan. Mimpi itu akan terjadi."

Napas Mera tersentak dan ia terlihat panik. "Kau akan baik-baik saja." Aku baru akan membuka mulutku untuk membantahnya tapi ia buru-buru pergi. "Kau perlu istirahat. Tidurlah!"

***

Semalaman itu aku berbaring sendirian di ruang kesehatan. Tanpa tertidur sedetik pun. Bagaimana aku bisa tidur kalau otakku terus memikirkan tentang kematian? Aku tahu semua orang pasti akan mati. Tapi tetap saja, aku tak mau mati saat umurku baru 18 tahun. Masih banyak hal yang belum kulakukan, dari hal sepele hingga hal serius seperti ... menikah?

Aku mendengar pintu ruang kesehatan terbuka lalu suara seseorang yang meminta izin pada Mrs. Laurens. Suara langkah kaki dan gordenku dibuka.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya orang itu canggung.

Aku melongo melihatnya. Setan mana yang merasukinya hingga ia datang menjengukku?

Dia mendekat dan meletakkan rangkaian bunga di atas nakas tempat tidurku.

"Kau tidak akan jadi lumpuh, kan?" tanyanya lagi. Aku mengernyit.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Dia melirikku benar-benar terlihat tidak nyaman.

"Benar. Apa yang kulakukan di sini? Seharusnya aku sama sekali tak kemari," ucapnya sinis dan berlalu pergi. Aku hanya dapat melongo melihat rambut pirangnya yang diikat ekor kuda berayun di punggungnya.

Kurasa dia benar-benar kerasukan.

Beberapa saat setelah Calista pergi, pintu ruang kesehatan kembali berderit terbuka. Tapi kali ini tak ada percakapan antara orang itu dengan Mrs. Laurens untuk meminta izin. Hanya suara langkah kaki yang mendekat ke bilikku.

Mataku melebar dalam keterkejutan saat melihat orang itu.

"Masih sakit?" tanya Mr. Muller.

"Tidak. Mrs. Laurens memberi saya obat penghilang rasa sakit." mataku menelisik wajahnya.

"Kau sudah dengar tentang Pedang Bayangan?" Aku menggangguk. "Lalu?"

Aku mengerutkan dahiku. "Bukankah saya yang harusnya bertanya pada anda? Lalu apa yang akan anda lakukan?"

Ekspresinya masih belum berubah, masih datar menyembunyikan semua emosi. "Aku berusaha menemukan pelakunya tapi sampai sekarang masih belum ada petunjuk."

"Yah, anda mungkin bisa mulai menggeledah kamar Mrs. Russel," sindirku.

"Kau masih mencurigainya?"

Aku memberengut. Tentu saja aku masih mencurigai orang itu!

"Anda masih mempercayainya?" balasku.

Sekarang dia malah tertawa dan mengelus cambang yang mulai tumbuh di janggutnya. "Kurasa aku mengerti kenapa putraku menyukaimu," mukaku memanas mendengar ucapannya, "dan kenapa Alberta sangat mewaspadaimu."

Apa?

"Mrs. Russel mewaspadai saya? Kenapa? Apa karena dia takut ketahuan?"

Mr. Muller menggeleng masih dengan tertawa ringan. "Dia mencirigaimu juga. Jadi aku harus percaya siapa? Kau atau dia?"

Apa-apaan ini?

"Bagaimana beliau bisa mencurigai saya? Bahkan saat pedang itu hilang saya sedang sekarat," ucapku gusar.

"Dia curiga kau berkomplot dengan si pencuri," jawab Mr. Muller.

"Omong kosong! Logika macam apa yang dia punya? Aku bahkan tak memiliki satu alasan pun untuk mencuri pedang itu!"

Mr. Muller tersenyum miring. "Sebenarnya dia punya satu teori yang cukup menarik." Aku mengangkat alisku. "Dia pikir, masuk akal jika pemilik Pedang Cahaya ingin memiliki Pedang Bayangan juga. Dengan begitu dia bisa terhindar dari kutukan itu. Karena kau tak mungkin membunuh dirimu sendiri, kan?"

Hal gila apa ini?

"Itu pemikiran terkonyol yang pernah kudengar. Bukankah lebih masuk akal jika dia yang mencarinya? Melihat rekam jejaknya yang pernah mencuri pedang itu dan dirinya yang mengakui secara terang-terangan menginginkan pedang itu, entah untuk apa. Tambahkan alibinya yang lemah di saat menghilangnya pedang itu. Dia jelas menjadi tersangka utama."

Mr. Muller memandangku serius. "Dari semua yang kau katakan itu, satu yang membuatku meragukan Alberta. Alibi. Dia tidak mau menjawab saat kutanya di mana dia berada saat kejadian." Aku tersenyum penuh kemenangan. "Tapi itu tak membuktikan kalau dia pelakunya."

"Jadi anda masih percaya dengannya?" tanyaku tak percaya.

"Alberta sudah berkorban banyak hal. Dan aku tahu dia sudah berubah," jawabnya.

Yang benar saja? Demi Tuhan tolong buka mata pria di depanku ini!

"Aku kemari untuk bertanya, apa kau masih ingin membawa Pedang Cahaya?" Aku diam tak menyahut. "Kau tak bisa menghindari kutukan itu lagi sekarang."

Aku tahu itu.

Aku menarik napas panjang lalu menatap lenganku yang terbakar yang sedari tadi tak berani kulihat. Masih melepuh, tapi bagian tepi luka sudah mulai mengering.

"Aku akan tetap membawa Pedang Cahaya. Kalau aku memang harus menanggung kutukan itu, ya biarlah aku menanggungnya."

Mr. Muller menggangguk. "Aku semakin mengerti kenapa putraku menyukaimu. Tapi sayangnya dia tertinggal satu langkah seperti dulu." Kemudian beliau pergi. Meninggalkanku dengan perasaan sesak di ulu hati.

Ucapannya barusan seperti air es yang diguyurkan ke tubuhku. Membuatku menggigil. Ucapan seorang ayah yang prihatin atas cinta putranya.

Aku memejamkan mataku untuk melupakan ucapan Mr. Muller tapi telingaku menangkap suara orang yang kupikirkan dan benar saja, Ken sudah berdiri di sisi ranjangku saat aku membuka mata.

"Dia hampir merenggut nyawamu juga," ucapnya.

Otakku langsung memutar kejadian saat dia dan Shura ribut di pesta dansa begitu mendengar ucapannya. Dan aku memalingkan wajahku. Enggan bertemu pandang dengannya.

"Nyx?" Dia menyentuh pipiku. Memaksaku untuk melihatnya.

"Aku marah padamu!" ucapku. Dia tersenyum masam.

"Aku tahu." Dia menelusurkan jarinya hingga menyentuh daguku. "Tapi aku tak menyesal."

"Kenapa kau lakukan itu? Mengatakan kalau aku pengganti Elena? Sadarkah kau, kalau itu lebih menyakitkan untukku dari pada Aleks?" ucapku membuat jemarinya berhenti mengusap wajahku.

"Aku tidak bermaksud menyakitimu," balasnya. Aku hanya diam. "Kenapa dia begitu berharga untukmu?" Dia kembali mengusap lembut dahiku, menyingkirkan anak rambutku yang berantakan.

"Kau sudah tahu. Aku menyukainya."

"Dan aku? Apa arti diriku untukmu?" dia bertanya dan menatapku putus asa.

Tanpa sadar jari-jariku sudah meremas selimut yang menutupi tubuhku.

Aku harus jawab apa? Aku tidak tahu.

Bukan teman, sahabat, ataupun saudara, lalu apa? Yang jelas dia berarti untukku.

Lagi-lagi dia tersenyum masam. "Biar kutebak! Kau tidak bisa menamai perasaanmu."

Aku menggigit bibirku. Ingin mengalihkan pandanganku tapi terlanjur terjerat dalam mata hijaunya.

"Jika kau sudah tahu apa nama dari perasaanmu itu, beritahu aku!" Telapak tangannya menggengam telapak tanganku. Menautkan jemarinya lalu mengecup lembut punggung tanganku.

Kami hanyut dalam keheningan. Hanya saling menatap dan sesekali dia mengusap puncak kepalaku. Hingga beberapa menit berlalu dan dia berdiri dan berbalik untuk pergi.

"Ken," aku memanggilnya dan dia menghentikan langkahnya. "Kau berarti banyak untukku, tapi aku tidak akan pernah memberitahumu nama dari perasaanku. Karena itu hanya akan semakin menyulitkanmu." Aku menghela napas sesaat dan dia memutar tubuhnya. "Aku juga tidak akan pernah memintamu pergi karena aku orang yang egois. Tapi aku juga tidak akan mencegahmu jika kau ingin pergi."

Dia tersenyum getir. "Tetap memungkiri perasaanmu?"

"Maaf," gumamku.

"Tidak apa-apa. Aku masih belum menyerah," balasnya. Dan dia pergi.

Seharusnya berjam-jam ini aku merenungkan ucapan Ken dan betapa aku sudah menyakitinya. Tapi sebaliknya otakku malah lebih sering memikirkan Shura yang hingga detik ini tak menjengukku sama sekali. Tiap kali Mrs. Laurens datang untuk memeriksa kondisiku, aku selalu berharap kalau itu Shura. Dan tiap kali itu pula aku kecewa.

Pintu ruang kesehatan berderit terbuka. Aku berharap itu dia. Tapi begitu aku mendengar suara orang yang baru saja masuk aku tahu itu bukan dia. Tiraiku terbuka dan Ace berdiri di sana.

"Aku bawa sesuatu untukmu," ucapnya. Dia mengangkat toples kaca berisi salep hijau berlendir.

"Apa itu?" tanyaku tidak tertarik sama sekali.

"Kau sepertinya tidak terkesan dengan apa yang kubawa," ucapnya. Duduk di sisi ranjangku.

"Lebih tepatnya aku mengharapkan orang lain yang datang," balasku.

"Senior Aleks?" tebaknya. Aku menggangguk.

"Aku melihatnya tadi," ujarnya.

"Dan?" tanyaku.

"Dia mengobrol dengan Senior Ivy di taman."

Itu membuatku jengkel. Jika dia tidak sedang bertugas atau sibuk, kenapa dia tidak menjengukku sama sekali?

Ace meringis melihat reaksiku yang sepertinya ingin meledak. Dan ia buru-buru mengalihkan topik. "Bagaimana dengan lukamu?"

"Masih buruk." Aku mengeluarkan lengan kananku yang tadi tertutup selimut. Dia mengernyit saat melihatnya.

"Kalau begitu kau harus bersyukur aku membawa ini." Dia kembali mengangkat toples kaca itu.

"Dan itu adalah?" Aku mengamati toples itu.

"Salep dari peri. Ampuh untuk luka bakar." Dia memutar tutupnya lalu menyodorkannya padaku.

Aku menerimanya dan mengendusnya. Aromanya seperti campuran aloevera, lavender, dan yah klorofil.

"Cobalah!"

Aku mencoleknya dengan telunjuk tangan kiriku dan kuusapkan sedikit ke punggung tangan kananku. Jaga-jaga kalau ternyata bukanya membaik tapi malah bertambah parah. Aku tak merasakan apapun meski itu mungkin juga karena efek obat penghilang rasa sakitku. Jadi aku memberanikan diri untuk melihat lukaku yang secara ajaib mengering di depan mataku.

"Menakjubkan. Bagaimana mereka membuat ini?" gumamku.

"Nah, kau mau mengoleskannya sendiri atau dibantu Mrs. Laurens? Aku bisa memanggilkannya," ucap Ace.

"Aku bisa sendiri. Kau keluar saja sebentar karena aku tidak mau telanjang di depanmu!"

"Oke. Tapi setelah itu aku ingin bicara serius denganmu."

Aku menggangguk setuju meski tidak tahu bicara serius macam apa yang dia maksud.
"Aku sudah selesai," ucapku cukup keras untuk memberitahu Ace begitu aku selesai mengoleskan salep hijau itu.

"Baiklah, ayo kita bicara." Kepalanya muncul dari balik tirai bilikku.

"Sebelumnya, bagaimana kau bisa dapat ini?" tanyaku sambil mengacungkan salep itu.

"Dari ayahku."

"Kau berhubungan dengannya?" tanyaku heran.

Kukira dia tidak pernah bicara dengan ayahnya.

"Hanya lewat telepon," jawabnya getir. Jelas sekali kalau dia kecewa dengan ayahnya.

"Kau cerita tentang aku?"

"Ya."

"Dan dia langsung mengirimimu ini?"

Sekarang dia memincingkan matanya ke arahku terlihat gusar. "Ya. Dan berhentilah bertanya!" tukasnya. "Aku butuh bantuanmu."

"Bantuan?" tanyaku. "Jadi ini semacam sogokan?"

"Tidak. Maksudku, entahlah. Aku hanya merasa tidak enak kalau hanya minta tolong tapi tidak memberikan apapun," jawabnya canggung. Salah tingkah.

"Kau memintaku untuk jadi temanmu, kan?" Dia mengangguk. "Kalau begitu kau tak perlu merasa sungkan untuk minta tolong. Dan jika kau ingin menolongku, jangan karena mengharapkan balasan. Itu yang disebut teman."

"Oke ... oke ... aku akan mengingat itu." jawabnya. "Jadi begini aku ingin kau membantuku menghilangkan kekuatanku."

"Apa? Kenapa kau ingin melakukan itu?"

Menurutku bisa mengendalikan udara itu keren. Bukankah begitu?

"Aku ingin menyingkirkan semua hal dari ayahku yang ada pada diriku," jawabnya.

"Bagaimana pun juga dia tetap ayahmu, kenyataan itu tak akan berubah. Bahkan jika kau menguras darah yang mengalir di nadimu dia tetap ayahmu. Lagi pula aku tidak tahu cara menghilangkan kekuatanmu," ucapku.

"Aku tahu, tapi setidaknya aku tak ingin terlihat sepertinya. Kau tak mengerti bagaimana perasaanku, bagaimana rasanya tak pernah melihat ayahmu padahal dia masih hidup. Dia pergi bahkan sebelum aku lahir."

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Yang dia katakan benar, aku memang tidak tahu rasanya. Tapi tetap saja ayah tetaplah ayah.

"Aku memang tidak tahu, tapi aku yakin ayahmu punya alasan untuk itu."

Dia tertawa sinis mendengar ucapanku. "Jadi kau tidak mau membantuku?"

"Aku tidak bilang begitu," elakku.

"Jadi?"

"Memangnya apa yang bisa kulakukan?"

Akhirnya dia tersenyum penuh kemenangan. "Bantu aku untuk masuk ke ruang kedap udara di perpustakaan."

"Apa?"

Sepertinya hari ini aku terlalu sering berteriak 'Apa?' karena terkejut.

"Aku butuh buku yang disimpan di sana," jelasnya.

Aku hanya bisa melemparkan tatapan tak percayaku padanya. Mustahil bisa masuk ke sana, hampir semua yang ada di sana ity buku terlarang. Tidak boleh dibaca. Berbahaya. Atau setidaknya begitu yang dikatakan Mrs. Winslow.

"Itu diluar kuasaku, Ace," desahku.

"Tidak. Kau orang yang tepat," ujarnya sambil mondar-mandir dengan bersemangat.

"Tepat dari mananya?"

Dia mendesah jengkel lalu berhenti untuk menatapku. "Senior Kendrix pasti tahu kodenya. Kau bisa tanya padanya."

Kali ini aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. "Kau ingin aku memanfaatkan Senior Kendrix? Tidak. Terima kasih. Aku bukan orang seperti itu."

"Pikirkan lagi! Kau mungkin bisa menemukan buku yang berisi cara untuk mematahkan kutukanmu," bujuknya.

"Tidak ada buku seperti itu. Jika ada pasti sudah ada yang memberitahuku," sangkalku meski dalam hati kupikir apa salahnya jika mencari tahu toh kami tidak akan mencuri kami hanya membaca.

"Ayolah Nyx! Aku tahu kau juga ingin mencari tahu," bujuknya lagi.

Aku mendesah menyerah. "Kau menang."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top