Chapter 16
Setelah Mr. Muller selesai berbicara dengan ayah Calista untuk memintanya meneruskan acara pembagian senjata tanpa dirinya, dia berjalan ke arahku.
"Lebih baik kita bicara di kantorku." Tanpa menunggu jawaban dariku beliau sudah melangkah pergi. Jadi, mau tak mau aku berlari mengekor di belakangnya.
Ruangan Mr. Muller sama seperti kantor-kantor kepala sekolah yang lain. Sebuah meja kayu berpelitur yang dipenuhi tumpukan buku dan dokumen ditempatkan di tengah ruangan, sebuah kursi putar diletakkan di baliknya. Dua buah bangku bersandaran rendah berada di depan meja itu. Rak-rak penuh buku dan berkas menjulang di dinding sebelah kanan, sementara dinding sebelah kiri dipenuhi foto yang kuduga merupakan potret dari kepala sekolah sebelum Mr. Muller. Satu-satunya benda yang terlihat tidak wajar di ruangan itu hanyalah sebuah pedang yang sangat besar berwarna hitam dengan pangkal berukir nyala api yang menjilat-jilat. Pedang itu tergantung di dinding di belakang kursi Mr. Muller.
Aku mengamati saat Mr. Muller duduk dengan tenang di kursinya. Kedua sikunya bertumpu di meja, jarinya bertaut, dan matanya mengamatiku penuh spekulasi.
"Duduklah!" ucap Mr. Muller. Aku melangkah masuk dan duduk di salah satu bangku bersandaran rendah. "Kopi, teh, atau anggur?"
"Langsung saja Mr. Muller," jawabku. Beliau mengganguk mengerti.
"Kau tahu nama belati yang kau bawa?" Matanya beralih pada belati perak yang kini kugenggam hingga buku jariku memutih. Aku bahkan tidak sadar sedang menggengamnya seerat itu.
"Pedang Cahaya," jawabku kaku.
"Jujur. Aku bingung harus memulai dari mana," ucap Mr. Muller. Matanya tak meninggalkan belati sedetik pun.
"Saya tahu tentang kutukan Pedang Cahaya dan Bayangan." Setelah kalimat itu meluncur dari mulutku, Mr. Muller memgangkat pandangannya ke wajahku.
"Ada orang yang menceritakan kutukan itu padamu?" tanyanya.
"Tidak saya tahu dari ...." Hampir saja aku mengatakan Havmand.
"Ya? Dari?" desak Mr. Muller.
"Bisikan pedang itu, dia bilang dia dikutuk," jawabku asal. Kuharap Mr. Muller percaya.
Beliau mengerutkan dahi ragu tapi untungnya tak bertanya lebih lanjut.
"Kau sudah tahu pedang itu dikutuk. Jadi kau masih mau mengambilnya sebagai senjata atau menolaknya?"
Aku tidak tahu. Itu jawaban yang ada di otakku tapi aku tak mengeluarkannya. "Apakah saya akan terhindar dari kutukan itu jika menolaknya?"
Mr. Muller diam selama beberapa detik. "Aku sama tidak tahunya denganmu."
Sudah kuduga.
"Ada yang ingin saya katakan, apa saya bisa mempercayai anda?" tanyaku membuat ekspresi Mr. Muller berubah waspada.
"Tentu. Tentang?"
"Mrs. Russel," jawabku hati-hati.
"Ada apa dengan Mrs. Russel?" beliau bicara dengan tenang. Tapi aku dapat mendengar nada terkejutnya karena perubahan topik yang tiba-tiba ini.
"Saya tak sengaja mendengar percakapan antara Mrs. Russel dan Mrs. Laurens. Dan, yah, mereka membicarakan tentang pencurian dua pedang dan juga menyebut-nyebut Pedang Bayangan." Ekspresi Mr. Muller kini tak dapat ditebak tapi yang jelas beliau sedang berpikir keras karena kerutan di dahinya makin dalam.
"Lalu?" tanyanya. Memintaku melanjutkan ceritaku.
"Saya berpikir, kalau Mrs. Russel adalah penanggung kutukan yang satunya. Dan beliau juga yang telah mencoba untuk membobol ruang penyimpanan senjata beberapa hari yang lalu." Mr. Muller malah tersenyum dan memandangku geli.
"Kau berpikir terlalu jauh Miss. Ashley," ucapnya meremehkan argumenku.
"saya tidak asal menuduh! Bukankah Mrs. Russel telah meminta kode ruang penyimpanan senjata pada anda? Dan Mrs. Laurens juga terlihat gusar saat berbicara dengan Mrs. Russel. Selain itu, saat kejadian pembobolan itu terjadi Mrs. Russel muncul dari arah yang berlawanan dengan pintu masuk. Berarti beliau sudah berada di dalam, tapi kenapa beliau datang paling akhir?" Aku tak sadar kalau saat ini nadaku mulai meninggi.
"Alberta tak akan melakukan itu," balas Mr. Muller final. Aku bungkam. "Aku tidak tahu apakah kau akan terhindar dari kutukan itu atau tidak jika menolaknya. Tapi jika kau memilih untuk mengambil belati ity sebagai senjata, aku akan berusaha untuk menjaga Pedang Bayangan agar tetap aman."
Aku masih diam karena masih jengkel dengan Mr. Muller yang menganggap argumenku konyol. Rasanya aku ingin menggetokkan pangkal belatiku ke dahinya agar otaknya kembali berfungsi. Tapi aku sadar diri, jelas suatu keputusan yang bodoh jika secara terang-terangan menentang orang yang paling berkuasa di sini. Jadi aku memaksa bibirku bergerak. "Saya akan mengambil pedang ini."
Mr. Muller menggangguk dan memperbolehkanku pergi. Dan dalam hati aku bertekat untuk membuka kedok Mrs. Russel di depannya.
***
Pagi ini semua orang menatapku secara terang-terangan saat aku berjalan di koridor atau pun saat sarapan.
"Apa aku terlihat seperti alien? Ini lebih buruk dari pada gosip waktu itu," gerutuku seraya menyuapkan satu sendok penuh kentang tumbuk ke mulutku.
"Apa yang kau bicarakan dengan Mr. Muller? Apa tentang kutukan pedang itu?" tanya EVe. Dia berhenti menyuapkan sup panas ke mulutnya.
"Hal semacam itu," jawabku tak acuh.
"Kau terlihat tak bermasalah dengan kutukan itu," sambung Mera. Memgangkat pandangannya dari piring yang sedari tadi dipelototinya.
"Yah, Mr. Muller berjanji akan menjaga pedang yang satunya," jawabku.
Mera terlihat lesu. Sebenarnya Mera terlihat tak bersemangat sejak pembagian senjata selesai. Mungkin karena dia tidak menemukan senjata yang cocok. Ada sembilan orang yang bernasib sama dengannya. Aku ingin menghiburnya tapi otakku sendiri sedang kacau seperti banang kusut.
"Seminggu lagi kita akan ada praktik lapangankan?" aku kembali bicara, mengubah topik.
"Ya. Aku tak sabar untuk mencoba sabitku untuk menebas monster sungguhan." unjar Brant. Aku langsung minginjak kakinya. "Aw! Apa masalahmu?" pekik Brant. Dia melotot ke arahku, aku melirik ke arah Mera. "Ah, maksudku itu akan sangat menantang."
"Bagaimana menurutmu Mera?" tanyaku. Dia terlihat enggan menjawab.
"Yah, pasti akan menarik," jawabnya asal lalu pergi.
"Kita seharusnya tidak membicarakan senjata di depannya," desahku. Aku meletakkan sendok dan garpuku dan pergi mengejar Mera.
Begitu aku keluar dari cafetaria aku tidak dapat mempercayai mataku. Kurasa aku harus memeriksakannya ke dokter setelah ini. Mera sedang duduk di tepi sungai bersama pria.
Dan coba tebak siapa pria itu! Senior Carl. Dan dia tertawa bersamanya.
"Bolehkah aku bertanya?" bisikku pada Mera saat Prof. Laughton menjelaskan tentang Metodologi Hubungan Internasional.
"Ya."
"Kau tadi bersama Senior Carl?" Dia berhenti menulis dan menoleh melihatku.
"Ya."
Aku menggigit bibirku, ragu untuk melanjutkan percakapan ini. "Em ... apa kau punya hubungan dengannya?"
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" tanyanya jengah.
"Menurutku Senior Carl bukanlah pria yany baik. Kau tahukan dia hanya ingin mempermainkan wanita? Dulu kau bahkan membencinya."
"Aku punya alasan mendekatinya," jawabnya. Kembali menulis.
"Jadi, kau tidak bebar-benar suka padanya?" desakku lagi.
Dia memutar bola matanya. "Anggap saja aku sedang butuh bantuan darinya."
Itu bukan jawaban yang kuharapkan. Bantuan dari Senior Carl? Memangnya bantuan macam apa?
"Kenapa tidak minta bantuan pada Senior Aleks? Dia mentor Tim kitakan?"
"Bisakah kita tidak membahas ini?" jawabnya.
Aku ingin sekali mengetok kepalanya agar otaknya yang terjepit kembali normal tapi aku ingat dia juga tak pernah mendesakku jika aku tak ingin cerita. Jadi aku hanya bisa mengganguk dan kembali mendengarkan penjelasan Prof. Laughton yang membosankan.
Aku meraung kesal dan melemparkan belatiku ke lantai. Pasalnya sudah satu jam aku menghunus belati itu dan mengucapkan semua kata konyol untuk merubahnya menjadi pedang, tapi belati otu hanya bersinar redup dan tak bereaksi apapun. Baik Shura mau pun teman satu Timku yang lain juga tak banyak membantu, kecuali hanya mengatakan kata-kata penyemangat dan saran-saran konyol, khususnya dari Brant.
Sementara aku memelototi belati dan bergumam tidak jelas seperti orang gila, EVe sudah dapat menahan layaknya penembak jitu, Brant sudah piawai menggunakan sabitnya, dan Mera berlatih pedang dengan Shura secara serius.
Aku memungut belatiku dan mencoba kata-kata konyol lain dengan jengkel.
"Abrakadabra!"
"Change Sword!"
"Argh ...," teriakku frustasi. Semua orang memandangiku dengan jengah.
Shura berjalan ke arahku. "Intinya bukan di kata-katanya tapi fokus pikiran." Dia mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya ke dahiku kemudian berbalik memunggungiku. "Aku sudah dapat kabar tentang lokasi dan monster yang akan kita buru untuk latihan lapangan," ucap Shura menarik perhatian.
"Benarkah?" sahut EVe.
Shura mengangguk. "Ada Incubus yang berkeliaran di Plato dan tugas kita memburunya."
"Incubus?" tanya EVe terkejut.
Aku sangat setuju dengan keterkejutan EVe. Karena Incubus bukanlah monster yang bisa dihabisi begitu saja, dia monster tingkat H yang bahkan bagi pemburu profesional saja akan sangat merepotkan.
"Ya, Incubus," Shura kembali menegaskan.
"Tapi bukankah itu terlalu berbahaya untuk menjadi misi pertama?" protes EVe lagi.
"Semakin mengerikan monsternya semakin seru!" ujar Brant. Aku dan EVe langsung memelototinya.
Sebenarnya Incubus tidak akan terlalu berbahaya untuk Brant karena dia laki-laki, kecuali fakta bahwa Incubus dapat bergerak secepat angin dan memiliki kemampuan regenerasi super cepat itu akan merepotkan juga. Tapi bagi aku Mera dan EVe, jelas Incubus akan jadi makhluk terakhir yang ingin kami lawan.
"Dewan yang membagi misi latihan kali ini. Mereka beranggapan harus memanfaatkan latihan ini untuk menghabisi monster yang cukup merepotkan. Tentu Mr. Muller menolak tapi hampir semua anggota Dewan setuju dengan usul Mr. Campbell," jelas Shura.
"Yang benar saja?" desah EVe.
"Kita akhiri latihan hari ini!" ucap Shura dan dia pergi.
***
S
atu minggu ini begitu ricuh berkat misi yang harus dijalankan siswa baru yang begitu berbahaya. Kudengar semua Tim mendapat monster tingkat G atau H kecuali Tim 1 yqng mendapat monster tingkat D yaitu sekawanan Goblin yang ricuh di kota Chicago. Aku yakin itu berkat campur tangan ayah Calista. Satu minggu ini pula Mera semakin sering bersama Senior Carl yang membuatku tidak tenang. Meski sudah secara terang-terangan dia bilang tidak menyukai Senior Carl setelah kupojokkan di toilet dan kuancam akan kubuat mendesah dangan lidahku, hingga dia memelototiku seperti Dewa Kematian. Bukannya aku meragukan ucapannya tapi gosip dari anak-anak lain yang katanya sekarang Mera jadi mainan baru Senior Carl cukup membuat darahku naik sampai ke ubun-ubun. Di sisi lain Mera menanggapi gosip ini dengan santai dan memintaku untuk diam dan mengabaikan semua itu. Dia juga masih belum memberi tahuku alasan kenapa dia mendekati Senior Carl.
Sore ini aku dan Timku bersiap untuk memburu Incubus, kami akan berangkat menggunakan mobil minivan hijau norak milik Shura karena mobil sekolahan sudah habis dipakai Tim lain. Ken sebenarnya menawarkan Jaguarnya tapi aku langaung menolaknya, aku tak berniat membuat gosip aku dan Ken kembali tenar. Aku mengenakan kemeja flanel berwarna biru malam bermotif kotak-kotak yang bisa kupakai, celana jeans, dan sepatu Vans. Beda halnya dengan EVe yang memakai kaos hitam ketat tanpa lengan dan celana jeans pensil hitam super ketat yang kontras dengan rambut merah api menyalanya.
Aku menyeringai pada Brant dan membisikinya, "Aku harap air liurmu tidak menetes melihat EVe seperti itu!"
Dia memberiku tatapan membunuh yang kubalas dengan mengacungkan jari tengahku.
Aku menyelipkan Pedang Cahaya yang masih berwujud bekati ke saku depan celanaku. Omong-omong aku masih belum bisa merubahnya menjadi pedang, jadi aku juga menenteng pedang yang semalam disodorkan Shura sebagai senjata tambahan.
"Kalian seharusnya berdandan seburuk mungkin agar Incubus tidak melirik kalian," celoteh Brant yang duduk di depan bersama Shura.
"Ah, apa itu berarti kau baru saja mengakui kalau kami cantik?" balasku. Dia langsung kembali menghadap ke depan.
Sejauh ini Shura masih terus menceramahi dan mengingatkan untuk jangan membuat kontak mata secara langsung dengan Incubus karena jika itu terjadi kau a kj an berubah jadi batu. Opss ... maaf, itu Medusa. Maksudku dia akan melihat alam bawah sadarmu terutama orientasi seks terliarmu. Dia akan menggunakannya untuk memicu libidomu hingga membuat tubuhmu tak terkendali.
Kami akhirnya sampai di kota kecil Plato tapi Shura masih terus mengemudikan mobilnya hingga meninggalkan jalanan beraspal dan memasuki wilayah dengan rumah-rumah dari papan kayu berseberangan bolam oranye redup. Kami berhenti di pertigaan dan langsung meluncur keluar dari mobil.
"Oke! Ini bukan main-main! Yang kita buru Incubus!" mulai Shura serius. "Kita akan berpencar mulai dari sini."
Kami sudah membahas ini sebelumnya jadi itu tidak mengejutkan.
"Brant dan Nyx ke kanan. Mera dan EVe kiri. Sementara aku akan memeriksa di sekitar sini. Jangan berpisah dari pasangan! Dan langsung hubungi yang lain jika sudah menemukan target, jangan bertindak sendiri! Mengerti?" Kami mengangguk serentak dan Shura membagikan satu HT pada tiap pasangan. "Ayo mulai misi pertama kita!"
***
Kami tiba di sini sudah cukup larut dan bulan masih muda sehingga hanya bersinar pucat. Banyak batu di jalan yang membuatku harus melangkah dengan hati-hati jika tak ingin tersandung. Angin musim dingin yang sebentar lagi akan tiba terus membelai wajahku hingga kaku.
"Apa menurutmu kita harus mengintip tiap celah jendela?" Brant memecah keheningan di antara kami.
"Tidak ada salahnya dicoba," balasku. Aku menghampiri jendela rumah yang ada di sisi kiriku. Rumah itu gelap dan tak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan. Kami terus memeriksa tiap rumah di sisi kiri dan kanan jalan tapi semuanya terlihat normal.
"Mungkin tidak ada di sisi sebelah sini," desah Brant kecewa.
Aku juga pura-pura kecewa meski Sejujurnya aku sangat bersyukur. Hingga kemudian kami mendengar suara dari rumah di ujung jalan yang tadi kami abaikan. Sebenarnya itu lebih mirip gubuk dari pada rumah, karena bangunan itu hanya terbuat dari papan kayu reot yang membentuk satu ruangan. Aku dan Brant saling lirik lalu mengangguk sepakat untuk memeriksa gubuk itu.
Suara itu makin jelas, aku sudah tidak ragu lagi, itu suara wanita yang mendesah dan mengerang kenikmatan. Jantungku semakin berpacu dan keringat dingin muncul di dahiku. Brant mengintip dari celah papan kayu yang dipaku di jendela lalu ia langsung membekap mulut dan berjongkok. Rasa penasaranku akhirnya menang, ku beranikan diri untuk mengintip dari celah yang sama yang tadi digunakan Brant.
Mataku terbelalak dan tunuhku dihinggapi hawa panas tak manusiawi hingga bibirku terasa kering. Di dalam ruangan itu, hanya terdapat satu dipan dan satu set kursi tamu. Dan di atas dipan itu tergeletak seorang wanita berusia akhir tiga puluhan tanpa busana yang sedang bercinta dengan cowok sexy berkulit coklat eksotis nan rupawan. Tapi sekali pandang saja aku tahu pria itu bukan suaminya, alih-alih suami bahkan dia bukan manusia. Terlihat jelas kalau wanita itu semakin lemas dan pria di atasnya menyeringai penuh kemenangan.
Saat aku baru akan berpaling dan mengambil HT yang kuselipkan di sakuku, pria itu menoleh dan menatapku tajam. Pandangannya saja sudah membuat tubuhku terbakar dialiri gairah. Untungnya Brant segera menarikku dan menamparku keras.
"Bodoh! Jangan lihat matanya!" bentaknya. Dia meraih HT dari tanganku.
Belum selesai Brant memencet nomor saluran Shura, pria itu sudah berdiri di depan kami dan menghantam Brant dengan kekuatan yang setara dengan buldoser hingga Brant menabrak dinding kayu.
Harusnya dengan berani aku menghunus senjataku dan melawan pria itu tapi aku malah menutup mataku rapat-rapat tak ingin beresiko terjebak dalam gairah lagi. Aku mendengar Brant mengerang menahan sakit lalu suara beberapa pukulan dan hening. Suara berikutnya yang kudengar adalah suara langkah kaki yang berjalan ke arahku. Aku merasakan pedang yang tersampir di punggungku direnggut dan dijatuhkan ke tanah, kemudian sebuah jemari mengusap pipiku perlahan. Aku tahu pasti jari siapa itu, itu jelas bukan jemari Brant. Karena jika itu Brant, sentuhan itu tak akan membuat perutku mengejang menahan gairah. Jemari itu mulai turun membelai leherku, kembali bergerak naik dan berakhir di bibir bawahku. Seketika mataku tersentak terbuka dan bertemu dengan mata hitam milik pria yang tadi bercinta di dalam gubuk.
Mata itu memerangkapku, membakar semua gairahku, dan ia mulai berubah. Awalnya ia menjadi Shura lalu Ken lalu berkedip-kedip seperti hologram rusak seolah-olah bingung memutuskan untuk mewujud menjadi siapa. Tapi akhirnya ia mewujud menjadi Shura. Shura dalam wujud yang tak pernah kubayangkan, tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh berotot Shura dan ia terlihat ratusan kali lebih memikat dari yang selama ini kukenal. Mata hitam pria yang tadi menatapku kini berubah menjadi coklat dan sudut bibirnya yang merah terangkat membentuk seringai serigala.
Shura yang baru saja mewujud di hadapanku itu langsung mengangkatku dalam pelukannya, aku tak dapat menolaknya, tubuhku mendambakan sentuhannya, hingga hampir terasa menyakitkan. Ia membawaku ke dalam gubuk dan mendudukkanku di lantai kayu. Ada bisikan kecil jauh di dalam otakku yang terus memperingatkan kalau Shura yang berdiri di hadapanku adalah monster Incubus. Tapi itu sama sekali tak berarti saat Shura mendekat dan menaikkanku ke atas pangkuannya. Punggungku merapat ke dadanya, hembusan napasnya yang hangat menggelitik leherku, bibirnya menyapu dengan lembut dan di bawahku miliknya mengeras dan menusukku pantatku, memberikan janji kepuasan. Jemarinya menelusuri tengkukku ke tulang belikatku terus mengirimkan aliran sengatan gairah yang tak tertahankan.
Lalu ia mengangkat tubuhku sehingga menghadap ke arahnya, kakiku melingkar di pinggangnya. Mata coklatnya menatapku, menyalakan api dalam diriku, membakarku hingga napasku memburu. Tanganku sudah menyentuh dadanya yang telanjang, terasa keras dan panas. Aku semakin merapatkan tubuhku ke tubuhnya, meleburkan diriku pada dirinya. Dia menyeringai penuh kemenangan.
Dengan gerakan mulus ia membaringkanku di atas lantai, tubuhnya menindihku, jemarinya mulai membuka kancing kemejaku satu persatu lalu menariknya terlepas dan melemparkannya ke sudut ruangan. Tatapan matanya tak pernah lepas dari mataku, terus membakarku secara intens. Aku menelan ludahku dengan susah payah dan membiarkan jariku menelusup ke balik rambut coklatnya. Otakku sudah tak berfungsi saat ini, yang ada hanya gairah dan hasrat untuk memuaskannya. Jemarinya kini menelusuri pinggangku dan bibirnya yang basah berada di leherku menjilat dan menghisap membuat libidoku yang sudah hampir meledak menjadi semakin tak tertahankan. Suara erangan dan desahan lolos dari mulutku dan ia mulai mengait kancing celanaku. Dan entah dari mana kesadaran menghampiriku, berteriak kalau dia Incubus.
Aku menahan tangannya dan berusaha bangkit tapi tatapannya semakin intens dan mengirimkan gelombang gairah baru yang membuatku tunduk di hadapannya. Aku melepaskan cengkramanku dan tak sengaja jemariku menyentuh pangkal belati yang menyumbul dari saku depan celanaku. Rasanya seperti tersambar petir lalu tubuhku seperti dialiri air sedingin es dan meredam semua gairah yang membara dalam diriku. Aku menggenggam belati itu dan menariknya keluar dari sakuku. Tatapannya terlihat marah saat aku mengacungkan bekati itu ke dadanya. Tapi dia belum menyerah, dia kembali mencoba menyeretku kembali ke dalam pusaran gairah. Mengusap pundakku, turun ke lenganku dengan gerakan sensual memabukkan. Dia mendekatkan bibirnya ke bibirku hingga aku hampir terjebak lagi dalam permainan gairahnya, kalau bukan karena Pedang Cahaya kini bersinar redup dan menyengat diriku dengan rasa dingin membekukan. Bibirnya kini melumat bibirku tapi aku tak membalasnya sama sekali.
"Shura tak akan melakukan hal ini!" ucapku di atas bibirnya.
Pintu mengayun terbuka dan menghantam dinding kayu saat ujung belatiku yang sudah menempel di dadanya mulai memanjang, menembus kulit, daging, hingga tulang dan menikam jantungnya. Ia ambruk menindihku sesaat dan meledak menjadi debu. Meski hanya sesaat, itu sudah cukup untuk membuatku melihat mata coklatnya yang kosong meregang nyawa. Mata yang persis sama dengan mata milik Shura.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top