Chapter 14
Kemampuan bertarungku kini semakin baik, tidak sebaik Brant dan EVe memang tapi aku dapat mengimbangi Mera. Semenjak aku mengalahkan Calista waktu itu, Calista makin membenciku. Hampir setiap hari aku harus mendengar ejekannya tentang diriku yang menjadi wanita murahan penggoda putra pemilik sekolah. Belum lagi aku harus menghadapi bisik-bisik dari orang yang percaya rumor itu. Semua itu berkat kerja keras Hester, gadis berkawat gigi penuh bintik yang berada di tim yang sama dengan Calista. Dia adalah ratunya gosip.
Aku tak tahu bagaimana dia meyakinkan orang-orang. Tapi yang jelas, bukan hanya siswa yang berada di tahun yang sama denganku yang termakan gosip itu, tapi sampai ke siswa senior bahkan staf IUIS. Semua itu diperburuk dengan sikap Ken yang selalu mencariku, dan tentu aku tak enak jika menolaknya. Aku sudah cerita padanya tentang hal ini dan memintanya untuk jangan terlalu sering menemuiku, tapi ia malah bilang akan menghajar orang yang menggosipkanku. Tentu saja aku melarangnya. Hal itu malah akan memperkuat gosip yang beredar. Jadi aku hanya bisa memintanya untuk melupakan ucapanku dan jangan bertindak yang aneh-aneh.
Sebenarnya aku berharap akan ada dampak positif dari gosip yang beredar. Misalnya seperti, Shura cemburu dan akhirnya mengakui perasaannya padaku. Tapi hal itu juga tak terjadi, dia menghadapi gosip ini dengan tenang dan menggodaku agar aku benar-benar jadian dengan Ken.
Satu-satunya orang yang dapat mengerti perasaanku dan kupercaya hanya Mera. Karena Brant dan EVe meski tidak secara terang-terangan mempercayai rumor itu, aku tahu mereka juga menduga aku punya hubungan khusus dengan Ken tapi bukan karena ada menggodanya. Karena mereka jelas tau Ken yang selalu mencariku.
"Jangan memikirkannya!" ujar Mera. Dia duduk di sampingku di bangku taman.
Aku baru saja menyeruak keluar dari cafetaria dan berlari ke mari karena muak dengan siswa senior yang dua tahun di atasku. Kalau tidak salah namanya Kionna. Sifatnya sungguh berkebalikan dengan fisiknya. Dia memiliki wajah polos yang dibingkai dengan rambut berwarna pirang kecoklatan dan tubuh jangkung nan gemulai. Tapi sifatnya seperti iblis.
Aku sedang makan siang tadi. Dan tiba-tiba dia datang membawa kotak kado dengan pembungkus bermotif bunga-bunga. Langsung menyodorkannya ke arahku dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya. Awalnya aku menolak tapi ia terus mendesakku untuk membuka kotak itu.
Mataku membulat saat melihat isi kotak itu. Dadaku bergejolak panas penuh amarah dan aku ingin memukul seseorang.
Sebuah lingerie bertali dengan hiasan renda di bagian dada berwarna hitam sewarna dengan keseluruhan lingerie itu. Belahan dadanya sangat rendah yang pastinya akan menonjolkan payudaraku jika aku benar-benar memakainya. Bahannya terbuat dari sifon yang akan mengekspos lekuk tubuhku dengan jelas.
"Apa maksudmu?" tanyaku berang.
"Kurasa Senior Kendrix tak akan bisa menolakmu jika kau memakai itu. Lagi pula bukankah itu sangat sesuai denganmu?" balasnya dengan seringai merendahkan.
Aku berdiri, menampar wajahnya dan membuat kotak itu tergelincir jatuh dari pangkuanku. Lingerie itu teronggok di lantai.
Kemudian seorang gadis yang duduk di meja yang bersebelahan dengan mejaku ikut mendekat. Dia memungut lingerie itu, membentangkannya membuat seisi cafetaria menoleh ke arahnya.
"Ya, aku yakin Senior Kendrix tak akan bisa menahan diri untuk menidurimu," celotehnya jijik.
Aku sudah tak dapat menahan amarahku lagi, telapak tanganku berkedut dan aku ingin memukul seseorang. Tapi Mera ikut berdiri dan mencengkram lenganku. "Ini tidak sebanding!"
Aku menarik napas, mencoba mengatur pikiranku, tapi Tuhan memang ingin aku meledak saat itu.
Aku tak tahu kapan laki-laki itu berdiri di belakangku. Yang jelas dia sudah berada di sana, mendekatkan mulutnya ke telingaku. Mengatakan kalimat yang sukses membuatku meledak. "Aku bisa memuaskanmu lebih dari Kendrix, percayalah!"
Mera tersentak, ia jelas juga mendengar apa yang dibisikkan laki-laki sialan itu. Tanpa peringatan, aku berbalik dan menghantamkan tinjuku ke mulut kotornya dan membuat bibir busuknya robek mengeluarkan darah.
"Jalang sialan!" umpatnya seraya mencekal lenganku dengan erat. "Kau ingin bermain kasar, hah?" ucapnya dengan mata yang menggelap.
Entah dia kerasukan atau memang gila, aku tidak tahu. Dia semakin Mempererat cengkramannya di lenganku dan menarikku ke arahnya. Mendekatkan bibirnya ke bibirku, berusaha untuk menciumku di depan seisi cafetaria. Mera yang awalnya hanya terdiam karena shock, langsung menendang selangkangan pria brengsek itu ketika tersadar. Membuatnya membungkuk dan melepaskan cengkramannya. Aku yang sudah terlanjur terbakar emosi langsung menghujani laki-laki brengsek itu dengan pukulan dan tendangan hingga mulut dan hidungnya berdarah. Tubuhnya di penuhi lebam keunguan yang aku yakini terasa berdenyut.
Aku tak peduli lagi dengan peringatan Mrs. Russel, yang mana jika aku dilaporkan menghajar orang lagi maka dia akan memberiku hukuman karena aku sudah mendapat peringatan tiga kali.
Laki-laki itu kini terkapar di lantai cafetaria dan aku langsung menyeruak keluar dan berakhir di sini, di bangku taman detemani Mera yang menatapku iba.
"Apakah aku benar-benar terlihat seperti wanita murahan?" gumamku dan aku mendapat satu tamparan keras di pipiku.
Tangan Mera masih berada di udara setelah menamparku, wajahnya terlihat marah dan matanya melebar tak percaya.
"Apa yang barusan kau pikirkan? Jangan jadi orang bodoh!" bentaknya. Ia menarikku, memberiku pelukan hangat seorang sahabat.
"Terimakasih. Aku tak tahu apa jadinya aku jika kau tak ada," ucapku lirih.
"Aku yakin akan ada hari lain yang menopang malam tanpa bintang," balasnya sambil mempererat pelukannya.
***
"Aku sudah memberikan peringatan terakhir padamu dan kau masih melanggarnya. Tentunya kau tahu apa konsekuensinya," ucap Mrs. Russel dengan khidmat.
"Tentu, tapi saya tidak menyesali perbuatan saya." Aku memandang lurus ke mata coklat di balik kacamata berbingkai perseginya.
"Dan Miss. Wright, bukannya mencegah temanmu kau malah mendukung perbuatannya dan membantunya. Ini peringatan pertamamu Miss. Wright!" ucap Mrs. Russel pada Mera yang ikut dipanggil gara-gara aku.
"Sama seperti Nyx, saya juga tidak menyesal. Saya yakin tindakan saya sudah benar dan mungkin anda tidak bisa melihat siapa yang salah karena anda sudah buta!" balas Mera membuat Mrs. Russel memincingkan matanya.
"Jaga ucapanmu Miss. Wright!"
"Seharusnya anda juga mengatakan itu pada anak-anak yang mengatai Nyx jalang dan wanita murahan. Atau mungkin anda juga sudah tuli?" Muka Mrs. Russel berubah menjadi merah padam sekarang.
Aku sendiri terkejut mendengar ucapan Mera. Selama ini ia selalu bicara dengan hormat kepada orang yang lebih tua. Dan hanya untuk membelaku ia mengatai Mrs. Russel buta dan tuli. Itu membuatku tersentuh.
"Kurasa kau juga harus belajar tata krama. Kau akan menjalankan hukuman bersama Miss. Ashley!"
Apa?
"Anda tidak bisa melakukan itu! Itu sangat tidak adil, Mera tidak bersalah!" teriakku.
Tapi kilatan di matanya sudah menunjukkan satu keputusan final. "Itu keputusanku Miss. Ashley. Kalian boleh pergi!"
Tanpa memberi hormat atau apapun aku langsung berdiri dan menarik Mera bersamaku.
***
Sabtu akhirnya tiba yang artinya aku harus menjalankan hukumanku bersama Mera. Hukumannya tidak sulit, hanya saja akan sangat lama, melelahkan, dan panas.
"Berapa banyak lagi semak Holly yang harus kupangkas?" gerutu Mera. Tangannya mengelap keringat yang menetes di dahinya.
"Masih cukup banyak hingga dapat membuat lenganmu terlepas dari tubuhmu," balasku sambil terus menjalankan mesin pemangkas rumput.
"Kalau aku tahu hukumannya macam ini. Kemarin aku akan diam saja," ucapnya bercanda.
"Oh, jadi kau menyesal sudah membelaku?" balasku. Dia menyeringai, membuatku mencibirnya tanpa suara.
Saat matahari sudah berada tepat di atas kepala kami, akhirnya pekerjaan kami selesai. Kami berteduh di bawah pohon Oak dan membiarkan angin membelai kulit kami. Aku bersandar pada batang pohon sementara Mera berbaring di atas rerumputan, matanya menatap lurus ke langit seolah dia dapat menembus gumpalan awan-awan putih dan melihat angkasa luas. Dan perlahan ia mulai bersenandung dengan suara rendah yang mengalun:
Di bawah pohon Cedar, dahan bergoyang terhempas angin harapan
Aku bersandar, menatap cahaya bintang, terang nan gemilang
Membuka portal dunia baru, dunia penuh impian. Dunia tanpa duka, tempat kasih terjalin tanpa darah
Tak ada kebencian, hanya cinta nan sempurna
Tak ada kekacauan, hanya tentram nan mulia
Tak ada kegelapan, hanya terang nan cemerlang
Tempat merangkai asa mewujud dalam gempita
Di bawah pohon Cedar, di bawah sinar sang surya
Aku terlelap diusap angin bahtera, hangat nan menggoda.
Menutup portal dunia lama, dunia penuh petaka. Dunia tanpa impian, tempat melodi kematian membahana
Tak ada kebencian, hanya cinta nan sempurna
Tak ada kekacauan, hanya tentram nan mulia
Tak ada kegelapan, hanya terang nan cemerlang
Tempat akhiri derita, memulai dalam cinta
Tanpa sadar aku sudah hanyut dalam nyanyian Mera. Dia bernyani seakan dia benar-benar dapat melihat gambaran dari lagu itu. Matanya terlihat menerawang dan ia baru berhenti ketika menyadari tatapanku.
"Lagu yang bagus," ujarku saat dia tak mengatakan apapun.
"Ayahku yang mengajariku, dia mengarang lagu itu sendiri," jelasnya padaku dengan mata yang menyorotkan kekaguman.
"Ayahmu pasti orang yang hebat." Dia bangkit dari posisi berbaringnya dan ikut bersandar di sebelahku.
"Benar," jawabnya. "Omong-omong apa kau tahu nana lain pohon Cedar?"
"Pohon Aras kalau tidak salah," jawabku. Dia mengangguk.
"Benar, pohon Aras. Pohon yang menjadi kiasan untuk menggambarkan kekuatan. Batangnya yanng besar begitu kokoh dan akarnya yang kuat jauh menembus tanah menjadi sumber kekuatan tak ternilai." jawabnya.
"Tapi aku juga pernah dengar, kalau pohon Aras juga melambangkan ketabahan. Karena pohon Aras kebal terhadap serangan serangga. Dia bertahan dari segala cobaan," sambungku.
"Ayahku pernah bilang, tiang-tiang kapal Fenisia di buat dari kayu pohon Aras. Raja Hiram dari Tirus juga membangun istana dari kayu pohon Aras untuk Daud di Yerusalem. Bahkan Bait Raja Solomo juga dibuat dari pohon Aras."
"Kau tahu banyak tentang pohon itu," gumamku.
"Hanya karena ayahku menyukainya," balasnya.
"Lain kali ajari aku lagu itu!"
"Tentu!"
***
Aku dan Mera berjalan di koridor gedung utama, untuk menemui Mrs. Russel di kantornya. Kami harus membuat laporan tentang hukuman kami, dan tiba-tiba langkahku terhenti saat aku melihat sebuah pintu logam dengan mekanisme penguncian berupa kode angka. Ada dua bangku tanpa sandaran merapat ke dinding mengapit pintu itu. Saat ini bangku itu kosong. Dan otakku seperti terbentur, seperti dejavu. Pintu besi, kode angka, dan orang berjubah. Mimpi itu kembali segar di ingatanku, dan aku mengamati pintu itu dengan lebih jeli. Pintu itu sama persis dengan yang ada di mimpiku. Hanya saja lampu di atas pintu itu tak menyala. Aku mendapat dorongan untuk menyentuh pintu itu, tapi sebelum aku sempat melangkah lebih dekat ada yang memepuk bahuku.
"Hai! Ada apa? Kau malah berdiri di sini dan membiarkan aku mengoceh sendiri seperti orang gila." Aku berbalik dan Mera berdiri di belakangku. Mulutku masih kebas belum dapat mengeluarkan suaea. "Hei!" ucap Mera lagi.
Aku buru-buru menggelengkan kepalaku, mengusir semua pemikiran aneh dari benakku. "Ruangan apa yang ada di balik pintu ini?"
Entah ini perasaanku saja atau memang benar Mera terlihat sedikit terkejut saat mendengar pertanyaanku. Tapi itu segera berlalu dan ia menjawabku, "Itu ruang penyimpanan senjata. Biasanya ada dua orang penjaga di depan pintu tapi sepertinya mereka sedang pergi. Dan sebaiknya kita juga, sebelum mereka datang dan menuduh yang aneh-aneh."
"Kau benar, ayo!" Aku menatap pintu itu sekali lagi dan mengikuti Mera.
Saat kami tiba di depan kantor Mrs. Russel, pintu ruangannya sedikit terbuka membuat cahaya menerobos dari celah pintu dan kusennya. Aku baru akan mengetuk saat mendengar suara wanita lain sedang bicara dengan Mrs. Russel dan nadanya terdengar menghakimi.
"Alberta, aku tak mengerti dengan tindakan gilamu! Apa yang sebenarnya kau cari? Bukankah sudah cukup kau menjadi orang kepercayaan Henry? Untuk apa kau ingin tahu kode ruang penyimpanan senjata?"
Aku kenal suara itu. Suara wanita bernada tinggi itu milik Mrs. Laurens.
"Kau tak mengerti Petunia," jawab suara serak Mrs. Russel.
"Memang tidak!" bentak Mrs. Laurens. "Kau sudah dimaafkan dari kesalahanmu waktu itu. Kau mencoba mencuri dua pedang itu, tapi kau sudah diampuni, bahkan Henry menjadikanmu tangan kanannya. Jangan membuat masalah dengan berurusan dengan pedang itu lagi!"
Aku dan Mera saling pandang, enggan untuk mengetuk pintu.
"Pedang itu milikku," jawab Mrs. Russel pelan.
"Jangan mulai lagi, Alberta! Jika orang tahu kau ini apa. Aku tak tahu apa yang akan terjadi," ucap Mrs. Laurens ngeri tapi Mrs. Russel malah tertawa hambar.
"Kau itu buta atau apa? Apa kau tidak lihat selama ini kau hanya dimanfaatkan. Jika ramuanmu itu tidak ada, berapa ratus nyawa pemburu yang akan mati? Tapi mereka mengatas namakan itu dari para Peri. Berpura-pura kalau itu cara untuk melindungimu," balas Mrs. Russel emosi.
"Kau sudah tahu kalau kaum Penyihir tak lagi diterima, apalagi yang benar-benar memiliki kekuatan dan bisa melakukan ritual," jawab Mrs. Laurens dengan suara yang hampir tercekik.
"Terserah! Aku punya alasan untuk mengambil pedang itu, terutama pedang bayangan," jawab Mrs. Russel membuat Mrs. Laurens berteriak.
"Jangan mencoba membangkitkan kekuatanmu, Alberta! Darah Agnes Southeil ...."
"Aku bukan Agnes! Meski darahnya mengalir di nadiku dan kurasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Lebih baik kau pergi!"
Dengan berakhirnya ucapan Mrs. Russel, aku mendengar langkah kaki yang mendekati pintu. Aku dan Mera buru-buru mundur dan pura-pura berjalan dari ujung koridor, seolah kami baru datang. Pintu terbuka dan Mrs. Laurens keluar dengan muka masam. Ia buru-buru tersenyum saat melihat kami dan pergi. Mera mengetuk pintu dan Mrs. Russel menyuruh kami masuk. Ia meminta kami mengisi arsip data hukuman, lalu ia menandatanganinya dan langsung menyuruh kami pergi tanpa ceramah sedikit pun. Muka Mrs. Russel ditekuk seolah baru tersiram air es dan menurutku semakin cepat kami menjauh semakin baik.
Aku dan Mera berjalan dalam diam saat kembali menuju kamar, larut dalam pemikiran kami masing-masing. Aku tak mengerti tentang perdebatan antara Mrs. Russel dan Mrs. Laurens. Mereka menyebut-nyebut mencuri pedang, Peri, Penyihir, dan yang paling mengusik benakku mereka juga membahas pedang bayangan. Membuat otakku memutar suara Havmand di sungai Colorado 'Kau akan menanggung kutukan pedang cahaya dan bayangan. Akan ada banyak darah yang tumpah dan dunia mungkin akan berada di ujung kehancuran!'
Mungkinkah dua pedang yang pernah dicuri Mrs. Russel adalah pedang cahaya dan bayangan?
Dan apakah dia penanggung kutukan yang satunya?
Apakah dia akan mencoba membunuhku?
Atau aku yang akan membunuhnya?
Semua pemikiran itu terdengar gila dan membuat kepalaku berdenyut penuh pertanyaan hingga aku lepas kendali dan berteriak cukup keras, membuat Mera menoleh ke arahku karena terkejut. "Kau baik-baik saja?"
Aku sangat ingin bercerita tapi peringatan Havmand untuk tidak sembarangan mempercayai orang soal hal ini membuatku menggigit bibir agar diam dan hanya mengangguk. Untungnya Mera sepertinya juga enggan untuk bertanya lebih lanjut dan memilih mempercayaiku begitu saja.
Sisa hari itu aku dan Mera tak banyak bicara. Bahkan saat Brant dan EVe memulai pertengkaran konyol mereka, Mera tak menghiraukan mereka sedikit pun. Aku sendiri juga tetap tak bersemangat saat mendapat telepon dari Mom, padahal biasanya aku akan langsung mengoceh panjang lebar.
Mom memutuskan untuk tinggal di Paris bersama Dad setelah aku pergi. Mom banyak bercerita tentang gaun keluaran Hermes atau tas bermerk keluaran Louis Vuitton. Yah, itu tidak aneh mengingat hobi shopping Mom. Tapi hari ini aku hanya membalas ucapan panjang penuh semangat Mom dengan oh, ya, benarkah dan kata-kata singkat lain yang membuat Mom kesal dan memutuskan untuk mengakhiri panggilan itu.
Malamnya aku langsung naik ke ranjangku. Meski begitu aku sama sekali tak bisa tidur dan hanya menatap bagian bawah kasur Mera tampa berkedip. Sekitar pukul sebelas decitan ranjang di atasku makin keras, tanda kalau Mera juga belum tidur dan kemudian dia turun dari anak tangga. Matanya sedikit melebar saat melihatku masih terjaga.
"Tidak tidur?" tegurnya.
"Kau sendiri?" tanyaku balik.
"Aku mau cari angin," jawabnya. "Kau mau ikut?"
"Tidak."
Dia mengangguk dan pergi.
Aku sedang ingin sendiri dan kalau bisa tidur, melupakan semua pertanyaan gila yang terus berputar di otakku seperti, siapa Mrs. Russel?
Apakah dia benar-benar akan membunuhku?
Apakah ucapan Havmand itu benar?
Apa yang akan kulakukan jika benar?
Dan masih banyak pertanyaan gila lainnya.
Sudah satu jam Mera pergi dan dia belum juga kembali. Dan saat aku berpikir untuk mencarinya, tiba-tiba bunyi alarm kebakaran membahana. Aku langsung melompat turun dari ranjangku dan berlari keluar, Brant dan EVe di belakangku. Koridor di penuhi siswa yang berseliweran, semua berebut untuk keluar. Dan saat aku melihat kilau rambut coklat yang sangat kukenal aku langsung mengejarnya.
"Apa yang terjadi? Tidak ada api di sini!" tanyaku langsung. Dia terlihat tidak sabar dan terburu-buru.
"Ada yang mencoba membobol ruang penyimpanan senjata," jawab Shura singkat lalu melesat pergi.
Mataku melotot saat sampai di depan pintu besi yang kulihat tadi siang. Mata dua orang pria yang menjaga pintu logam itu terpejam. Tidak. Mereka tidak tidur. Mereka pingsan akibat peluru bius si penyusup. Dan di lantai hal yang paling membuatku shock, Mera berbaring di sana dengan mata terpejam. Aku langsung berlutut di sampingnya, merengkuh kepalanya untuk ku sandarkan ke pangkuanku. Aku terus memanggil namanya sambil menepuk pipinya ringan untuk membuatnya sadar. Aku sama sekali tidak peduli dengan kerumunan orang yang semakin banyak di sekitarku.
"Biar aku ambil alih!" ucap suara di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Mrs. Laurens yang masih mengenakan piamanya.
Aku beringsut untuk memberinya ruang, dia segera menuangkan suatu cairan bening dari botol kaca ke mulut Mera. Dan beberapa detik berikutnya Mera mulai mengerjapkan mata. Mrs. Laurens kemudian beralih menangani dua penjaga pintu itu. Aku membantu Mera duduk. Tatapannya masih kosong, seolah berusaha mengumpulkan ingatannya.
"Apa yang terjadi?" tanyaku begitu pandangannya terfokus.
"Aku sedang berada di taman dekat air mancur. Lalu tiba-tiba alarm di gedung utama berbunyi," ucapnya dengan berbisik, bahkan aku harus mendekatlah telingaku untuk dapat mendengarnya. "Aku kemudian berlari ke sumber suara itu, melalui koridor-koridor hingga sampai ke sini. Di depan pintu ruang penyimpanan senjata. Dan saat aku sampai dua penjaga itu sudah pingsan."
"Lalu apa lagi yang kau lihat?" desakku. Dia mengernyitkan dahi mencoba mengingat kejadian itu kurasa.
"Ada orang berjubah hitam." Begitu dia mengatakan itu jantungku langsung berhenti berdetak. Mukaku memucat dan aku sudah menahan napasku. Tapi aku berusaha mengendalikan diri dan lanjut mendengarkan cerita Mera.
"Dan?"
"Orang itu berusaha menendang pintu itu. Mungkin frustasi karena tak berhasil menemukan kode yang tepat dan alarm keamanan sudah menyala. Saat aku mau menyergapnya dari belakang, dia menyadarinya dan menembakkan sesuatu ke arahku. Yang kurasakan saat itu, leherku seperti tertusuk jarum lalu perlahan semuanya gelap."
Saat dia selesai bercerita mukanya masih pucat pasi. Aku memepuk bahunya, mencoba menyalurkan ketenangan meski aku sendiri sedang bergulat dengan pikiranku sendiri.
Mimpiku benar terjadi. Tapi itu tak masuk akal. Ini pasti hanya kebetulan. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri dan mencoba mengusir denyutan pening di pelipisku. Belum juga aku kembali tenang, ekor mataku menangkap sosok yang berjalan dari ujung koridor yang berlawanan dengan pintu masuk. Yang artinya dia sudah berada di dalam gedung sejak tadi.
Tapi Kenapa dia baru datang?
Kemana saja dia?
Mrs. Russel yang baru saja datang langsung menerobos kerumunan dan berdiri di hadapan Mr. Muller.
"Jelas ada yang tidak beres, Henry!" ujar Mrs. Russel panik.
"Jangan gegabah, Alberta! Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi," balas Mr. Muller tenang.
"Kau harusnya mendengarkanku!" desak Mrs. Russel tapi ia malah mendapat tatapan tajam dari Mr. Muller.
"Aku bisa mempercayaimu untuk segala hal. Tapi belum untuk yang satu ini," ucap Mr. Muller pelan tapi penuh penekanan.
"Yang jelas aku sudah memperingatkanmu!" Mrs. Russel membalas dengan ketus.
"Aku yakin juga begitu," jawab Mr. Muller. Beliau kemudian mendekati kami --Aku dan Mera--.
"Aku perlu tahu semua yang kau ketahui. Apa kau bisa ikut ke kantorku?" tanya Mr. Muller lembut tapi juga mengintimidasi.
"Mera butuh istirahat," cicitku membuat ayah Ken mengalihkan pandangannya padaku.
Saat ia mengamati wajahku dahinya berkerut lalu ia tersenyum simpul. Entah apa maksudnya itu?
"Tidak akan lama," balasnya. Baru aku akan buka mulut lagi, Mera sudah mencegahku.
"Tidak apa-apa, aku sudah cukup sehat." Mera kemudian berdiri.
"Kalian berdua juga ikut aku!" perintah Mr. Muller pada dua penjaga pintu yang sekarang sudah sadar.
Kemudian ke empat orang itu pergi menjauhi kerumunan. Saat aku berbalik untuk mengikuti yang lain kembali ke asrama, mataku bertemu dengan mata Mrs. Russel. Dia terus menatapku dengan tajam tapi aku tak terlalu mempedulikannya dan memilih berlalu pergi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top